nou

siasat lumbung palsu

Nein Arimasen
8 mins read ·

gua susun utara 11/13

url https://gua-susun-utara.blogspot.com/2007/08/siasat-lumbung-palsu.html

“Srett!! Takk!! Ahhh!!” dua orang jatuh bersimbah darah segera dan segera diserat ke dalam semak-semak. Orang-orang yang menyertai penyerang kedua orang itu tampak meneteskan sesuatu di atas tetesa darah yang timbul saat kedua tubuh korban mereka bergesekan dengan tanah. Sekejap berkas merah kehitaman itu tampak mengepulkan asap kekuningan dan hilang tak meninggalkan jejak dan bahkan berbau wangi. Seakan-akan tiada lagi jejak bekas darah di sana.

“Rusak muka kedua mayat itu dan lucuti pakaian mereka. Lalu tuangkan ini di atas tubuh mereka,” ucap seorang pengemis tua berbaju hitam dekil dengan rambut bergimbal padat, Lo-kai.

“Baik, Lo-kai!” ucap dua orang yang disuruh itu. Bergegas mereka melakukan perintah itu dan suara takut tertahan keluar dari mulut mereka saat daging-daging dari kedua korban mereka meleleh dan meninggalkan tulang-belulang putih belaka. Hampir mereka melepaskan botol keramik yang mereka pegang demi menyadari betapa keras cairan yang ada di dalamnya.

Seorang lain bergegas membakar baju korban-korban mereka dan menimbuni sisanya dengan tanah dan daun-daun. Setumpuk tulang-belulang sisa korban mereka juga ditimbuni tanah dan rumput-rumputan. Hilang sudah jejak pembunuhan yang baru mereka lakukan.

“Kamu berdua, kemari!” perintah lokai kepada dua orang yang sudah dipersiapkannya. Dua orang itu sudah didandani sebagaimana kedua orang yang baru saja dibunuh. “Berlaku hati-hati. Mereka belum mengenal siapa yang dikirim sebagai pengawal baru, jadi kalian kelihatannya aman menyaru sebagai mereka.”

Keduanya mengangguk mengiyakan.

“Saat kalian ada kesempatan berdua dengan lumbung kalian, beritahu kami. Ia akan digantikan juga seperti kalian!” ucap Lo-kai dalam nada kering, yang membuat keduanya merinding. Mereka tahu bahwa jika mereka tidak berlalu benar, mereka pun dapat ‘digantikan’ oleh Lo-kai ini, orang yang kemampuannya setingkat dengan Nionio.

Keduanya kembali mengangguk dan lalu berlalu dari sana menuju tempat seorang lumbung yang sedang menunggu dua orang pengawal barunya.

“Sekarang aku perlu seorang yang bersekolah paling tinggi di antara kalian,” katanya sambil memandang berkeliling ke sekolompok pemuda di hadapannya itu.

“Pek-twako paling pandai di antara kami,” ucap seseorang.

“Tiong Pek tidak boleh masuk hitungan. Ia punya peran lain di samping Nionio,” ucap Lo-kai menghardiknya.

“Kalau begitu, Han Tiong!” ucap yang lain.

“Mana yang bernama Han Tiong?” ucap Lo-kai menanggapi usul itu.

“Entah…, ia sudah dua hari ini tidak kelihatan. Biasanya ia suka tertidur di sembarang tempat dan bangun-bangun bingung. Mungkin kali ini begitu lagi,” ucap seorang sambil tersenyum.

“Suka tertidur sembarangan…, hmmm..,” gumam Lo-kai mendengar penjelasan itu. Menarik, mirip kebiasaan seorang lumbung yang pemalas dan bodoh. Tapi setidaknya seorang lumbung harus bisa baca-tulis dan menghitung. Moga-moga orang yang diusulkan ini cocok.

“Lo-kai, itu dia Han Tiong!” tunjuk seorang ke arah pemuda yang tampak berlari-lari menjelang mereka.

“Maaf, aku tadi… tertidur…,” ucapnya sambil malu-malu.

“Sekarang bagaimana ceritanya, Han Tion?” goda seorang dari mereka.

“Aku terakhir kali ingat hendak memberitahu Pek-twako, tapi ia sudah pergi bersama Nionio waktu itu.. dan entah bagaimana saat aku berjalan pulang, aku tertidur tiba-tiba dan bangun-bangun sudah di tengah kuburan..,” ucapnya polos.

“Kuburan… hiyy!!!” ucap beberapa orang dari mereka.

“Mungkin engkau diculik hantu!” ucap seorang dari mereka.

Dan pendapat-pendapat pun bersahut-sahutan dari orang-orang di sekelilingnya itu.

“Sudah, cukup!!” tiba-tiba suara Lo-kai memecah kebisingan itu.

Semuanya diam dan memandanginya. Terlebih Han Tiong yang sedari dua hari tidak tahu-menahu apa yang sedang terjadi. Dari orang yang menunggu markas mereka saja ia tahu harus ke sini.

“Teman-temanmu bilang engkau bisa membaca dan menghitung?” tanya Lo-kai penuh selidik.

“Ya, aku pernah sekolah sampai situ,” jawab Han Tiong.

“Coba baca ini!” ucap Lo-kai sambil menggores-goreskan tongkatnya di atas tanah di tengah-tengah mereka.

“Hutang adalah kekayaan yang belum ditagih oleh penghutang..,” bacanya atas huruf-huruf yang dituliskan Lo-kai.

“Bagus!!” ucap Lo-kai. Ia sekarang percaya bahwa pemuda itu bisa membaca.

Lalu ia mencoba menguji apakah Han Tiong juga bisa menghitung. Setelah beberapa kali diuji dan lulus, akhirnya Lo-kai mengangguk puas dan berkata, “Bagus!! Untuk kemampuanmu ini, aku punya satu tugas khusus!”

Lalu ia menjelaskan bahwa Han Tiong akan berperan sebagai lumbung yang nanti akan ditangkap oleh kedua tukang pukul mereka yang adalah orang-orang Tiong Pek yang menyamar. Awalnya Han Tiong sempat menolak karena ia tidak tahu harus berlaku apa saat ia menyamar sebagai lumbung. Tapi Lo-kai dengan lihainya mengatakan bahwa ia hanya harus bisa membaca dan menghitung. Telah ada seorang juru bantu yang membatu tugas seorang lumbung, ia hanya perlu memastikan dan bisa mengerti apa yang nanti akan disodorkan.

Selain itu ia dipesankan pula bahwa ia harus memecat tukang pukul-tukang pukul lain dan menggantikannya dengan teman-temannya. Dan pada akhirnya mengangkat Tiong Pek sebagai wakilnya dan Lo-kai serta Nionio sebagai penasehatnya. Dengan cara ini mereka semua bisa masuk dalam pertemuan para lumbung dengan leluasa.

“Tapi Lo-kai, jika hanya untuk masuk saja apa perlu sesulit itu? Kenapa tidak kita serang saja?” tanya seorang bertubuh besar yang disegani oleh rekan-rekannya karena ukuran tubuhnya itu.

“Bodoh!!” umpat Lo-kai dengan mata melotot, “Sudah tentu kalau sudah di dalam dan saat pemilihan kita bisa menggunakan otot, tapi di luar pertemuan banyak tentara kerajaan dan mau engkau membuat kita dicap sebagai pemberontak dan dikejar-kejar?”

Segera orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan terdiam. Beberapa dari mereka juga mendadak menjadi pucat karena baru sadar bahwa rencana ini melibatkan hal yang berbahaya, berhadapan dengan kemungkinan bentrok dengan tentara kerajaan.

“Kalian tidak usah kuatir!” ucap Lo-kai menenangkan sesaat ia melihat wajah-wajah yang kelihatannya jerih dengan tentara kerajaan, “Jika semua lancar kita hanya perlu berhadapan dengan para tukang pukul yang bisa kalian hadapi. Setelah Tion Pek menjadi seorang Lumbung Sejati, tidak akan ada yang bisa mengganggu gugat sampai pemilihan berikutnya. Dan tentara di luar tempat itu akan patuh pada Lumbung Sejati.”

“Kulihat engkau sudah menyiapkan segalanya dengan matang, Lo-kai?” tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang tak lama terlihat sosoknya ditemani oleh seorang pemuda.

“Sudah, Nionio!” jawab Lo-kai. “Dah bahkan sudah kujelaskan posisi Nionio dan juga Tiong Pek kepada mereka.”

“Bagus.., bagus!!” ujar Nionio.

“Sekarang tinggal siasat Nionio untuk meyakinkan para lumbung agar Tion Pek terpilih, dan sebaiknya tidak menggunakan kekerasan,” ucap Lo-kai.

“Baik! Hal itu sebenarnya sudah kami bicarakan tadi malam,” gumam Nionio sambil melirik Tiong Pek dengan mesra. Beberapa pemuda melengos melihat adegan itu, ada yang mengiri dan ada juga yang jengah. Lo-kai sendiri tampak santai-santai saja.

“Aku percaya pada siasat kalian,” ucap Lo-kai. “Masing-masing sudah mendapat tugasnya.”

“Grosakk, brugg!!” tiba-tiba terdengar seperti sebuah benda berat menyeruak di antara batang-batang bohon dan jatuh berdebam di atas tanah.

“Ada yang menguping!” ucap Lo-kai cepat. Ia segera bergerak menuju arah bunyi itu tadi berasal. Sesosok bayangan tampak terlihat di kejauhan.

“Nionio sampai nanti, aku cari penguping itu!” ucapnya segera pergi mengejar ke sana.

Dengan mengempos langkahnya Lo-kai bagai terbang. Kakinya menotol sana-sini untuk semakin ringan melayangkan tubuhnya mengejar orang di depannya. Tak lama bisa ia sudah membayangkan orang yang ada di depannya itu.

“Seorang gadis?” desisnya. Lawan yang tidak ia pikirkan. Tak banyak orang-orang berilmu tinggi dalam umur semuda itu. “Ia harus ditangkap. Jika rencana ini bocor…,” gumamnya sambil kembali memacu langkahnya.

“Selamat siang, Lo-kai!” ucap dara itu yang tiba-tiba berhenti di tanah lapang di sebuah pekuburan di atas sebuah bukit di luaran kota Kern. Sudah sepenanak nasi mereka berdua berlari sehingga lewat sudah batas kota.

“Siapa engkau? Dan apa maksudmu menguping?” tanya Lo-kai dengan garang. Tongkat hitamnya tampak menunjuk mengancam.

“Diriku itu tidak penting, tapi siasatmu itu yang penting!” jawabnya jenaka. Tak tampak ia takut pada sikap mengancam yang ditunjukkan oleh Lo-kai.

“Apa maksudmu itu?” jawab Lo-kai tajam.

“Bahwa dulu engkau mengusulkan kepada Nionio akan membantu seorang lumbung menjadi menjadi Lumbung Sejati tapi kemudian mengubahnya dengan menggantikan orang itu dengan salah seorang orangmu, mengagumkan diriku,” jelas dara itu.

“Engkau..!” ucap Lo-kai kehabisan kata-kata. Ucapan dara ini benar-benar menyerang siasatnya. Nionio sendiri yang juga menyadari perubahan siasat itu tak banyak berkomentar, tapi dara ini.

“Dan Nionio sampai bisa engkau yakinkan, itu lebih membuatku menjadi semakin kagum,” tambah dara itu.

“Dan engkau mungkin akan membawa pengetahuanmu ini ke liang kubur,” jengek Lo-kai dengan sinis.

“Mungkin. Mungkin juga tidak!” ucap dara itu sambil memutar bola matanya menjuling.

“Apa maksudmu?” tanya Lo-kai hati-hati. Ia harus yakin bahwa rencana ini hanya diketehui dara itu sebelum ia membunuhnya.

“Lo-kai, apa tadi kamu yakin bahwa aku adalah satu-satunya yang menguping?” tanya dara itu lagi. “Berapa jumlah bunyi yang engkau dengar?”

“Dua. Dua kali bunyi dan itu semuanya darimu!” berkata Lo-kai tajam.

“Yakin?” balk bertanya dara itu.

“Jika engkau saja baru bisa mencapaiku dalam waktu ini dan di sini, apa aku akan memperdengarkan bunyai apabila menguping?” tertawa dara itu.

“Benar!” gumam Lo-kai. Sedari tadi ada yang kurang cocok dengan dara ini. Ilmu meringan tubuhnya yang bagus, tidak dibawahnya. Dan orang dengan gin-kang sebaik ini sudah tentu tidak akan membiarkan dirinya diketahui saat menguping.

“Biar begitu engkau tetap harus dibungkam,” ucap Lo-kai pendek. “Penguping lain akan aku cari kemudian.”

“Baiklah jika engkau sudah bulat dengan keputusanmu itu,” ucap dara itu lagi. Sikap yang tenang dari dara itu membuah Lo-kai agak hati-hati. Sedemikian tinggikah ilmu dara itu sehingga ia tidak takut? Atau adakah bantuan yang akan datang sehingga ia tenang-tenang saja? Atau ada perangkap di tempat ini?

“Kulihat engkau mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain, benarkah?” berkata dara itu melihat keragu-raguan Lo-kai.

“Maksudmu?” balik bertanya Lo-kai. Tidak senang ia dinilai ragu-ragu.

“Ya, bahwa aku tenang-tenang saja saat seorang Lo-kai berkata ingin menghabisiku..,” jawabnya jenaka.

“Engkau bisa menebak pikiranku,” ucap Lo-kai pendek.

“Begitu? Terima kasih!” ucap dara itu lagi. “Dan aku punya informasi yang engkau tidak tahu.”

“Apa itu?” jawab Lo-kai yang mau tak mau terbawa suasana jenaka sang dara.

“Buat apa aku beritahu? Toh, aku akan menghadap giam-lo-ong!” ucapnya yang dibarengi dengan mimik sedih yang dibuat-buat.

“Ya, sudah kalau begitu. Bersiaplah!” kata Lo-kai sambil melintangkan tongkatnya mengambil sikat kuda-kuda menyerang.

“Apa boleh buat..,” ucap dara itu sambil melintangkan tangannya dengan cara yang sama dengan Lo-kai. Kedudukan kaki mereka sama seperti diputar setengah lingkaran.

“Jangan meniru-niru!” ucap Lo-kai yang segera menyerang dara itu dengan jurus Menusuk Lurus dan Berkelit Membabat.

“Siapa yang meniru?” jawab dara itu yang segera melakukan hal yang sama. Hanya karena dilakukan dengan tangan kosong ia tidak menimbulkan angin kesiuran seperti ditimbulkan oleh tongkat yang dibawa Lo-kai.

Lo-kai tertegung demi melihat gerakan dara itu. Jurus yang barusan adalah jurus yang jarang ia keluarkan. Hanya orang-orang seangkatan dengannya saja yang tahu. Tepatnya orang-orang yang pernah menjadi sahabatnya atau lawannya.

“Dari mana engkau tahu gerakan itu?” tanyanya lagi.

“Nah, sekarang jelas siapa yang meniru!” ucap dara itu tidak menjawab pertanyaan Lo-kai.

Tags: