nou

perkumpulan para lumbung

Nein Arimasen
8 mins read ·

gua susun utara 7/13

url https://gua-susun-utara.blogspot.com/2007/08/perkumpulan-para-lumbung.html

“Kamu lihat Lumbung 1?” tanya seorang berpakaian rapih dengan tangan mengepit tumpukkan kertas-kertas.

“Oh, pak bos? Ada di dalam sama pak bos 2,” jawab pekerja itu sambil menunjuk ke dalam sebuah bangunan besar dan berlangit-langit amat tinggi. Menjulang kaku dan suram. Dindingnya telah kusam.

“Lumbung 2 juga di sini?” ucap orang itu agak heran. “Terima kasih!” katanya kemudian sambil meninggalkan pekerja yang kembali melanjutkan tugasnya mengangkut karung-karung beras dan jagung serta biji-bijian lainnya keluar dan masuk gudang-gudang.

Bergegas orang itu berjalan menuju bangunan yang tadi ditunjuk oleh pekerja itu. Pintu besi yang tingginya hampir tiga kali orang dewasa tampak terbuka setengahnya. Tidak terlalu lebar sehingga orang bila berhadapan langsung dan lurus tidak bisa lalu melihat isinya. Tapi dari samping jelas terlihat orang-orang tampak bekerja di dalamnya.

“Ada perlu apa? Dan dengan siapa?” tiba-tiba muncul seorang penjaga bertubuh kekar yang diikuti oleh beberapa temannya. Terlihat bahwa mereka masih keringatan dan tampak ada yang memegang gelas berisi air. Habis makan siang rupanya. Seseorang juga terlihat menyeka keringat pada dahinya.

“Mencari Lumbung 1 dan Lumbung 2,” ucap orang itu pendek.

“Mereka sedang sibuk. Sedang makan siang,” ucap penjaga itu pendek. Tampak bahwa mereka tidak mengijinkan sembarang orang untuk bertemu dengan majikan mereka.

“Tak apa,” ucap orang itu pelan, “.. tapi aku tak bisa menunggu..” Dan belum hilang gema suaranya ia bergerak cepat mencabut kertas-kertas yang dikepitnya. Dilemparkannya sedemikian rupa sehingga berbentuk kaku dan melayang berputar menerjang keempat orang yang menghadangnya itu.

“Crattt!! Syett!!” dan terdengar teriakan-teriakan kesakitan saat telinga kiri masing-masing penjaga itu jatuh ke lantai akibat putus disabet oleh kertas-kertas yang dilemparkan.

Dan sebelum mereka sempat terlepas dari rasa sakitnya itu, orang itu kembali bertindak. Tangannya bergerak cepat bagai berbayang seribu dan menotok sana-sini. Keempatnya pun terdiam bagai patung dengan telinga kiri masing-masing meneteskan darah pada lubannya.

“Apaaa!! Siapa kamu!!” tiba-tiba seorang bertubuh tambun dan berkepala botak muncul di balik tumpukan karung-karung biji-bijian bahan makanan. Ia tampak kaget dan segera menjadi pucat saat melihat keadaan keempat penjaganya. Tapi sebelum ia sempat berlari menjauh tubuhnya telah menjadi kaku.

Orang itu tidak berhenti sampai di sana, ia segera bergerak cepat mengitari gudang-gudang itu dan melumpuhkan semua penjaga yang ada. Dalam kembalinya ia membawa seorang yang mirip dengan orang yang terakhir di totoknya. Lumbung 2 dan Lumbung 1 sekarang berdiri kaku di depannya. Keringat dingin tampak mengucur deras di leher dan dahi mereka.

“Aku tak perlu bicara banyak, bukan?” ucap orang itu yang tidak lagi mengepit kertas-ketasnya. Sebagian telah digunakannya sebagai senjata dan sebagian lain dibiarkannya berhamburan.

Ia tampak berpikir sejenak untuk kemudian duduk. Saat dilihatnya terdapat beberapa makanan yang belum disentuh oleh kedua orang yang ada di hadapannya, ia pun mengambilnya dan mulai makan. “Terima kasih atas makan siangnya,” ucapnya pendek. Yang diucapkan terima kasih sudah tentu tak bisa berbuat apa-apa.

Sambil mengunyah ia menuliskan sesuatu pada kertas-kertasnya. Sembarang lembar dipilih dan ia tulis apa yang terlintas di benaknya. Kadang kesal dan ia remas-remas kertas tersebut lalu dibuangnya. Saat puas ia membacanya sekali lagi dan menempatkannya pada suatu tumpukan dan memulai dengan lembar yang baru.

“Selesai!!” ucap orang itu kemudian.

Lalu ia bergegas membawa kertas-kertas yang ia puas tuliskan menuju para penjaga yang tadi telah ditotok dan kehilangan telinganya. Empat di dekat pintu masuk dan lainnya di berbagai tempat dalam gudang besar itu. Dengan cara tertentu ia membuat kertas tersebut bisa menyelip pada telinga yang lain, yang belum dipotong. Menyebabkan kertasnya, berisikan tulisan-tulisan menempel pada telinga para penjaga.

Kemudian ia berbalik kepada kedua orang yang merupakan majikan dari para penjaga-penjaga itu.

“Sekali lagi kudengar kikirmu kepada para pekerja dan orang-orang yang berhutang,” katanya sambil melotot lembut kepada mereka, “aku akan kembali menuliskan lagi puisi tentang perbuatan-perbuatan jahat kalian.”

Lalu ia mengambil dua buah lembar tulisan yang tersisa dan menempelkannya pada jidat kedua orang itu. Khusus kedua orang itu, telinga mereka tidak dipotong melainkan dibiarkan saja.

Lalu ia pergi dengan melenggang dari sana meninggalkan orang-orang yang membisu dalam totokan dan ketakutan. Ia sengaja keluar dari pintu lain sehingga tidak ada pekerja atau penjaga lain yang tahu kepergiannya. Selang berapa lama tempat itu menjadi geger karena hal tersebut. Dan tulisan-tulisan pada kertas yang ditempelkan baik pada telinga penjaga ataupun jidat majikan mereka menjelaskan secara samar-samar dalam puisi sebab-musabab tindakannya itu.


“Orang itu… Pujangga Sinting… harus dibereskan!!” ucap seorang bertubuh tambun dan berkepala botak sambil mengepalkan tangannya.

Ucapannya itu disambut dengan anggukan beberapa orang yang duduk mengitarinya dalam ruagnan besar itu. Beberapa dari mereka tampak pula pucat saat mendengar nama orang disebutkan itu.

“Lumbung 1, sabar.. sabar!!” ucap seorang yang duduk di dekatnya.

“Tidak, Lumbung 8! Sekarang sudah saatnya kita menangkap orang itu,” ucapnya berapi-api. “Ia telah menggangguk kenyamanan usaha kita dan harus dibereskan.”

Beberapa gumaman setuju dan tak setuju tampak mengambang di udara, mengasilkna dengungan mirip ribuan tawon yang beterbangan.

“Tokkk!!! Tokk!!” suara sebuah tongkat besar menggema saat menutuk lantai batu dalam ruang itu, menghentikan keributan itu. Semoga pun menoleh melihat siapa yang datang.

“Lumbung Sejati!!” ucap beberapa orang hampir bebarengan.

Orang yang disebut itu berjalan dengan agak susah payah dengan tongkatnya yang besar. Ia tampak sulit menggerakkan kakinya, tapi tetap berusaha berjalan. Setelah beberapa saat ia pun duduk di bangku yang masih kosong di tengah ruangan itu. Diapit oleh orang-orang yang telah ada terlebih dahulu.

“Pangeran Ketujuh mengirimkan salam,” ucapnya tenang. “dan ia menanyakan apakah kita butuh bantuannya untuk menyelesaikan masalah kita.”

Gumaman kembali terdengar, tapi kali ini lebih pelan. Tampaknya masih tampak keragu-raguan antara mereka untuk menerima uluran tangan orang yang disebut sebagai Pangeran Ketujuh itu.

“Kita perlu membicarakannya, Lumbung Sejati..,” ucap orang yang tadi dipanggil Lumbung 8.

“Betul.., betul sekali!!” ucap yang lain.

Lumbung sejati hanya mengangguk pelan. Tampaknya agak sulit bagi ia untuk banyak dan segera berucap.

“Apa imbalan yang harus kita berikan kepada Pangeran Ketujuh atas bantuannya?” ucap Lumbung 1 tiba-tiba. Ia tidak melihat ada gunanya untuk berbelit-belit. Semua orang pun telah tahu bahwa Pangeran Ketujuh tampak sedang menggalang kekuatan untuk memenangkan pemilihan raja berikutnya. Diantara anak-anak raja yang sekarang ia sebenarnya tidak termasuk yang disukai, akan tetapi dengan janji-janjinya banyak telah kelompok-kelompok yang menyatakan dukungannya.

“Dukungan tentunya,” ucap Lumbung Sejati.

Semuanya terdiam. Ya, perkumpulan para lumbung adalah kelompok orang-orang yang berkuasa dalam hal perdagangan makanan di kota Kern. Mereka mengendalikan aliran pangan dari dan ke kota Kern. Dan makanan adalah elemen penting dalam kehidupan. Siapa yang bisa menguasainya, bisa menghancurkan suatu kota atau malah membangunnya.

“Kita selama ini bebas.., tidak memihak!” ucap seseorang.

“Ya.., kita punya hak-hak khusus! Tak perlu memihak!!” ucap yang lain.

“Benar.., itu benar!!” ucap Lumbung Sejati lemah. “Tapi gangguan Pujangga Sinting akhir-akhir ini sudah menyulitkan kita. Para pekerja jadi berani menuntut imbalan yang lebih tinggi dan juga waktu kerja yang manusiawi menurut mereka. Malas, orang-orang itu malas!!”

Mengangguk-angguk para lumbung yang mendengar hal itu. Ya, mereka setuju. Pekerja hanya perlu mendapat gaji kecil, sesuap nasi dan bekerja sepanjang hari. Kalau perlu juga sedari matahari terbit dan sampai langit gelap. Itu pekerja yang mereka butuhkan. Bekerja giat dan tidak mengeluh. Perbuatan Pujangga Sinting akhir-akhir ini membangkitkan semangat para pekerja untuk berkumpul dan menentang para majikan pemilik gudang, para lumbung.

“Ada dua jalan keluar,” ucap Lumbung Sejati kemudian, “menuruti kemauan orang-orang malas itu, yang belum jelas sampai di mana batasnya atau..,” ia tampak mengambil napas dan kemudian melanjutkan “menambah jumlah para penjaga dan melakukan disiplin keras.”

Usul terakhirnya itu tampak membuat beberapa lumbung berkilat matanya. Ya, mereka telah pula menghitungnya. Menambah jumlah penjaga akan jauh lebih murah dan mudah daripada menaikkan gaji atau menuruti kemauan para pekerja yang jumlahnya jauh lebih banyak. Bagi mereka para pelaku usaha, yang penting keuntungan bisa berlipat dengan pengeluaran sesedikit mungkin.

“Tapi yang kita tidak tahu adalah berapa jumlah Pujangga Sinting. Karena dari peristiwa-peristiwa terakhir terlihat bahwa ia bisa menyerang beberapa gudang lumbung dalam satu hari di beberapa tempat hampir bersamaan. Para paturan yang datang kemudian juga tak bisa menemukannya,” ucap Lumbung Sejati.

“Dan tawaran Pangeran Ketujuh?” ucap seorang dari para lumbung.

“Jäger..,” ucap Lumbung Sejati pelan.

Para pendengarnya agak-agak pucat mendengar usulan itu. Jäger atau para pemburu bayaran adalah sesuatu yang cukup mahal bagi mereka, bahkan sebagai pemilik gudang lumbung. Hanya orang-orang kerajaan atau partai-partai persilatan besar yang biasanya menggunakan jasa mereka. Selain mahal, juga mereka banyak tingkahnya dan berkepandaian tinggi. Hanya kepada kerajaan, yang masih mereka hormati dan partai persilatan, mereka tunduk dan menghormat. Golongan mereka, para lumbung, sebagai pelaku perdagangan tidak terlalu dianggap, karena para Jäger umumnya tidaklah terlalu membutuhkan uang.

“Tapi..,” ucap seorang dari mereka.

“Jaminan Pangeran Ketujuh yang akan menjadi pengikat permintaan ini. Tidak kepada kita,” jelas Lumbung Sejati.

Beberapa suara lega tampak terlihat jelas. Perjanjian dengan seorang Jäger apabila dipungkiri bisa berakibat kematian. Sebelum tugas mereka selesai mereka tidak bisa dibatalkan karena menyangkut harga diri mereka. Dan tugas yang berlangsung lama dan sulit sudah pasti membuahkan tagihan yang mencengangkan, sekalipun bagi para lumbung.

“Pangeran Ketujuh punya cukup keyakinan untuk memenuhi permintaan kepada seorang Jäger, dan ia yakin Pujangga Sinting dapat segera ditangkap,” jelas Lumbung Sejati.

Mengangguk-angguk para lumbung di sekelilingnya.

“Baiklah, jika demikian kami setuju!” ucap seseorang dari mereka, “Dan soal dukungan, sejauh tidak menghalangi usaha dan memberatkan pajak, kelihatannya masih menguntungkan.”

Rekan-rekannya mengangguk mengiyakan. Dan akhirnya mereka pun menemukan kata sepakat.

“Selain itu,” lanjut Lumbung Sejati, “saya ingin meletakkan jabatan saya sebagai pengetua para lumbung dengan mengadakan pemilihan baru. Terlihat bahwa urut-urutan nomor kalian pun telah tidak sesuai dengan pendapatan kalian.”

Ucapan itu tentu saja mengagetkan mereka. Jarang-jarang ada seorang yang ingin melepaskan posisi Lumbung Sejati, lumbung yang dituakan dan menerima bagian dari para lumbung di bawahnya. Segera saja muncul gumaman-gumaman yang lebih keras ketimbang permasalahan sebelumnya.

“Sebagai Lumbung Sejati saya menetapkan bulan depan tanggal 15 untuk pemilihan itu. Masing-masing lumbung harap membawa laporannya dan akan diperiksa bersama-sama dan dipilih yang terbaik,” ucapnya kemudian sambil menghentakkan tongkatnya. Menutup rapat.

Mereka pun kemudian bubar dari ruang tersebut.

Tags: