nou

siluman wanita rambut emas

Nein Arimasen
8 mins read ·

gua susun utara 6/13

url https://gua-susun-utara.blogspot.com/2007/08/siluman-wanita-rambut-emas.html

“Degggg!!! Desss!!!” sebuah sikut dan dengkul secara bersamaan mengenai dada dan wajah seorang pemuda yang langsung terjengkang dan hidungnya mengalirkan darah. Ia tidak lagi bergerak-gerak. Sudah pingsan nampaknya.

“Hebat Kiang Hu!!” ucap seseorang di dekatnya. “Engkau dapat menghajar orang itu dalam satu kali serangan.”

Yang dipuji tampak cengagas-cengeges senang. Ia kemudian mengajak kedua temannya berlalu dari sana.

Setelah ketiganya tak tampak lagi baru beberapa teman pemuda yang pingsan itu berani beranjak dari tempat mereka tadi berada dan mengguncang-guncangkan bahu sang pemuda, “Ketua…, ketua…!!”

“Wah payah nih, ketua kita sudah dikalahkan dengan mudah oleh pemuda itu,” ucap seorang dari mereka. “Kita harus menuntut balas!”

“Benar!” sahut salah seorang dari mereka yang segera diamini oleh yang lain.

“Tapi jika ketua saja sekali gempur sudah kalah..,” meragau salah seorang dari mereka. Akibatnya yang lain juga menjadi tidak yakin. Di antara mereka memang ketua mereka yang paling kuat dan jago berkelahi. Oleh karena itu pemuda yang pingsan itu diangkat sebagai ketua dair mereka.

“Ya sudah, ayo kita bawa ketua,” usul seseorang, “kita bicarakan nanti saja setelah ia siuman.”

Bersama-sama mereka kemudian membawa pemuda yang pingsan itu ke sarang mereka dan menunggunya sadar.

Tempat yang sama beberapa hari kemudian.

Seorang muda tampak duduk termenung. Lebam masih terlihat pada wajahnya. Kepalanya masih dirasakannya pusing sedikit. Semuanya adalah sisa perkelahiannya beberapa hari yang lalu.

“Kiang Hu..,” desisnya pelan nama yang mengalahkannya kemarin. Dan bukan hanya itu yang mengganggunya, melainkan bahwa ia dikalahkan hanya dalam satu serangan yang mengejutkan. Ia ketua dari gerombolan anak-anak muda di salah satu lorong di kota itu. Kota Kern. Banyak anak-anak muda lain yang takut dengan gerombolan mereka karena banyak anggotanya. Dan ia yang berhasil menjadi ketua saat ini, dengan mudah dapat dibuat pingsan. Benar-benar penghinaan yang ia tidak bisa terima.

“Dengan kemampuan hanya seperti ini.., memang kamu hanya perlu satu jurus untuk dijatuhkan,” ucap sebuah suara jernih merdu dengan nada mengejek.

Pemuda itu tersentak kaget karena tak menyangka bahwa di pelataran rumah yang ia pikir hanya ada dirinya sendiri, karena teman-temannya sedang meminta dengan paksa makan siang untuknya di pasar. Pemilik suara itu tampak berjalan dengan lemah gemulai. Cantik, tinggi dengan rambut berwarna emas yang digerai. Langkahnya yang menggoda bisa membuat siapa saja meloncat jantungnya bila tidak mengalihkan perhatian dari bagian yang berayun ke sana-kemari. Tapi bagi pemuda itu yang mendongkol dengan perkataan wanita tersebut, tidaklah pesonanya yang menggoda bisa membuatnya mereda. Ia semakin kesal karena yang mengucapkannya adalah seorang wanita. Seorang yang ia remehkan dalam hal kekerasan secara fisik.

“Hehh!! Apa kamu bilang!!” bentaknya. Ia tak takut dengan wanita tersebut, yang ketenangannya seharusnya mengganggunya. Tapi kemarahan ternyata telah membutakannya.

“Plakk!!!” tiba-tiba sebuah tangan halus telah menempel dengan cepat dan halus pada pipinya. Akibatnya telah diduga, sebercak telapak tangan berwarna merah muda menyala di sana.

Pemuda itu berteriak dengan keras dan mulai menyerang. Harga dirinya yang telah terluka beberapa hari lalu atas kekalahannya oleh Kiang Hu meledak dalam kemarahan, terlebih dihina oleh seorang wanita. Dan cantik lagi.

Tapi alih-alih ia bisa mengenai tubuh wanita tersebut dengan pukulan ataupun tendangannya, ia malah dihujani pukulan, usapan, cubitan, cakaran dan tendangan. Sudah tidak lagi berbentuk baju dan tubuhnya. Bolong sana sini dan bilur-bilur kebiruan, merah dan juga lecet sana-sini.

“Twako!!” ucap seseorang.

“Ketua!!” ucap lainnya.

Belasan pemuda tampak memasuki pelataran rumah itu. Mereka menyaksikan bahwa ketua mereka telah menjadi bulan-bulanan seorang wanita cantik. Wanita yang tingginya lebih dari rata-rata wanita di daerah itu. Rambutnya yang berwarna emas juga menandakan bawah ia bukan asli daerah itu.

“Hehehehe…!! Sekarang rasakan dirimu akan hancur oleh anak buahku,” ucap pemuda yang telah hancur lebur penampilannya itu dengan yakin. Belasan lawan satu, pasti ia memang. Saat melawan Kiang Hu ia hanya membawa sedikit teman, dan bukan yang jago berkelahi, melainkan yang cepat ciut nyalinya. Tapi saat ini wakil-wakilnya telah ada semua di sini. Dan dengan mereka semua wanita yang berdiri di hadapannya tak akan punya kesempatan untuk menang.

“Hik-hik-hik!!” tertawa genit wanita berambut emas tersebut. “Dari mana muncul keyakinan besarmu itu?”

“Lihat saja!! Serang!!” ucap pemuda itu yang segera mundur untuk memberikan kesempatan pada teman-temannya untuk menyerang.

Berpuluh-puluh pukulan dan tendangan tampak mengisi ruang berlomba-lomba menyentuh tubuh wanita tersebut yang meliuk-liuk gemulai. Entah bagaimana gerak-gerik yang menarik itu bisa mengelakkan pukulan dan tendangan yang akan datang padannya, alih-alih keras serangan-serangan itu tampak tertahan dan hanya mendarat dengan empuk.

“Ahhh!! Enakk!! Ayo lagi pijatannya!” ucap wanita itu dengan senyumnya yang menggoda. Ia tampak menikmati tendangan-tendangan dan pukulan pemuda-pemuda yang mengelilinginya. Keruan saja hal itu membuat para lawannya semakin marah karena merasa dihina.

Tapi semakin mereka bersemangat menyerang, semakin besar pula tenaga yang mereka harus keluarkan dan tidak menghasilkan apa-apa. Kembali wanita tersebut hanya berteriak-teriak kegelian dengan genitnya. Menggoda pemuda-pemuda yang akhirnya terduduk dengan kelelahan dan keringat bercucuran.

“Jaring!!” tiba-tiba ketua pemuda-pemuda itu berteriak. Pada saat yang bersamaan kawan-kawannya segera bergulir mundur dan meninggalkan wanita berambut emas itu sendiri di tengah pelataran. Sebuah jaring besar tampak dilemparkand dari wuwungan rumah dengan empat orang turun membentangnya.

Wanita berambut emas itu dengan tenangnya hanya memutar tangannya dan mendengus lalu bagai ditiup angin keras keempat orang yang memegang jaring itu bagai terpilin oleh tenaga tak kelihatan dan terlibat oleh jaring yang mereka bawa. Dengan berdebum keempatnya jatuh dan tergulung rapi dalam jaring yang seharusnya diperuntukkan kepada wanita tersebut.

“Masih ada lagi?” ejek wanita tersebut. Dari suaranya yang agak berubah terlihat bahwa ia kagum atas siasat licik para pemuda itu.

“Asap!!” tiba-tiba kembali ketua para pemuda memerintahkan. Dan bola asap pun menyerang dari berbagai arah, berwarna-warni. Dari baunya bisa dipastikan bawah mereka beracun.

“Bagus!!” ucap wanita itu. Dan seperti tadi ia mengerakkan tangannya kali ini juga langkahnya meloncat pelan memutar dan kemudian tinggi ke atas. Akibat gerakannya itu asap-asap yang tadi dilontarkan melaui lemparan bola-bola terperangkat dan membentuk semacam tiang berwarna-warni. Lalu dengan sebuah hentakan tiang itu buyar dan menyerang ke segaala arah, ke tempat di mana para pemuda berada. Mereka pun menjerit kesakitan karena tak menyangka bahwa asap beracun itu menjadi senjata makan tuan.

“Tahan!!” ucap sang pemuda itu sambil menutup mulutnya dengan sapu tangan yang telah dibasahkan sejenis pemudah racun. “Apa maumu?” katanya sambil menyuruh teman-temannya yang tidak teracuni untuk mengobati yang tampak kejang-kejang dan menjerit-jerit kesakitan.

“Aku suka sikapmu,” jawab wanita itu tak menjawab pertanyaan sang pemuda, “kalau aku, sudah kubiarkan mereka mati.”

Ucapan dingin wanita itu menggetarkan hati sang pemuda. Ia tidak ada rasa kasihan atas teman-temannya dan mereka akan saling hantam untuk memperebutkan kedudukannya. Tapi membiarkan mereka mati dan tidak punya lagi kekuasaan, tidak akan ia lakukan hal itu. Ia menyelamatkan mereka bukan karena kasihan tapi karena kepentingannya juga.

“Itu bukan urusanmu! Aku tanya, apa maumu?” tanyanya lagi.

“Aku tertarik dengan perseteruanmu dengan pemuda yang mengalahkanmu itu,” jawabnya genit. “Engkau terlihat gagah, walaupun kalah.”

Tak memperdulikan ejekan itu, kembali ia bertanya, “Kiang Hu? Apa hubunganmu dengan dia?”

“Hubunganku dengan dia, itu urusanku. Urusanmu adalah membalaskan kekalahanmu, bukan?” jawab wanita itu lagi. Saat mengucapkan itu ia tampak menilai dengan teliti tubuh pemuda di hadapannya. Dipandangi jari-per-jari dari muka hingga ujung kaki. Tak terasa ia meleletkan lidahnya dan mendesah pelan, “tubuh yang bagus…!!”

Merah wajah pemuda itu mendengar ucapan pelan wanita itu dan juga cara pandangnya yang seakan-akan menilai dirinya seperti barang saja. Ia pun kembali berkata untuk mengusir jengahnya, “Bagaimana engkau dapat membantuku?”

“Dengan suatu imbalan tentunya..,” ucap wanita itu lagi. Kali ini ia sudah tidak malu-malu lagi dan mulai membelai-belai kepada sang pemuda yang tingginya hanya sebahunya. Mau tak mau dalam jarak sedekat itu sang pemuda terpaksa berhadapan dengan dada membusung sang wanita yang dibalut oleh bajunya. Pikirannya pun mulai liar berkelana kemana-mana.

“Aku tahu apa pikiranmu,” berkata wanita itu. Tampak bahwa ia telah berpengalaman dengan lelaki sehingga langsung bisa membaca perubahan nada dan cara pandang pemuda itu. “Bila engkau setuju, aku akan mengajarimu menghadapi lawanmu dan tubuhmu milikku.”

Pemuda itu hanya bisa mengangguk. Ia kelihatan sudah hilang sadarnya. Membalaskan dendam kekalahannya menjadi nomor dua. Berduaan dengan wanita tinggi berambut emas ini adalah yang mengisi benaknya sekarang. Ia benar-benar sudah tidak ingat apa-apa saat ia dibawa pergi dan meloncat bagai terbang oleh wanita itu. Teriakan-teriakan teman-temannya sudah tidak lagi didengarnya.

“Heii!! Twako, mau ke mana?” teriak seseorang.

“Tunggu, ketua!!” ucap yang lain.

“Hehehe.., biarkan saja ketua kalian itu. Ia pasti sedang bersenang-senang sekarang dengan Siluman Wanita Rambut Emas,” kekeh seorang pengemis yang tampak sedang memperhatikan tempat itu. Tidak tahu kapan orang itu datang ke sana.

“Pergi!! Mau apa engkau di sini!” ucap seorang dari mereka.

“Baik.. baik.., aku pergi!” ucapnya menggerutu. “Pemeras pasar kok mengusir pengemis? Sama-sama orang-orang tidak berguna seharusnya tidak boleh saling mendahului,” ucapnya jengkel.

Untung saja ucapan itu sudah jauh dari para pemuda, jika tidak bisa saja pegemis itu menjadi bulan-bulanan mereka yang baru saja kesal karena kekalahan mereka oleh wanita itu dan juga hilangnya ketua mereka.

“Sepasang naga sudah remaja, Siluman Wanita Rambut Emas sudah berjaga, Awan hitam mulai terlihat, Bencana oh bencana, kapankah engkau tiba..??”

Dengan suaranya yang serak kembali pengemis itu melantunkan puisi yang sama dengan nada yang berbeda-beda. Suaranya semakin jauh dan kemudian menghilang, meninggalkan pera pemuda yang bagai kehilangan induknya itu.

Tags: