nou

penghuni baru lorong utara

Nein Arimasen
10 mins read ·

gua susun utara 1/13

url https://gua-susun-utara.blogspot.com/2007/07/penghuni-baru-lorong-utara.html

Angin berhembus dengan kencang. Menderu-deru di setiap sela-sela batu-batu besar menjulang. Sela-sela yang juga berfungsi sebagai jalan para makhluk penghuni tempat itu untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Lorong disebutnya. Terdapat empat lorong utama yang dinamai seperti nama empat mata angin utama, yaitu Lorong Utara, Lorong Timur, Lorong Selatan dan Lorong Barat. Masing-masing lorong dibagi lagi dalam lorong-lorong lebih kecil yang disebut gang. Jumlah gang tidak selalu sama dalam tiap lorong, tergantung kepadatan penghuni di tempat itu.

Hari itu, hari di saat mana angin lebih kencang bertiup dari hari-hari biasanya, tampak sebuah rombongan berjalan pelan-pelan sambil berusaha melawan terpaan angin yang kebetulan sedang berlawan arah dengan tujuan mereka. Lorong Utara, lorong yang berhadapan langsung dengan Laut Utara di ujung luarnya. Mereka tampak baru mendarat di pantai dan bergegas menaiki tangga yang tinggi untuk mulai memasuki Lorong Utara, salah satu pintu masuk rangkaian pemukiman Gua Susun Utara. Jikalau Lorong Utara dinamai karena terletak di bagian utara rangkaian pemukiman itu, Gua Susun Utara dinamai karena ia tertelak di bagian utara dari daratan Tlatah Nusantara. Sebagaimana di selatan terdapat Gunung Berdanau Berpulau dan Padang Batu-batu, di tengah Gurun Besar dan Lembah Batu Bintang, di timur ada Rimba dan Gunung Hijau, serta di barat ada Gunung Api Kembar dan Air Jatuh, maka di utara, sejauh dikenal orang, terdapat Pegunungan Karang Utara, tempat yang dalam karang dan batu-batu gunungnya selama ratusan tahun telah dipahat dan dioleh menjadi suatu pemukiman bersusun-susun dari bawah ke atas. Gua Susun Utara. Tidak banyak orang di Tlatah Nusantara yang pernah singgah di tempat ini karena satu dan lain hal.

Rombongan yang terdiri dari beberapa orang pemikul tandu dan orang-orang yang berjalan di depan dan di belakangnya. Menilik dari adanya tandu, jelas orang yang datang itu agak berada atau setidaknya perlu penanganan khusus sehingga tidak perlu berjalan dengan sendirinya. Kereta dan kuda tidaklah dapat naik sampai tinggi ke lorong-lorong di daerah Gua Susun Utara. Tandu ini pun kelihatannya demikian. Apabila hendak memasuki gang-gang yang lebih kecil, mungkin pemilik tandu tersebut perlu dipanggul oleh satu orang saja. Tidak cukup lebar suatu gang untuk sebuah tandu dan orang dalam arah berlawanan untuk melewatinya.

Rombongan itu tidak terlihat tergesa-gesa dalam perjalanannya menyusuri lorong utara itu. Tapi dari lusuhnya baju dan kusamnya rambut mereka, bisa diduga bahwa mereka telah lama melakukan perjalanan. Dan dari arah mereka datang, bisa diperkirakan bahwa mereka datang dari arah laut. Bisa banyak tujuan mereka dari arah utara. Salah satunya adalah Pulau Kern. Pulau di mana pusat pemerintahan Tlatah Nusantara berada.

Setelah melewati beberapa muka gang yang sempet, rombongan itu pun berhenti di suatu tusuk sate. Orang terdepat tampak melihat ke kiri dan ke kanan, bimbang jalan mana yang akan dipilihnya untuk meneruskan perjalanan.

Tiba-tiba sebuah suara jernih dan lembut tampak terdengar keluar dari balik tandu itu, cukup jelas mengatasi deruan angin yang masih terus-menerus bergemuruh, “Paman Yang, kita belok ke kanan!”

Orang yang dipanggil paman Yang itu mengangguk dan melangkahkan kakinya ke kanan. Tapi sebelum seluruh rombongan masuk ke jalan yang lebih sempit dibandingkan jalan sebelumnya dalam Lorong Utara, tampak reruntuhan batu-batu kecil meluruh perlahan di kiri-kanan jalan tersebut.

“Cepat!!” seru seorang dari rombongan tersebut. “Tampaknya ada yang memperhatikan kedatangan kita.” Dan batu-batu itu sebagai bukti bahwa ada seseorang atau lebih di atas sana yang tampa sengaja menjatuhkan kerikil atau pasir ke bawah, ke arah rombongan tersebut.

Jika tadinya rombongan itu berjalan dengan perlahan, demi mendapat perintah itu, mereka segera berjalan cepat seperti berlari. Langkah mereka yang ringan bahkan dengan tandu di antara mereka segera membawa mereka jauh dari tikungan tusuk sate tersebut.

Sementara itu beberapa sosok bayangan jauh di atas jalan tersebut, di batu-batu karang yang menjulang tak jelas akhirnya, tampak berloncatan mengikuti rombongan yang segera menghilang di suatu tikungan dinding batu di depan sana.

“Cepat, nanti mereka hilang!” ucap salah seorang dari mereka.

Di balik tikungan yang menyembunyikan sebentar rombongan itu tampak sesosok bayangan keluar dari tandu sambil menggendong seseuatu di dadanya. Ia bergerak dengan cepat masuk ke dalam suatu gang kecil yang ia temui pertama kali. Setelah ia menghilang rombongan bertandu itu segera berlari kembali masih dalam jalan yang sama. Berjalan dengan ringan dan cepat.

“Itu mereka!!” seru sebuah suara nun jauh di atas sana demi melihat rombongan tujuan mereka berlari dengan cepat berusaha menyembunyikan diri.

“Kita ambil saja sekarang?” ucap salah seorang dari mereka.

Rekan-rekannya mengangguk mengiyakan. Lalu bagai dikomando dengan ringan mereka melompat turun dari ketinggian yang menggirisi untuk berloncatan sig-sag di dinding curam dari kiri-kanan jalan yang sempit itu sehingga sampai di depan dan di belakang rombongan bertandu itu.

“Tahan!!” ucap seorang yang mendarat ringan di depan rombongan itu. Menghalangi jalan dengan menyilangkan goloknya di depan dada.

“Su Siaw Mo (Empat Setan Kecil), mau apa kalian?” ucap orang yang tadi dipanggil paman Yang.

“Kami mau bocah itu!” ucapnya sambil menunjuk pada tandu yang tampak bergoyang-goyang ditiup angin. Tak ada tanda-tanda gerakan di dalamnya.

“Tak akan ia kami berikan kepada kalian!!” ucap paman Yang sambil meloloskan sepasang tongkat pendeknya.

“Yang Seng Kian, kamu tahu kepiawaianmu memainkan tongkat pendek itu. Tapi lebih baik engkau sayangkan nyawamu dengan menuruti kehendak kami,” ucap salah seorang dari Su Siaw Mo yang mengepung rombongan itu dari belakang.

Tanpa kata-kata keempat pemikul tandu itu segera meletakkan tandu mereka dan menarik pokok kayu yang tadi mereka letakkan di pundak mereka. Tampak empat buah besi panjang dengan gagang kayu keluar dari sana. Rupanya gagang tandu itu disamarkan sebagai tempat mereka menyimpang senjata mereka. Walaupun terbuat dari besi tetapi ujung senjata itu ternyata tumpul, hanya sisi-sisi besinya yang membundar tampak kasar dan bergerigi. Ruyung panjang dan hitam.

“Bagus, bila kalian telah memutuskan!!” ucap seorang lain dari Su Siaw Mo. “Empat Setan Kecil melawan Empat Ruyung Hitam dan Si Tongkat Pendek…, serahkan nyawa kalian!!”

Segera pertempuran pun terjadi. Dari rombongan bertandu itu beberapa orang memang sama sekali tidak bisa berkelahi dan karena mereka berada di antara Empat Ruyung Hitam dan dua orang Su Siaw Mo, mau tak mau mereka menjadi korban keganasan pertempuran itu. Tak ada tempat untuk menyembunyikan diri atau berlari di dalam lorong yang sempit itu.

“Egggghhh!! Crot!!!” tampak segera beberapa tubuh dari rombongan itu selain Empat Ruyung Hitam dan Si Tongkat Pendek telah bersimbah darah dan berjajar mati di atas lantai batu jalan itu. Perkelahian antara Si Tongkat Pendek dan dua orang Su Siaw Mo tampak seimbang. Hal ini bukan karena kepandaian Yang Seng Kian dua kali dari seorang Su Siaw Mo, melainkan karena sempitnya jalan yang berdinding batu tinggi sehingga serangan dua orang itu tidak dapat dilakukan sekaligus berbareng tanpa melukai teman sendiri. Praktis Yang Seng Kian hanya bertarung satu saat dengan satu Su Siaw Mo saja.

Demikian pula dengan dua orang lain dari Empat Setan Kecil dan Empat Ruyung Hitam. Mereka harus menunggu rekannya menyerang dan menarik kembali serangannya sebelum bisa menindak maju dan melemparkan gempuran-gempuran mereka. Pertempuran yang kaku dan tidak mengenakkan.

Tiba-tiba saat pertempuran masih berlanjut dengan seimbang karena kondisi tempat yang menyulitkan, seorang Su Siaw Mo tampak melemparkan goloknya lurus menuju ke arah kelambu dari tandu yang diam di antara dua kelompok pertempuran itu. Terkejut atas serangan itu seorang Empat Ruyung Hitam tidak sempat menangkis sehingga golok tersebut dengan mulus menyobek kelambu dan memperlihatkan lubang kosong dengan tanpa seorang pun di dalamnya.

“Celaka, kita tertiput!!” raung seorang Su Siaw Mo demi melihat hasill sambitan itu.

Tapi sebelum ia bisa menyerukan perintah untuk mundur kepada teman-temannya karena pertempuran ini tidak ada gunanya, sesosok tubuh tampak maju dengan nekad tak menghiraukan akibat dari serangannya itu. Seorang dari Empat Ruyung Hitam. Mau tak mau terpaksa seorang Su Siaw Mo membacokkan goloknya membabi-buta akan tetapi orang itu tidak melepaskan rangkulannya setelah berhasil memeluk erar-erat pinggang lawannya. Kesempatan paniknya seorang Su Siaw Mo itu segera digunakan oleh seorang Empat Ruyung Hitam melemparkan ruyungnya dan menembus kepada lawannya. Demi melihat rubuhnya rekannya itu seorang Su Siaw Mo yang berada di dekat situ tampak menurun semangatnya dan berusah mundur untuk melarikan diri. Lawannya tidak membiarkan hal itu ia mengejar terus dengan serangan yang nekad. Dan kejadian yang sama pun berlangsung. Dengan mengorbankan satu rekan, Su Siaw Mo ini pun dapat ditewaskan. Sekarang tinggal dua orang Su Siaw Mo dan dua orang Empat Ruyung Hitam ditampah Si Tongkat Pendek.

“Kita harus membuat laporan!” ucap seorang Su Siaw Mo yang segera memberi isyarat kepada temanya untuk melarikan diri.

Tak bisa dua orang dari Empat Ruyung Hitam dan Si Tongkat Pendek mencegahnya karena jalan lari terhalang bulat-bulat. Tiba-tiba seorang dari Empat Ruyung Hitam berseru keras dan ia meloncat tinggi dari atas lontaran rekannya, bersalto beberapa kali dan melewati sang penghadang di jalan sempit itu. Saat sang penghadang lengah akibat terobosan di atasnya. Tusukan tongkat pendekt masuk ke dada dan ulu hatinya. Dengan muntah darah segar dan dada remuk, ia pun menghembuskan napas terakhirnya.

“Cepat, kita harus tangkap orang itu!” ucap Si Tongkat Pendek sambil berlari mengikuti seorang Empat Ruyung Hitam yang tadi bersalto tinggi itu. Rekannya segera menggangguk mengikuti. Tampak bahwa sisa terakhir Su Siaw Mo telah hilang dari pandangan. Tapi dari jejaknya tampak ia menuju kembali ke arah Lorong Utara.

Sementara itu sesosok bayangan tampak berlari-lari dengan napas yang terengah-engah. Seorang wanita. Ia berjalan cepat menyusui lorong-lorong sempit dan gelap karena sinar sang surya tidak dapat sepenuhnya mencapai gang sempit berdinding tinggi menjulang itu. Ia tahu rekan-rekanny pasti telah ada yang hilang nyawanya. Su Siaw Mo bukan kalangan biasa dalam hal orang-orang suruhan. Mereka hanya tertarik dalam hal-hal khusus dan tidak mutlak dari jumlah pembayaran saja. Ada yang bilang mereka adalah keturunan dari Asasin, kelompok pembunuh bayaran terkenal di masa lalu. Hanya anehnya kenapa mereka hanya menyuruh Su Siaw Mo dan tidak Jäger atau pemburu yang lain, yang lebih cepat menemukan jejak buruan-buruannya. Mungkin mereka meremehkan penjagaan oleh Si Tongkat Pendek dan Empat Ruyung Hitam sehingga rombongan itu bisa selamat sampai di daerah Gua Susun Utara.

Napas wanita itu semakin memburu. Keringat bercucuran dari peluhnya. Belum lewat dua bulan ia melahirkan bocah dalam gendongannya itu dan sekarang sudah ia harus membawa pergi sang anak untuk diselamatkan dari orang-orang yang tertarik untuk memilikinya.

Tiba-tiba bulu romanya berdiri. Ia merasakan ada kekuatan hitam dan dingin menyergap cepat dari belakangnya. Mengirimkan Keberadaan. Itu adalah salah satu bentuk menyatakan adanya seseorang kepada lawan atau kawannya dengan merambatkan hawa keberadaan. Bisa juga untuk menyerang secara langsung atau secara gelap.

Saat ia berbalik, tampak di hadapannya seorang bertubuh besar dengan rambut riap-riapan berkibar-kibar, walau tanpa angin bertiup saat itu. Angin rupanya tidak ingin menjadi saksi dari kematian yang akan terjadi. Sakinb besarnya tubuhnya, ia tampak hampir menutupi gang sempit itu. Tapi anehnya ia tak tampak kesempitan atau takut terbentur pada dinding-dinding di sisinya. Ia bak hawa air atau udara yang mengalir di antara diding-dindin batu yang bertonjolan atau pun rata itu.

“Yeti Kelam!!” desis perempuan itu. Benar seperti dugaannya orang-orang suruhan itu ternyata tidak hanya mengirim Su Siaw Mo melainkan juga orang-orang yang lebih tinggi tingkatannya. Dan Yeti Kelam ini dikabarkan telah membunuh ratusan orang dan bukan hanya orang biasa, melainkan jago-jago ilmu beladiri dan juga makhluk-makhluk lain seperti Minatour, Troll, Undinen dan ikan Kloakan.

“Yang Ling Ie, pengkhianatanmu ini masih bisa dimaafkan oleh pangeran apabila engkau mau menyerahkan bocah itu kepadaku,” bujuknya dengan perlahan. Bukan tabiatnya untuk berbasa-basi. Tapi di tempat ia tidak dengan mudah bergerak ini, ia tidak mau mencelakakan orang yang menjadi tujuan tugasnya ini. Orang yang dipanggilnya pangeran adalah pelanggan yang tidak boleh sampai dikecewakan.

“Yeti Kelam, sampai titik darah penghabisan aku akan pertahankan ia dengan nyawaku. Kalian.., kalian bisanya hanya memanfaatkan nyawa saja. Dan bahkan bocah sekecil ini!!” katanya sambil tak terasa air matanya berlinang turun saat melihat anak dalam gendongannya yang tampak dengan damai tidur. Tak sadar bahwa ibunya berada alam keadaan dekat dengan gerbang kematian.

Sekejap kerlingan itu sudah cukup bagi Yeti Kelam untuk bergerak maju, melayang pelang di antar sempitnya batu-batu di sisi-sisi gang itu, mengangsurkan tangannya dan memijit perlahan kening Yang Ling Ie yang segera tersungkur. Segera ia menangkap tubuh lunglai itu dan juga bayinya. Selesai sudah tugasnya. Dua orang ini, yang satu adalah ibunya, yang masih perlu untuk kelanjutan hidup sang bocah, telah berada di tangannya. Dan sekarang adalah saatnya untuk kembali.

Tapi saat ia berdiri sambil memanggul tubuh pingsan itu di pundaknya dan bocah itu dalam dekapannya, tak dilihatnya jalan keluar. Ia berpikir mungkin itu adalah jalan yang dituju oleh Yang Ling Ie tadi, mengantar pada jalan yang buntu. Tapi saat ia berbalik. Juga ditemuinya jalan buntu yang lain. “Tak mungkin!!” desisnya. Tiba-tiba saja buku kuduknya meninggi. Ia pernah mendengar bahwa daerah Gua Susun Utara, mengapa tidak banyak orang bercerita mengenainya, dapat berpindah-pindah lorong-lorong batunya, terutama di bagian Lorong Utara dan gang-gang kecilnya. Dan saat orang terperangkap di dalamnya, tak ada jalan keluar kecuali memanjat tingginya dinding yang menjulang bagai tak berakhir. Atau berakhir di sana menjadi penghuni baru daerah itu. Penghuni dalam arti sebagai penghuni abadi Lorong Utara.

Tags: