nou

darah naga

Nein Arimasen
7 mins read ·

gua susun utara 10/13

url https://gua-susun-utara.blogspot.com/2007/08/darah-naga.html

“Ada apa ya dengan Kiang Hu?” ucap seseorang.

“Iya sejak beberapa hari ini, sejak ia berumur tujuh belas, tak lagi ia sering muncul bersama kita. Hanya kadang-kadang keluar untuk memandangi danau dan pergi ke toko buku atau perpustakaan. Waktunya habis dalam perpustakaan di rumahnya. Dalam kamar terkunci kata penjaga di sana,” jawab seorang yang lain.

“Mau kita sambangi?” usul orang pertama.

“Entahlah… Ingat waktu itu, ia menolak kita datang,” jawab orang kedua.

“Benar!” jawab rekannya.

Keduanya kemudian terdiam dan masing-masing sibuk dengan pikirannya masing-masing tentang apa yang sedang dilakukan oleh Kiang Hu sehingga tidak lagi bersama-sama mereka berdua berhaha-hihi kesana-kemari.

Sementara itu yang sedang dibicarakan tampak kusust kadang, juga letih. Ia sudah beberapa hari ini kurang tidur dan hanya membaca dan membaca. Ia ingin tahu apa yang dimaksud dengan darah naga dan siapa itu Pangeran Ketujuh. Untuk itu dia perlu membaca banyak buku yang untungnya telah disediakan ayahnya dalam kamar baca itu. Beberapa rujukan yang kurang dapat ia peroleh dari toko buku dan perpustakaan. Ya, ia berpikir, sejalan dengan surat penitipan dirinya saat kecil, ia perlu bersiap untuk menghadapi mereka yang menitipkan ia ke keluarga bangsawan Kiang dan ada rencana apa dengan dirinya, sehingga terlihat serumit itu. Sedari waktu itu ayahnya memberi surat ia belum berdiskusi dengannya. Malam ini rencananya ia akan bertemu dan membicarakannya. Ia merasa telah cukup banyak membaca, sehingga cukup berbekal pengetahuan tentang apa-apa yang kiranya berkaitan untuk kemudian didiskusikan.

Hanya ada beberapa hal yang masih menjadi ganjelan hatinya. Manusia naga, darah naga dan naga itu sendiri.

Ia membaca bahwa bahwa semua itu saling terkait. Rahasia kuno antara kaum manusia dan kaum naga, dua jenis berbeda yang saling bersaing mendapatkan tempat pertama di tanah ini. Makhluk-makhluk lain tidak terlalu ambil pusing dengan persaingan ini. Sampai suatu saat manusia berhasil hampir membasmi semua naga, hanya beberapa jenis dan macam yang tersisa, yang merupakan tokoh-tokoh utama dengan keahlian tinggi. Mereka-mereka ini kemudian menemukan cara bahwa manusia memang makhluk hidup paling seimbang elemen-elemen alamnya, dan keunggulan itu juga yang membuatnya dapat dimanfaatkan sebagai inang dari hampir semua makhluk, termasuk naga. Para naga akhirnya menemukan bahwa manusia naga dapat dibentuk sebagai hasil kawin manusia dan naga dengan cara tertentu. Juga dapat darah suatu bangsa diwariskan dalam sifat tersembunyi dalam tubuh manusia, baru muncul setelah beberapa generasi. Cara kedua ini banyak digunakan sehingga sulit diperkirakan berapa jumlahnya. Ini yang disebut sebagai darah naga.

Sebenarnya perkawinan antara naga dan manusia tidaklah lazim dikeranakan naga kadang pula memangsa manusia. Berawal dari persahabatan dan pengkhianatan antara dua orang manusia dan naga, yang mencoba-coba diri mereka sehingga menemukan hubungan yang dipergunakan sampai sekarang oleh para naga untuk menitipkan benih mereka pada manusia. Benih yang tidak akan segera mengejawantah melainkan bersembunyi dalam beberapa keturunan untuk menunggu sampai saatnya tiba untuk memunculkan sosok aslinya, manusia naga.

“Jadi aku ini…,” ucap Kiang Hu sampa sadar melihat ke tangannya dan tak sadar keringatnya mengalir dengan deras, “.. adalah keturunan naga…”

Ia tak tahu apa ia harus gembira atau sedih dengan keadaan ini. Suatu hasil pencampuran antara dua makhluk yang berbeda. Ia sebelumnya sama sekali tidak ambil pusing akan keberadaannya sebagai manusia. Hidup sebagai seorang anggota keluarga bangsawan Kiang sudah menyenangkan dirinya. Mengapa harus datang hari ini, di saat ia berumur tujuh belas, hari di mana ia dijelaskan siapa dirinya.

“Tok-tok-tok!!” tiba-tiba pintu perpustakaan tempat ia berada diketuk orang. Dengan cepat ia menjawab, “Ayah? Silakan masuk!”

Segera dengan berderit pelan pintu masuk itu terbuka dan ayahnya masuk dengan perlahan dan menutup pintu di belakangnya. Ia pun duduk di sebuah kursi di hadapan Kiang Hu dan memandangi anaknya itu dengan diam.

“Sudah siap engkau untuk berbicara?” tanya ayahnya pelan, memecah kesunyian bukan saja ruangan itu melainkan juga hari-hari Kiang Hu belakangan ini. Hari-hari semenjak ia mengetahui ‘dirinya’ yang sebenarnya.

“Aku tidak tahu, ayah…,” ucapnya jujur sambil menunduk memandangi kaki-kaki mereka berdua.

Ayahnya hanya tersenyum sambil mengelus-elus jenggotnya. Lalu katanya, “Aku dapat mengerti keguncangan dirimu tentang hal ini.”

Hening mengisi pembicaraan di antara mereka.

“Tapi engkau tetap harus mempersiapkan masa depanmu,” ucapnya kemudian dengan nada yang lebih pelan tapi tegas.

“Maksud ayah?” tanyanya tidak mengerti.

“Masa depanmu dan juga terkait dengan rencana mereka..,” ucap ayahnya hati-hati.

“Mereka?” tanya Kiang Hu lagi.

“Ya..! Mereka! Orang-orang yang menitipkanmu di tempat ayah ini, mereka memiliki rencana dengan dirimu. Rencana besar yang tercium bakal amis dengan darah..,” berkata hati-hati ayahnya. Mukanya tampak tegang. Terlihat bahwa ia memaksakan untuk menceritakan hal ini kepada Kiang Hu. Mungkin atas dasar rasa sayangnya yang selama ini tumbuh, walaupun ia tahu anak itu bukan anak darah dagingnya.

Lalu dengan perlahan orang tua itu bercerita kepada Kiang Hu apa rencana besar orang-orang yang menitipkan dirinya itu. Bahwa mereka mencari dan dengan paksa akan merebut bocah yang diyakini mewarisi ‘darah naga’ atas dasar kepercayaan pada suatu ramalan yang entah datang dari mana. Dalam ramalan itu dituliskan bahwa sang bocah akan menjadi pemimpin masa depan. Sudah tentu keluarga kerajaan yang sedang bertahta menganggap hal ini sebagai suatu ajakan untuk melakukan pemberontakan. Sedangkan keluarga kerajaan pinggiran, sebagaimana orang-orang yang mempunyai rencana pada bocah itu, adalah orang yang percaya akan hal itu dan akan memanfaatkan sang bocah untuk mendapatkan kekuasaan dengan menggulingkan pemipin yang memerintah saat ini.

“Dan bocah itu, ayah?” tanya Kiang Hu dengan tercekat.

“Mereka meyakini bahwa bocah itu adalah dirimu, anakku!” jawab orang tua itu pelan.

Keduanya terdiam cukup lama sampai kembali ada ketukan pada pintu ruangan itu.

“Makan malam kelihatannya telah tiba, anakku..,” ucap ayahnya sembari berlalu dari ruangan itu. “Lupakan dulu masalah ini untuk hari ini. Mari kita makan bersama-sama dalam keluarga.”

Kata keluarga bagai menikamkan sembilu pada dada Kiang Hu. Ia tahu, jika cerita itu benar, bahwa ia bukan lagi anggota keluarga ini. Tapi sepemberitahuan ayahnya, hanya mereka berdua yang tahu. Lain orang tidak. Jadi jika ia berlaku biasa, orang-orang lain pun tiada yang akan tahu. Ia pun kemudian mengangguk dan bersama-sama ayahnya meninggalkan ruangan itu setelah tak lupa menguncinya dahulu.

Sementara itu jauh dari pulau dan kota Kern, di mana rumah besar keluarga bangsawan Kiang berada, seorang bocah yang berumuran sama tampak duduk dengan menundukkan kepala di hadapan dua orang tua.

“Jadi begitulah, Thio Khi, cucuku!” ucap Pek Liong Nionio sambil menitikkan air matanya. Tak jauh darinya tampak Hek Liong Kongkong pung menunduk. Menarik napas perlahan.

“Jadi…, aku bukan anak ayahku?” ucap Thio Khi perlahan.

“Sekeyakinan kami..,” jawab Hek Liong Kongkong perlahan, “.. tapi bisa saja itu salah..”

“Ya.., itu masih bisa salah, cucuku!” ucap Pek Liong Nionio.

“Tapi.. tapi.. jika mereka mengejar ibuku sampai pamanku dan teman-temannya terbunuh di bawah sana, di Lorong Utara, bukan itu sudah bertanda bahwa aku adalah.. seorang pewaris..,” ucapnya tak bisa memuntahkan kata-kata ‘darah naga’.

“Ya.., itu dugaan mereka. Tapi mereka juga bisa salah,” menghibur Hek Liong Kongkong. Ia merasa bersalah bahwa bocah ini mendapat tahu sebelum jiwanya siap. Terlihat sekali bahwa ia sama sekali tidak siap menerima kenyataan bahwa ia bukan dirinya yang ia ketahui selama ini. Bukan anak dari ayahnya yang diceritakan telah tiada.

“Aku ingin bertanya kepada ibuku!” jawabnya pendek.

“Lebih baik jangan, Thio Khi!” saran Pek Liong Nionio. “Ini akan membuat ia semakin sedih. Ia membelamu karena ia merasa yakin bahwa engkau adalah anak dari suaminya, orang yang ia cintai. Jika ia tahu bahwa engkau bukan anak tersebut… Tapi aku juga tidak tahu apakah ia tahu…”

Hening kemudian menyelak pembicaraan tersebut. Ketiganya terdiam.

“Dan.. pewaris satu lagi..,” tiba-tiba Thio Khi bertanya.

“Itu, kami belum pasti..,” jawab Hek Liong Kongkong.

“Liong-ji, jika ia tiba, bisa menceritakan hasil penyelidikannya kepadamu,” menghibur Pek Liong Nionio.

Mengangguk Thio Khi mengiyakan.

“Lalu jika aku adalah bocah itu..,” ucap Thio Khi perlahan, “.. apa yang harus aku lakukan? Apakah hal ini akan merubah hidupku?”

Mendengar pertanyaan yang tidak disangka-sangka itu, kedua orang tua di hadapannya saling melempar pandangan. Tampak bahwa mereka belum siap bapabila saat ini harus memberikan jawaban mengenai hal tersebut.

“Tunggulah beberapa saat, Thio Khi! Kami akan menceritakan kepadamu setelah kabar terakhir dari Liong-ji tiba,” usul Pek Liong Nionio.

“Ya, Thio Khi. Tunggulah sebentar! Barang beberapa hari, engkau akan mendapatkan semua penjelasan,” menyetujui Hek Liong Kongkong.

“Baiklah jika demikian, kong-kong, nio-nio,” ucapnya sambil menjura. Thio Khi pun kemudian mohon diri.

Ia berjalan perlahan dari rumah kedua orang tua itu, memandangi tebing yang berundak-undak terjal di bawahnya. Kawasan Gua Susun Utara tempat ia tinggal. Ia tak tahu harus kemana dan bercerita kepada siapa. Cerita ini tidak boleh ia bagi kepada siapapun, begitu pesan kedua orang tua itu. Dan ia ingin melepaskannya.

Tiba-tiba kesiuran angin dingin menyentak tengkuknya. Saat ia berbalik sesosok bayangan tampak telah tiba di sana. Tangannya yang panjang luar biasa, lebih dari manusia normal telah tiba dua-duanya di pundak Thio Khi, menekan lembut.

“Engkau bisa bercerita padaku, adik!” ucap makhluk itu. “Aku pun telah diberi tahu bahwa engkau boleh berbagi…”

“Kakak Asupasu…,” ucapnya gembira.

Keduanya kemudian berjalan menuju satu bagian di batu-batu sana yang mengarah ke laut. Malam yang cerah menampakk bintang-bintang di langit dan juga lampu-lampu dari rumah-rumah di pulau Kern. Kerlap-kerlip di atas dan di bawah. Mengisi kekelaman laut yang hitam pekat.

Tags: