nou

pelupa atau penipu atau lainnya

Nein Arimasen
8 mins read ·

gua susun utara 12/13

url https://gua-susun-utara.blogspot.com/2007/08/pelupa-atau-penipu-atau-lainnya.html

“Hiattt!! Desss!!!” pukulan lurus Lo-kai yang diharapkan dapat menjatuhkan dara yang menjadi lawannya itu dihadapi dengan jurus yang sama. Kepalan kasarnya bersentuhan denga kepalan yang terlihat lembut tapi berisikan tenaga yang berimbang.

Keduanya meloncat mundur dan mengatur napas masing-masing merasakan apa ada bagian tubuh atau jalan darah mereka yang terluka.

“Bocah edan, siapa kamu sebenarnya?” tanya Lo-kai jengkel. Ketidakmampuannya untuk menebak asal-usul dara itu dan ginkang serta sinkang dara itu yang hampir setingkat dengannya membuat ubun-ubunnya mendidih.

“Kakek tua bangkotan, jangan kurang ajar sama subomu!” ucap dara itu sambil berkacak pinggang. Bermodal nekat ia masih berani bermain besar kepala di depan Lo-kai. Dari beberapa gebrakan tadi ia tahu bahwa ilmunya masih satu tingkat di bawah Lo-kai. Tapi kepercayaan dirinya membuat Lo-kai menjadi ragu-ragu, yaitu kalau-kalau dara itu masih menyimpan sesuatu.

“Sekarang cepat katakan berita yang aku tidak tahu itu!” ucap Lo-kai, “atau engkau akan ku…!”

Lo-kai tidak jadi melanjutkan ucapannya karena dara yang berdiri di hadapannya tiba-tiba terlihat pucat dan langsung jatuh berdebam di atas tanah, bahkan masih dalam posisi berkacak pinggang.

“Rasakan bocah gendeng!” umpatnya pelan.

Tapi saat ia ingin pergi dari situ masih ada rasa ragu-ragu apa yang sebaiknya ia lakukan kepada dara itu. Meninggalkannya sendiri, sudah tentu bukan keputusan yang baik. Bisa terjadi apa-apa pada dara itu nanti. Dan yang ia bingung kenapa ia, Lo-kai, bisa menjadi kuatir dengan keadaan dara itu. Membunuhnya? Kelihatannya ia sudah hilang niatnya sejak bentrok dengan dara itu. Ada kaitan khusus antara ia dan dara itu melalu ilmu silat mereka. Dan itu menjadi dorongan kuat baginya untuk mencari tahu. Akhirnya dengan jengkel akibat kelemahan hatinya, Lo-kai pun memanggul dara itu itu pergi.

Tak disadarinya ada sesosok bayangan tampak tersenyum di balik pohon, gumamnya pelan, “Hehehe.., boneka kedua sudah siap pula..”


“Di mana aku?” ucap dara seorang dara.

“Di tempatku,” jawab Lo-kai pendek.

“Di tempatmu? Dan apa yang telah engkau lakukan kepadaku?” ucap dara itu sambil memeriksa pakaiannya. Tak terasa ia melintangkan lengannya di kedua buah dadanya yang mulai tumbuh, seakan ingin melindunginya dari Lo-kai. Ia memandang Lo-kai dengan kuatir.

“Bocah, lupakan pikiran itu. Aku sudah tidak minat dengan gadis bau kencur sepertimu!” ucapnya jengkel seperti ia dapat membaca pikiran gadis itu melalu sikapnya.

“Kalau tidak berminat kenapa engkau membawaku kemari dan dibaringkan di tempat tidurmu? Untung aku segera tersadar.. kalau tidak.., pasti engkau sudah…,” ucapnya terputus-putus.

“Hei, dengar tidak? Aku bawa kemari agar engkau tidak ditemukan orang di hutan sana. Dan aku tidak minta mengapa-apain dirimu?” ujar Lo-kai dengan lebih jengkel dari sebelumnya.

“Benarkah?” tanya dara itu.

Lo-kai mengangguk.

“Mengapa engkau menjadi menguatirkan diriku?” tanyanya lagi.

“Entahlah!” jawab Lo-kai seadanya.

“Tapi engkau tidak jadi mencintaiku, kan?” tanya dara itu lagi.

“Jangan lagi memulai hal itu!” ketus Lo-kai.

“Maaf!” jawab dara itu, “.. dan terima kasih atas pertolonganmu!”

“Lupakanlah!” dengus Lo-kai. Ia tidak tahu harus berkata dan berbuat apa. Kejadian ini benar-benar di luar rencananya.

“Siapa namamu?” tanya Lo-kai setelah diam sesaat dan memandang keluar jendela.

“Tidak tahu,” jawab dara itu.

“Tidak tahu? Bagaimana bisa?” balik bertanya Lo-kai.

“Ya, aku tidak tahu siapa diriku dan mengapa aku ada di sana menguping pembicaraan kalian. Aku juga tidak tahu bagaimana kau bisa berlari cepat seperti tadi dan bisa menghadapimu. Aku sama sekali lupa,” jawabnya polos.

Lo-kai tidak meragukan ucapan dara itu. Terlihat jujur saat ia mengatakannya.

“Dan itu sejak kapan?” tanyanya lagi.

“Lupanya?” memastikan gadis itu.

Lo-kai mengangguk.

Gadis itu menggeleng.

“Ya, tentu saja..,” ucap Lo-kai sambil menepuk dahinya, “Jika engkau lupa bagaimana engkau bisa berkelahi seperti itu dan ada di sana sebagaimana siapa dirimu, bagaimana engkau tahu sejak kapan engkau lupa!”

“Saya rasa paman benar!” jawab gadis itu.

“Paman? Sekarang engkau memanggilku paman?” jengek Lo-kai.

“Mengapa? Tidak boleh?” balik bertanya dara itu.

“Barusan engkau memanggilku Lo-kai,” jawab Lo-kai.

“Barusan? Kapan?” tanyanya balik.

“Saat kita bertempur!” jengkel ungkap Lo-kai.

“Kita bertempur, ya?” tanya dara itu memastikan.

“Bukan tadi katamu engkau lupa bisa menghadapiku?” jawab Lo-kai.

“Ya.. tapi apa benar itu terjadi? Aku lupa..!” jawab gadis itu.

“Wah, repot.. repot!!” ucap Lo-kai sambil berjalan bolak-balik dengan sesekali menghadapi gadis itu. “Bagaimana ini?”

“Kakek, tak usah bersedih! Apa yang sudah terjadi tak bisa kembali,” ucap dara itu dengan nada menghibur.

“Heh?” bingung Lo-kai menghadapi dara itu.

“Ya, nenek sudah lama meninggal dan kakek menjadi sedih. Sudahlah! Aku masih di sini merawatmu,” hiburnya lagi.

“Siapa namamu?” tanya Lo-kai lagi.

“Siang In,” jawab gadis itu.

“Bukannya tadi engkau lupa namamu?” bingung kembali Lo-kai bertanya.

“Saya tidak lupa, kakek! Saya Siang In, cucumu!” katanya sambil memegang kedua tangan Lo-kai. Pandangannya yang iba membuat Lo-kai mau tak mau menjadi hanyut terbawa perasaan.

“Ya, cucuku.. engkau cucuku Siang In,” jawabnya.

“Bagus!! Jika begitu kakek tenang saja, aku akan bereskan rumah dan memasak untukmu!” ucapnya gembira setelah ia menganggap kakeknya mengenali dirinya.

“Eh?” ucap Lo-kai bingung.

“Kakek, pergilah ke tempatmu bekerja. Nanti malam saat engkau kembali semuanya telah siap!” ujar dara itu sambil mendorong Lo-kai menuju pintu.

Dengan bingung dan masih berusaha mencerna apa yang terjadi Lo-kai menurut dan pergi keluar. Sampai di jalan ia masih memikirkan apa yang barusan dialami dan siapa yang ia bawa ke gubuknya.

“Biarlah, siapa tahu nanti ia bingung dan hilang. Memudahkanku,” gumamnya. Ia pun pergi melangkah dengan cepat kembali ke markas para pemuda anak buah Tiong Pek.

Sepeninggalnya Lo-kai tampak dara itu mulai membersihkan gubuk tempat tinggal Lo-kai.

“Siang In, mengapa engkau mengaku namamu?” tiba-tiba gadis itu berucap sendiri.

“Kim Hwa, mengapa tidak boleh aku mengaku?” jawab suara lain yang datang pula dari mulut gadis itu.

“Nanti ia tahu siapa dirimu!” ucap Kim Hwa.

“Lalu?” tanya Siang In.

“Bila ia tahu siapa dirimu sebenarnya, bisa hal itu membahayakanku pula,” jelas Kim Hwa.

“Dia tidak akan tahu tentang kita,” ucap Siang In menenangkan.

“Tapi tadi ia sudah terlihat bingung denganmu,” ucap Kim Hwa.

“Tidak! Ia tidak bingung, Kim Hwa!” ucap Siang In dengan nada meninggi.

“Terserahmulah!” jawab Kim Hwa, “Aku pergi..!”

Lalu sunyi dan gadis itu kembali melanjutkan pekerjaan tadi tertahan. Ia membersihkan, menyapu, membuang sisa-sisa makanan dan memasak. Untung ada bahan-bahan untuk menghidangkan makana, jika tidak ia tak tahu bagaimana harus membelinya. Ia tidak menemukan uang di pondok Lo-kai itu.

“Selesai!” ucap dara itu akhirnya. Pondok itu tampak telah bersih dan rapih. Di meja telah tersaji makanan yang masih mengepulkan uap dan matahari tampak sudah mulai menghilang dari ufuk barat. Segera ia menyalakan lampu dan menunggu ‘kakek’-nya pulang.

Tak terasa ia pun tertidur dan bermimpi dengan kepala tertidur di atas meja.

“Siang In mengapa engkau membiarkan gadis itu ikut dengan kita?” ucap Kim Hwa sambil menunjuk seorang gadis berpakaian compang-camping yang menggandeng tangan Siang In dan terlihat takut-takut dengan pandangan galak Kim Hwa.

“Kasihan dia, Kim Hwa!” ucap Siang In. “Ibunya baru saja meninggal dan ayahnya entah kemana.”

“Tapi itu bukan urusan kita,” ucap Kim Hwa tidak setuju.

“Ya, memang. Tapi jika dulu engkau menolongku, mengapa aku tidak boleh menolongnya sekarang?” bertanya balik Siang In kepada Kim Hwa.

“Itu..,” jawab Kim Hwa.

“Aku tahu engkau dulu kesepian sehingga engkau mengambilku untuk menemanimu,” jawab Siang In yang tidak tega melihat Kim Hwa kehabisan kata-kata, “dan aku pun sekarang demikian. Engkau jarang muncul akhir-akhir ini dan aku butuh teman saat engkau tidak di sini.”

“Aku pergi untuk kebaikan kita pula,” ucap Kim Hwa.

“Aku tahu itu!” jawab Siang In.

“Baiklah, tapi kita tidak tahu siapa dia,” jawab Kim Hwa sambil menunjuk gadis yang digandeng oleh Siang In.

“Itu tidak penting, selama ia menemaniku,” jawab Siang In sambil mengelus rambut gadis itu yang tampak amat berterima kasih kepada sikap Siang In terhadapnya.

“Sudahlah bila itu maumu!” jawab Kim Hwa akhirnya mengalah dan mereka bertiga pun berjalan ke suatu arah dan mimpi itu tiba-tiba berganti.

“Siang In? Siang In, engkau di rumah?” terdengar sebuah suara di luar rumah.

Siang In yang mendengar suara itu segera menjawab, “Siapa di luar?”

“Aku seorang yang lewat saja dan mendengar bahwa engkau bernama Siang In,” jawab orang itu.

“Aku tidak kenal anda. Berlalulah, paman!” ucap Siang In dengan anda kuatir. Ia tidak kenal orang asing itu dan tidak ingin orang itu masuk ke dalam rumahya sementara kakeknya tidak di rumah.

“Bukalah pintu ini agar aku dapat melihatmu!” pinta suara itu.

“Aku tidak mau!” ucap Siang In yang tiba-tiba menjadi panik. Dan tiba-tiba ia melihat gadis yang compang-camping bajunya itu berdiri di sisinya dan memegang tangannya. Dari padangannya ia menyetujui Siang In untuk tidak membuka pintu rumahnya itu.

“Siang In, buka pintu!” ucap orang itu dengan nada tinggi.

“Dukk! Dukk!!” tiba-tiba bunyi pintu digedor membangunkan gadis itu dari mimpinya.

“Kakek?” tanya gadis itu.

“Kau masih di sini?” ucap Lo-kai demi melihat bahwa gadis itu masih ada di pondoknya dan tampak baru terbangun. Matanya masih terlihat merah dan mengantuk.

Dara itu mengangguk, “Mengapa aku harus pergi, kakek?”

“Tidak, lupakan apa yang baru akau katakan!” ucap Lo-kai tidak ingin mengalami kembali pembicaraan yang membingungkan seperti tadi sebelum ia meninggalkan pondoknya.

Pandangannya berubah saat melihat hidangan yang tersaji di atas meja. Lalu katanya, “Engkau yang membuatnya?”

Dara itu mengangguk.

“Bagus, cucuku!” jawab Lo-kai yang tidak ragu-ragu lagi menganggap gadis itu cucunya. Masakah lezat tiap hari setimpal dengan bebannya menampung gadis itu di pondoknya.

Mereka pun kemudian mulai makan sambil Lo-kai tanpa sadar menceritakan apa yang baru saja ia lakukan, termasuk rencananya soal lumbung palsu. Mungkin kelezatan makan dan bersihnya ruang tinggalnya membuat ia percaya begitu saja terdapat gadis yang mengaku bernama Siang In itu.

Tags: