nou

rahasia masa kecil

Nein Arimasen
9 mins read ·

gua susun utara 9/13

url https://gua-susun-utara.blogspot.com/2007/08/rahasia-masa-kecil.html

“Kiang Hu, darimana engkau?” tanya seseorang dengan suara yang tajam dan dingin.

“Ayah…, eh.. saya dari alun-alun..,” jawabnya terkejut. Tak biasanya ayahnya tiba di rumah jam segini. Pasti ada apa-apanya. Dan semoga itu bukan terkait dengan ulahnya mengacau di pasar atau toko dekat alun-alun tadi.

“Engkau berkelahi lagi hari ini, bukan?” tanya ayahnya langsung.

Terdiam Kiang Hu tak dapat menjawab. Menunduk ia untuk menghindari tatapan mata ayahnya yang memandanginya penuh selidik. Ia akhirnya mengangguk pelan.

“Bagus, aku suka engkau jujur!” ucap ayahnya kemudian. “Kemarilah, ada yang harus aku beritahukan kepadamu, mengingat engkau telah cukup dewasa.”

Bingung dengan tiba-tiba perubahan sikap ayahnya Kiang Hu pun mengikuti langkah orang tua itu menuju ruang perpustakaan di rumah itu. Ruangan yang besar dan dindingnya hampir hilang ditutupi oleh beratus-ratus buku-buku kuno dan baru. Hal yang jarang mendapat perhatian Kiang Hu karena minatnya hanya bermain dan berkelahi.

“Tutup pintunya!” perintah ayahnya.

Kiang Hu pun menuruti. Ia menutup pintu depan tempat mereka tadi masuk dan juga pintu samping, pintu kedua yang mengarah ke ruang tengah.

“Dan duduklah!” pinta ayahnya kemudian. Di pangkuannya tampak seberkas kertas-kertas telah ia keluarkan dari sampul coklat berbuat dari kain lusuh yang terlihat telah lama dimakan usia.

“Tahukah engkau siapa dirimu?” tanya orang tua yang duduk di hadapan Kiang Hu kemudian.

“Tentu saja! Aku Kiang Hu dan engkau adalah ayahku,” jawabnya cepat. Bingung ia dengan sikap ayahnya yang tiba-tiba terasa agak asing di depannya.

“Sebenarnya, bukan!” jawab ayahnya pelan. “Tapi memang kebetulan she kita sama, she Kiang..,” ucapnya pelan.

Terhenyak hati Kiang Hu mendengar hal ini. Ia sama sekali tidak menyangka bawah ia bukan keluarga dari bangsawan Kiang yang terpandang di kota Kern. Jadi siapakah dirinya? Terbata ia bertanya, “Jadi.. siapa diriku, ayah?” Kata ‘ayah’ terdengar agak asing kali ini di mulutnya saat ia mengucap.

“Semua itu dapat engkau baca dengan jelas di sini!” ujarnya sambil mengangsurkan berkas-berkas yang tergeletak di atas kantong kain lusuh itu. “Baca dan rahasiakan! Hanya engkau dan aku dalam keluarga ini yang perlu tahu. Ancaman rahasia ini adalah nyawaku!”

Dengan bingung Kiang Hu menerima dokumen yang diberikan ayahnya. Ia bukan keluarga bangsawan Kiang, tapi she Kiang dan tidak boleh membocorkan rahasia ini. Suatu kenyataan yang bener-benar membawanya tenggelam dalam kegundahan.

“Aku akan pergi dan membiarkanmu membaca dengan tenang. Hal-hal lain dapat engkau cari informasi dalam buku-buku di sini. Beberapa memang aku persiapkan untukmu. Setelah makan malam kita lanjutkan diskusi ini,” ujarnya. “Kunci pintu setelah aku keluar!”

Kiang Hu pun mengangguk. Ia mengunci pintu ruang perpustakaan keluarga itu saat ayahnya keluar. Sempat didengarnya ayahnya memerintahkan bahwa ia jangan diganggu kepada para pelayan. Kiang Hu sedang belajar, katanya dan hanya boleh diganggu saat nanti makam malam. Jadi ia punya waktu sekitar empat jam untuk mencerna apa-apa yang dituliskan di dalam kertas-kertas dalam genggamannya ini. Kenyataan mengenai masa lalunya.

Sesaat Kiang Hu tampak memejamkan mata dan membukanya kembali, mengharapkan ini hanya mimpi. Tapi kenyataan dan keberadaan ia di ruang itu membuktikan bahwa ini adalah kenyataan. Dan kenyataan ini harus ia hadapi. Dengan perlahan ia membaca apa yang tertulis dalam berkas-berkas itu.

“Bangsawan Kiang keturunan keempat belas, keluarga luar dari kerajaan,

kami menitipkan seorang anak dalam bimbinganmu untuk dibesarkan dan bila telah tiba waktunya untuk memperkenalkannya kepada kami. Pada saatnya itu engkau boleh memberikan surat ini kepadanya. Yakinkan ia bahwa ia tetap anggota keluarga bangsawan Kiang, walaupun bukan tapi ber-she sama.

Dan lebih dari pada itu ia memiliki darah naga yang akan kami jelaskan saat ia telah bertemu dengan kami.

Semoga jelas,

Pangeran Ketujuh”

“Pangeran Ketujuh.., ia yang menitipkan aku ke keluarga ini!” desisnya. Ia melihat satu titik simpul dari rahasia masa kecilnya. Dan orang inilah yang kiranya dapat menceritakan sesuatu lebih jauh dari pada ayahnya yang hanya dibekali oleh surat ini. Dalam berkas-berkas lainnya ia hanya melihat surat tanda lahir, siapa ayah dan ibunya. Entah dari mana, ia sendiri tidak merasa yakin akan keaslian surat-surat itu. Walaupun tersusun lengkap dan detil, tapi semua itu dapat dibuat. Ia merasa harus bertanya langsung dengan Pangeran Ketujuh.

“Darah naga, apa pula maksudnya ini!” ujarnya kemudian. Ia pernah mendengar bahwa naga hidup dan ada. Suatu makhluk yang didominasi oleh elemen api dan sisanya sedikit udara dan sedikit sekali air dan tanah. Selain itu terdapat pula manusia naga, suatu paduan manusia dan naga. Tapi darah naga, belum pernah ia mendengarnya.

Tak terasa telah habis waktu satu jam untuk merenung-renung apa yang ia baca dan untuk menentramkan hatinya, bahwa ia bukan darah daging keluarga besar bangsawan Kiang. Dan sebagai tambahan ada pula darah naga. Tiba-tiba matanya berbinar. Ia ingat perkataan ayahnya barusan, bahwa ada informasi dalam buku-buku di ruang ini. Dengan segera ia bangkit dan mulai menelusuri judul-judul yang tercetak atau tertulis pada pungung-punggung buku yang terpajang.

Sementara itu, di atas bukit-bukit cadas dan keras, tampak tiga orang muda berdiri dihadang segerombolan anak-anak muda. Thio Khi, Ceng Sian dan Mei Lan, ketiganya berdiri saling bersandarkan punggung dan melihat berkeliling kepada orang-orang yang melingkupi mereka.

“Orang-orang Gua Susun Utara, berani-beraninya kalian bermain sampai ke mari!” ucap seorang dari mereka.

Ketiganya tidak menjawab melainkan hanya memandang satu sama lain, mereka saling mengangguk dan merasa bahwa tak ada gunanya bicara banyak. Diam lebih baik dan menanti sampai kemungkinan terburuk untuk membela diri. Dari tongkrongan orang-orang di hadapan mereka sudah jelas bahwa mereka adalah muda-muda yang suka sekali mencari gara-gara. Memang hari itu ketiganya bermain terlalu jauh ke utara, menuruni Lorong Utara dan bermain di bukit-bukit batu di bawahnya. Kawasan di mana orang-orang buangan dari kota dan pulau Kern tinggal.

“Serang!!” perintah seorang dari mereka.

Bersamaan dengan seruang itu ketiganya, Thio Khi, Ceng Sian dan Mei Lan berbegas menggerakkan tangan dan kaki mereka untuk menghalau belasan kepalan dan tendangan yang datang bertubi-tubi atas kepala, dada dan bagian lain tubuh mereka bagai hujan.

“Bug-bug-bug!!” demikian suara pukulan dan tendangan mendarat pada tubuh mereka.

Berbekal dengan keberanian ketiganya merangsek maju dengan saling melindungi. Dengan cara ini mereka hanya dapat diserang dari muka. Dan dengan bekerja sama sesekali mereka dapat menangkap seorang musuh mereka dan menghajarnya bersama-sama sebelum rekan-rekannya menyadari. Sudah tiga orang yang terkena dengan cara ini.

“Mundur!!” perintah seorang dari mereka. “Jangan tertipu dengan cara mereka, kita gantian menyerang!!”

Dengan cara yang baru ini, ketiganya menjadi lebih sulit untuk menangkap musuh-musuh mereka. Masih belasan jumlahnya dikurangi tiga yang telah semaput dan dibaringkan di pinggir arena perkelahian. Masih terlalu banyak untuk menang dan kabur dari tempat itu.

“Bagaimana ini, Thio Khi?” ucap Mei Lan pelan sambil memperhatikan musuh-musuh mereka yang tampak bersiap-siap untuk kembali menyerang setelah menunggu beberapa saat.

“Kita tangkap pemimpinya, pemuda itu!” ucap Thio Khi sambil mengerling ke arah seorang pemuda yang sedari tadi memerintahkan cara ini dan cara itu untuk menyerang mereka. “Kita pura-pura terdesak sampai dia maju dan memecah diri untu menangkapnya.”

“Baik!” ucap keduanya temannya.

Lalu ketiganya kembali mantap melihat ke arah musuh-musuhs mereka yang kembali semakin mendekat.

“Hiat!!” tiba-tiba Mei Lan menyerang mereka dengan tendangannya. Atas serangan yang tiba-tiba itu, seorang terkejut dan jatuh. Kesempatan itu digunakan oleh Thio Khi yang segera mengejar orang itu dan memapakinya sampai berjungkir balik dan pingsang. Saat yang bersamaan Ceng Sian bergegas mendekat untuk melindungi belakang Mei Lan.

Melihat kesialan salah satu dari rekan mereka, para musuh Mei Lan, Ceng Sian dan Thio Khi menyerang dengan beringas dan bersama-sama, melupakan perintah dari pemuda pemimpin mereka.

“Bodoh!! Mundur!!” bentak pemuda itu. Ia sudah melihat kerjasama ketiga orang itu dan menduga bahwa cara ini tidak akan mempan.

Tapi di luar dugaan Mei Lan tampak tersandung dan jatuh ke belakang. Untung saja Ceng Sian bergegas menangkapkan yang Thio Khi menepiskan serangan yang bertubi datang. Mereka bertiga bergegas mundur. Keberhasilan ini membuat para lawannya bersorak dan maju merangsek. Tak luput pula sang pemuda pemimpinnya.

“Sekarang!!” tiba-tiba Mei Lan berteriak.

Ceng Sian yang telah siaga segera melontarkan Mei Lan ke atas dan ke depan. Dengan bersalto indah dara itu melompat melewati kepala musuh-musuhnya dan tiba di belakang mereka. Sebelum mereka sadar apa yang direncanakan ketiga muda-muda itu, Thio Khi bergerak maju dan menyerang pemuda pemimpin mereka.

Diserang dari depan dan belakang secara tiba-tiba membuat pemuda itu tak siaga. Demikian pula dengan rekan-rekannya. Secara cepat Mei Lan menelikung tangan pemuda itu dan memeluk lehernya. Siap mematahkan leher pemuda itu.

“Tahan!!” teriaknya. Baru sekarang ia sadari taktik itu. Mereka memang telah merencanakan untuk menangkap dirinya, pemimpin dari muda-muda ini.

Para pemuda itu terdiam dan tidak tahu akan berbuat apa. Thio Khi datang mendekat dan berbicara dengan orang yang ditelikung oleh Mei Lan, “Kami tidak bermaksud bermusuhan dengan kalian. Jika kami dibiarkan pergi, engkau juga akan kami lepaskan dengan aman. Tapi sayang engkau harus ikut sampai kami aman ke dalam Lorong Utara.”

Orang itu mengangguk. Ia tahu punya pilihan lain. Tidak jika ia masih ingin lehernya utuh dan tidak patah. Segera ia menyerukan kepada teman-temannya untuk kembali dan ia akan menyusul kemudian. Dengan ragu-ragu walau akhirnya menurut mereka pun buyar dan menghilang dari sana sambil membawa rekan mereka yang terluka dan pingsan.

Setelah sepi bergegas Mei Lan, Thio Khi dan Ceng Sian kembali ke kawasan di mana mereka tinggal. Kali ini tawanan mereka dibawa oleh Thio Khi. Mei Lan telah terlihat lelah tadi menelikungnya.

“Ayo cepat!” seru seorang dari mereka. “Sebentar lagi sampai di Lorong Utara.”

Mereka pun mempercepat langkah-langkah mereka. Tepat pada saat mereka hendak mencapai anak tangga terakhir, tawanan mereka berontak sehingga ia dan Thio Khi terjatuh. Dengan bergumul ia dan Thio Khi bergulir turun sampai ke suatu pelataran antara bukit-bukit batu di bawah dan Lorong Utara di atas. Dengan pucat Mei Lan dan Ceng Sian memperhatikan mereka.

“Cari Asupasu!” ucap Ceng Sian.

Mei Lan mengangguk dan menghilang di dalam Lorong Utara, sementara Ceng Sian turun menjelang kedua orang yang masih bergumul itu.

“Thio Khi, sudah lepaskan dia!” ucap Ceng Sian.

Tapi kelihatannya kedua orang itu tidak mau mendengar dan masih saja bergumul. Sampai tiba-tiba muncul seorang tua di tempat itu dengan tongkatnya yang butut. Ia mencungkil dengan pelan dan membuat kedua pemuda itu terlepas satu sama lain dan ’terbang’ ke arah yang berlainan.

“Kongkong!!” ucap pemuda lawan Thio Khi demi melihat siapa yang datang. “Pemuda itu..”

Tapi sebelum ia selesai menunjuk kepada Thio Khi dan menceritakan alasannya, dengan kasar kakeknya menghardik, “Sudah, pulang kita! Jangan sekali-kali lagi engkau menganggu darah naga!”

Dengan membungkus sedikit hormat kepada Thio Khi orang itu bergegas mengempit cucunya dan hilang dari sana. Lenyap seperti tadi ia datang. Thio Khi dan Ceng Sian hanya dapat bengong mengamati tanpa mengucapkan kata-kata.

Di belakang mereka tampak Mei Lan dan Asupasu juga beberapa orang datang menjelang. Kekuatiran tampak dalam wajah mereka. Bergegas mereka membantu Thio Khi berdiri dan melihat keadaannya. Setelah itu mereka memapahnya pulang ke Lorong Utara. Dalam perjalan pulang itu sempat Thio Khi bertanya kepada Asupasu yang memapahnya, yang ia sengaja cegah untuk berjalan agak jauh dari yang lain, “Kakak, apa arti darah naga?”

Asupasu terdiam dan menatap dengan tajam wajah Thio Khi, “Dari mana engkau mendengarnya?”

“Kakek pemuda yang bergumul denganku tadi mengatakannya. Ia memerintahkan pemuda itu untuk tidak menggangguku karena darah naga,” jelasnya.

“Itu…, terkait dengan masa kecilmu. Jangan ceritakan kepada siapa-siapa!” ucap Asupasu. “Siapa lagi yang tahu?”

“Aku tidak tahu apa Ceng Sian mendengar. Ia berdiri cukup dekat denganku saat itu,” jawab Thio Khi.

Mengangguk Asupasu mendengar hal itu. “Tanyakanlah kepada Hek Liong Kongkong dan Pek Liong Nionio soal hal itu. Mereka akan menjelaskan,” jawabnya kemudian.

Thio Khi mengangguk. Dalam hatinya ia bertanya, mengapa istilah itu demikian penting atau kurang terkenal sehingga harus kakek dan nenek itu yang menjelaskan.

Tags: