nou

dua lawan satu

Nein Arimasen
3 mins read ·

coretan silang 1/3

url https://coretan-silang.blogspot.com/2008/04/bagian-03.html

“Wo-Le-Ke!!” sebuah suara berat menggelegar memaki saat melihat orang tua yang duduk bersila di atas batu ceper di tengah rerumputan tersebut.

“Masih hidup juga.. untuk dimatikan!” sahut suara yang lain.

Tawa keduanya kemudian membahana. Meremehkan kenyataan bahwa yang punya kuasa atas nyawa manusia adalah Sang Pencipta dan bukan mereka, manusia.

“Al Bo-Se (si jahat tua) dan Jung Bo-Se (si jahat muda)..,” jawab Wo-Le-Ke. Lalu lanjutnya, “.. dua orang dari Bo-Se Wi-Li-Nge, penguasa padang pasir.”

Memerah padam sedikit wajah keduanya. Pujian itu akan mereka terima dengan bangga apabila datang dari orang yang baru mereka kenal. Tapi tidak dari Wo-Le-Ke, orang yang pernah mempecundangi mereka. Menendang pantat mereka sehingga keduanya lari bagai anjing dengan ekor diselipkan di antara kedua kaki belakangnya.

“Tutup mulutmu dan mulai saja pelunasan hutang lama!” ucap Al Bo-Se.

“Nanti dulu..,” jawab Wo-Le-Ke santai. “Tidak sebelum makan pagi!”

“Maksudmu?” jawab Jung Bo-Se yang memang tukang makan. “Engkau mau menjamu kami yang akan mengambil nyawamu?”

“Urusan ambil nyawa itu bukan wewenangku, tapi kalian adalah tamu. Dan tamu harus dijamu,” jawab Wo-Le-Ke sambil mengembangkan senyumnya.

“Baik.. baiklah!” jawab Al Bo-Se yang juga jadi bingung. Orang yang diparanin mereka malah dengan santainya menerima mereka dengan ramah walaupun ia telah tahu tujuan mereka berdua yang akan mengambil nyawanya.

“Tapi kita harus menangkap bahan makanannya dulu,” ucap Wo-Le-Ke sambil bangkit dan memakai sandal sepatunya.

“Jangan main-main! Engkau mau kabur?” tuduh Al Bo-Se.

“Tidak! Namaku jaminannya. Dan itu adik seperguruanku datang untuk menjadi saksinya,” jawab Wo-Le-Ke sambil menunjuk seseorang yang datang dengan berjalan cepat.

Orang yang datang itu, yang disebut sebagai adik seperguruan oleh Wo-Le-Ke, berperawakan lebih kecil dari Wo-Le-Ke akan tetapi kekar. Terlihat bahwa tubuhnya kompak dan padat. Masif.

“Ini adalah Se-Ta-In,” ucap Wo-Le-Ke sambil memperkenalkan, “dan kedua orang ini adalah Bo-Se Wi-Li-Nge.”

Se-Ta-In hanya mengangguk dengan senyum tipis. Ia telah tahu kebiasaan kakak seperguruannya yang suka mencampuri urusan orang dan ini adalah salah satu masalah di masa lalu yang harus diselesaikan.

“Berlomba apa dulu?” tanya Se-Ta-In seakan-akan telah terbiasa dengan keadaan seperti itu.

“Menangkap garuha untuk makan pagi,” jawab Wo-Le-Ke.

“Di waktu sudah sesiang ini?” tanya Se-Ta-In pendek dengan penuh tanda tanya.

“Ya!” jawab Wo-Le-Ke sambil memainkan alisnya.

“Berarti harus masuk ke jurang Dung-Ke-Le?” tanya Se-Ta-In kembali.

Wo-Le-Ke mengangguk. Dan Se-Ta-In menggeleng-geleng kepalanya.

“Kenapa? Ada apa?” tanya Al Bo-Se tidak mengerti.

“Tempat yang dipilihnya adalah tempat yang berbahaya. Kalian bisa mati di sana,” terang Se-Ta-In sambil mengira-ngira kemampuan kedua orang Wi-Li-Nge tersebut.

“Omong kosong!” sahut Al Bo-Se. “Kami tidak akan kalah dari orang ini!” jawabnya sambil menunjuk Wo-Le-Ke.

“Baiklah kalau begitu. Jadi dua lawan satu untuk menangkap garuha?” tanyanya kembali.

Wo-Le-Ke mengangguk. “Biar mereka berdua karena mereka tidak tahu medan di sini,” katanya.

Kedua Wi-Li-Nge yang tadinya merasa direndahkan tersadar bahwa alasan Wo-Le-Ke mereka berdua melawan dirinya sendiri adalah untuk mengimbangi ketidakadilan bahwa Wo-Le-Ke telah mengenal tempatnya sedangkan mereka tidak. Dengan ini masing-masing kelompok memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, yang akan lebih terlihat adil.

“Tapi garuha itu apa?” tanya Al Bo-Se kembali.

“Aku tak peduli,” jawab Jung Bo-Se, “sejauh itu rasanya enak dan mengenyangkan. Biar nikmat kami saat menggasakmu nanti!”

“Aku jamin itu enak,” terang Wo-Le-Ke, “setara dengan telur naga dan paha phoenix.”

“Wah! Tapi bila sedemikian terkenal mengapa nama hewan itu belum pernah kami dengar?” tanya Al Bo-Se penuh selidik.

“Karena bila tidak mahir memasaknya, daging garuha akan beracun dan membunuh yang memakannya,” terang Wo-Le-Ke kembali.

“Dan engkau bisa memasaknya?” tanya Jung Bo-Se sangsi. Ia suka makan dan suka sekali mencoba makanan baru. Tapi bila untuk mencoba suatu yang baru harus mempertaruhkan nyawa ia tidak mau. Suatu resiko yang tidak sepadan menurutnya.

Tags: