nou

pengangkatan saudara

Nein Arimasen
9 mins read ·

gua susun utara 5/13

url https://gua-susun-utara.blogspot.com/2007/08/pengangkatan-saudara.html

“Bagaimana menurutmu anak itu?” tanya seorang tua kepada wanita, yang pula telah lanjut, yang duduk di sebelahnya.

“Baik bakatnya, dan juga sikapnya.. Asupasu amat menyayanginya,” jawab wanita tua itu.

Suara teriakan anak-anak tampak memenuhi hari yang cerah itu. Mereka bermain-main di atas pelataran batu yang luas, yang pada salah satu sisinya dibatasi oleh dinding batu menjulang tinggi dan di sisi lain tebing dalam menganga. Di dinding yang menjulang tinggi tersebut terdapat banyak lubang-lubang hitam yang berfgunsi sebagai jendela rumah. Perkampungan orang-orang Gua Susun Utara.

Di sana di jendela sebuah rumah tampak dua orang tua itu masing saling berbicara. Mereka melihat lagi ke bawah, ke arah anak-anak yang sedang bermain dengan gembira. Berteriak-teriak dan saling mengejar.

“Yang aku tanyakan adalah pendapatmu, Pek Liong Nionio! Bukan pendapat Asupasu..,” ucap orang tua itu geli. Lama bergaul dengan Pek Liong Nionio telah kenal ia bahwa wanita tersebut kadang sering menjawab dengan menggunakan orang lain, untuk menyembunyikan sikap atau pendiriannya.

“Musti aku katakan, Hek Liong Kongkong?” ucapnya sambil tersenyum. Ia yakin rekannya itu tahu apa yang ia rasakan, jadi tak perlu menjawab selugasnya.

“Tidak. Dari sikapmu pertama kali menerima anak itu dan ibunya, aku tahu bahwa engkau setuju anak itu menjadi pewaris ilmu kita berdua,” ujar Hek Liong Kongkong sambil melihat menerawang. Jika benar anak itu yang dimaksud maka darah naga yang mereka berdua warisi dapat dilanjutkan ke anak tersebut.

Kedekatan antara sesama orang yang membawa darah Dahtula membuat mereka merasa yakin bahwa anak tersebut adalah sejenis dengan mereka. Dahtula adalah makhluk yang unik, selain dapat berkembang biak antar sesamanya, ia pun dapat menitipkan benihnya kepada manusia. Tepatnya Dahtula jantang menitipkan sepasang benihnya pada seorang wanita. Tapi tidak seperti halnya Dahtula betina yang langsung dapat menerima benih dan menumbuhkannya, seorang manusia tidak. Wanita yang dibuahi oleh Dahtula akan hanya membawa darahnya dan tidak langsung menghasilkan sesosok Dahtula muda. Baru bebeberapa keturunan di bawahnya, bila cocok keadaannya, sesosok Dahtula akan lahir dari rahim seorang pasangan pembawa darah naga.

Hek Liong Kongkong dan Pek Liong Nionio, dari namanya saja yang sudah mengambil kata Liong atau naga, adalah dua orang pembawa darah naga, tapi mereka sudah memutuskan untuk tidak menikah dan mempunyai keturunan, demi untuk mengolah kemurnian hawa dalam darah naga mereka sebagai landasan ilmu beladiri khas kaum pembawa darah naga. Suatu kaum yang sudah lama punah sejak para Dahtula bebas lagi untuk berkembangbiak. Tapi akhir-akhir ini kembali marak barang-barang yang terbuat dari tubuh Dahtula, sehingga kehidupan para naga ini kembali terancam. Hek Liong Kongkong dan Pek Liong Nionio boleh dikatakan adalah pembawa darah naga pertama dalam masa ini sejah kaum yang lama hilang. Dengan sembunyi-sembunyi mereka berusaha mencari orang-orang yang telah dibuahi oleh Dahtula dan ingin menurunkan ilmu simpanan mereka. Secara kebetulan mereka menemukan Thio Khi dan ibunya Yang Ling Ie di Lorong Utara saat dikejar-kejar oleh Su Siaw Mo dan Yeti Kelam. Dengan pertolongan seorang Tohbatu bernama Asupasu, Thio Khi dan ibunya dapat diselamatkan. Bahkan Asupasu pun langsung ingin menjadi kakak angkat dari Thio Khi kecil tersebut.

Thio Khi yang saat itu sudah berumur tujuh tahun lebih tampak gembira berlari-lari ke sana kemari bersama-sama anak-anak penghuni Gua Susun Utara. Berlari-lari mereka dengan cekatan naik dan turun batu-batu cadas dengan mudah. Kaki mereka yang tumbuh tak beralas dengan suatu ramuan dibuat menjadi tebal dan mudah lengket dengan batu sehingga tidak mudah tergelincir saat meloncat ke sana-kemari. Ramuan tersebut diinspirasikan dengan kemampuan alamiah Tohbatu yang mampu memanipulasi keberadaan benda-benda padat seperti tanah dan batu. Makhluk yang termasuk dalam roh-roh tanah seperti halnya Troll dan Manusia Tiga Kaki.

Tak jauh dari sana tampak sesosok Tohbatu berdiri di atas batu dan memperhatikan mereka bermain. Asupasu. Ia dalam waktu dekat akan meresmikan hubungan antara kakak dan adik angkat dengan Thio Khi. Tepat saat bocah tersebut berumur tujuh tahun lebih dan waktu bulan gelap. Dan itu dalam beberapa hari ini.

“Heii Thio Khi…,” ucap seorang anak yang sedang berlari dan meloncat mengiringi ia ke sana-ke mari, “kapan upacara pengangkatan saudara antara engkau dan Asupasu?”

“Kata kakek Hek Liong.. masih empat hari lagi…,” ucapnya sambil memacu larinya agar temannya itu tak bisa menggapainya.

Tak mau kalah temannya tersebut juga kembali memacu langkahnya sehingga mereka semakin cepat melompat ke sana kemari dalam dinding-dinding yang melingkungi ruang itu, semakin lama semakin tinggi. Mirip dengan orang-orang yang berkendaraan sepeda api dalam tong setan. Tapi di sini kedua anak itu berlari di dinding vertikal hanya dengan kaki dan tanpa sepeda api.

“Thio Khi… Ceng Sian… jangan tinggi-tinggi!!” ucap seorang anak perempuan yang tidak lagi bersorak-sorai seperti teman-teman lainnya, melainkan mulai merasa kuatir bahwa kedua anak itu akan kelelahan dan bisa tiba-tiba jatuh dari dinding yang tinggi itu.

“Ceng Sian, mari kita turun!!” ucap Thio Khi yang sudah mulai merasa kakinya pegal.

“Tidak sebelum aku menangkapmu..,” balas Ceng Sian yang juga mulai terlihat lelah tapi malah memacu langkahnya sambil mencoba menggapai Thio Khi.

Asupasu yang melihat dari kejauhan tanpa terasa menggerakkan tangannya yang panjang seraya menunjuk ke kedua bocah yang masih berlari pada dinding yang miring terjal itu. Tapi tak ada sesuatu yang terjadi. Ia menahan tenaganya. Ia akan bersiap-siap menolong kedua bocah itu apabila mereka mendadak lelah dan terjatuh.

“Ya.. sudah, aku menyerah…!!” ucap Thio Khi yang melambatkan langkahnya. Akibatnya ia harus mulai berlari turun jika tidak ingin jatuh. Dengan ini Ceng Sian dapat mendekati dia dan menepuk bahunya.

“Dapat!!” seru Ceng Sian gembira.

Keduanya pun kemudian menurunkan kekerapan langkah mereka dan perlahan-lahan mulai berlari pelan dan akhirnya tiba di ruang terbuka itu. Sorak-sorai anak-anak menyambut kedatangan mereka berdua.

“Hebat Thio Khi..!! Hebat Ceng Sian…!!” ucap mereka. Ya dalam usia yang hampir sama, adalah Thio Khi dan Ceng Sian yang hanya dapat berlari seperti itu. Yang lain-lain tidak terlalu nekat seperti mereka berdua.

Jauh di sana Asupasu tampak kembali menurunkan lengannya. Senyumnya tampak perlahan tersungging. Tidak seperti manusia, seorang Tohbatu tersenyum dengan menggerakkan sedikit gelambir di kiri dan kanan wajah kepala mereka lebih lemah dari saat mereka berbicara. Bila dalam keadaan marah besar baru mulut mereka yang merupakan kelanjutan gelambir itu terbuka dan saat itu akan terdengar suara yang amat keras. Raungan sesosok Tohbatu.

“Ceng Sian, Thio Khi jangan lakukan hal itu lagi, berbahaya!” ucap anak perempuan yang tadi menguatirkan mereka. Mei Lan namanya.

“Ah, Mei Lan kami tidak apa-apa ‘kan!” ucap Ceng Sian dengan gembira.

Thio Khi hanya tersenyum saja.

Mereka berdua senang dengan keseriusan Mei Lan yang kadang melarang mereka ini dan itu. Walaupun umum mereka sama tapi Mei Lan benar-benar menuruti larangan ayah ibunya. Jadi saat mereka bermain-main berlaku ia seakan-akan kakak dari Thio Khi dan Ceng Sian.

Mei Lan pun cemberut melihat Ceng Sian yang kelihatannya tidak menggubris kekuatirannya. Lalu katanya, “Ya sudah.., biar saja nanti engkau jatuh!”

“Wah, jangan gitu dong! Aku berterima kasih atas kekuatiranmu, ‘kakak’ Mei Lan!” ucap Ceng Sian sambil membungkuk hormat.

Ketiganya kemudian tergelak tertawa diikuti oleh kawan-kawan mereka yang lain.

Malam pun menjelang tiba. Anak-anak mulai berjalan bersama-sama mendaki tangga di tebing-tebing tinggi dan menuju ke rumah masing-masing di dalam gua-gua batu yang dipahat. Lampu-lampu kecil mulai menyala, menyajikan titik-titik kecil terang di dalam kegelapan lubang-lubang batu di gunung itu.

Sesosok bayangan tampak berkelebat cepat meloncat ke sana-ke mari dan akhirnya berhenti di depat rumah atau gua Pek Liong Nionio. Ia menjura perlahan dan kemudian masuk. Di dalamnya telah duduk sang pemilik rumah, Hek Liong Kongkong dan Asupasu.

“Liong-ji, engkau sudah datang!” ucap Pek Liong Nionio yang menyambutnya dan membawanya duduk di sebuah bangku yang dibuat dari batu dipotong rata segiempat dan sudut-sudutnya dihaluskan sehingga tidak lagi tajam.

“Sudah, bibi. Dan aku membawa info lain yang penting,” ucapnya pendek.

Sejenak hening menyeruak di antara mereka. Lalu berkatalah Hek Liong Kongkong memecah kesunyian itu, “Masih meengenai pewaris darah naga?”

Pemuda yang dipanggil Liong-ji itu mengangguk. Ketiga orang dihadapannya tampak tegang. Bila itu berarti bahwa Thio Khi bukan anak yang dimaksud, mereka sudah terlanjur sayang dan yakin bahwa anak itu memang seorang pewaris darah naga. Adalah menyedihkan bila mereka harus mencabut keyakinan itu dan mengalihkannya kepada anak yang lain. Sudah terlanjur sayang, kata orang.

“Thio Khi memang pewaris darah naga. Tepatnya keturunan dari Lainitunz, sesosok Dahtula..,” ucapnya pelan.

“Dahtula..,” ucap Pek Liong Nionio sambil menutup mulutnya, “aku pikir ia adalah…”

“Tak penting itu,” tukas Hek Liong Kongkong, “yang penting sesosok ’naga’ tak perlu dari jenis tertentu.”

“Ya, tapi kita bukan pewaris darah naga sesosok Dahtula,” ucap Pek Liong Nionio. “Aku tak tahu apa yang akan kita wariskan itu bakal cocok nanti.”

“Untuk itu tidak perlu kita risaukan dulu. Kita lihat saja, bila tidak cocok, cukup kita ajari dia dasar-dasar elemen api, hawa api. Biar dia nanti menyempurnakan sendiri ilmu tersebut.”

Sebuah suara yang lain dari suara manusia mengembang di udara, Asupasu, “Aku merasa bahwa Liong-ji masih membawa pesan lain..”

“Betul, kakak Asupasu,” ucapnya kemudian, “bahwa Thio Khi bukan satu-satunya turunan dari Lainitunz. Ada satu anak lagi, seperti kita tahu bahwa sesosok Dahtula selalu menurunkan dua benih dalam satu masa hidupnya.”

“Dan anak itu?” tanya Pek Liong Nionio.

“Hilang tanpa bekas. Keluarganya dibunuh dan hanya tinggal seorang nenek dari bocah itu. Hwa namanya,” jelas Liong-ji.

Mengangguk-angguk ketiga orang yang ada di hadapannya itu.

“Bagus, Liong-ji! Kerja yang bagus!!” ucap Hek Liong Kongkong sambil menepuk bahu anak muda tersebut.

“Dan engkau datang pada saat yang tepat,” ucap Pek Liong Nionio. “Thio Khi akan mengangkat saudara dengan Asupasu.”

“Jadi Thio Khi akan menjadi sepupu angkatku,” ucap Lion-ji dengan gembira. Ya, Liong-ji telah mengangkat saudara dengan Bariaku, saudara dari Asupasu.

Keempatnya pun kemudian tertawa. Lalu mereka membicarakan apa-apa yang harus disiapkan untuk acara yang tinggal kurang dari dua-tiga hari itu.

Akhirnya tibalah hari itu. Malam tanpa bulan. Orang-orang telah berkumpul di salah satu pelataran batu yang tersembunyi di kawasan Gua Susun Utara. Dari luar baik daratan, maupun laut dan pulau Kern tempat itu walaupun terdapat api tidak akan terlihat. Benar-benar tersembunyi di balik bukit-bukit batu cadas.

Hampir seluruh warga kampung Gua Susun Utara tampak ada di sana. Tua dan muda. Manusia dan Tohbatu. Kecuali tentu saja para penjaga yang masih bertugas untuk mencegah pihak-pihak yang tidak diinginkan menyusup ke sana.

Di tengah api yang dibuat melingkar, tampak Asupasu dan Thio Khi, dua orang yang akan saling mengangkat saudara, akan saling menolong dalam suka maupun duka. Keduanya tampak tertawa-tawa dan bercanda. Sementara orang-orang tua, tampak sedang membicarakan sesuatu.

Tak lama kemudian acara pengangkatan saudara itu dimulailah. Suatu pertemuan yang dinanti-nanti oleh penghuni kampung itu, karena selain bermakna mempererat tali persaudaraan antar sesama penghuni juga bermakna menjaga keharmonisan antara sesama yang hidup di tempat itu. Makanan, minuman dan bunyi-bunyian mengiringi prosesi yang sederhana berlangsung. Pesta sederhana menutup prosesi itu dan meninggalkan kenangan indah bagi yang menjadi titik utama acara, dan siapa lagi jika bukan Thio Khi dan Asupasu.

“Wah kalau begini, aku mau deh punya banyak saudara angkat!” ucap bocah tujuh tahun itu dengan gembira.

Asupasu yang sekarang telah menjadi kakaknya hanya tersenyum. Ia mengusap-usap kepala bocah itu dengan sayang. Sekarang menjadi tanggung jawabnya untuk mendidik bocah itu menjadi seorang ’naga’ yang mewarisi ilmu-ilmu mereka.

Malam pun semakin larut dan orang-orang mulai meninggalkan tempat acara tadi berlangsung, sambil tak lupa membereskan sisa-sisa yang ada. Pelataran kembali menjadi sepi dan lengang, bagai tak ada apa-apa sebelumnya.

Tags: