nou

di gurun besar

Nein Arimasen
4 mins read ·

penjara kokoh 1/1

url https://penjara-kokoh.blogspot.com/2007/08/di-gurun-besar.html

Suatu hari di pinggiran Gurun Besar, sebelah utara dari Gunung Berdanau Berpulau. Aku berjalan dengan kaki letih. Semangat yang tadi menggebu-gebu selepas keluar dari desaku, Nongt, tampak perlahan-lahan menguap bersama-sama dengan pasir-pasir yang semakin lama semakin merajam kaki yang telanjang.

Pasir dan pasir, itulah yang hanya aku lihat sampai saat ini. Sejauh mata memandang, hanya lautan bulir-bulir berwarna coklat dan kelabu terlihat. Di atas bukit-bukit buliran itu udara bergoyang-goyang lambat. Katanya itu akibat udara panas yang membiaskan sinar matahari dengan cara yang berbeda. Itu kata orang tua-tua. Hati-hati pesan mereka. Bisa-bisa engkau tersengat khayalan dan melihat hal-hal yang sebenarnya tidak ada. Fatamorgana namanya.

“Nakh, kamu yakin hendak ke sana? Ke Gurun Besar?” ucap ayahnya beberapa hari yang lalu.

Nakh muda mengangguk tanpa jawaban. Gairah dan semangat mudanya menggeliat dan ingin melihat tempat yang katanya sedang membutuhkan banyak pekerja muda. Sebuah kota di tengah-tengah gurun akan dibangun. Ada barang yang akan ditambang dari dalam tanah. Barang yang akan membuat para penambangnya kaya-raya. Begitu berita yang disampaikan oleh pedagang keliling yang melewati kampung mereka dari arah Gurun Besar. Tapi tepatnya tempat itu masih samar-samar diberitakan.

“Kawan-kawanmu yang berangkat beberapa masa lalu belum ada yang kembali. Kita tunggu dulu kabar, ya?” bujuk ayahnya.

“Itu mungkin mereka sudah lupa sama kita, ayah. Mereka sudah terlena dengan hasil yang mereka peroleh di sana,” jawab Nakh muda tak mau kalah. Ia dengar dari para pedangang itu bahwa beberapa nama disebut, tapi bukan dari desa Nongt, telah mapan dan menjadi mandor dari pekerja-pekerja muda dan baru.

“Engkau masih muda, Nakh!” ucap ayahnya kehabisan kata-kata.

“Sebab itu, ayah! Aku ingin membantu ayah, ibu dan adik-adik,” ucapnya dengan semangat menggebu-gebu.

Ayahnya hanya terdiam memandanginya. Terharu, bangga dan juga takut kehilangan.

“Baiklah, engkau berangkat dalam dua hari. Pagi-pagi sekali agar bisa mencapai tempat itu sebelum malam,” ucap ayahnya, walaupun ia tidak yakin di mana tempat itu sebenarnya. Para pedagang tidak memberikan pastinya letak tempat itu.

“Terima kasih ayah! Mohon doanya!” ucap Nakh muda. Ia senang saat ayahnya kemudian mengusap-usap kepalanya.

Dengan diiringi doa dan semangat, juga sedikit air mata ibunya, Nakh berangkat dengan bekal seadanya. Semangat adalah bekal utama yang mengisi dadanya. Pergi mencari pekerjaan untuk kembali membahagiakan kedua orang tuanya dan adik-adiknya.

Dan sekarang sudah dekat tengah hari dan aku belum menemukan dalam pandangan mataku kemungkinan tempat yang diberitakan itu. Hanya kata mereka ke utara dari arah bayangan Gunung Berdanau Berpulau dan terus ke sana. Aku pun mengikuti petunjuk itu dan sampai ke tempat ini. Pasir dan hanya pasir yang aku hadapi sampai saat ini.

“Sebuah pohon,” ucapku perlahan. Ya, di sana beberapa puluh langkah terlihat sebuah pohon dan beberapa batu melingkupinya. Suatu kehidupan di tengah-tengah lautan pasir ini. Bergegas aku mempercepat langkah kakiku untuk mencapainya. Setidaknya ada sesuatu yang bisa aku lihat selain pasir dan pasir.

Saat aku mendekati tujuanku tersebut, terlihat bawah batu-batu yang melingkupi pohon itu tersusun teratur. Amat teratur bila dikatakan akibat kejadian alam. Selain itu batu-batu sebesar kerbau itu juga terpapas rapi dan licin di keempat sisinya. Hanya sisi atasnya yang dibiarkan bergerigi tajam dan tak teratur.

“Ada tulisan di sini..,” tiba-tiba mataku melihat parutan dalam pada batu-batu itu. Sebuah corat-coret yang tidak aku mengerti. Merasa tertarik aku terus menelusuri batu-batu bergoresan itu dan mencari-cari, siapa tahu ada tulisan yang aku mengerti.

“Tinggalkan tempat ini. Ini tempat terkutuk. Hati-hati dengan Tohpasir!!” sebuah tulisan yang bisa kubaca berbunyi demikian.

“Tohpasir? Apa artinya?” gumamku sambil tak terasa jari-jariku menyentuh guratan itu. Guratan yang halus dan dalam. Aku tahu tahu dengan cara bagaimana guratan-guratan itu dibuat. Pernah aku dengar dalam cerita bahwa dengan pedang atau pisau dan hawa dalam guratan tulisan pada benda keras bisa dibuat. Tapi juga juga lagi-lagi cerita para pedagang. Menyaksikannya sendiri aku belum pernah.

“Dan.. Tohpasir?” gumamku. Dulu aku pernah dengar Tohbatu, sejenis makhluk penghuni Gua Susun Utara di utara Tlatah ini. Jauh ke utara dari Gurun Besar. Itu juga cerita para pedangan yang datang dari sana dan lewat desa Nongt. Bila sama artinya, mungkin ini adalah makhluk-makhluk dari pasir atau yang hidup di pasir.

“Kenapa tempat ini terkutut..?” gumamku kembali pelan. Aku bukan orang yang percaya begitu saja desas-desus seperti itu. Tapi dengan hanya sendiri di tempat ini, mau tak mau bulu kudukku pun tanpa dapat ditahan ikut berdiri.

Segera aku melihat berkeliling dan memastikan bahwa hanya aku satu-satunya manusia atau makhluk, kecuali pohon itu tentunya, yang ada di tempat ini.

“Shhhhhhh!!!” hanya suara angin yang tiba-tiba keras bertiup. Hawa kering yang tadinya terasa bertambah semakin kuat.

“Ini…, tanda-tanda badai pasir!!” ucapku dengan sedikit panik. Ya, di tengah-tengah gurun tanpa perlindungan terhadap gejala alam itu. Bergegas aku mengeliling pohon itu dan batu-batu yang mengapitnya, mencari-cari celah untuk berlindung sebelum hal itu datang.

Tags: