nou

tugas yang gagal

Nein Arimasen
9 mins read ·

gua susun utara 2/13

url https://gua-susun-utara.blogspot.com/2007/07/tugas-yang-gagal.html

“Deggg!!” tiba-tiba langkah mundur membuat kepalanya terantuk batu. Yeti Kelam ingat betul bahwa saat ia berdiri tadi lorong yang ia lewati tidaklah sesempit dan serendah ini. Bila jalan tadi bisa menghilang.., bisa pula dinding kiri-kanannya menyempit atau melebar sesuka hati. Keringat dingin mulai membasahi peluknya. Ia sebagai seorang pemburu atau Jäger dan juga pembunuh bayaran tidak biasa takut dalam bertempur dengan segala kalangan manusia dan juga bukan. Tapi di sini, di tempat yang sinar matahari hanya temaram, berangin kering dan juga berwarna melulu kelabu, entah mengapa tiba-tiba hatinya menjadi ciut. Ia merasa ada kekuatan lain yang lebih besar dari yang bisa ia hadapi sedang mengintainya.

“Aku Yeti Kelam, tidak bermaksud mencari urusan dengan penghuni Lorong Utara maupun Gua Susun Utara. Aku hanya minta ijin untuk keluar dari sini dengan membawa dua orang dalam gendonganku ini,” begitu ucapnya setelah dapat menetapkan hatinya. Lebih baik ia berbasa-basi, siapa tahu yang dapat melakukan hal barusan akan memunculkan diri dan setelah itu baru ia bisa berseteru dengan fisik.

Tidak ada jawaban melainkan keheningan belaka. Angin yang tadi tiada bertiup mulai perlahan-lahan lebih kencang muncul. Mengibarkan jubah dan rambutnya yang riap-riapan.

Setelah sesaat tiada jawaban atas perkataannya itu Yeti Kelam pun meletakkan Yang Ling Ie yang pingsang di lantai batu dekat kakinya dengan tetap mengendong bocah yang masih saja tertidur dengan tenang itu. Ia mencoba mendorong batu yang tadinya merupakan jalan keluar dari tempat ini. Masif. Padat. Tidak bisa ia menggerakkannya.

Yeti Kelam pun akhirnya meletakkan bocah yang tadi digendongnya di sisi Yang Ling Ie dan menggunakan kain ibunya itu sebagai peyangga kepala bocah itu. Entah bagaimana demi melihat wajah yang damai dan tenang dari bocah itu, ia merasa sayang dan kasihan. Jika saja ini bukan perintah pangeran, mungkin sudah diangkatnya bocah itu sebagai penerus ilmunya.

Ia pun kemudia mengambil kuda-kuda rendah dan mulai mengempos tenaganya untuk merontokkan batu di depannya. “Brakkk!!!” Pukulan Badai Angin Dingin yang keluar dari tinjunya menyambar lurus dan mengenai dinding batu di depannya. Asap batu dan pasir yang tercipta membutakan sedikit pandangannya yang segera mengendap di atas lantai batu. Dari hasil pukulannya itu ia melihat bahwa sebuah lubang sebesar kucing tampak menganga, tapi belum menunjukkan ruang di belakang sana, melainkan nampak bahwa dinding batu itu adalah masif belaka tanpa adanya ruang di belakangnya. Yeti Kelam menjadi ragu-ragu apakah benar itu dinding yang dimaksud, atau ia salah mengira.

Untuk memastikan dugaannya itu ia pun mengambil arah lain yang agak sedikit serong dari dinding yang telah berhasil sedikit dilubanginya itu. Dan “brakkk!!!” kembali pukulan Badai Angin Dingin membuahkan hasil yang sama seperti sebelumnya. Dan lagi untuk dinding di arah yang lain dan dengan hasil yang sama.

Sementara itu tanpa disadari oleh Yeti Kelam yang sedang sibuk menjajal-jajal dinding mana yang harus ia robohkan dengan pukulannya, sesosok wujud makhluk berkulit kelabu seperti batu-batu di sampingnya tampak muncul seperti asap dari lantai batu di bawahnya. Perlahan-lahan terbit dan mulai berbentuk seperti manusia, akan tetapi dengan punggung yang melengkung dan tangan yang panjang mencapai tanah, dua kali lebih panjang dari tangan manusia secara umum. Tohbatu. Roh tanah yang secara khusus mendiami tempat-tempat yang murni terbuat dari batu. Ia tampak memperhatikan bocah yang diam dan tertidur di sisi ibunya itu. Lalu dengan gerak yang ringan ia menghampiri dan mengambilnya. Menimangnya perlahan dan matanya tampak berkilat lembut. Makhluk itu menyukai sang bocah yang masih tertidur dengan damai.

Tiba-tiba serangkum hawa dingin dirasakan makhluk itu datang dari jurusan di mana Yeti Kelam sedang berdiri. Rupanya setelah sia-sia upayanya tadi menumbuk tembok di sana-sini, ia akhirnya terdiam. Dan saat teringat pada bocah yang menjadi tujuan tugasnya baru disadari bahwa ada sesosok Tohbatu yang telah mengendok anak itu dengan lengannya yang luar biasa panjang. Tanpa berpikir panjang segera ia melontarkan pukulan Badai Angin Dinginnya kepada makhluk itu, tak terpikir bahwa hawa pukulan itu pun dapat melukai sang bocah.

Alih-alih terlempat, dengan tenang makhluk itu hanya mengankat lengannya yang panjang seperti mengatakan “silakan” dan batu-batu yang ada disekitarnya tiba-tiba bertumbuh membentuk dinding tinggi yang menahan pukulan Yeti Kelam. Terlindung oleh dinding buatannya itu sang Tohbatu tampak kembali tercurah perhatiannya kepada sang bocah dan kembali memandanginya. Sementara di belakang dinding batu sana, Yeti Kelam tampak memukul-mukul dinding batu dan kembali mencoba pukulan Badai Angin Dinginnya. Akan tetapi sudah dipastikan sia-sia.

Makhluk itu hanya kemudian melirik sedikit kepada Yang Ling Ie yang masih pingsan itu untuk kemudian kembali memandangi bocah dalam genggamannya. Tiba-tiba terdengar bisikan lirih, “Asupasu, cepat bawah bocah itu dan ibunya! Sebentar lagi malam dan dinding batumu tak tahan terhadap sinar bulan!” Demi mendengar suara itu, Tohbatu yang dipanggil Asupasu segera berjalan menuju Yang Ling Ie, mengambilnya dan memanggul wanita itu dipunggungnya yang melengkung. Dalam satu helaan napas ia segera tenggelam dalam lantai batu di bawahnya. Menghilang tanpa bekas.

Perlahan-lahan malam pun merambat naik. Sinar matahari mulai menghilang dan mulai digantikan oleh sinar bulan. Yeti Hitam yang tadinya sudah terduduk letih dan putus asa. Tampak memperhatikan dinding batu terbaru yang masih segar menghalanginya. Dinding itu tampak perlahan-lahan luntur dan meninggalkan ruang yang tadinya ditutupi. Hanya tersisa bekas-bekas hancuran batu akibat pukulannya tadi. Juga dinding di dua sisi lainnya, yang tadinya menghalangi ia untuk keluar dari tempat itu. Semua dinding penghalan telah lenyap. Dan lenyap pula orang yang menjadi tujuan tugasnya.

“Arrrrgggghhhh!!!” raungan keras Yeti Kelam terdengar membahana memecah kesunyian dan kegelapan di Lorong Utara itu. Ia benar-benar marah dan kesal karena buruannya lepas di depan matanya. Ia kalah oleh seorang Tohbatu. Makhluk yang tidak ia perkirakan semula dapat ditemui di tempat ini.

Tiba-tiba terdengar langkah-langkah di belakangnya. Tampak sesosok bayangan berlari diikuti oleh beberapa langkah kaki. Demi melihat sosok bayangan tinggi besar di depannya, bayangan yang tampak dikejar itu segera berlutut memberi hormat, “Paman Yeti.., mereka ini.. adalah pengawal sang bocah..,” katanya dengan napas yang tersengal-sengal. Sedari tadi ia hanya berlari dan berlari. Setelah kesasar ke sana-ke mari, secara kebetulan ia bertemu dengan kalangan yang lebih tua yang juga ditugaskan untuk melengkapi misi yang sama.

“Minggir, kamu!!” teriaknya sambil mengibaskan tangannya. Dengan deruan angin dingin menusuk tulang, orang tersebut terlontar ke atas kepala Yeti Kelam. Dengan bersalto beberapa kali ia berhasil mendarat dengan selamat di sisi lain lorong itu, membiarkan Yeti Kelam berhadapan langsung dengan para pengejarnya. “Kabarkan pangeran kegagalan misi ini!” ucapnya pelan sambil bersiap-siap menghadapi Si Tongkat Pendek dan dua orang tersisa dari Empat Ruyung Hitam.

Orang baru dilontarkannya itu mengangguk dan segera menghilang dari dari sana. Saat yang bersamaan dua orang tersisa dari Empat Ruyung Hitam tampak meloncat pada saat yang hampir berurutan ke atas menyerang Yeti Hitam dari arah langit, menghujam ke bumi. Sementara itu Si Tongkat Pendek menyerang dengan kedua tongkatnya ke arah pembuluh darah-pembuluh darah penting di badan Yeti Hitam. Dengan mendengus perlahan Yeti Hitam hanya mengangkat sebelah tangannya mengibaskan angin dinginnya ke atas sambil merendahkan kuda-kuda dan tangan satunya meyampok ke depan. Cukup angin pukulannya saja kedua tongkat Si Tongkat Pendek tertahan dan ia mundur satu dua langkah dengan bibir menggigil. Sementara itu kedua orang yang tadi melompat tampak bersalto balik dan tiba di belakang Yeti Hitam sambil bergemeretuk giginya menahan hawa dingin yang mulai merasuki dada mereka.

“Kalian harus membayar kegagalan tugas ini dengan nyawa kalian!!” desisnya. Ia melihat bahwa dalam segebrakan bahwa lawannya ini tak berharga untuk dikeluarkan tenaga sepenuhnya. Hanya dengan seperempat tenaga, sudah cukup mereka terluka dan terbunuh nanti.

Tak menanti terlalu lama, Yeti Hitam segera bergerak dengan cepat. Tangannya yang besar mendorong dengan cepat ke arah Si Tongkat Pendek yang tak siap untuk mengelak atau pun menangkis. Segera tampak wajahnya memucat dan kaku. Tubuhnya membeku dingin. Mati. Dua raungan keras dari belakangnya mengantarkan dua pukulan ruyung dari atas dan bawah demi mereka melihat rekan mereka mati membeku. Tanpa memandang sebelah mata, Yeti Kelam hanya mengembangkan kedua tangannya dan mengayunkan ke belakang sambil menunduk, ucapnya “Hehhh!!” dan dua rangkum hawa dingin dari pukulan Badai Angin Es menerpa mereka. Mengempaskan mereka terbang bagai layang-layang putus dan mendarat dengan bunyi berderak di dinding batu. Sebelum tulang punggung mereka patah akibat benturan itu, tampaknya hawa luar biasa dingin itu telah mencabut nyawa keduanya.

Dengan mendengus seakan mendapat lawan yang tidak setimpal ia pun berlalu dari sana. Berjalan menyusuri arah yang tadi diambil rekannya.

Tak berapa lama seperginya Yeti Kelam, tampak beberapa sosok Tohbatu muncul dari lantai dan dinding batu sekitar lorong itu. Mereka bergerak ke arah jasad-jasad yang beru saja melepaskan nyawanya. Mereke mengambil jasad-jasad tersebut, memanggulnya dan kemudian menghilang kembali ke dalam dinding batu di kiri-kanan lorong itu. Hal yang sama pun terjadi di mana pertempuran sebelumnya yang menewaskan dua orang Empat Ruyung Hitam dan tiga orang Su Siaw Mo. Sekarang di tempat-tempat tersebut hanya warna merah kehitaman, darah yang mengering, yang menjadi saksi bahwa di tempat itu pernah terjadi suatu pertarungan.

Sesosok bayangan tampak muncul di atas dinding lorong yang menjulang tinggi itu. Ia memperhatikan pekerjaan para Tohbatu membersihkan lorong dan gang dari sisa-sisa pertempuran. Ia tampak menghela napas. Lalu gumamnya, “Akan banyak orang datang ke sini. Tempat ini tidak akan tenang seperti semula lagi…” Ia pun menggeleng-geleng dan terlihat sedih.

Lalu tampak sesosok bayangan muncul di sampingnya. Tohbatu yang bernama Asupasu tadi. “Bocah itu sudah kuserahkan pada Pek Liong Nionio,” katanya yang bersuara dengan tidak membuka mulutnya melainkan dua buah gelambir pada sisi-sisi pipinya, sehingga suaranya tampak terdengar dari kiri dan kanan.

“Terima kasih, Asupasu!” ucap orang tua itu.

“Engkau menyukai bocah itu, bukan?” tanya orang tua itu sesaat setelah diam menyelinap di antara mereka.

Asupasu mengangguk.

“Dan engkau mau menjadi saudaranya?” tanyanya lagi.

Kembali Tohbatu itu mengangguk.

“Baik, jika begitu. Setelah keduanya terbiasa tinggal di sini, kita langsungkan upacara pengangkatan saudara,” ucapnya sambil menepuk lengan Asupasu, yang dibalas olehnya dengan lengannya yang lain.

“Baiknya kita melihat mereka di tempat Pek Liong Nionio,” ucap orang tua itu kemudian.

Lalu berlompatanlah mereka dengan cepat dari satu batu ke batu lain menuju suatu dataran batu yang lebih tinggi, di mana di sana tampak dari kejauhan lubang-lubang jendela pada dinding batu. Pemukiman di daerah Gua Susun Utara. Daerah yang konon hanya diceritakan tapi tidak ada orang yang pernah masuk dan kembali keluar untuk menceritakannya.

Sementara itu Yeti Kelam tampak telah menuruni tangga di luar Lorong Utara. Ia berjalan pelan-pelan dengan masih tersisa kesal di dalam hatinya atas kegagalannya hari itu. Di kejauhan ia melihat bahwa rekannya yang diutus untuk memberi kabar kepada pangeran tampak berlutut di depan seseorang yang sedang mengangkat tangannya dan dengan cepat menepuk kepala orang itu. Orang itu pun tampak tersengal sebentar untuk kemudian rebah ke samping dengan masih posisi berlutut. Cairan merah nampak perlahan menyebar di lantai dekatnya. Pendarahan dari kesembilan lubang tubuh.

“Hmmm, kakak Awan Kelam masih saja tak memberi ampun terhadap kegagalan..,” desisnya.

Tags: