nou

kisah-kisah antar ruang dan waktu

Nein Arimasen
91 mins read ·

elemen kekosongan 9/9

url https://elemen-kekosongan.blogspot.com/2007/05/kisah-kisah-antar-ruang-dan-waktu.html

“Ayah, buku apa ini?” tanya seorang pemuda kepada orang tua yang duduk dihadapannya.

“Oh, itu! Itu buku kumpulan tulisan oleh seorang. Isinya macam-macam, menghayal kemana-mana – kadang melewati waktu dan ruang,” jawab orang tua tersebut setelah sedikit melirik ke buku yang berada dalam genggaman pemuda itu.

“Boleh aku membacanya?” tanyan pemuda itu lagi.

“Engkau mau? Kalau begitu silakan, tapi itu bukan suatu buku yang bagus,” ucap orang tua itu kemudian.

“Tidak apa-apa guru, saya ‘kan belum punya banyak pengalaman. Jadi bagi saya, buku yang baik atau tidak, belum bisa saya menilai…,” jawab pemuda itu rendah hati.

Mengangguk-angguk orang tua yang dipanggil ayah oleh pemuda itu, “Aku suka sikapmu.”

Pemuda itu pun mulai membuka kisah pertama setelah memenpatkan dirinya di akar sebuah pohon besar.

Cerita Dua Hari Sebagai Komuter

Dua hari yang panas, dua hari yang biasa-biasa saja. Mungkin akan menjadi dua hari yang amat biasa apabila tidak terdapat seorang tua yang berinteraksi denganku dalam perjalan pulangku menggunakan Kereta Api Ekonomi Jakarta-Bogor. Mereka bukanlah sosok yang akan menimbulkan keinginan untuk memperhatikan apalagi berinteraksi dengannya. Akan tetapi keduanya tetap seorang insan yang juga memperhatikan sesamanya walaupun mereka kurang bahkan terlupakan oleh sesamanya.

Hari Pertama

Seingatku, hari itu adalah hari Kamis. Cukup panas menurut kulitku. Mungkin hal ini disebabkan pula karena aku lama tinggal di Bogor dan Bandung. Baru kira-kira dua bulan kulakoni menimba ilmu kembali pulang pergi setiap hari Bogor-Jakarta. Mungkin kulitku menjadi lebih sensitif dewasa ini. Atau mungkin manja? Entahlah. Sepeminum teh botol setelah tengah hari kunaikkan diriku ke dalam sebuah Kereta Api Ekonomi yang menuju Bogor. Aku naik dari sebuah stasiun kecil di salah satu sudut Jakarta. Di depan sebuah pasar yang telah berubah seingatku. Tidak sama lagi dengan pasar di mana aku pernah makan nasi tim bersama nenekku.

Saat itu kereta cukup sepi. Banyak tempat duduk yang belum terisi. Kupilih tempat duduk yang menghadap ke sisi tempat aku naik. Kebetulan jenis gerbong yang kutempati adalah yang saling berhadapan pada kedua sisinya. Dengan demikian penumpang yang duduk pada sisi kiri akan berhadapan dengan penumpang pada sisi kanan dan dipisahkan oleh ruang yang cukup besar. Tentu aja apabila tidak terdapat banyak penumpang lain yang berdiri. Aku duduk di sisi kanan ke arah majunya kereta. Hampir dekat pintu masuk penumpang yang selalu tidak pernah ditutup.

Hal pertama yang membuatku mulai memperhatikan seorang tua adalah semi-dialognya yang diucapkan kepada seorang murid SMP yang mencoba-coba untuk melihat ke luar kereta pada pintu kereta yang terbuka. Sedangkan sang orang tua itu sendiri duduk di lantai pada pintu kereta yang terbuka tersebut.

“Lu, jangan belagu lu! Macem-macem aja! Jatuh baru tahu rasa lu!” Begitu katanya.

Serentetan kata-kata lain keluar dari mulutnya untuk memperingatkan murid SMP tersebut agar tidak mencoba untuk melihat-lihat keluar dan bergelantungan pada pintu kereta. Hanya senyum cengegesan yang diperlihatkannya untuk merespon ucapan orang tua tersebut. Dicobanya melongok keluar beberapa kali tanpa mengindahkan kemudian ia kembali ke bangku yang berseberangan dan bergabung kembali dengan teman-temannya.

Lalu orang tua tersebut menggerundel beberapa perkataan dan kemudian diam. Badan yang bungkuk dan dekillah yang pertama kali tampak oleh penghilatanku saat ia berpindah dari lantai ke bangku yang kosong disebelahku. Sesaat ingin kugeser pantatku menjauhinya melihat penampilannya. Tapi hati nurani dan otakku merespon menghalangi refleksku, dan mulai kuamati dirinya. Dan mulai kulakukan monolog dengan diriku adakah alasan untuk berpindah tempat duduk hanya karena penampilan seorang tidak sesuai dengan keinginan kita. Setelah terjadi sedikit konfrontasi dalam benakku akhirnya kubiarkan diriku statis dan kutunggu perkembangan selanjutnya. Keingintahuanku berkembang pada karakter yang dibawa oleh seorang tua ini.

Lalu, muncullah seorang penjual Aqua gelas dan Sari Jeruk gelas.

“Aqua, Aqua, lima ratus, lima ratus!” katanya, dan lanjutnya, “Jeruk seribu, jeruk seribu!”

“Aqua!” kata seorang tua tersebut.

Dan berhentilah sang penjual mendekatinya. Terjadi sedikit dialog dan terjadilah transaksi antara segelas Aqua dan sekeping uang logam lima ratus rupiah.

“Terima kasih!” kata sang orang tua.

Yang dijawab dengan senyuman sedikit bingung oleh sang penjual. Mungkin sudah langka pada jaman sekarang ucapan tersebut. Apalagi diucapkan oleh seorang tua yang terlupakan. Ini adalah tafsiran yang terbersit secara reflek dalam benakku.

Lalu minumlah dengan nikmat orang tua tersebut.

Tak lama setelah itu, muncullah seorang penjual pulpen yang menawarkan barangnya seharga seribu rupiah. Kali ini cara menjajakan barang dagangannya hanya dilakukan dengan berbicara. Tidak dibagi-bagikan sebagaimana halnya pedagang sebelumnya. Harga yang sesuai dan bentuk pulpen yang menarik membuat sang orang tua tertarik untuk kemudian memanggil sang penjual pulplen.

“Satu seribu?” tanyanya antusias.

“Ya, seribu,” kata sang pedagang dengan penuh harapan.

Setelah mengeluarkan dompetnya, dibayarlah pulpen tersebut oleh sang orang tua. Dan kemudian ia mulai bercerita kepadaku mengenai murahnya pulpen tersebut. Di kampungnya, Mampang, pulpen seperti itu dapat dihargai dua ribu lima ratus rupiah. Dua setengah kali lebih mahal. Aku hanya tersenyum saat mendengarnya. Di saat itulah untuk pertama kalinya dapat kuamati sosoknya dari depan. Seorang tua dengan kulit kusam gelap dan berminyak berdebu. Wajah yang dipenuhi dengan kerut-kerutan kekerasan hidup. Sebelah matanya yang picak dan giginya yang jarang menambah kuat kekerasan hidup yang dijalaninya. Simpatiku untukmu orang tua di Kereta Ekonomi Jakarta-Bogor.

Suasana hening yang hanya dihiasi oleh bunyi kereta dipecahkan oleh munculnya sepasang pengamen menggunakan seperangkat alat karaoke. Kuberikan kepada mereka sekeping uang lima ratus rupiah. Ternyata kemudian perbuatanku inilah yang membuat seorang tua tersebut bercerita lebih banyak tentang dirinya.

“Bapak tinggal sendiri,” katanya dengan suara yang kurang jelas.

“Nggak ada sodara. Nggak ada istri,” katanya, “Dari pada bengong di rumah mendingan jalan.”

“Tapi bapak masih kerja. Begini-begini kerja dibayar orang. Nggak ngamen. Tadi masih muda-muda udah ngamen. Kalau duit sih cukup, di kantong ada. Mau makan bisa!”

“Banyak entu orang istri ngamen, suami enak-enakan nggak kerja, di rumah!” katanya dengan sedikit tajam.

“Rejeki itu dari Tuhan, kalo mau kerja pasti dapat. Nggak perlu ngamen. Bapak sih nggak sampe apa lagi minta-minta!”

Kujawab dengan senyum dan anggukan serta ucapan, “Bagus, Pak!”

Lalu kami terdiam. Ia kembali dalam lamunannya dan aku dalam lamunannya mengenai kebanggaan diri seorang tua mengenai pekerjaan yang dipilihnya. Ternyata di hati seorang tua, masih terdapat harga diri mengenai jenis pekerjaan yang dilakoninya. Uang bukanlah tujuan akhir. Proses mencari uang juga dipikirkannya, walaupun mungkin secara sederhana saja. Dasar inilah yang membuatnya tetap bekerja dengan tidak merendahkan diri, menurutnya.

Akhirnya sampailah kereta tersebut di Stasiun Bogor. Sesaat sebelum turun, pamitlah aku padanya,

“Mari pak!” kataku sambil tersenyum.

Kulihat ia tersenyum sekilas di sudut mataku. Semoga sukses dan selamat selalu seorang tua dalam Kereta Ekonomi Jakarta-Bogor.

Hari Kedua

Pertemuan hari kedua lebih sederhana. Saat kuberikan tempat dudukku kepada seorang ibu dengan anak dalam gendonganya, kuputuskan untuk pindah gerbong dan mencari tempat duduk lain serta mencari suasana baru. Akhirnya kuperoleh sebuah tempat duduk dihadapan seorang tua. Sayangnya, ia tengah merokok suatu merek yang amat tidak menyenangnkan aromanya. Ingin kuminta dirinya untuk menghentikan kegiatannya, akan tetapi terbersit suatu hal. Mungkin saja ia sedang mengalami masa-masa sulit sehingga harus merokok seperti itu. Atau hanya rokok dengan jenis seperti itu yang dapat dimilikinya. Entahlah. Akan tetapi banyak hal yang akhirnya membuatku terdiam dan hanya berharap di dalam hati agar ia menghentikan kegiatannya tersebut.

Akhirnya pada suatu stasiun dimatikanlah rokoknya tersebut setelah habis dihisapnya. Bersyukurlah diriku. Dan kemudian terkantuk-kantuklah aku dan akhirnya tertidur. Tak terasa sampailah kereta di stasiun akhirnya, dan dibangunkanlah aku oleh dirinya, sang orang tua. Aku terkejut dan tersenyum seraya berkata, “Terima kasih, Pak!” Ternyata terdapat sisi lain dirinya yang masih memperhatikan orang-orang di sekelilingnya. Semoga engkau selalu dalam lindungan-Nya, seorang tua dalam hari kedua. Amin.

**Kolaborasi dengan Dancewith – 2003-08-22

“Hmm, biasa saja. Banyak kata-kata yang tak kumengerti, misalnya saja ‘komuter’..,” gumam pemuda itu. “Mungkin sebaiknya kubaca lebih lanjut.”

Ein kleines Restaurant

Damals ging ich als kleines Kind mit meiner Familie ins Restaurant. Meine Mutter aβ gern Salat und Gemüse, aber main Vater aβ nur Fleisch und Fisch. Deshalb aβ ich alles (Salat, Gemüse, Fleisch und Fisch). Aber heute eβe ich lieber Suppe, Brot und Kartoffeln. Manchmal eβe ich Fisch und Fleisch. Jedes Wochenende eβe ich Salat und Obst.

Ich bin schon mal in ein indonesisches traditionelles Restaurant gegangen. Dort habe ich zum ersten Mal gutes orientalisches Essen gegessen. Das was letztes Jahr.

Seit dem habe ich mich an ein kleines indonesisches Restaurant erinnernt.

Und dann habe ich mit meinem Freund darüber diskutiert. Dann habe ich einen kleinen alten Laden um die Ecke zwischen Erstenstraβen und Zweitenstraβen gekauft. Ich wollte den Laden in ein kleines Restaurant machen.

Aber heute habe ich kein Geld. Deshalb muss ich viel Geld sparen, um ein kleines Restaurant zu machen. Das ist mein Traum.

**Zusammenarbeit mit Gnud D – 2003-09-03

Ein Schriftsteller werden möchten

Ein heiβer Tag war es. Schon lange hat es nicht geregnet. Zum ersten Mal habe ich hier diese Geschichte geschrieben. Ein Problem hatte ich und ich konnte dafür keine Lösung finden. Ich wolte gern ein Schriftsteller werden und möchte es noch immer, aber ich konnte noch keine richtige Gramatik und keine richtigen Wörter auf Deutsch schreiben.

Dann habe ich in einem Buch in einer Buchhandlung gelesen, daβ man immer wieder schreiben soll, obwohl man viele Fehler macht. Das has mich den Mut gegeben, weiter zu screiben. Danach habe ich diese Geschichte geschrieben. Ich habe schon den Name des Schriftstellers von dem Buch vergessen, aber an seinem Rat erinnere ich mich noch immer. Ich danke ihm für diesen Rat.

**Zusammenarbeit mit Gnud D – 2003-09-27

Die Mülleimer werden schwer gefunden

Jetzt ist es Mittag und hier stehe ich am Fenster in diesem Zug. Es ist heiβ und feucht. Ich bin zu müde, um auf den nächsten Zug zu warten, deshalb steige ich in diesen Zug ein, obwohl er schon voll ist.

Gestern haben wir mit dem Lehrer über dem Müll in dem Deutschunterricht diskutiert. Und dann sehe ich heute, daβ die Leute fast immer irgendwo Mü werfen. Sie machen die Umgebung schmutzig. Aber sie haben nicht immer Schuld daran, denn die Mülleimer sind schwer zu finden.

Die Gemeinde soll mehr Mülltonnen machen, finde ich. Ich denke, daβ jede Leute saubere Stadt leben. Finden Sie auch?

**Zusammenarbeit mit Gnud D – 2003-10-06

Tiga kisah pendek dengan cepat dibaca pemuda itu. Cepat karena ia tidak mengerti bahasa yang dituliskan. Lalu ia pun membaca lanjut.

Bertepuk Sebelah Tangan

“Terinsipirasi dengan Senopati Pamungkas-nya Arswendo Atmowiloto :p - di mana dalam novel ini terdapat jurus Tepukan Satu Tangan yang merupakan pemahaman Eyang Sepuh terhadap Kitab Bumi.”

“Ilmu segala ilmu itu adalah Tepukan Satu Tangan, di mana satu tangan lebih terdengar daripada dua tangan. Di banyak negara diberi nama berbeda, tetapi intinya sama. Pasrah diri secara total”

Cinta adalah masalah yang memusingkan. Semua tahu orang dan mengerti mengenai cinta akan tetapi sekaligus semua orang tidak mengerti bagaimana cinta itu sebenenarnya. Bukankah hal ini menjadi suatu paradoks? Mungkin. Akan tetapi hal itulah yang dapat dikatakan. Boleh setuju boleh juga tidak. Banyak contoh mengenai hal ini dan rasanya tidak perlu disebutkan satu per satu bukan?

Rayi Na Rani adalah salah satu contoh figur sosok wanita yang mungkin dapat mewakili sebagian kelompok dalam masyarakat, mengenai bagaimana sulitnya ia memperoleh cinta, cinta dalam arti yang sebenarnya ia inginkan. Penampakan fisik tidak ada yang kurang dari dirinya, begitu pula dengan caranya mengekspresikan diri. Ia mudah bergaul dan memiliki banyak teman. Tidak ada yang kurang darinya. Sehingga saat teman-teman mereka menemukan pasangannya dan kemudian menikah, ia masih tetap sendiri dan terus menekuni jalan hidup dengan kesibukan pekerjaannya. Hal itu pula yang menjadi tanda tanya bagi rekan-rekan mereka, mengapa ia belum pula menemukan atau ditemukan oleh pasangan hidupnya.

Apabila dikatakan tidak ada yang jatuh cinta atau menyatakan suka dan ingin membina hubungan dengannya, pernyataan itu salah besar, karena ia telah berkali-kali mengalami pernyataan ‘suka’ dan ‘sayang’ yang kadang-kadang dirasakan tidak atau kurang berkenan di hati. Dan penolakan-penolakan yang dilakukan membuatnya merasa semakin sepi dan sendiri. Pada dasarnya ia menolak bukan karena adanya kekurangan dari yang menyatakan, akan tetapi hanya saja ia tidak merasakan adanya ‘cinta’ kepada yang menyatakan. Ia tidak merasakan “kehangatan” ataupun perhatian. Hanya kekaguman semata yang dirasa. Dan dasar ini belum cukup kuat untuk menumbukan rasa sayang untuk membalas atau menerima pernyataan-pernyataan sayang tersebut.

Dan yang cukup ironis adalah bahwa apa yang diimpikan seorang Rayi Na Rani sebenarnya adalah sangat sederhana. Ia ingin menjadi seorang istri dan ibu dari anak-anak yang diperolah dari seorang lelaki yang dicintai dan mencintainya. Serta sedikit memiliki usaha sampingan yang dilakukannya di rumah sambil merawat anak-anaknya serta menunggu sang suami pulang dari kantor. Sederhana bukan. Dan hal itu bukanlah merupakan sesuatu yang muluk-muluk dalam era globalisasi saat ini.

Kemudian dengan melajunya sang waktu, di mana hanya Ia yang dapat menghentikannya, bertambahkan usia dirinya. Dan semakin tekun dan tenggelamlah ia dalam pekerjaan dan hobi-hobi di luar jam kerjanya. Yang semakin ditekuni, dan semakin memberikan posisi yang tinggi dalam pekerjaan dan juga struktur sosial. Dan mungkin juga akan membuat banyak para pemujanya menjadi semakin tidak percaya diri karena hal ini, walaupun belum dapat dipastikan tentunya.

Dan yang kadang sering terjadi adalah - dengan berlalunya waku - muncul pengagum-pengagum dengan usia yang jauh lebih muda. Yang dengan sangat percaya diri menyatakan atau mengisyaratkan adanya perhatian. Dan ini tentu saja hal ini dirasa kurang cocok, karena kedewasaan atau pemanjaan dan perhatian dalam arti mengemong yang diinginkan bukan saja tidak diperoleh, malah harus diberikan apabila menerima kasih sayang dengan seseorang yang jauh lebih muda usianya. Kadang dengan jengkel Rayi Na Rani berujar dalam hati, “Pada kemana nih, cowok-cowok tua, memangnya udah pada habis apa, sehingga gue harus dinyatain terus ama daun muda!” Sambil kadang tersenyum dan juga meringis dalam hati. Kalau dia menghitung-hitung, sudah 7-8 kali pernyataan dari kaum muda, di berbagai kota yang disinggahinya dalam perjalanan hidupnya, yang ditolaknya dengan berbagai alasan. Dan terakhir dengan menggunakan alasan bahwa sebenarnya ia telah mempunyai seseorang di dalam hati, akan tetapi sang pujaan hati sedang menunaikan tugas sebagai seorang tentara di medan perang. Sehingga ia harus menunggu dengan tiada kepastian. Setelah satu atau dua kali, alasan-alasan penolakan dapat dengan mudah mengalir untuk menutupi kebohongan-kebohongan yang disertai dengan ucapan manis yang tidak menjanjikan apa-apa seperti, “Udah kita temenan aja ok? Nanti gue bantuin deh cari ce yang seumuran elo,” atau “Udah elu jadi adik gua aja, ocre!” Yang sebenarnya ucapan-ucapan tersebut merupakan pisau yang menikam hati sang pemuja dan juga sang pengucap.

Itulah sosok seorang Rayi Na Rani. Seorang wanita karir yang tegar, yang hanya mendambakan seorang yang lembut, penyayang, dapat memanjakan dirinya, tidak terlalu mengekang, dapat dipercaya, dapat berperan sebagai ayah, kakak, adik dan yang pasti kelak sebagai suami. Dengan tegar ia langkahkan kakinya terus menelusuri hidup ini, sambil sang waktu dengan tanpa belas kasihan terusmenerus mengurangi waktunya sedikit demi sedikit. Tetapi Rayi percaya bahwa, suatu saat nanti akan muncul seorang satria - mungkin seorang Senopati Pamungkas - yang menuntaskan kesedihannya dengan melamarnya sebagai istri untuk membesarkan anak-anaknya. Sampai saat itu tiba, Rayi Na Rani akan selalu berbesar hati dan bersemangat bekerja dan melakoni hidup dengan sebaik-baik cara yang dapat dilakukannya.


“Buat apa sih tanya-tanya tentang masa lalu gue!” kata Rayi Na Rani suatu waktu sebagai jawaban atas pertanyaan salah seorang pemujanya.

“Ga ada yang perlu diceritain!”

“Kalo elu suka ama gw, elu harus mau nerima gua apa adanya, ok!” katanya sambil tersenyum.

Senyum yang dapat menjatuhkan siapa saja. Senyum yang sebenarnya sering disalah-artikan oleh banyak pengagumnya.

Walaupun demikian, terkadang terasa sepi juga hati seorang Rayi Na Rani di kala tiada kesibukan yang ditekuninya, atau di kala akhir minggu di mana belum ada rencana untuk melakukan aktivitas apa pun. Dan pada saat-saat seperti itulah teringat dirinya akan para pemuja-pemujanya dan juga seorang dua yang benar-benar pernah singgah di hatinya, akan tetapi kemudian berpisah karena tidak adanya kecocokan.

Dan hal yang paling dibenci seorang Rayi Na Rani adalah pengandaian. Dia sama sekali kesal apabila tiba-tiba saja tersirat dalam pikirannya, “Bagaimana ya, rasanya kalau gue dulu jadian ama dia, terus sekarang pasti …” “Bull shit, semua itu!” batinnya, “Orang tidak boleh terjerat dalam masa lampau dan pengandaian-pengandaian yang membuat akan tetapi tidak memberikan pengharapan.” Dan kemudian seperti biasa yang dilakukannya adalah melakukan motivasi diri bahwa ‘apa yang terjadi adalah merupakan hasil dari keputusan yang telah dipilihanya. Jalan hidup yang telah diambilnya. Dan ia harus hidup hidup dengan konsekuensi ini’ dan sama sekali tidak boleh mengeluh. Setelah itu biasanya ‘menari’-lah dirinya dalam kesendiriannya melakukan jurus-jurus kegemarannya sampai dirinya tenggelam dalam atmosfer yang penuh konsentrasi ketenangan. Sampai akhirnya rasa lelah, kepuasan dan ketenangan diperolehnya kembali, untuk kemudian beristirahat dan kembali pada keesokan harinya membuka lembaran baru dengan penuh semangat. Dan kembali mengarungi hidup.

Pernah suatu waktu di masa lampau, salah seorang yang pernah ada di hatinya. Memutuskan untuk berpisah darinya disebabkan oleh suatu idealisma yang harus dijalani. Dan seorang Rayi Na Rani dapat mengerti akan hal itu. Dan perpisahan pun terjadi. Tanpa tangis. Tanpa kesedihan. Dan juga nanti janji untuk suatu saat akan bertemu kembali dan membina lagi tali kasih yang pernah sementara waktu terjalin. Sempat beberapa saat Rayi Na Rani termenung kosong, hari-hari setelah kejadian tersebut. Dan hal itu tetap berlangsung kendati pun kesibukannya sehari-hari tidak berkurang, atau cenderung bertambah. Karena pikirnya, dengan kesibukan kesedihan dan kesepian dapat dilawan. Dan setelah beberapa saat berada dalam keadaan tersebut, tersadarlah ia, bahwa ia harus kembali bangkit. Kesepian dan kekosongan - bukan kesedihan - yang dibiarkannya meresak ke dalam tulang, darah dan daging sanubarinya harusnya dibilas dengan semangat untuk terus berharap akan datangnya kebahagiaan yang barus. Yang datang untuk kemudian tidak akan lagi meninggalkannya. “Rasa kesia-siaan ini harus dihilangkan” pikirnya, akan tetapi tentu saja dengan cara yang baik.

Mulai saat itulah seorang Rayi Na Rani sering memotivasi diri, melakukan hal-hal yang dapat membuatnya merasa beruntung bahwa sebenarnya bisa aja ia berada dalam keadaan yang lebih menderita dengan kesedihan mendalam yang menyertai. Ia bersyukur bahwa dirinya telah disadarkan bahwa waktu akan terus bergulir, entropi akan selalu bertambah dan kebahagiaan akan selalu datang. Dan ia percaya itu. Jika ada yang bertanya, bagaimana ia bisa seyakin itu. Ia akan menjawab dengan cukup sederhana.

“Elu tahu cahaya kan?” katanya sambil tersenyum,

“Gak ada yang lebih cepat dari cahaya - dan dalam teori walaupun bergerak dengan laju c - cahaya itu tetap dapat dibelokkan oleh gravitasi.” Kemudian lanjutnya, “Orang dapat mengamati hal ini saat terjadinya gerhana matahari total.”

“Dengan mengamati perubahan posisi bintang-bintang di langit.” Ucapanya dilanjutkan dengan gaya menerangkannya yang khas, yang dapat membuat orang berjam-jam bicara kesana kemari dengannya, “Jadi jika cahaya yang sedikian cepat aja bisa dibelokkan oleh gravitasi, kenapa kebahagian dan cinta yang abstrak tidak bisa diperoleh dengan pengharapan dan keyakinan akannya?” ujarnya sambil mengakhiri dengan amat manis dan diplomatis.

Yah, begitulah seorang Rayi Na Rani, mudah membuat orang jatuh hati akan tetapi begitu susah digapai. Dan Hanya sedikit orang yang bener-benar pernah singgal di dalam hatinya. Untuk kemudian kembali pergi meninggalkan kenangan.


Rayi Na Rani mempunyai beberapa sahabat yang dikenalnya sejak masa kuliah dulu. Mereka-mereka inilah yang dapat mengerti bagaimana dirinya sebenarnya. Akan tetapi dengan berlalunya waktu, semakin bergeserlah titik massa persahabatan mereka karena karir menuntut masing-masing orang untuk melanglang buana menimba ilmu, berkarya, menjalankan tugas serta melakukan hal-hal lain. Sekarang sahabat-sahabatnya itu berada di berbagai penjuru dunia, seperti: Bandung, Yogyakarta, Kln, Agra, Enschede, Paris, Yokohama, St. Petersburg, Hannover dan Queen - dan terima kasih untuk dunia maya - sehingga sang Rayi Na Rani masih dapat berhubungan dengan sahabat-sahabatnya. Walaupun hanya sepersekian waktu yang ada dalam sehari. Itu pun karena adanya perbedaan waktu.

Apabila boleh dikatakan, sahabat terdekatnya mungkin adalah Bayu. Samasama belajar Tai-Chi dari Om Tjia sejak SD, SMP dan SMA, kemudian melanjutkan kuliah di perguruan tinggi yang sama walau mengambil bidang studi yang berbeda. Bayu hampir selalu ada di mana Rayi Na Rani berada. Hal ini mungkin karena kemampuan Bayu untuk menempatkan diri di samping Rayi, kadang sebagai sahabat, kadang sebagai teman dan kadang sebagai saudara. Dan satu hal yang menjadi pantangan Bayu, dan hal ini pun diketahui Rayi, adalah jatuh cinta kepada Rayi.

Bayu pernah suatu saat berujar,

“Rayn, " begitulah panggilan sayang Bayu kepada Rayi.

“Elu tau kan bahwa gw sayang banget ama elo? Dan gw selalu akan sayang ama elo. Maka itu gue nggak pernah mau jatuh cinta ama elo.”

“Gue tahu kok. Tahu banget. Itu kan elo banget.” kata Rayi sambil tersenyum.

“Selalu care ama gue, bahwa kadang lebih care ke gue dari ke diri elo sendiri.”

“Emang kenapa sih, kok tiba-tiba ngomongin itu?”

“Nggak, hanya ngebayangin aja kalo suatu saat elo jadian ama seseorang…” lanjutnya, “Gue ga punya orang buat disayang lagi dong?”

Saat itu Rayi Na Rani dan Bayu masih duduk di bangku SMA dan mereka sama sekali tidak akan menyangka bawah hubungan mereka akan menjadi lebih serius. Saat itu yang terpikirkan adalah selalu bersama, membuat masing-masihg bahagia. Bahwkan dengan kadang-kadang saling menjodohkan atau mencarikan kecengan untuk masing-masing. Bila teringat akan masa-masa itu, sering Rayi Na Rani tersenyum sendiri. Indahnya masa lalu bersama seorang sahabat.

Kemudian saat duduk di bangku kuliah semester terakhir bekenalannlah Rayi Na Rani dengan Wahyu, seorang seniornya yang sering membantunya dalam mengerjakan tugas akhir. Hal ini terjadi karena kebetulah, mesin yang akan digunakan oleh Rayi Na Rani dalam penelitian sebagai bagian dari tugas akhirnya dikelola oleh Wahyu, yang merupakan pula orang pernah menyatakan rasa sukanya kepada Rayi Na Rani pada suatu saat setelah masa OS berlalu. Biasa, cilok saat OS. Perkenalan Rayi dengan Wahyu yang kemudian berlanjut dengan mengantar pulang dan menjemput sebelum bekerja bersama-sama dalam laboratorium sedikit meregangkan hubungan Rayi Na Rani dengan Bayu. Hal ini pun didukung oleh kesibukan Bayu yang sering ke lapangan untuk mengumpulkan data-data sebagai dasar mengapa ia memilih suatu judul tertentu sebaga topik penelitiannya.

Kata orang, kebersamaan yang terus menerus dan didukung oleh suasana bisa menumbuhkan cinta. Dan itu memang benar. Sangat eksak. Mungkin seperti halnya F = ma-nya hukum kedua Newton. Di mana cinta F akan tumbuh apabila ada kebersamaan a yang bergantung waktu (bertambah atau berkurang) dan suasana m yang mendukung. Suasana bisa diciptakan atau pun dimusnahkan. Akan tetapi sebagai konsekuensinya, untuk menciptakan atau memusnakannya diperlukan suatu pengorbanan (energi - red.) seperti halnya E = mc2.

Dalam masa pertengahan pengerjaan tugas akhir, Rayi Na Rani akhirnya menerima perasaan suka dan sayang Wahyu, yang bertubi-tubi diungkapkannya siang dan malam. Saat mengambil data dan makan siang. Secara langsung ataupun melalui e-mail. Ia merasa yakin, bahwa inilah orang yang tepat. Inilah orang yang akan selalu menyayanginya. Selalu ada untuknya. Selalu akan memanjakannya, dan memperhatikannya. Perasaan ini pun mengalahkan logikanya, bahwa mungkin saja hal ini hanya akibat dari suatu suasana sesaat belaka. Rayi Na Rani merasa dirinyalah orang yang paling bahagia. Oh, indahnya saat itu. Dunia pun tersenyum melihat kegembiraan kedua insan.

Dan nun jauh di sana, di tanah Cendrawasih, si sebuah Manokwari, seorang Bayu - yang menjadi legam karena seringnya tercabik-cabik teriknya sang Mentari - sedang tekun-tekunnya melakukan penelitiannya dan ia sama sekali tak menyadari perubahan yang telah terjadi pada sahabatnya. Harapannya hanyalah, ingin cepat-cepat kembali ke kota Parahyangan, kembali ke dekat sahabatnya untuk kembali tertawa dan bercanda ria. Melalui hari-hari dengan penuh kebersamaan dan persahabatan.

“Yu, kenalin ini Wahyu. Asisten gue di Lab. Sistem. Kita udah jadian lho!” kata Rayi Na Rani seperti biasa dengan candanya yang riang.

“Jad..jadian..?” kata Bayu, seakan tidak percaya apa yang sedang diucapkan oleh sahabatnya.

“Iya. Udah lama. Klo g salah, sebulan sesudah kamu ngambil data ke Manokwari.”

“Gue sebenernya mo kasih tahu elu, tapiWahyu bilang nanti aja buat surprise.”

“Jadinya, gw baru kasih tahu sekarang. Kasih selamat dong gue!” kata Rayi Na Rani sambil mengansurkan tangannya ke arah bayu.

Bila ingat saat itu, ada rasa bersalah muncul dalam hati Rayi Na Rani. Ia ingat betul bagaimana ekspresi muka Bayu. Dengan memaksakan senyum dan perkataan yang manis, Bayu pun mengucapkan selamat. Sungguh besar dikau sahabatku, selalu saja engkau perhatikan aku walaupun itu menyakitimu sendiri.

Setelah hari itu. Bayu masih sering menghubungi Rayi Na Rani akan tetapi tidak sesering dulu. Bayu tahu diri, karena sahabatnya telah memiliki seseorang yang sudah pasti akan mendominasi hari-harinya. Jadi hubungan antara Rayi dan Bayu beransur-angsur menjadi biasa-biasa. Tak ada lagi tawa canda lepas, cerita-cerita khayalan tentang masa depan, tentang negeri Utopia, tentang kemajuan Teknolog ala Start Trek, conpiracy ala X-File dan sebagainya.

Dan waktu pun berlalu. Bayu mendapat pekerjaan untuk menangani suatu permasalah yang Rayi Na Rani sendiri tidak mengerti walau telah dijelaskan oleh Bayu. Queen adalah kota tujuannya. Dan ia akan bekerja di sama sesuai dengan kontraknya selama 4-5 tahun.

Seorang sahabat telah pergi. Dan sang kekasih?

Kepergian Bayu bukanlah merupakan suatu masalah bagi Rayi Na Rani karena ada Wahyu di sisinya yang selalu siap untuk membantunya dalam segala hal. Walaupun kadang-kadang dirasakan hal tersebut terlalu mengekangnya. Ia tidak lagi bebas. Tidak lagi bisa melakukan semua yang dia inginkan. Seperti halnya waktu ia masih sendir dan Bayu ada di sisinya. Akan tetapi hal itu dapat diimbangi dengan pemanjaan yang diberikan Wahyu. Perhatian dan kasih sayang.

Hanya saja, ternyata ekstrapolasi peristiwa ke masa depan tidak seperti yang kita harapkan. Es gibt immer in der Zukunt etwas, das man berhaupt nicht vermutet oder hofft, nicht wahr (Di masa depan selalu terdapat sesuatu yang tidak diduga atau diharapkan, ya nggak).

Wahyu belum siap untuk menikah dengan Rayi Na Rani.

Hal itu dikatakannya pada suatu malam, setelah mereka menonton konser musik akustik di suatu sasana budaya di kota Parij van Java. Rayi Na Rani benarbenar kecewa dengan ucapan itu. Ia sudah membayangkan bahwa setelah perkenalannya dengan orang tua Wahyu dan Wahyu dengan orang tuanya, jenjang pernikahan akan cepat menjemputnya.

Alasan Wahyu cukup klise. Aku belum siap. Sabar ya, sayang. Dua-tiga tahun lagi. Sekarang kita kerja dulu, kumpulin modal. Saat itu bayu sudah 2 tahun bekerja di suatu perusahaan mobil terkemuka di Surabaya dan Rayi Na Rani sedang menunggu hasil akhir wawancara pada suatu perusahaan farmasi di Rengas Dengklok.

Perkataan-perkataan yang diucapkan malam itu mengubah segalanya. Tiada lagi harapan untuk lekas-lekas menikah. Tiada lagi mimpi indah untuk cepat menimang bayi yang lucu, yang selalu menangis. Dan yang paling diimpikannya, bayi tersebut sangat mirip ayahnya. Sehingga saat ayahnya belum pulang, dan rasa rindu telah menerjang. Diciumilah sang buah hati dengan lembut dan rasa sayang.

Perpisahan tanpa pertengkaran. Perpisahan yang amat penuh dengan logika dan diplomasi. Tanpa pelukkan dan ciuman di kening. Tanpa janji untuk bersua kembali. Tanpa apa-apa. Hening. Sepi. Dan angin pun berhenti berhembus seakan-akan tiada lagi perbedaan tekanan udara di berbagai tempat. Seakanakan di mana-mana menjadi isobar. Dan waktu pun terhenti. Di dalam hati.

“Tidak. Keindahan itu belum saatnya datang untukku,” batin Rayi Na Rani. Dan saat panggilan wawancara datang, dan menyatakan ia diterima untuk mulai bekerja bulan depan. Rayi langsung menghubungi perusahaan tersebut. Ia menyatakan bahwa siap untuk mulai bekerja minggu depan. Semakin cepat semakin baik. Pikirnya. Jauh dari kota ini, kota yang mengingatkan akan pupusnya suatu impian indah. Pupus bersama orang yang dicintainya. Pernah dicintainya. Dan pernah diharapkan untuk menjadi pendamping hidupnya.

Rayi pergi tanpa pamit kepada Wahyu. Walaupun ayah dan ibunya telah berpesan, “Nduk, pamitlah walau sepatah dua patah kata!”

Dan tiada alamat ditinggalkannya. Rayi Na Rani sementara waktu pun hilang dari kehidupan Wahyu. Kemudian, sementara berevolusi menjadi selamanya.

Tak lama didengar dari seorang kenalannya, melalui e-mail, bahwa Wahyu telah bertunangan dan akan menikah dengan seorang.

Tiada penyesalan. Tiada kemarahan. Hanya ada sedikit kesedihan, kapankah waktu tiba. Menemui kebahagiaan seperti itu.


Lembaran baru dibuka. Suatu waktu muncul seorang Adrian. Simpatik, lucu dan ambisius dan amat terbuka. Sama-sama di bagian pemasaran. Samasama menekuni Tai-Chi. Walaupun kota kecil Rengas Dengklok mempunyai beberapa perguruan Tai-Chi. Dan Rayi Na Rani serta Andrian mengikuti salah satu diantaranya. Di sana lah mereka pertama kali bersua.

Sebenarnya seorang Adrian itu biasa-biasa aja. Dari sosok, okelah, seorang cewek pasti akan merasa aman apabila berada di dekatnya. Posturnya mirip tentara. Sebagai hasil latihan fitness. Tampang, boleh dikatakan biasa-biasa. Seperti kebanyakan. Oleh sebab itu lah, pernah suatu saat setelah perkenalan, Rayi Na Rani lupa kalo itu adalah Adrian. Karena saat mereka bertemu kembali bukan di tempat latihan, melainkan di kantor sebagai pegawai baru bagian pemasaran.

“Hai, Rani!” panggil seseorang saat Rayi Na Rani hendak menghempaskan diri ke dalam bangku kerjanya.

“Hai juga!” balasnya, seperti biasa. Ramah ke setiap orang.

“Gimana sejak kemarin lusa, udah baikan belum tungkai mu?” kata seseorang itu dengan ramah.

“Tungkai? Oh, udah, udah baikan. Eh kok elu tahu sih tungkai gue keseleo?” tanya.

“Eh, sorry, btw elu teh … Adrian, Masya’Allah, elu ngapain di sini?” serunya, “lagi nengokin gua?”

“Iya, eh nggak deng!” balasnya, “Gue kerja di sini.”


“Kerja? Sejak kapan?” balas Rayi Na Rani.

“Sejak hari ini.” katanya penuh dengan senyum, “Ok, kan?”

Sejak saat itu, mereka berdua bagai tidak dapat dipisahkan. Saat rapat, makan siang, latihan Tai-Chi dan juga dinner. Rayi Na Rani benar-benar merasa kan kembalinya kebahagiaan, seperti pada suatu waktu di masa lalu. Di mana ia pernah mengalaminya.

Candle light dinner. Konser musik Jazz. Latihan berdua di taman. Ngudak-ngudak buku bekas di pasar loak. Berjam-jam berdiri membaca buku di Gramedia. Belanja.

Adrian selalu ada di mana dan kapan diperlukan. Di saat ia lelah setelah jam kantor, tawa dan candanya seakan-akan merupakan pemulih tenaga yang memberikan kesegaran. Saat iya sakit, perhatian dan kasih sayangnya membantunya untuk cepat pulih untuk kembali beraktivitas. Tiada hari, jam, menit bahwa detik yang tidak terisi oleh Adrian. Adrian seakan-akan merupakan cairan kehidupan yang mengalir dan mengisi relung-relung kesepian dan kekosongan hatinya. Membangkitkan kembali gairan dan khayalannya untuk membina hubungan dengan seseorang. Seseorang yang akan selalu ada di sampingnya, selalu memperhatikannya, memanjakannya. Seseorang yang sangat … Adrian. Tentu saja, hanya Adrian bukan?


Indahnya hari-hari pun berlangsung.

Sampai tiba kembali fase kehidupan yang menjengkelkan itu.

Ketidakpastian kembali menyerang seorang Rayi Na Rani.

Sudah satu tahun hubungan mereka berlangsung. Dan sudah satu pula belum ada tanda-tanda kepastian bahwa hubungan mereka berlanjut kepada bentuk ikatan yang didambakan Rayi Na Rani. Sampai suatu saat, ketakutannya kembali menghantui. Akankah hal itu kembali? Membuat kekecewaan lagi?

Setiap kali seorang Rayi Na Rani menanyakan hal itu kepada kekasihnya Adrian mengenai bagaimana kelanjutan Adrian. Setiap kali pula, curahan dan kasih sayang Adrian semakin berlimpah-limpah menderanya, sehingga seorang Rayi Na Rani pun terlena, menikmati kebahagiaan dan melupakan kembali pertanyaanya. Perasaannya membutakan pikirannya. Kasih sayang yang bertubitubi menghilangkan keraguannya.

Akan tetapi saat ia sendiri, setelah sholat dan siap akan tidur. Pikiran itu kembali mengusik batinnya. Pernyataan yang diharapkan akan dikeluarkan Adriannya tidak kunjung tiba. Keragu-raguan kembali menyerangnya. Mengelisahkan dan kadang membawa temannya sang mimpi buruk untuk mengganggu tidurnya, bahwa sang kekasih akan kembali meninggalkannya. Meninggalkannya hanya untuk suatu alasan lama yang klise. Belum siap. Belum waktunya. Tunggulah saatnya.

Dan dua tahun pun berlalu. Dengan hubungan yang masih dipenuhi curahan kasih sayang, pemanjaan dan romantisme. Dan juga dipenuhi dengan kekuatiran akan ditinggalkan.

Dua tahun pun menjadi tiga tahun. Dan keadaan yang sama tetap bertahan. Seakan enggan menginggalkan seorang Rayi Na Rani. Seakan senang membuatnya tidak tenang. Menghanyutkannya dengan candu kasih sayang dan perhatian, sekaligus membuatnya gelisah dengan ketidakpastian.

“Sayang, gue mau bicara nih!” katanya dengan mimik sungguh-sungguh, “Kapan ada waktu?”

Terasa lucu mendengarkan perkataan tersebut dari seseorang yang sudah sedemikian dekat di hati dan selalu mengisi setiap detik dari kehidupan.

Suatu perasaan tidak enak menyelinap dan berkembang dalam hati seorang Rayi Na Rani. Dan hal itu pun terbukti.

Setelah beberapa saat terdiam dan hidangan makan malam pun telah habis. Suasana menjadi amat hening. Keromantisan restoran di puncak bukit seperti halnya suatu Peak Cafe pun tidak dapat menggugak keheningan yang mencekam. Keheningan di mana seakan-akan tidak lagi terdapat kehidupan. Tidak lagi terdapat vibrasi. Benar-benar suatu keheningan mutlak, benar-benar nol Kelvin dalam emosi.

Dengan amat diplomatis Adrian pun menerangkan, bahwa dirinya telah dijodohkan oleh orang tuanya dengan seseorang. Yang kebetulan merupakan teman masa kecilnya. Dan ia tidak keberatan karena ia pun pernah mencintai teman masa kecilnya itu. Dan selama berhubungan dengan Rayi Na Rani, perasaannya selalu mendua. Hatinya belum dapat menentukan siapa yang akan akan dipilihnya sampai suatu waktu telepon orang tuanya lah yang menjatuhkan vonis, siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya. Selamanya.

Seorang Rayi Na Rani pun tak mampu mengucapkan kata-kata. Walaupun tiada air mata yang tercurah, akan tetapi hatinya menangis. Firasatnya telah mengisyaratkan akan datangnya hari ini. Akan kembalinya cerita lama. Kembalinya kekosongan yang mencengkeram jiwanya.


Hari-hari belangsung kembali seperti biasa, seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Adrian telah minta berhenti bekerja, karena ayah calon istrinya menawarkan pekerjaan dalam bidang marketing farmasi yang dapat dilakukannya setelah ia menikah. Dan ia tidak menolak tawaran itu. Proses pamitan yang kosong, penuh dengan basa-basi. Penuh dengan kasih sayang dan perhatian kosong dapat dilakoni seorang Rayi Na Rani dengan baik. Dengan senyum yang mengembang, pelukan dan kecupan pipi diberikannya untuk sang bekas kekasih. Tanpa ada perasaan apa-apa. Kosong. Tenang.

Rapat, seminar, latihan dan curahan-curahan kasih sayang dari para pemujanya, serta latihan rutin Tai-Chi, kembali mengisi hari-hari seorang Rayi Na Rani. Dalam menghapi pujaan dari para penggemarnya yang kembali muncul setelah mereka mengetahui bahwa seorang Rayi Na Rani kembali lagi sendiri, diatasinya dengan amat cantik. Dilakukannya dengan cara yang diplomatis. Sehingga tak seorang pun akan sakit hati, walaupun ditolaknya. Mereka tetap giat untuk saling berlomba mendapatkan dirinya. Memperoleh cintanya. Memperoleh hatinya. Dan Rayi Na Rani kembali menikmati hal itu. Membiarkan dirinya terbuai dalam curahan kasih sayang para pemujanya. Curahan perhatian. Walaupun ia belum memikirkan untuk membalasnya. Ia membiarkan dirinya menikmati dan menikmati. Sedikit balasan dan ucapan yang mengambang, makin membuat mereka semakin menggebu untuk merebut perhatiannya.

Dan kala perhatian-perhatian semu itu tiada. Kala waktu seakan berhenti. Kala sendiri di akhir minggu atau di malam hari. Teringatlah Rayi Na Rani akan sahabat masa kecilnya. Sahabat yang pernah singgah di hatinya sebagai sahabat. Seorang yang memperhatikannya dengan kasih sayang yang murni, dengan tanpa ada maksud pribadi. Seorang yang sangat menyegarkan dan menenangka, seorang sang Bayu. Yang sedang jauh di sana, melaksanan tugas pekerjaannya.

“Masih ingatkah dia akan diriku?” batin Rayi Na Rani, “Masih sayangkah dia?”

“Alangkah nyamannya bila ia ada di sini,” khayalnya. Dan ia kembali teringat perkataan sang sahabat yang belakangan ini semakin memberikan makna pada perjalanan hidupnya. Semakin dimengerti olehnya. Semakin jelas dan terang.

“Persahabatan yang melebihi cinta!” kata Bayu, saat itu.

“Persahabatan yang melebihi cinta!” balas Rayi Na Rani, sambil menjabat erat tangan sahabatnya dan kemudian memeluknya.

Saat itu begitu indah dikenang. Begitu lekat di dalam ingatan. Di manakah engkau sekarang sahabat. Hanya engkau yang paling mengerti diriku. Serta memahamiku.

Terima kasih sahabatku. Kuingin kembali mengulang saat-saat indah bersamamu. Mengisi hari-hari tanpa kegelisahan. Ketenteraman berada di sisimu. Bukan kenyamanan dan kemanjaan yang bergelora. Bukan curahan kasih sayang yang menggebu-gebu. Hanya ketenangan. Kenyamanan. Halus. Lembut dan menenteramkan.

Terima kasih sahabatku. Aku benar-benar kehilanganmu, sahabat.

Deutschland, Musim Dingin 2004 - 2004-04-20

Tak terasa air mata pemuda itu sedikit meleleh. Dapat ia sedikit merasakan kesepian yang dirasakan oleh tokoh dalam cerita itu. Setelah membetulkan duduknya, ia pun mulai lagi membaca.

Saat itu matahari telah lewat titik kulminasinya, tapi tak berarti bagi sang pemuda yang duduk di bawah pohon rindang itu.

Ketika Kaki Telah Melangkah

““Nicht immer denken!” sagte Tatsumotos Brüder, als Capt. Nathan Algren beim Schwerttrainieren wieder velierte, “Zu viel Bedenken!” - von Last Samurai (Tom Cruise, Ken Watanabe).”

““Nicht immer denken!” sagte Joachim, als ich zum ersten Mal Aikido probierte.”

Karl termenung memikirkan hal-hal baru yang telah dilakukannya beberapa hari belakangan ini. Terlalu banyak hal-hal baru yang terjadi dalam kurun waktu yang singkat. Ia telah meninggalkan kotanya untuk merantau di tanah asing ini. Di mana ia sendiri kadang-kadang bila membayangkan, masih tidak bisa percaya bagaimana ia bisa sampai terdampar di sini.

Pekerjaannya yang lama, sebagai pegawai sebuah perusahaan jasa informasi, telah pula ditinggalkannya, karena di tempat asing ini ia mendapatkan tawaran yang lebih menggiurkan. Gaji yang lebih besar dan fasilitas untuk mengembangkan diri yang lebih lengkap.

Dan yang paling tidak bisa dibayangkannya adalah bahwa ia telah pula meninggalkan sahabat karibnya di kota di mana mereka dilahirkan dan tumbuh bersama. Karl kadang berpikir apakah ini sebenarnya alasan mengapa sampai ia pergi dan bekerja di sini. Apakah benar hal itu yang ia inginkan atau hanya untuk menghindar karena ia tidak bisa melihat sahabat karibnya berbahagia di samping orang yang telah dipilihanya. Orang yang bukan dirinya.

Karl tidak bisa memberikan jawaban, walapun pertanyaan tersebut diajukannya sendiri. Senyum getir tersungging di sudut bibirnya sesaat dan kemudian hilang kembali. “Mungkin memang benar kata orang”, katanya dalam hati, “bahwa kepada dirinya sendiri pun orang belum bisa terbuka.” “Mengenal diri sendiri?”, kekehnya dalam hati, “Omong kosong!” “Membohongi diri sendiri, itu baru benar!” katanya kepada dirinya sendiri sambil mengingat-ingat segala hal yang telah dilakukannya dalam rangka kepergiannya ke sini.

Ia ingat dengan jelas saat-saat terakhir bertemu dengan sahabat karibnya Katanja. Saat di mana Katanja mengenalkan kekasinya. Karl ingat betul bagaimana ekspresi keterkejutannya, bagaimana kekakuannya menjabat tangan kekasih sahabat karibnya. Dan bagaimana kekikukannya dalam berbincang-bincang dengan mereka.

Dan kemudian ia pergi tanpa pamit secara langsung kepada Katanja. Hanya sebaris kalimat dalam e-mail yang dikirimkannya.

“Semoga sukses selalu dan berbahagia. Sahabatmu selalu, Karl”

“Sahabatmu selalu!” batinnya, bisakah ia selalu menjadi sahabat dari Katanjanya, yang tela memiliki orang lain dalam hidupnya, yang tidak lagi pernah memintanya datang hanya sekedar untuk berbincang-bincang. Atau menelopon hanya untuk bergurau atau sekedar mengingatkannya untuk makan siang atau sholat.

“Waktu telah berubah Karl dan mungkin Katanja juga sudah berubah,” kata suara di dalam kepalanya, “ia mungkin sahabatmu, tetapi ia telah memiliki seseorang. Apa yang kamu bisa harapkan dari hal ini?”

Karl kembali termenung, “munkinkah hal itu benar?”

Setelah seseorang menemukan pendamping hidup, tidak diperlukanlah lagi orangorang lain, selain sang kekasih. Di dalam dunia ini hanya mereka yang ada. Hanya mereka yang berarti. Orang-orang lain, teman, sahabat dan kenalan hanya merupakan pemain figuran yang tidak perlu diingat atau diperhatikan keberadaannya.

Mungkin iya, mungkin juga tidak.

Karl kembali tidak bisa menjawab. Atau mungkin memang tidak perlu dijawab. Langkah yang telah diambilnya tidak memiliki jalan balik. It is a point of no return. Dan ia tidak menyesali. Hanya rasa sepi. Sendiri. Sunyi yang ada dalam hati.

Dan Karl pun kemudian mengela hapas, bangkit dan melangkahkan menuju entah kemana kakinya membawa, hanya sekedar untuk menghabiskan hari ini. Tak terasa ia melantunkan sebuah puisi - yang ditemukannya tidak sengaja di internet - menari bersama hantu yang menurut penulisnya adalah ungkapan untuk orang yang sedang berlatih gerak sendirian. Akan tetapi Karl berpendapat lain. Menurutnya, puisi itu menceritakan orang yang biasa menari bersama pasangannya, akan tetapi walaupun kemudian pasangannya pergi meninggalkannya dan ia tetap menari. Sendiri. Menghibur diri. Who knows?

“Die vergange Eingebung beibringt mir, wie man benehmen soll. Das Gefuehl von Unabhaengigkeit beibringt mir, wie man lieben und sich kuemmern soll. Und undenlicher Hoffnungsstrahl beibringt mir, wie man mit der Konsequenzen wegen Waehlen ueberleben und um das Leben zum Leben kaempfen soll. Alles erinnert mich immer, wie ewig Freundschaften statt Liebe sind.”

“The inspiration from the past, it tells me how to behave. The feeling of independence, it tells me how to love and to care. And the never end ray of hope, it tells me how to live along with consequences because choices and to fight for life to live. All always remember me, how friendships instead of love eternal are.”

“Renungan masa lalu mengajarkan bagaimana berkelakuan. Rasa kemandirian mengajarkan bagaimana mencintai dan melayani. Dan berlimpahnya cahaya harapan mengajarkan bagaimana terus hidup dengan konsekuensi pilihan hidup dan berjuang dalam hidup untuk hidup Semuanya selalu mengingatkan, bagaimana kekalnya persahabatan melebihi cinta.”

Deutschland, Musim Dingin 2004.

Semakin bingung sang pemuda. Tadinya ia mengharapkan tulisan-tulisan selanjutnya akan semakin jelas. Sayangnya tidak.

Cinta Kampret

Qantum Dot–Duh, cinta itu adalah masalah yang lebih rumit dari Quantum Dot. Soalnya cinta itu adalah masalah kehidupan sedangkan Quantum Dot hanya ada pada dunia ambisi. Tertawalah! Karena memang patut ditertawakan. Gejolak jiwa muda, kadang membuat hidup ini ceria, kadang malah menggiring diri masuk dalam lubang perangkap sendiri. Perangkap hati. Pilihan yang sulit dilakukan. Di sini sayang, di sana suka. Realistis malah menjadi musuh utama yang ingin sekali dihindari.

Arie, seorang mahasiswa pasca sarjana seni dunia renik sedang berjuang menetapkan hatinya yang belakangan hari ini gundah. Bukan karena pelajaran intuisi kuantum yang mempuat pusing, akan tetapi dua insan, yaitu Julia dan Amanda. Dengan istilahnya sendiri, Arie menetapkan sepihak bahwa Julia adalah domestic patner dan Amanda dan dirinya sedang menjalani serious relationship.

Belakangan saat ia menghadiri seminar internasional “Penerimaan Publik terhadap Seni Dunia Renik Terdistorsi” di Kobe, Jepang, bertemulah ia dengan Yumi. Salah seorang peserta seminar. Dan tanpa sadar Arie menetapkan Yumi dan dirinya sedang dalam distance relationship.

Dengan adanya batasan geografis tidaklah sulit bagi Arie untuk membagi cintanya kepada ketiga insan tersebut. Masing-masing rela menerima frekuensi curahan kasih yang sedikit karena beranggapan ia sedang sibuk dengan kuliahnya. Suatu pengertian yang menguntungkan.

Akan tetapi bukankah seorang pecatur mahir harus pula mendapat lawan yang sebanding? Demikian pula kawan kita Arie. Secara tak sengaja Amanda terpilih bersama beberapa teman-temannya untuk mewakili perusahaan mengadakan pameran di Düsseldorf, Jerman. Dan tentu saja kesempatan ini tidak disia-siakannya untuk bertemu dengan Arie, sang kekasih. Dan yang amat kebetulah orang tua Julia tinggal di kota yang sama. Kemungkinan Julia ada di kota tersebut pada setiap akhir minggu amat besar. Pusing tujuh keliling diperolehnya. Dan mungkin karena penatnya, Arie mengambil jalan untuk memperoleh solusi dengan melakukan curhat ke Yumi mengenai hal itu. Akan tetapi dengan pengandaian-pengandaian, bahwa yang mengalami hal tersebut adalah temannya.

Waktu pun berlalu dan Arie semakin terlarut dalam jadual-jadual ketat pencurahan kasih sayang kepada ketiga hatinya: Amanda, Julia dan Yumi. Hanya waktu yang dapat mengawasi sampai mana kesanggupan Arie melakukan kehidupan seperti itu, bahkan di sela-sela kesibukannya merampungkan tesis paska sarjana-nya.

“… jangan main api, bila takut terbakar, jangan main air, bila takut basah, … yang menanam, akan menuai,”

Hasil kolaborasi dengan Kumara dan Imran. Deutschland, Musim Dingin 2004.

Pemuda itu sedikit tersenyum saat membaca tulisan terakhir. “Ini tentu yang dimaksud dengan kerangka cerita,” gumammnya, “mungkin menarik apabila kerangka ini dikembangkan lebih lanjut.”

Dahinya berkernyit saat melihat tulisan selanjutnya yang dituliskan dalam bahasa asing yang ia tidak kenal. Tapi ia berusaha untuk terus membacanya.

Der Drache

Ich drehte meinen Kopf nach links und dann wider nach rechts. Es tat mir immer noch weh, wenn ich das machte, seit dem letzen Kampf des Krieges gegen die vereinigen Ländern.

Nach dem Krieg musste man wieder normales Leben wieder weiterführen, wie man früher gemacht hatte. Und ich bin war ein Beamter, dann musste ich als Beamter wieder arbeiten. Hier in diesem dunkelen und feuchten Raum von Abteilung 673-JON-1 des Verteidigungsministerium von dem Land Prankpurt-ketoprak.

Nun konnte ich mich aber nicht mehr entspannen, weil man alle renovieren musste, was man beim Krieg zerstört hatte. Wir mussten uns beeilen, alle in ordnung zu bringen. Oder wurde es anderen Krieg geben, der von der Armut, dem Hunger, der Kranke, dem Opfer herrührte.

“Scheiße!” rief ich im Herz, als Das Telefon plötzlich klingelte, während ich beim Gedanken war.

“Fei Hung, Wong, Abteitulung 673-JON-1, guten Morgen,” antwortete ich unbegeistert. Ich vermutete, dass es nur anderer Chef war, der neuen Befehl erteilen wollten. Das bedeutete mir neue Arbeit. Und es war egal, ob meine laufende, jetztige Aufgaben schon erledigt oder nicht sind.

“Guten Morgen Herr Wong, hier ist Wiro von Abteilung 212-GEN-1” rief berühmter Ton da drüben von anderer Seite erstauntlich.

“Da du ja, Wiro,” antwortete ich fröhlich, “Was gib’s denn da?”


“Es gibt keine besonderes. Es geht tja nur darum..,” sagte Wiro unwahr-scheinlich.

“Um was meinst du?” antwortete ich ungeduldig, und bestimmt sehr begeistert.

“Na ja, wie soll ich das sagen?”, war er still, und dann sagte er weiter, “Es geht um die Bombe!”

“Die Bombe? Welche Bombe meinst du?” reagierte ich panic, weil es noch meine Aufgabe war, die Bombo aufzuschreiben.

“Die Bombe, die bei Syes Gurke ist” redete er weiter, “Es ist noch nicht vorbei. Ich habe Information, dass es noch viele von der gibt. Und die werde aktiviert, wenn wir die erste deaktiviert werden.”

“Woher weisst du das, wenn ich fragen darf,” frage ich unangenehm, weil normaleweise konnte man nicht wissen, wer der Geheimdienst war.

“Ich kann nur dir seinen Kode sagen” antwortete er vorsichtig, “Man nennt ihn als 007.”


Es gab lange Ruhe inzwischen, bevor wir davon wieder redeten.

“Also, du Wiro,” sagte ich langsam und entspannend, “Darf ich mit ihm reden, dem Geheimdienst?”

Dann gab es wieder keinen Ton zwischen uns.

“Na ja..,” sagte er wieder unwarhscheinlich, “Ich habe ihn versprochen, dass ich niemals jemanden mit ihm treffen lasse.”

“Verstehe, kein Problem Kumpel!” antwortete ich, als ich schon die Antwort wusste.

“Wills du die Informatio, die du mir gegeben hast, offiziel melden, or nur ‘of the record’?” fragte ich langsam.

“Ich will das offiziel machen, weil es sehr wichtig für die Leute in der Nähe, aber kannst du denn die aufscreiben, dass die von Unbekannte kommt?” fragte er weiter.

“Eigentlich ja, das kann ich machen” antwortete ich sicher, “aber man kann nicht die Aktion von der Bombe-Abteilung erwarten, weil unbekannte Information niedrige Priorität haben wurde.”

“Ich wieß es, und das sagte 007 auch,” raunte er fast unhörbar.

“Lassen wir uns das Thema wechseln, was denks du?” sagte ich plötzlich, weil die Atmosphere nicht mehr angenehmen war.

“Wie geht’s deiner Familie?” fragte ich ihm.

“Es geht immer gut nach dem Krieg. Nun haben wir fast ganz normales Leben. Der Garten fehlt noch,” antwortete er erstaunlich.

“Schön das zu hören,” kommt der Satz von mir.

“Und wie bei dir, ist alles in Ordnung?” fragte er mir zurück.

“Alles ist in Ordnung, und besonders auch die Kinder,” antwortete ich.


Nach dem Gespräch kam ich wieder zur Gedanken, was es mir noch heutzutage fehlte.


Kaltblütige Geschichte war es.

Wiro saß entspannt wieder, nachdem er den Fei Hung anrief. Das Problem war schon gelöscht. Das kam von dem Geheimdienst 007.

Er dachte noch daran, wie es war, als 007 mit ihm telefonisch davon redete. Es war eine Stunde lang, und es war sehr spannend, wie er in richtigem Krieg wäre.

“Du bist Wiro, richtig!” sagte jemand mit schwerer und tiefer Stimme, als er von Dunkelheit käme.

“Ja, ich bin Wiro. Und wer ist das?” antwortete er unsicher, weil er die Stimme nicht kannte.

“007 bin ich,” antwortete er kurz.

“Wenn da du bist, was ist die Katasthrope von unserer Tage, wobei wir gegen gefärhlichen irgenjemand zusammen kämpfen?” fragte er langsam und vorsichtig.

“Da gab es nur eine Katastrhope. Sie war ‘Kolor Ijo’,” antwortete er sicher, wieder tiefer und sogar mit schrecklihcem Ton.

Als der Mann das sagte, hörte ich, dass wie ich in die Vergangenheit zurück-gezogen würde, wo es den Schrei von den Opfern gab, die von Kolor Ijo getötet wurde. Der Schrei war in einer Videoaufnahme.

Sechsundzwanzig Frauen lagen auf dem Flor eines Hauses. Die waren Ge-schwister: Oma, Tante, Muter, Tochter, Nichte und Enkeltochter. Die feierten gerade. Und dazu bestellten sie die Gastronomie von einem Restaurant mit drei Mitarbeiter, unter der der Kolor Ijo sich versteckte.

Eigentlich gab es schon eine Warnung oder besser besser wenn mah das als Vorhersage nannte. Die kam von der Frau Mantili Madangkara, eine Psycholog-in-Chemikerin, die mit Psychopath und Chemie arbeitete.

Die Frau sagte, dass es jemand ist, der frisch vom Gefängnis freigellasen wurde. Er war vermutet noch nicht ganz gesund, aber die Arzt konnte nicht prüfen, dass er nocht ein Irrer war. Er passte alle Prüfungen und Messungen. Und mit einer Empfehlung konnte er normal arbeiten.

Er war so fleißsig. Er kam immer mit guten Ideen. Und eine von denen war eine Party von weibliche Geschwister auf dem Land fern von den Leuten.

Eine Family war gefangen, und bestellte die Angebot. Mit der ganzen weiblichen Geschwister fuhren die zum Tod, zur Sklaverei.

Er tötete seine Mitarbeiter nicht, aber er machte die Aktion vor der, dann kommen die zur Verrücktheit für immer. Die sind noch beim Asyl.

Die Anruf von 007 erinnerte ihn immer daran, und auch diese Mal, obwohl es um die Bombe statt kalblütiger Mörder von Kolor Ijo.

Aber es war jetzt vorbei. Er sagte dem Fei Hung das Bescheid weiter, obwohl es noch unoffiziell war. Er wollte einfach gleich nach Hause gehen, die Family in der Arme zu nehmen.


“Ich werde nich kommen,” sagte Der Drache den Herrn von ihm.

“Dann mussen Sie sterben,” antwortete einer von denen.

“Dann machen Sie. Sterben Sie mich einfach,” beantwortete er wieder.

Danach kam eine Kugel durch der Luft in die Brust. Schnell and zwar sofort kam der Drache um das Leben, weill er ‘in Aktion’ nicht mehr wollte.

Alle waren da stehend zur Erinnerung der Gruppe EBBE 2004 und Kolaboration mit Wong Fei Hung.

Ende – 2005-01-29

Setelah sedikit frustasi, pemuda itu kemudian menarik napas dan mulai dengan tulisan selanjutnya.

Akiko

Adalah seorang anak, Akiko namanya. Ia seperti anak-anak pada umumnya, penuh ceria, lucu, dan tidak membosankan. Sejak bangun tidur sampai mau tidur lagi ada saja kelakuannya seakan-akan tidak pernah kehabisan energi, hal itulah yang membuat orang tuanya gemes dan ingin menggisangnya. Oh ya, selain itu ia juga mudah makannya. Atau kalau boleh dikatakan, amat mudah sehingga siapa pun yang menyuapinya akan sangat senang. Mungkin sifat ini merupakan sifat turuanan, terutama dari ayahnya yang gemar menggali.

Suatu waktu, ia bermain-main putar-putar sendiri sambil terus mengoceh. Dan tak lama kemudian akhirnya ia berjalan dengan terhuyung-huyung karena pusing. Akan tetapi seperti tidak ada kapok-kapoknya, Akiko terus melakukannya lagi dan lagi, walaupun sudah diberitahu bahwa hal itu dapat membuatnya pusing. Anaknya memang benar-benar top deh! Orang tuanya sampai tidak tahu harus berkata apa lagi. Dan yang dapat dilakukan hanyalah tersenyum sambil terus memperhatikan.

”Tuh pusing, kan!” kata bunda. Akiko hanya tertawa sambil terus mengoceh dengan bahasa planetnya.

Entah dia pusing atau hanya bercanda, lalu katanya, ”Wa wa wa wa,” sambil terus berjalan ke sana kemari.


Persiapan pergi ke negeri impian ”Jerman” sudah aku persiapkan sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Aku sangat senang karena tak lama lagi aku akan bertemu lagi dengan ayah Akiko, setelah sekian lama kami berpisah. Mungkin ada 9 bulan lamanya. Ketika itu umur Akiko baru 3 bulan. Dalam waktu yang tidak lama, keperluanku dan Akiko sudah aku atur sedemikian rapi dari yang hal kecil sampai yang rumitpun sudah kupersiapkan. tentu saja semua aku lakukan tidak sendiri, dibantu dengan oma dan opa Akiko. Lama juga persiapannya, sekitar dua bulan itupun masih ada saja masalah, tapi aku sangat bersyukur karena ALLAH selalu membantuku, sehingga akhirnya selesailah dan kamipun dapat berangkat dan akhirnya berkumpul kembali. Ayah, bunda dan Akiko buah hati kami.


Pencet-pencet Tombol. Akiko memiliki beberapa kegemaran, yang salah satunya adalah memencet-pencet tombol. Entah itu tombol lampu, komputer atau pun TV. Semua digemarinya untuk ditekan-tekan. Apalagi apabila perbuatannya tersebut menghasilkan perubahan yang dapat ditangkap panca inderanya, misalnya suara, cahaya dan sebagainya.

Pernah suatu waktu Akiko kaget sendiri saat sedang melakukan kegemarannya, yaitu waktu ia mematikan lampu di ruang tidur. Sesaat setelah tombol lampu yang terletak di lantai dipencetnya, keadaan menjadi gelap gulita dan ia pun kemudian menangis,

”Deedaa, deedaa!” panggilnya kepada sang bunda.

”Akiko tidak boleh takut, lampunya hanya mati saja,” kata sang bunda menerangkan dan kemudian menunjukkannya dengan menyalakan dan kemudian mematikan lampunya kembali.

Ya itulah, setelah tahu kalau hal itu tidak menakutkan dan berbahaya, kembalilah Akiko melakukannya. Dan pada suatu waktu lampu tersebut mogok untuk nyala kembali alias mati beneran. Walaupun itu bukan seluruhnya akibat perbuatan Akiko. Melainkan karena lampu itu juga sudah lama tidak diganti.

Tombol Berbahaya. Ternyata selain menekan tombol-tombol yang tidak berbahaya, Akiko pernah pula melakukan perbuatan yang cukup berbahaya, yaitu ia memutar tombol kompor listrik (Elektroherd – auf Deutsch), di mana saat itu bunda dan ayahnya tidak menyadari. Untung saja tidak terjadi apa-apa karena uap akibat sisa-sisa minyak yang tertumpak di atas pelat pemanas Elektroherd cepat terlihat, sebelum tangan bunda atau ayah keburu menyentuhnya.

”Apiici..!” katanya, saat diberitahu bahwa hal tersebut berbahaya. Itu adalah ungkapan Akiko untuk meminta maaf atas perbuatannya. Sejak Akiko telah memiliki kemampuan memutar tombol Elektroherd, bunda dan ayah menjadi lebih hati-hati dan lebih sering memeriksa tombol-tombol tersebut setelah meninggalkan dapur. Hanya untuk berjaga-jaga agar kejadian tersebut tidak terulang lagi dan dapat menyebabkan hal-hal yang berbahaya.


Isyangkar dan Over and Over Again. Percayak tidak, jika Akiko telah memiliki beberap lagi kegemaran, selain Schnappi das kleine Krokodil tentunya. Coba tebak? Lagu tersebut adalah Isyangkar yang dinyanyikan oleh Mustafa Sandal dan Gentleman serta Over and Over Again yang dinyanyikan oleh Nelly dan Ted McGraw Setiap satu dari kedua lagi tersebut diputar di TV, bergoyanglah Akiko. Dengan kadang-kadang tangannya diputar-putar pergelangannya atau diangkatnya seluruh lengannya ke atas. Tak jarang pula diputar-putar badannya. Lucu sekali melihatnya.


Mandi dan Main Pancuran. Akiko sangat tidak suka mandi karena suatu waktu pernah hampir terpeleset dalam bak mandi (bathtup atau Badewane) dan kemudian ditangkap bunda sehingga tidak terjatuh.

”Akiko sayang, mandi yuuk!” kata bunda.

”Waaahhh, waahhh!” tangis Akiko apabila terus dipaksa, setelah sebelumnya menolak dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan acara mandi menjadi suatu acara yang amat merepotkna karena Akiko meronta-ronta tidak mau dibasuh dengan air.

Akan tetapi pada suatu waktu bunda menemukan bahwa Akiko senang main pancuran (shower) saat mandi dan lupa untuk berteriak-teriak dan meronta-ronta. Oleh karena itu kemudian hari berkatalah bunda kepada Akiko,

”Main pancuran yuk!” sambil tersenyum.

”Heg!” kata Akiko, yang berarti ”iya bunda” dan bergeraklah ia dengan semangatnya ke kamar mandi sebelum untuk kedua kalinya diajak.


Pecah dan Jatuh. Karena seringnya Akiko melempar atau menjatuhkan barang-barang sehingga menimbulkan suara keras dan kadang-kadang merusak barang-barang tersebut, bunda menasehati agar hal itu dilakkukan karena nanti barangnya dapat pecah.

”Cah!” kata Akiko, suatu saat. Dan bunda dan ayah tertawa, karena yang dimaksudnya dalah jatuh.

Ya, Akiko mengasosiasikan bahwa ”jatuh” itu sama dengan ”pecah”. Untuk sementara bunda dan ayah membiarkannya karena tentulah amat sulit menjelaskannya pada anak seumur Akiko mana yang merupakan proses dan mana yang merupakan akibatnya.


Tumbuh Gigi dan Sariawan. Masa yang paling menyedihkan bagi bunda dan ayah Akiko adalah saat Akiko sedang tumbuh giginya dan sekaligus sariawan di daerah dekat tumbuh giginya. Untuk menyuapi Akiko bunda harus berhati-hati agar tidak mengenai bagian yang sakit, yaitu bagian bawah kanan agak tengah mulutnya. Lain rasanya, karena biasanya Akiko makan dengan ”menggali” (amat lahap). Saat-saat tersebut Akiko menjadi sangat sensitif dan manja. Selain itu yang paling membuat sedih adalah bahwa Akiko ingin makan atau mengemil, ia tidak dapat melakukannya karena mulutnya sakit dan ia kemudian menangis. Bunda dan ayah sedih sekali saat itu.


Jaket Coklat Tua. Ada sebuah benda yang amat tidak disukai oleh Akiko. Siapa pun yang memakai jaket coklat tua tersebut entweder ayah oder ibu, Akiko tidak menyukainya. Pernah suatu waktu Akiko sedang tidak enak perasaannya dan tidak mau digendong ayah, padahal ayahnya sedang kangen sekali. Kemudian terpikir oleh ayah apakah itu disebabkan oleh jaket coklat tua tersebut. Maka jaket coklat tua tersebut dilepaslah oleh ayah dan digantungkan.

”Ayah ini nah, gr!” kata bunda dengan tertawa, ”Emang anaknya aja lagi ga mau digendong ayah.”

”Tuh mau kan?” kata ayah dengan gembira.

Ternyata memang Akiko benar-benar tidak suka jaket coklat tua itu. Entah apa alasannya. Mungkin suatu saat setelah ia besar dan masih ingat akan hal itu, barulah ada penjelasannya. :) —


** Hasil kolaborasi dengan Milinding di awal tahun 2005 Deutschland – 2005-02-03

“Ini bagus,” ucap pemuda itu puas. Kepuasan saat menemukan cerita yang cocok dengan keingingan hatinya saat itu. Ia lalu melanjutkan bacaannya dengan membuka halaman berikutnya.

Atraktor Kelam

Atraktor kelam, sang pengambil keputusan. Pengadilan virtual yang telah dilaksanakan dan dipercaya beratus-ratus tahun untuk menggantikan pengadilan biasa ternyata selama beberapa puluh tahun belakangan ini memiliki kecenderungan untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang amat biner atas kasus-kasus yang ada, yaitu bersalah atau tidak bersalah. Tanpa mempertimbangkan aspek-aspek yang mendorong terjadinya kasus tersebut. Seorang mahasiswa perguruan tinggi bidang informatika hukum virtual, Pferiuk X secara tidak sengaja mencermati hal ini karena adanya email gelap yang nyasar ke dalam mailboxnya. Tantangan-tantangan dihadapinya saat ia mengajukan topik tugas akhirnya Kegagalan Metoda Samar Pengambilan Keputusan dalam Pengadilan Virtual, datang tidak hanya dari kalangan akademisi akan tetapi juga dari kalangan teknokrat. Dengan berbekal semangat dan integritas serta dukungan dari kaum underground yang menjadi korban kepincangan keadilan digital, berusaha Pferiuk X untuk menggali informasi dan memaparkannya kepada publik mengenai ketidakstabilan sistem pengadilan digital mereka saat itu.

Era Keputusan Digital. Jauh setelah metoda samar (fuzzy logic) diperkenalkan oleh Dr. Lotfi A. Zadeh dari University of California, Berkeley dalam era tahun 60-an, kepercayaan orang-orang akan keunggulan metoda ini untuk mengadakan logika diantara bilangan biner ‘1’ dan ‘0’ atau ‘benar’ dan ‘salah’ atau ‘ya’ dan ’tidak’, semakin tinggi. Terlebih setelah suatu kasus dicobakan dalam model simulasi Pengambilan Keputusan Digital dengan menggunakan superkomputer IBM Blue Gene/L di Rochester, USA. Dengan menggunakan milyaran data dari seluruh dunia sebagai kasus pembanding, dari berbagai kultur budaya dan hukum adat, serta berbagai algoritma rumit yang memasukkan aspek-aspek yang mungkin terpikirkan oleh para pakar dari berbagai bidang hukum, simulasi tersebut dijalankan untuk menentukan kesalahan bagi para pelaku dalam kasus Pencurian Spektakuler oleh keluarga Mayonari. Dalam persiapan perampokan terkenal tersebut para pelaku berkolaborasi dengan berbagai pihak dan kemudian menggunakan hasilnya untuk membangun suatu koloni hibrida (hybrid) manusia, mesin dan tumbuhan yang di kemudian hari ternyata bermanfaat untuk mengatasi ‘bencana alam besar’ dan menyelamatkan banyak manusia.

Pilihan menggunakan pengadilan digital untuk kasus ini adalah mengingat jumlah pihak terkait yang sangat banyak dan internasional serta belum adanya hukum-hukum yang mengatur akan efek-efek ‘baik’ di kemudian hari yang dapat menjadi hal yang meringankan hukuman. Selain itu, bahwa pencurian dilakukan secara sistematis dan berkala selama kurun waktu 20 tahun sehingga hampir boleh dikatakan baik nasabah maupun bank yang bersangkutan tidak mengalami kerugian, karena setelah beberapa saat jumlah yang diambil dikembalikan, berdasarkan pembagian keuntungan yang diperoleh dari keuntungan diseminasi awal pembangunan koloni hibrida tersebut.

Akhir tahun 2120 digunakan secara resmi di muka bumi Pengadilan Virtual sebagai implementasi pengambilan keputusan yang dilakukan secara digital. Sejak saat itu orang tidak perlu lagi pergi ke pengadilan karena sidang dapat dilaksanakan secara on-line dan keputusan akan diberlakukan secara instan. Kasus-kasus kejahatan diklasifikasikan berdasarkan berbagai macam kategori dan cross reference dibangun sebagai basis data multi lingua dan kultur. Semua informasi tersebut dapat diakses secara terbuka oleh siapa saja untuk kasus-kasus yang telah dijatuhkan keputusannya. Dengan ini diharapkan keterbukaan akan memberikan peringatan buat bad guy untuk tidak mencoba-coba.

Apabila sebelumnya dalam persidangan biasa, para pemeran persidangan perlu hadir dalam ruang dan waktu yang sama, maka dalam sistem pengadilan virtual ini, semua dilakukan secara on-line. Dengan menggunakan sistem penerjemah juri dan hakim dapat diambil dari tempat yang amat berjauhan dan secara acak sehingga mustahil dapat terjadi kebocoran informasi dan apabila terdapat, masih dipersulit oleh faktor geofrafis untuk diintimidasi secara langsung. Untuk itu perlu terlebih dahulu dilakukan perancangan sistem peradilan virtual secara agak detil sehingga dapat digunakan sebagai atmosfer dalam mengalirkan cerita yang sarat dengan istilah-istilah teknologi.

Tokoh yang terpikirkan baru beberapa kelompok dan tokoh, yaitu: Pferiuk X sang penggali informasi, kaum underground para korban ketidakadilan digital, keluarga Mayonari para penguasa sistem informasi, kaum hibrida yang amat minor dalam sistem hukum, Weiß Einstein, cucu buyut Virtuel Enstein sang pencipta Program Pengadilan Virtual, yang memiliki source code asli dari program tersebut dan orang-orang yang berlaku sebagai akademisi, teknokrat, budayawan dan kaum meta fisika informasi – yang memiliki kemampuan menyimpan informasi dalam bentuk energi dalam makhluk hidup. Kelompok terakhir diduga merupakan orang-orang yang sadar lebih dulu mengenai kepincangan sistem peradilan digital.

Konflik. Peliknya proses penggalian informasi yang disebabkan oleh luasnya ruang lingkup yang harus dicermati merupakan atmosfer utama cerita ini. Orang harus dapat menentukan algoritma yang tepat agar informasi dapat digali secara efesien dan tepat. Mungkin adanya kepentingan pribadi seperti jatuhnya keputusan yang tidak adil secara nalar terhadap salah seorang sahabat Pferiuk X dapat memacunya untuk menggali informasi lebih dalam.

Lompatan Teknologi. Apabila diperlukan dapat dilakukan penggunaan teknolog-teknologi hitam (black technology) seperti ‘warp’, ‘jump in time’, ’teleport’, ‘anti-gravitation’ dan lain-lainya asalkan dapat membangun cerita menjadi semakin imaginatif dan kaya. Akan tetapi tidak memusingkan atau menyesatan dan membuatnya malah menjadi tidak menarik. Setting Waktu dan Tempat —- Untuk mudahnya waktu diletakkan di masa depan dari saat ini (2005) dan di suatu daerah yang belum ada atau yang telah ada dengan terlebih dahulu melakukan survei geografis melalui internet agar terlihat agak riil (tidak mengada-ada).

(Hasil kolaborasi dengan Milinding dan Elkariza, Deutschland, 12.3.2005) – 2005-03-12

Pemuda itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya yang menjadi pusing karena banyak kata-kata yang ia tidak mengerti tercantum dalam tulisan terakhir. Tapi ia tidak menyerah dan terus membaca.

Air Terjun Meluap

Sudah lupa lelaki itu kapan mimpi itu diperolehnya sebagai bunga tidur. Sudah lama. Sudah lama sekali. Kenangan itu muncul kembali saaat istrinya menceritakan mimpinya yang penuh dengan air, seperti banjir bandang yang timbul akibat tsunami. Seperti terlihat di dalam televisi saat kota-kota di propinsi Aceh tergenang oleh air laut yang bercampur dengan air sungai. Membawa segala macam benda, hidup dan mati bersamanya. Mengalir ke sana kemari.

“Air di mana-mana,” kisah sang istri.

Akibat cerita mimpi sang istrilah, teringat kembali lelaki akan mimpinya, yang juga menceritakan tentang air yang meluap dari suatu air terjun, menggenangi kota dan bangunan di sekitarnya.


Alkisah di suatu tempat di suatu negara di suatu planet pada suatu waktu, terdapat suatu kota yang indah. Dibangun dan ditata sedemikian rupa asri dan selaras dengan alam sekitarnya. Udara bersih dan kicau burung memenuhi atmosfer, memberikan rasa nyaman pada orang-orang yang tinggal di sana.

Entah apa namanya kota itu. Akan tetapi ada satu bagian kota yang bener-benar mengagumkan. Bagian tersebut dibangun persis di sebelah suatu air terjun yang tinggi, sehingga orang-orang dapat menikmati keindahan air terjun itu setiap saat. Percikan air yang jatuh dari ketinggian, terbawa oleh angin membuat udara menjadi segar dan nyaman. Bahkan di siang hari yang sedang panas-panasnya.

Suatu gedung bertingkat yang megah yang berfungsi sebagai tempat tinggal dibangun di atas sungai tepat diseberang air terjun. Orang-orang yang mampu secara finansial dapat menempati gedung tersebut yang memiliki pemandangan utama air terjun dan sungai lebar di depannya. Gedung itu sendiri bila dilihat dari atas langit berbentuk agak elips atau lonjong telur sebagai ganti persegi atau kotak sebagaimana lazimnya suatu gedung bertingkat. Hampir dua ratusan lantai terdapat di dalam gedung itu.

Para pemilik hunian tersebut memiliki masing.masing balkon yang berarah ke air terjun tersebut. Bagian lain yang tidak mengarah ke air terjun, digunakan untuk tempat berjemur, karena tidaklah mungkin berjemur di hadapaan air terjun yang membuat udara menjadi lembab. Di dalam balkonnya masing-masing para pemilik hunian dapat menikmati air terjun dan percikan airnya secara privat tanpa gangguan dari pengunjung yang harus berjejal-jejal berdiri di suatu pinggiran sungai untuk dapat menikmati air terjun dan udara segarnya.

Selepas dari air terjun dan apartemen bertingkat hampir dua ratus tersebut dapat ditemui suatu taman, yang merupakan pusat kegiatan anak-anak bermain dan ibu-ibu pengasuhnya yang melingkari suatu kolam dilengkapi dengan beberapa patung dan air memancur di tengahnya. Terutama di sekitar waktu makan siang, berkumpul orang-orang di sekitarnya. Teman-teman sekantor, ayah dengan anak dan istrinya, orang-orang tua dan lain-lain. Merek memanfaatkan waktu makan siang untuk bersama-sama berbincang dan mengisi perutnya. Bermacam-macam hidangan dibawa oleh orang-orang tersebut, dari yang sederhana seperti sandwich dan biskuit sampai rantangan yang berisikan beefsteak dan gado-gado ataupun sayur asam. Tempat yang meriah dan sederhana, serta rapih.

Mimpi itu tidak menceritakan lagi bagaimana lebih lanjut landsekap dari bagian kota tersebut. Hanya sampai di situ. Imaginasi sang pemimpi mungkin yang membatasinya sendiri.

Entah bagaimana, sang lelaki yang juga ada di sana, yang sedang dalam perjalanan menuju taman, selepas kerja di kantornya, untuk makan siang bersama anak dan istrinya, sedang menuruni suatu tangga di muka taman yang berseberangan dengan lobby gedung kantornya, ingin berhenti dan memandangi air terjun tersebut. Dari tangga tersebut dapat orang melihat apartemen dengan hampir dua ratus lantai dan air terjun itu dengan jelas, bahkan buih-buih air dan udaranya, yang tampak kadang-kadang bergemerlap membiaskan sinar matahari yang kebetulan jatuh pada sudut yang tepat.

Tiba-tiba terbersit suatu firasat bahwa ada yang aneh dengan gelembung-gelembung air dan udara di sekitar air terjun tersebut. Perasaan seperti melihat keruhnya air secara tiba-tiba di dalam sungai yang jernih, yang menandakan bahwa di hulu telah terjadi banjir bandang. Banjir yang membawa informasi berupa kekeruhan air yang samar-samar, akan tetapi makin lama makin kerap dan jelas.

Semacam “kekeruhan” tersebut dilihatnya pula pada gelembung dan buih-buih air terjun. Dan tiba-tiba dengan suara yang menggemuruh, memecah air melebihi tinggi air terjun itu, dan runtuhlah sebagian lereng yang biasa dialiri air, sehingga volum air yang biasa terjatuh menjadi tiba-tiba mengganda dan menggila. Dan sudah pasti langsug mengenangi sekitarnya, dan merobos gedung dengan lantai hampir dua ratus itu, bagai saringan. Masuk air dari depan dan keluar dari belakang, membawa penghuni dan barang-barangnya serta.

Kepanikan melanda orang-orang yang sama sekali tidak menyangka hal itu akan terjadi, air di mana-mana. Semua benda hanyut. Benda hidup atau mati, atau yang tadinya hidup. Sang lelaki hanya bisa melihat dengan lutut gemetar dan tangan menggigil dingin di atas tangga tersebut. Tangga yang terletak pada dataran yang masih cukup tinggi untuk segera dapat dicapai oleh air meluap dari air terjun tersebut.

Akan tetapi syukurlah air kemudian kembali surut, karena memang tidak terlalu banyak terdapat jumlah air di atasnya, sehingga hanya satu gelombang yang dapat menyapu, dan kemudian seakan-akan kering.

Setelah semua air kembali ke sungai di bawahnya, bergegaslah lelaki itu dengan panik mencari anak dan istrinya, di tengah-tengah kebingungan orang-orang yang sama-sama kehilangan orang-orang yang sedang bersama atau akan ditemuinya.

Namun mereka tidak ditemukan.

Akhirnya lelaki itu memutuskan untuk menuju suatu telepon umum atau semacam telepon umum dan memasukkan kartu identitasnya ke dalamnya. Tak lama kemudian muncul di layar beberapa opsi yang dapat dipilihnya.

Ia kemudian memilih opsi untuk mencari keluarganya. Setiap orang di dalam kota tersebut dibekali dengan kartu identitas yang berfungsi sebagai sumber sinyal GPS, sehingga kapan saja dan di mana saja dapat di pantai dalam keadaan darurat. Dan lelaki itu menggunakan fasilitas tersebut muntuk mementukan lokasi anak dan istrinya.

“Tak dapat ditemukan,” lapor alat tersebut, lanjutnya, “terdapat kemungkinan rusaknya beberapa antena penerima.”

Bersamaan dengan itu sirini pun meraung-raung, menandakan adanya bencana. Sudah terlambat. Bencana sudah berlalu. Alarm pemberitahu bencara telat berfungsi dan orang-orang telah hilang.

Kemudian lelaki itu bergegas ke gedung bertingkat hampir dua ratus itu, dengan harapan bahwa para penghuninya dapat selamat mengingat konstruksi-nya yang kokoh. Dan juga anak dan istrinya dapat ditemukan di sana, walau-pun ia tidak tahu lagi, di manakah sebenarnya ia harus mencari anak dan istrinya.

Sesampainya ia di lantai tempat tinggalnya, tidak ditemui seorang pun. Lanti itu bersih, seakan-akan suatu gedung baru yang hanya terdiri dari tiang-tiang beton, tanpa dinding. Lantai gedung itu menjadi seperti saringan. Hanya menampakkan lorong-lorong yang telah tercuci bersih oleh air yang lewat tadi. Di atas lantai masih menggenang air sebatas telapak kaki yang pelan-pelan menuruni tangga dan balkon. Gedung itu seperti susunan gelas yang dituangkan sampanye di atasnya. Pancuran sampanye gelas-gelas kristal.

Lelaki itu kemudian bergegas pergi ke suatu tempat, saat lamunannya ter-sentak oleh panggilan di alat komunikasinya. Ia harus menuju suatu pusat pemantau untuk menghadiri rapat keadaan darurat.

Ia pun keluar dari gedung berlantai hampir dua ratus itu, dan mengambil jalan menembus taman yang sekarang sepi, menaiki tangga tempat ia terpaku tadi, mengitari gedung kerjanya, dan kembali mnenuruni suatu lereng di balik bukit kecil di belakang. Dengan tak sabar dilompatinya suatu pagar kecil, ketimbang berjalan memutar melalui pintu halaman, dan sampailah di sebuat kantor yang dibangun di bawah tanah, mirip bungker, karena perlu untuk meredam sinyal-sinyal dari luar, agar sensor-sensor yang mengidentifikasi gerakan-gerakan bumi dapat menangkap isyarat samar-samar, tanpa terganggu oleh langkah kaki-langkah kaki orang yang berlalu-lalang ataupun kendaraan yang berseliweran.

Tanpa mengetuk dibukanya pintu dihadapannya, terlihat beberapa wajah yang telah dikenalnya hadir di sana. Mereka semua adalah ahli-ahli dalam bidangnya. Sehari-hari mereka bekerja kantoran biasa, akan tetapi pada saat-saat seperti ini mereka diperlukan untuk menangani bencana seperti itu.

Mengamati grafik pantauan salah satu alat seismik yang diletakkan dekat dengan air terjun, terlihat suatu pola lonjakan yang memperlihatkan bahwa telah terjadi seauatu pada waktu itu.

“Kurangi dulu isyarat itu dengan gangguan latar belakang..,” kata seseorang.

“Sudah dilakukan,” jawab sang penyaji. “Dan ini memang hasil akhirnya.”

“Mengagumkan,” kata yang lain, “begitu banyak gangguan akan tetapi kita tidak tahu sebelumnya.”

“Itu karena mirip dengan pola latar belakang,” kata yang lain, “sehingga jaringan saraf tiruan tidak dapat mengerti bahwa itu bukan gangguan latar belakang.”

“Dan pula singkat berlangsungnya,” kata seorang menambahkan, “dan kemudian menghilang. Lebih sempit dari rentang waktu untuk melakukan analisa.”

Semua orang terdiam dalam lamunan masing-masing.

“Tadi ada berita dari teknisi pemantai kartu identitas, bahwa pemancar yang rusak telah diperbaiki. Dan menurut hasil pindai, semua penghuni masih ada di lokasi, tidak ada yang hanyut jauh.”

“Tidak mungkin,” desis lelaki itu, “saat aku di sana tidak banyak orang yang kulihat di taman. Di gedung bahkan hampir tidak ada orang.”

“Memang tidak di sana, akan tetapi di kolam renang.”

“Di kolam renang?” tanya beberapa orang hampir berbarengan.

“Ya, di kolam renang, Orang-orang dari gedung pun hanyut ke sana. Belum diketahui apakah ada yang terluka atau tidak. Hanya saja hasil pindai menyatakan konsentrasi orang-orang ada di kolam renang.”

“Baiklah, biarkan anggota tim penyelamat menjalankan tugasknya, kita juga punya tugas sendiri.”

“Baik,” kata yang lain hampir serempak.

Kemudian rapatlah mereka mengenai bencana yang baru terjadi, serta keanehan-keanehan yang menyertainya. Tentang betapa singkatnya hal itu terjadi dan bagaimana hal itu dapat secara lemah dideteksi akan tetapi luput dari prediksi jaringan saraf tiruan dan sistem pakar.

Lelaki itu tak bisa meninggalkan pikirannya dari anak dan istrinya. Akan tetapi berusaha ia mengkonsentrasikan pikirannya. Ini adalah tugasnya.

Setelah rapat itu selesai, lelaki itu kembali mencari semacam telepon terdekat dan melakukan lagi pencarian istri dan anaknya melalui kartu identitas mereka. Dan kali ini ia mendapat jawaban positif, dan konfirmasi apakah ingin dihubungkan dengan mereka. Dengan tergesa dan gembira ditekannya tombol untuk menyatakan ‘ya’.

Sebuah jendela kecil muncul di layar dan terlihat lokasi di mana terdapat orang-orang yang hanyut berkumpul. Melalui suatu kamera di lokasi, ia dapat melihat anak dan istrinya di kerumunan orang-orang. Dan kemudian ia melihat mereka bergegeas menuju semacam telepon terdekat, karena adanya panggilan dari lelaki itu.

“Bunda,” kata lelaki itu haru, “baik-baik saja, Bola juga?”

“Baik ayah,” jawabnya terisak, “ayah di mana?”

“Di kantor pemantau gempa, habis rapat.”

“Ngeri betul, ayah. Ada air bah. Kita hanyut. Bunda dan Bola sedang naik ayunan dan kemudian tersapu. Tapi kami tidak tenggelam. Orang-orang juga. Tidak ada yang tenggelam. Mengapung seperti gabus di atas air.”

Lelaki diam mendengarkan cerita istrinya yang menegangkan mengenai ba-gaimana air bah dari air terjun itu datang tiba-tiba dan menghanyutkan semua. Mengerikan tetapi abenteuerlich, karena tidak ada yang tenggelam. Mirip wisata air bah.

Lelaki itu mengucap syukur, bahwa anak dan istrinya baik-baik saja. Kemudian mereka bersepakat untuk bertemu di kolam renang saja. Lelaki itu yang akan mengayunkan langkah ke sana.

2006-03-16

“Ini bagus, cukup jelas,” katanya dalam hati. “Kuharap pula bagian selanjutnya..”

Kantuk

Papan bidai yang biasanya jelas tampak buram di hadapannya. Lelaki mengangguk-angguk menahan kantuk yang menyerang tak berperasaan, padahal ia sedang dalam proses pengambilan data.

Lelaki itu menamakan dirinya Nein. Nein Arimasen.

Nein bekerja di suatu laboratorium di suatu institusi penelitian yang cukup bonafid. Pusat Penelitian Fisiologis Molekul. Keren betul judulnya, tapi Nein sendiri tidak begitu mengerti, karena ia kerja hanya sebagai seorang teknisi yang mengambil data dari sebuah alat dengan bantuan kompuer saja.

Pekerjaan yang dilakukan Nein cukup sederhana. Terdapat suatu -or (entah apa namanya, mungkin reaktor, incenerator, inkubator, kaltrol atau malah kompor), pokoknya ada suatu -or yang di dalamnya dicampurkan butir-butir kecil bahan yang kemudian diguncang-guncang ke atas dan kebawah menggunakan suatu -or yang lain (yang ini Nein ingat, vibrator namanya, tepatnya vibrator ke atas ke bawah, karena ada juga yang ke kiri dan ke kanan). Akibat diguncang-guncang itu maka butiran-butiran dalam, sebut saja kantor, dapat bergerak-gerak, kadang ke kiri dan kadang ke kanan. Gejala ini yang hendak di amati, kapan ia ke kiri, kapan ia ke kanan.

Saat di kiri atau saat di kanan butiran-butiran tersebut sudah bergerak dalam kekacauan atau kaos, lalu kemudian tanpa alasan yang jelas ia dapat berpindah dari kacau di kiri menjadi kacau di kanan. Perpindahan yang tidak jelas ini disebut orang intermittens. Nein cukup lama menghapalkan kata tersebut sehingga dapat melafalkannya dengan jelas.

Intermittens itu dapat diamati dengan menggunakan suatu kamera digital, mereknya Nein tidak tahu. Kamera itu tidak seperti kamera-kamera digital yang ada atau terdapat di handy, akan tetapi lebih kotak dan besar. Gambar yang dapat disampaikannya hanyalah hitam putih, untuk itu orang butuh komputer, karena hasil penangkapan disalurkan ke komputer lewat antar muka firewire (Nein lupa kode IEEE nya).

Biasana suatu percobaan untuk mengukur intermittens dilakukan spesifik untuk suatu kekuatan dan kerap getar vibrasi yang berbeda-beda, untuk kemudian dibandingkan atau dicari korelasinya, antara kekuatan dan kerap getar dengan kebolehjadian munculnya suatu intermittens. Untuk itu Nein belum juga mengerti, walau Prof. Borokokok telah berulang kali menjelaskannya. Bahkan ia telah memberi Nein suatu ringkasan dari Vorlessungnya untuk dibaca. Akan tetapi tetap saja Nein tidak mengerti.

Data yang diperoleh adalah berupa rekaman gambar dari format H5 suatu standar untuk film tertentu. Dengan menggunakan piranti lunak yang dikembangkan oleh Suluz, seorang asisten Prof. Borokokok, tampilan butiran-butiran yang bergerak ke sana dan kemari dapat dilihat di layar komputer.

Akan tetapi semaju-majunya teknologi, pasti ada saja kekurangannya, demikian pula dengan peralatan canggih di lab Nein, yang sudah dikonfigurasi sedemikian rupa otomatis, akan tetapi belum dapat menghasilkan hasil akhir yang justru diharapkan, yaitu berapa jumlah butiran yang sedang bergerak kacau di kiri dan berapa butiran yang sedang bergerak kacau di kanan.

Untuk itulah Nein bekerja di sana, di salah satu laboratorium pada institusi Pusat Penelitian Fisiologis Molekul, karena pekerjaan tersebut tidak diminati oleh orang-orang pintar yang memiliki sederet gelar keilmuan. Tidak ada orang yang berminat. Akan tetapi Nein ya, ia dapat melakukannya, karena pekerjaan itu tidak memerlukan penalaran dan pemahaman yang terlalu tinggi. Hanya kesabaran yang diperlukan dan pula ketekunan.

Demi suatu data, bisa Nein menghabiskan dar 8 jam sehari sampai 5 hari dalam seminggu. Itu pun bergantung, seberapa teliiti deret waktu yang ingin dihasilkan. Bila diinginkan kasar terlebih dahulu untuk praduga, maka bisa cepat. Sehari, kadang setengah hari pun sudah selesai. Akan tetapi apabila diharuskan cukup teliti agar deret waktu tersebut dapat diintegral atau didiferensialkan, maka perlu Nein menghabiskan waktu di depan komputer sampai 5 hari kerja.

Hanya duduk di depan layar monitor, dan ketak-ketik, kiri-kanan, perhatikan butiran yang terbang ke kiri dari kanan dan ke kanan dari kiri, melewati suatu dinding pemisah di tengah-tengah kompor tersebut.

Bila sedang mengamat-amati itulah, datang serangan kebosanan yang menggila, sampai kadang-kadang tidak tertahankan, sehingga Nein bisa hampir tertidur di meja kerjanya. Atau kadang-kadang ia baca-baca atau surfen untuk menghilangkan kantuk, dan sudah pasti bosan yang menyertainya.


Dan hari ini Nein memperoleh tugas yang sama.

Hal pertama yang harus dilakukannya adalah mencari kombinasi butiran-butiran yang akan digetarkan seperti diinstruksikan oleh Prof. Borokokok melalui Inprof (Instruksi Profesor). Setelah memperoleh butiran yang dimaksud sesuai dengan ukuran yang dispesifikasikan, lalu Nein harus menghitunga butiran-butiran tersebut, sejumlah yang dibutuhkan.

Untuk menghitung jumlah butiran-butiran yang kecil tersebut (kadang sampai 1 - 2 mm diameternya) benar-benar menguji kesabaran Nein.

Setelah selesai kemudian diambillah kompor oleh Nein. Kompor tersebut telah dibuat berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Antara lain adalah bahwa kompor tersebut harus sederhana, murah dan dapat berfungsi. Syarat yang sepertinya diajukan oleh banyak orang.

Setelah memasukkan butiran-butiran tersebut ke dalam kompor, Nein mulai menyalakan listrik alat-alat yang terkait dengan kompor, seperti vibrator bergerak ke atas ke bawah, osiloskop, pemindai gerak, pengada daya listrik dan lampu penyinaran serta kamera firewire.

Setelah semua disambung-sambungkan dan dicek apakah telah dicolok ke ke steker di dinding, mulailah Nein menyalakan satu per satu dengan urut-urutan tertenu. Nein tidak tahu apakah bila prosedur urut-urutan tersebut tidak ditaati dapat terjadi sesuatu yang berbahaya. Ia hanya mengikuti dan tidak mau mencoba-coba untuk berspekulasi hanya untuk memuaskan dahaga ingin tahunya saja. Taruhannya adalah omelan atau bahkan pekerjaanya. Lebih baik terlihat sedikit bodoh dan konservatif, dari pada terlalu agresif, penuh inisiatif akan tetapi riskan.

Begitulah Nein. Hati-hati selalu.

Setelah dinyalakan osiloskop, pemindah gerak, pengada daya listrik dan lampu penyinaran, Nein mulai membuka suatu konsol di komputer untuk mengamati apakah letak obyek dan kamera telah cocok, sehingga memberikan gambar yang baik. Diketikkannya di konsol tersebut “coriander &” dan ditekannya tombol ‘Enter’. Sekejap kemudian muncul suatu jendela dengan banyak tabulasi. Perlahan dipilihnya tombol ‘Start’ dan kemudian ‘View’. Jumlah gambar yang akan ditangkap adalah 300 gambar per detik. Cukup baik menurut Nein. Kemudian ia melihat jendela kecil yang terbuka, yang menggambarkan obyek yang ditangkap oleh kamera.

Obyek tersebut terlihat agak gelap dan samar. Untuk itu Nein memutar tombol arus litrik yang menghidupi lampu, sehingga cahayanya bertambah terang. Cukuplah sudah. Ia harus bermain dengan lampu, dan tidak dengan kecepatan pengambilan gambar dari kamera, karena ia butuh jumlah gambar yang tinggi tidap detiknya.

Setelah itu ia mula memainkan pengaturan fokus dari kamera firewire tersebut. Diputarnya ke kanan, gambar semakin kabur, akhirnya dibalasknya ke kiri perlahan-lahan sampai terlihat gambar yang jelas, dan kemudian kabur kembali. Putaran dibalasnya, berulang bolak-balik, sampai ia puas memperoleh gambar yang cukup tajam atau optimal tajam dengan pencahayaan itu.

Tapi tunggu dulu, bagaimana apabila kecepatan kamera masih kurang, sehingga saat butiran bergerak terlihat kabur. Penataan ini masih untuk tuiran yang diam. Untuk itu Nein menyalakan penggetar atas bawah, dan melihat perlahan-lahan butira-butiran tersebut bergerak ke atas ke bawah dan ke kiri ke kanan, pokoknya kacau. Nein kemudian menekuni kembali layar monitor dan melihat bahw butiran-butira yang bergerak cukup tajam dan dapat diamati untuk saat analisa nanti. Cukuplah pikirnya.

Nein kemudian menutup piranti lunak aplikasi coriander dan mengetikan perintah ‘vidtool’, sebuah piranti lunak karya Suluz, yang dimodifikasi oleh Simik dan juga Nein sendiri (atas bantuan Simik). Banyak opsi yang harus dimasukkan Nein. Dan Nein sering lupa, oleh karena itu ditempelkannya sebuah kertas dekat monitor komputer untuk mengingatkan opsi-opsi apa yang harus dimasukkan.

Pertama-tama buat tujuan file sementar ’exprot VIDEO_TMP=/video/nein/rekaman2938/’.

Selanjutnya ketikkan ‘vidtool’ dengan opsi ‘/dev/video1394 rekaman2938.h5’ yang masih harus diikuti oleh opsi-opsi ‘–gray’, ‘–usetmp’, ‘–c-vres 200’, ‘–c-vres 308’. Oh ya terlupa berapa gambar dan berapa yang akan dibuang, yaitu ‘–frames 300000’ dan ‘–drop 2’. Lalu ditekannya ‘Enter’.

Jalanlah proses perekaman data yang terlebih dahulu dituliskan ke suatu file sementara dengan besar masing-masing 1 GB. Nein kemudian menjalankan semua alat-alat terkait, dan menunggu percobaan berjalan.

Kadang harus ditunggu beberapa saat untuk melihat apakah fenomena yang diinginkan akan muncul, antara lain osilasi atau pemisahan. Bila tidak, vidtool harus dibatalkan, file-file yang terbentuk harus dihapus dan butira-butiran dibersihkan atau ditiup untuk mengubah humiditasnya, hal ini terutama untuk mecegak terjadinya listrik statis. Kadang pula butir-butir harus diganti baru, dan kompornya dibersihkan. Entah kenapa, dalam hal ini butir-butir tidak lagi bersifat lenting, harus digunakan butir-butir yang baru.

Akan tetapi Nein sayang untuk membuang butir-butir tersebut, yang ia lakukan adalah mencampurnya dengan yang baru, mengaduknya dan kemudian memisahkan sejumlah yang akan digunakan. Dengan asumlsi bahwa akan terdapat butiran lama dan baru, dan fenomena yang diinginkan umumnya muncul. Dengan cara itu butiran yang segar dapat diperoleh dengan tidak membuang butiran bekas pakai sama sekali. Apabila digunakan cara sekali pakai, maka kurang dari sepuluh kali percobaan, sudah harus dibelikan butiran baru.

Saat ini percobaan berjalan lancar. Nein tinggal menunggu sampai listrik statis muncul dan mengacaukan percobaan. Lalu meng-CTRL+C vidtool untuk masuk pada mode konversi file sementara. Suluz telah memrogram untuk menangkap peristiwa CTRL+C menjadi lompat proses, ketimbang membatalkan program secara keseluruhan.

Di sela-sela perekaman yang memakan waktu kira-kira setengah jam dan proses konversi yang sampai 4-8 jam, Nein kadang mengerjakan hal-hal lain. Mumpung lagi kenceng-kencengnya sambungan internet.

Saat ini Nein sedang gandrung eBook dengan format Microsoft Reader. Walaupun itu propriatery, akan tetapi hasilnya dengan True Type Font memang benar-benar mempesona. Teman Nein, John Engray saja mengakuinya.

Setelah klik kesana kemari di Google, akhirnya tibalah Nein di Michisoft buatan Michael (karena piranti yang lain tidak bebas merdeka dari windows), yang membuatkan Reader Studio yang freeware (http://michisoft.com/). Disayangkan proyek tersebut berhenti Mei 2004. Dengan piranti ini Nein dapat mengkonversi tulisan Audinar Vi sehingga dapat dibaca di Microsoft Reader di rumah.

Akan tetapi Nein belum puas, karena masih belum bisa membuat kover dan daftar isi. Setelah ditelaah lagi ternyata ada Reader Studio beta dan yang sudah final. Di sana disebutkan bahwa mendukung juga gambar dalam format PNG selain JPG dan GIF dan juga daftar isi (hanya untuk file HTML). Hal ini membuat Nein makin bersemangat sambil menunggu konversinya vidtool.

Akan tetapi sayangnya Reader Studio tidak jalan di Linux menggunakan Wine. Dia bilang ada masalah dengan DOM XML-nya. Nein tidak mengerti itu. Lalu coba-coba baja spesifikasi OpenEbook (http://www.idpf.org/oebps/oebps1.2/download/oeb12-xhtml.htm) dan juga metadata di Dublin Core (http://dublincore.org/), malah makin bingung.

Akhirnya untuk sementara Nein menyerah, karena terlalu banyak waktu yang dibuang untuk mempelajari sesuatu yang bersifat hobit. Es lohnt sich nicht. Jadi Nein mencoba memanfaatkan Reader Studio Final secara maksimal dulu, tanpa mengoprek format XML dari spesifikasi OpenEbook. Salah satu yang berhasil dipecahkan adalah membuat page-break-after dengan CSS (http://www.w3schools.com/css/pr_print_pageba.asp), tapi untuk konversinya baru bisa dicoba di rumah.

Sementara itu konversi yang dilakukan vidtool belum juga selsai.

Nein kemudian membuka halaman Wikipedia Indonesia yang dibuatnya mengenai Media Butiran, hal-hal yang dikerjakannya di dalam lab sehari-hari. Halam tersebut berlamat http://id.wikipedia.org/wiki/Material_butiran dan ia telah dikoreksi oleh *drew. Akan tetapi hari ini *drew tidak muncul, padahal Nein sedang mengajukan pertanyaan dalan forum diskusi dia, mengenai penggunaan gambar yang tidak public domain.

Untuk suatu gambar dari Physical Review Letter 90, 014302 (2003), Nein telah berkorespondensi dengan Prof. Dr. Ingo Rehberg dan memperoleh persetujuannya untuk menggunakan gambar tersebut, “Ja, Sie drfen die Bilder gerne benutzen. Viel Erfolg!”

Senang hati Nein menerima tanggapan yang positif. Tinggal menunggu komentar dari admin-admin Wikipedia Indonesia saja.

Nein kembali menengok hasil konversi dari vidtool. Sudah setengah data yang ada hilang dan pindah ke SH-PO.h5 yang ukurannya semakin membengkak. “Kira-kira sebentar lagi,” gumam Nein.

“Nulis cerita dulu dah, dari pada ngantuk,” kata suatu suara di kepala Nein. Dan menarilah jari-jarinya di atas tombol-tombol papan bidai, mengalirkan ide-ide yang liar bergentayangan di kepala. Liar tapi terkendali, jangan seperti kesurupan yang sedang meraja-lela di Indonesia, akibatnya banyaknya tayangan mistis untuk mengejar rating penonton.

Untuk urusan penulisan, Nein teringat sama filem Finding Forrester atau Forrester gefunden. Yang menyarankan untuk membiarkan jari-jari menari, dan jangan berpikir saat menulis cerita. I love that film.

Ubrigens dan by the way, Audinar minta tolong ubah blognya ditambahkan script untuk bikin Snowflakes, keren, tapi bikin lambat :).

Nein udah capek dan sekarang sudahn 19.46, mau ngebom dan pulang.

Selesai. Deutschland, 23.3.6 – 2006-03-23

“Benar-benar memusingkan,” ucapnya tanpa sadar. Tapi ia masih memutuskan untuk terus melanjutkan membaca buku tersebut.

Bis Terjungkal Balik

Hari ini lelaki yang tempo hari mimpi air terjun meluap, bermimpi hal lain lagi. Juga hal yang benar-benar khayal dan tidak fisis.

Entah bagaimana mulanya, tapi tahu-tahu setting mimpinya adalah berada dalam satu bis dengan sang istri. Tapi tanpa sang anak. Mereka sedang bersama duduk dalam suatu bis yang besar, atau kelihatan besar, akan tetapi tidak ada orang lain kecuali mereka berdua. Dan apakah mereka saat itu sedang berlaku sebagai penumpang ataupun pengemudi juga tidak terlalu jelas.

Pokoknya begitu. Lelaki tersebut dan istrinya duduk dalam bis yang besar, yang sedang melaju, entah di atas jalan raya ataupun terbang. Entahlah. Dan yang anehnya tidak ada pemandangan ataupun hal-hal yang terlihat di sepanjang perjalanan tersebut. Waktu seakan-akan berhenti saja.

Juga tidak ada pembicaraan di antara lelaki itu dan istrinya.

Sunyi.

Tetapi bisa masih berjalan. Cerita masih berlanjut. Dan mimpi masih mengalir.

Mungkin asumsi bahwa bis tersebut masih berjalan adalah adanya getaran-getaran yang terasa berasal dari tempat duduk dan kaki. Adalah normal bahwa bis yang sedang berjalan akan merambatkan getaran-getaran, kecuali saja suspensinya sedekian bagus, sehingga saat sedang berjalan di malam hari, orang sampai tidak dapat membedakan apakah bis itu sedang berjalan atau berhenti, bila matanya ditutup. Mungkin saja.

Tapi tidak dengan bis dalam mimpi lelaki itu. Lelaki itu bermimpi bahwa bisnya masih berjalan. Ia dan istrinya duduk di dalamnya, akan tetapi tidak melakukan apa-apa, dan tidak melihat apa-apa selain kesadaran bahwa bisnya sedang berjalan.

Ya, bisnya sedang jalan.

Lalu?

Lalu apa?

Ah, ya, masak itu saja. Membosankan bukan, apabila seseorang menulis cerita bahwa ia di dalam mimpinya sedang mengendari bis, dan kemudian bisnya sedang berjalan. Dan itu saja.

Untunglah dalam mimpi lelaki itu ada hal lain yang bisa diceritakan, jika tidak, mungkin saja kata-kata ini menjadi kata-kata terakhir dari cerita ini. Jangan. Masih ada kelanjutannya. Tak lama atau sebentar kemudian, atau keterangan waktu yang lain, melihatlah lelaki itu dan istrinya bahwa bis itu sedang berjalan di suatu jalanan yang terletak di atas tebing, dengan satu sisi adalah lereng dan satu sisi adalah jurang.

Penampakan itu membuat mereka menjadi ngeri, terutama lelaki itu, karena ia yang sedang bermimpi, sedangkan istrinya hanyalah tokoh yang muncul dalam mimpi itu. Untuk adilnya, katakanlah bahwa istrinya juga merasa ngeri.

Mereka berdua merasa ngeri karena kemudian mereka sadar bahwa bis itu tidak ada pengemudinya. Jadi bis itu berjalan dengan sendirinya. Entah benar-benar tidak ada pengemudinya atau drive-by-wire.

Karena merasa tidak nyaman dengan keadaan tersebut, maka sang istri mengambil inisiatif untuk mengambil allh kemudi, untuk memberikan rasa aman bahwa bis itu akan tetap berada di jalurnya dan bukan masuk ke dalam jurang.

Akan tetapi pengambilalihan kemudi tersebut tidak membawa banyak dam-pak yang berarti terhadap arah gerak bis itu. Bis itu makin bergerak menggila, salip kiri dan kanan di antara kosongnya jalan, membuat kedua penumpangnya semakin kebat-kebih hatinya.

Akhirnya malang tak dapat tolak, untung tak dapat diraih, tibalah bis tersebut pada suatu jalan yang membelok tajam ke kiri, di mana sang istri tidak sempat membanting stir karena sebelumnya membelok ke kanan. Dengan laju yang cukup tinggi terbanglah bis tersebut bebas di udara, menuruni lereng tidak melalui jalan akan tetapi langsung memanfaatkan gaya tarik bumi.

Dalam pada itu, entah kenapa, masih sempat-sempatnya lelaki itu memarahi istrinya karena tidak dapat mengemudi dengan baik. Biasalah lelaki, kalau dirinya yang diserahkan untuk mengemudi, belum tentu ia dapat lebih baik dari seorang wanita.

Kemudian entah bagaimana, terjadilah sesuatu yang sama sekali di luar dugaan, baik lelaki itu maupun istrinya. Bis tersebut setelah secara tak sadar sang istri mengganti gigi mundur dan kemudian tekan gas, bis itu melayang kembali ke jalan dan selanjutnya berjalan mundur. Seperti waktu yang diputar kembali.

Selesai. – 2006-03-26

Mengangguk-angguk pemud itu saat bagian yang baru terbaca selesai. Matahari tampak tidak lagi terik. Ia meluruskan kakinya, sedikit melemaskan tubuhnya dan mulai membalik halaman selanjutnya.

Bulat dan Paman Pengetuk Dinding

Bulat, begitulah ia sering dipanggil Bulat oleh orang tuanya, karena wajahnya yang bulat segar dan menggemaskan, adalah seorang anak kecil yang tinggal bersama kedua orang tuanya di sebuah apartemen di daerah Marten, kota Dortmund, Jerman.

Di sana terdapat banyak Haus yang memiliki puluhan Wohnung. Ada Haus dengan dua puluh Wohnung, bahkan ada yang sampai lima puluh Wohnung. Oleh karena itu tidaklah orang dapat mengetahui siapakah tetangga sebelah dindingnya apabila berada di rumah sebelah, apalagi yang berada di rumah belakangnya.

Bulat tinggal bersama kedua orang tuanya, Aya dan Ana. Ia tinggal di sebuah Haus berbentuk U yang di tengahnya ada taman kecil tempat anak-anak penghuni Haus itu berkumpul dan bermain. Taman itu tidak tampak dari luar. Orang baru akan melihatnya, setelah melewati sebuah kelokan yang menuju tempat parkir di dalam. Bulat tinggal di salah satu Wohnung yang terdapat dalam sudut Haus berbentuk U tersebut. Dan di belakang Haus tersebut terdapat Haus lain yang terdiri pula dari puluhan Wohnung.

Entah bagaimana ceritanya, suatu hari Bulat “berkenalan” dengan Onkel Ketukan Dinding (Ongkel Klopfende-Wand). Saat itu Bulat sedang sedih karena mainannya hilang, dan ia berdiam diri di kamarnya sambil terisak, mengingat-ingat di mana terakhir kali ie meninggalkan Etee (sebuah boneka Eisbär).

Saat ia terisak, terdengan suara ketukan lamat-lamat di dinding, “tuk.. tuk.. tuk.” Seperti seakan-akan menanyakan, “ada apa?”

Bulat pun berhenti terisak, dan berusaha mendengarkan, kalau-kalau ketukan tersebut berulang kembali.

Akan tetapi tidak terdengar apa-apa. Oleh karena itu, Bulat tiba-tiba mempunyai ide untuk melakukan ketukan pula, “tuk… tuk..,” ketuknya.

Sunyi sebentar, dan kemudian terdengar jawaban, “tuk!”

Bulat tertawa, lupa pada kesedihannya. Dan ia mengetuk lagi sambil berucap, “Siapa di sana?”

“Tuk… tuk. tuk…., tuk!” jawab ketukan itu.

“Wah, aku tidak mengerti,” jawab Bulat sambil kembali mengetuk sekenanya.

Ketukan itu kembali terdengar, dengan nada yang berbeda-beda, kadang pelan, kadang keras. Dan kadang lambat, kadang cepat.

Bulat tidak mempedulikan, apakah ia atau seseorang yang mengetuk itu saling dapat mengerti, akan tetapi ia membalas ketukan itu pula kembali.

Mulai saat itulah, apabila Bulat tidak sedang mendapatkan Aya dan Ana, yang keduanya harus bekerja, untuk bercerita mengenai kegembiraan atau kesedihannya, ia menceritakannya pada Onkel Klopfende-Wand melalui ketukan-ketukan. Entah bagaimana, Onkel Klopfende-Wand dapat mengerti dan menjawab ketukan-ketukan tersebut, sehingga seakan-akan ia dan Bulat dapat berkomunikasi dengan lancar. Dan Bulat tidak pernah memikirkan atau mencoba untuk mengetahui siapakah sebenarnya orang yang mengetuk-ketuk di balik dinding tersebut.


Suatu hari Bulat pulang dari sekolah dan ingin cepat-cepat bertemu dengan Aya dan Ana. Ia ingin memberitahukan hasil tulisannya yang mendapatkan nilai terbaik di kelas. Tulisan itu merupakan tugas sastra, dan dalam kesempatan itu Bulat menceritakan tentang kehidupan seorang keluarga yang terdiri dari seoranga ayah, ibu dan anaknya. Persis seperti keadaan dirinya sendiri. Akan tetapi dalam cerita itu, mereka tinggal di suatu negeri yang jauh, di mana masih terdapat hal-hal yang menakjubkan seperti hewan-hewan purba dan sihir.

Akan tetapi alangkah kecewanya Bulat setibanya sampai di rumah, karena tiada seorang pun di rumah. Aya dan Ana walaupun telah pulang, akan tetapi harus pergi lagi untuk mengurus sesuatu, hal itu dapat diketahuinya dari catatan yang ditempelkan di pintu lemari pendingin di dapur.

“Bulat sayang,

Ana dan Aya ada urusan sebentar. Makan saja dulu, tak lama kami kembali. Di Mikrowelle sudah ada makanan kegemaranmu, tinggal dipanaskan.

Peluk dan cium,

Ana dan Aya.”

Bulat sedih. Diletakkannya hasil karangan yang akan ditunjukkannya di atas meja dapur. Di atas tulisannya itu terdapat catatan oleh gurunya, yang menyatakan bahwa ia boleh dikatakan memiliki bakat untuk menulis, dan diharapkan untuk diperhatikan di rumah. Akan tetapi untuk saat ini siapa yang akan diperhatikan. Aya dan Ana sedang tidak di rumah.

Dengan malas-malasan Bulat kemudian memanaskan makanannya, dan kemudian membawanya ke kamar tidur, ia akan makan sambil mendengarkan radio. Mencoba tidur sehabis makan, untuk menghilangkan kekecewaannya.

Saat ia berbering mendengarkan lagu “Bad Day” yang dilantunkan oleh Daniel Powter, ia mendengar ketukan samar-samar.

“Ah Onkel Klopfende-Wand,” serunya.

“Onkel,” panggilnya sambil mengetuk.

“Tuk!” jawaban yang muncul.

“Aku punya cerita hari ini”

“Tuk…. Tuk. Tuk!”

“Mau mendengarnya?”

“Tuk!”

Bergegaslah Bulat kembali ke dapur untuk mengambil tulisan yang diletakkannya tadi di meja. Setelah kembali duduk di atas tempat tidur, lalu berceritalah Bulat pada Onkel Klopfende-Wand mengenai karya tulisnya yang diberikan nilai bagus. Ia mengisahkannya dengan melakukan ketukan-ketukan dan juga sambil membacakannya.

Tiada ketukan balasan. Mungkin Onkel Klopfende-Wand sedang mendengarkannya dengan hikmat.

Akhirnya setelah selesai bercerita, Bulat pun capai dan tertidur.

Saat ia bangun, ia melihat sebuah majalah baru ada di mejanya. Dan ia tahu itu pasti dari Ana dan Aya. Mereke telah pulang, dan meletakkan majalah tersebut dan juga mengambil piring bekasnya makan, serta karangannya, akan tetapi tidak membangunkannya.

Sambil setengah berlari, Bulat keluar kamar dan kemudian menuju dapur. Benar saja, di sana tampak Ana dan Aya sedang membaca karya tulis yang diletakkannya.

“Bulat, bagus betul ini,” kata Ana sambil menghampiri dan kemudian mencium dahinya, “Mmmmuah!”

“Iya, Aya bangga sekali Bulat dapat menulis seperti ini,” timpal Aya.

“Makasih Ana. Makasih Aya.” lanjut Bulat, “Tapi sayangnya bukan Aya dan Ana yang pertama diceritakan.”

“Lho, bukan kami? Memang sudah cerita ke siapa?” tanya Aya ingin tahu.

“Onkel Klopfende-Wand,” sahut Bulat tersenyum.

“Onkel Klopfende-Wand? Siapa itu?” tanya Bunda tertarik.

“Nggak tahu! Bulat cuman tahu dulu ada yang ketok-ketok di kamar, terus Bulat balas. Lanjut deh sampe sekarang.”

“Memangnya bagaimana cara Bulat berbincang-bincang? Ketak-ketok gitu?” tanya Aya penasaran, karena ia hanya dapat membayangkan kode morse yang digunakan dalam kasus ini.

“Wah, g tahu ya!” jawab Bulat polos, “asal aja ketoknya, atau cerita, nanti dia balas kok?”

Aya dan Ana tersenyum mendengar cerita Bulat, walapun mereka belum sepenuhnya percaya. Jangan-jangan itu hanya khayalannya saja.

Kemudian diskusi pun berlanjut. Aya dan Ana menjelaskan bahwa mereka tadi pergi ke dokter kandungan. Dan dari hasil pemeriksaan diperoleh berita bahwa Bulat akan memperoleh adik. Tak dapat ditahankan gembiranya, lalu Bulat memeluk Ana dan Aya, dan masih ditambah dengan mencium dan mengelus perut Ana, yang saat itu tentu saja masih belum terlihat membulat.


“Tok.. Tok!” terdengan ketukan yang cukup keras di dinding, yang mengakibatkan Bulat terbangun dari tidurnya. Dengan masih menggosok-gosoknya matanya, Bulat kemudian balas mengetuk, “Tukkkk!”

Sunyi sebentar. Akan tetapi kemudian, “tuk, tuk, tok!”

Bulat bingung, apa maksudnya Onkel Klopfende-Wand. Biasanya ia yang bercerita, akan tetapi saat ini tidak. Onkel Klopfende-Wand yang lebih dulu mengetuk.

Tiba-tiba terbersit suatu pikiran, mungkin Onkel Klopfende-Wand ingin memberi tahu sesuatu.

“Ada sesuatu, Onkel?”

“Tok!”

“Apa?”

“Tok, tuk, tok…!”

Bulat bingung. Sulit mengertikan arti ketukan-ketukan tersebut. Akhirnya Bulat mencoba-coba berbagai kata-kata yang kemudian dijawab dengan selalu dua ketukan. Mungkin artinya “tidak” atau “bukan”.

Sampai akhirnya saat ia mengatakan, “telepon?”

Terdengarlah, “tuk!”

“Telepon?” sahut Bulat, “ada apa ya?”

Dengan agak bingung kemudian Bula keluar dari kamarnya dan menghampiri pesawat telepon yang terletak di ruang keluarga. Dan di sana ditemukannya keadaan di mana pesawat teleponnya tidak dalam keadaan sebagaimana mestinya. Pantas malam itu Bulat tidak mendengar adanya telepon berdering. Biasanya minimal ada satu telepon dari Oma dan Opa.

Bulat hampir melonjak kaget saat telepon tiba-tiba berdering saat ia meletakkan gagangnya pada tempatnya.

Dengan takut-takut Bulat mengangkat telepon dan menjawabnya.

“Bulat di sini, malam,” katanya.

“Bulat, ini Oma, susah betul masuknya!”

“Iya Oma, tadi teleponnya masih terbuka, jadi tidak bisa dihubungi.”

“Oh, gitu!”

“Ada apa Oma?”

“Tidak ada apa-apa, cuman pengen denger suaramu saja.” Oma memang kangenan banget sama Bulat. Ia suka sekali menanyakan kabar Bulat. Dan walaupun kabar yang sama diulang-ulang, tidak bosan Oma mendengarnya.

“Tapi Oma ini kan udah tengah malam, kok masih nelepon sih? Nggak tunggu besok pagi aja?” kata Bulat kasihan.

“Wah, mana Oma bisa tidur sebelum nelepon kamu, Bulat. Kangen sih!” sahut Oma dengan gaya ABG-nya. Oma itu walaupun udah tua, tapi gaya bicaranya kalau dengan Bulat masih seperti anak ABG. Lain halnya kalo bicara dengan orang-orang lain, dipasangnya gaya sangar.

Berbicaralah kemudian Oma dan cucunya Bulat, yang diakhiri dengan peluk dan cium lewat telepon dan ucapan selamat tidur.

“Untung ada Ongkel Klopfende-Wand,” gumam Bulat. “Kalau tidak, bisa-bisa Oma nggak tidur semalaman.”

Bulat tertawa kecil kalau melihat kekangenan Oma terhadapnya.

“Terima kasih Onkel,” kata Bulat saat sudah masuk kembali ke dalam selimutnya, “selamat bobo!”

“Tuk…!”


Begitulah kisah Bulat dan Onkel Klopfende-Wand-nya.

Dan langsung pemuda itu membaca lanjutannya, sudah terlarut ia dalam kisah sebelumnya.

Bulat dan Ulang Tahun Oma

Pagi itu adalah suatu pagi yang berudara dingin dan berlangit mendung, saat mana Bulat belum beranjak dari tempat tidurnya. Jam weker sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu, akan tetapi hal itu belum juga membuat ia bangun dan bergegas pergi ke kamar mandi seperti yang biasa ia lakukan apabila jam wekernya telah berdering nyaring. Entah mengapa, pagi itu Bulat malas sekali untuk bangun pagi. Ditambah lagi dengan cuaca dingin dan hari masih agak gelap. Membuatnya enggan untuk meninggalkan peraduannya dan masih asyik dengan bantal dan selimut tebal yang membungkus tubuhnya.

Sesaat terdengar suara Aya memanggil putri kesayangannya dari ruang makan.

“Bulat.., ayo bangun..! Sudah siang, nanti kamu terlambat ke sekolah,” teriak Aya membangunkan Bulat.

“Iya.. ya.., sebentar lagi,” jawab Bulat malas sambil membenamkan lagi kepalanya ke dalam bantal segi empat bergambar SpongeBob, tokoh kartun kesayangannya. Bantal itu merupakan hadiah ulang tahunnya dari Oma ketika ia berumur lima tahun.

Tak lama kemudian Ana pun masuk ke kamar Bulat dan duduk di pinggiran tempat tidurnya.

“Selamat pagi, sayang,” sapa Ana lembut sambil membuka bantal yang menutupi muka Bulat. Lalu ia mengusap rambut putrinya yang masih menutupi wajahnya hingga terlihatlah muka Bulat yang masih malas membuka mata.

“Pagi, Ana,” jawab Bulat tersenyum.

“Kenapa Prinzessin Ana-Aya hari gini masih malas bangun yaa…,” gurau Ana sambil membuka selimut tebal Bulat lalu sedikit menggelitik perut Bulat. Mau tak mau Bulat pun bangun, tapi hanya sebentar. Ia merebahkan dirinya kembali ke atas kasur empuknya, setelah tiada lagi serangan kelitikan ibunya.

“Ana.., Bulat masih ngantuk, lima menit lagi yaa…,” tawar Bulat dengan mimik yang manja.

“Loh kok menawar, ayo dong sayang.., kami sudah dari tadi sudah menunggumu di bawah untuk sarapan pagi bersama, kasian Aya nanti ke kantornya telat,” Ana memohon agar putrinya mau cepat bangun dan bisa sarapan bareng seperti biasa mereka lakukan.

“Iya Ana-ku sayang, tapi Ana ke bawah dulu yaa… nanti Bulat menyusul,” jawab Bulat seraya memeluk Ana manja dan mencium pipi ibunya. Bulat sudah tahu kalau nanti dia mengulur-ulur waktu lagi ibunya pasti akan banyak berbicara panjang lebar dan pagi itu sudah tentu bukan waktu yang tepat untuk beradu argumen dengan Ana.

Selesai membersihkan dirinya Bulat segera mengganti baju mandinya dengan baju sekolahnya, lalu ia merapikan buku-bukunya yang belum sempat ia bereskan dari tadi malem setelah ia belajar. Selesai memasukkan buku-bukunya ke dalam tas ransel warna birunya, ia bergegas pergi ke ruang makan. Di sana ia sudah ditunggu oleh Aya-Ana untuk sarapan pagi.

“Pagi Aya, pagi Ana,” sapanya penuh ceria.

“Pagi sayang,” jawab mereka hampir bersamaan.

Sambil mengoles roti tawarnya dengan selai kacang, Aya bertanya pada Bulat tentang tidur malamnya dan menanyakan keadaannya. Dengan roman yang lucu Bulat menjawabnya dengan sangat antusias apa yang menjadi buah tidurnya malam tadi. Diskusi pagi itu penuh keceriaan dan tawa, walaupun udara dingin masih menyelimuti dan rintik-rintik hujan mulai turun.


Waktu sudah menunjukkan pukul 06.15, tiba saatnya Aya dan Bulat untuk pergi beraktivitas. Hari itu Ana mendapat jatah cuti kerja sehari, jadi hari itupun ia tidak ikut serta dengan mereka. Sambil mengantarkan ke depan pintu rumah, Ana berpesan pada bulat.

“Pulang sekolah nanti, Bulat langsung pulang ke rumah yaa…., hari ini Oma ulang tahun,” kata Ana sambil mencium kening putrinya.

“Ah…, hari ini tanggal berapa?” tanya Bulat agak surprise juga mendengar kabar bahwa hari itu Oma berulang tahun.

“Tanggal 11 Oktober, iya sudah, sekarang kamu berangkat tuh Aya sudah menunggumu di mobil,” kata Ana buru-buru karena Aya sudah menglakson beberapa kali tanda harus segera berangkat.

“Oh iyaa…, Bulat lupa ini sudah tanggal 11 Oktober yaa…., aduh kenapa aku jadi pelupa begini,” kata Bulat sambil memegang jidatnya lalu berlari ke arah mobil yang siap meluncur.

Di dalam mobil, Bulat melambaikan tangannya pada Ana. Ibunya membalas dan berpesan dengan sedikit berteriak karena bunyi deru mobil.

“Hati2 Bulat, Aya…. I love you,” kata Ana.

“Too….,” jawab mereka singkat dan kemudian berlalu. Ana menatap sampai mobil yang dinaiki orang-orang yang dicintainya lenyap di balik tikungan sana.


Jam di tangan tangan Bulat telah menunjukkaan pukul 12.50. Betapa girangnya hati Bulat karena tak lama lagi ia akan pulang dan menyiapkan kado ulang tahun buat Oma tercinta. Tiba-tiba Ibu Mulan, guru bahasa, menegur Bulat sehingga ia tersadar dari lamunannya.

“Bulat, apakah kamu sakit?” tanya Ibu Mulan tiba-tiba sambil menghampiri meja Bulat

“Eh.. oh.. ee…, tidak bu,” gagap Bulat menjawab karena kaget. Ibu Mulan sudah ada di depannya. Ia sama sekali tidak tahu sejak kapan Ibu Mulan berada di sana. Langsung saja wajahnya memerah malu, karena ketauan lagi melamun.

“Maaf bu, saya kurang memperhatikan,” kata Bulat dengan muka menunduk dan merasa bersalah.

“Ya sudah, sana kamu pergi ke belakang dan cuci muka!” perintah Ibu Mulan pada Bulat. Bulat pun mengangguk dan beranjak dari tempat duduknya. Pelajaran berlanjut lagi setelah Bulat keluar dari kelas.

Air dingin pun membasuh mukanya, tampak kini wajahnya kembali segar. Sambil bercermin ia menyesali dirinya sendiri, kenapa hal ini musti terjadi, ini sangat memalukan, katanya dalam hati.

Tak lama bel berbunyi tanda waktu belajar telah usai. Banyak anak-anak berhamburan keluar dari kelas. Bulat masih mencatat beberapa ringkasan dan tugas-tugas yang ditinggalkan Ibu Mulan di papan tulis. Tulisan-tulisan yang tertinggal waktu ia pergi ke belakang untuk mencuci mukanya. Ibu Mulan masih berada di kelas. Ia melihat Bulat masih mencatat tugasnya. Ia pun menghampiri dan menanyakan Bulat kenapa hari ini Bulat tidak seperti biasa. Sambil membenahi buku-bukunya, Bulat bercerita, bahwa hari ini adalah hari ulang tahun Oma tersayangnya. Dan ia bingung ingin memberikan hadiah apa buat Omanya nanti dan belum menyiapkan sesuatu yang istimewa buat Oma karena baru mengetahuinya tadi pagi dari Ana ketika akan pergi berangkat sekolah.

“Jadi itu yang membuatmu banyak melamun?” tanya Ibu Mulan menegaskan.

“Iya bu, maafkan saya,” kembali Bulat merasa bersalah

“Oh, tidak…, lain kali jangan ulangi lagi yaa…. Oh ya, sampaikan salam selamat ulang tahun untuk Oma tercinta kamu, semoga panjang umur dan sehat selalu,” kata Ibu Mulan yang berubah menjadi baik dan bersahabat, bahkan ibu guru itu pun kemudian banyak menceritakan pengalamannya dulu, ketika ia masih kecil. Saat ia juga sangat dekat dengan Omanya. Dan ketika Omanya berulang tahun ia memberikan sebuah kotak yang berisi gambar-gambar coretan tangannya yang dikumpulkan oleh Ibunya dari sejak ia berumur dua tahun. Omanya sangat senang dan terharu, saat ia membuka kado itu.

“Sekarang Oma Ibu, sudah tiada dan sampai sekarang kenangan dengan Oma tercinta tetap melekat di hati Ibu,” kata Ibu Mulan mengakhiri ceritanya.

Tak terasa suasana siang itu jadi begitu akrab. Bulat sangat senang mendengar cerita Ibu Mulan mengenai kedekatannya dengan Omanya, yang hampir mirip dengan Bulat yang juga dekat dengan Oma dan Opa.


Di rumah Ana sedang menyiapkan kue ulang tahun buat Oma. Bulat yang sudah pulang sejak tadi, tidak ikut membantu Ana. Ia sibuk mencari-cari apa yang bisa dijadikan kado buat oma nanti. Hampir seluruh isi lemari di kamarnya dikeluarkan semua. Tak terkecuali isi laci dan kardus-kardus. Akan tetapi ia belum menemukan sesuatu yang surprise buat Oma.

Kemudian Bulat pergi ke gudang, di sana ia juga membongkar banyak tempat, kardus, lemari, dan lain-lain untuk mencari barang-barangnya waktu ia masih kecil. Bulat sangat sibuk hingga lupa makan siangnya. Ana yang dari tadi masih menghias-hias kue ulang tahun Oma, merasa sedikit aneh dengan kelakuan anaknya yang sibuk mencari-cari sesuatu.

“Bulat, makan dulu Nak, nanti kamu sakit”, kata Ana rada kuatir.

“Iya Ana, sebentar lagi Bulat makan. Ini Bulat lagi mencari barang-barang Bulat”, jawabnya.

“Apa yang kamu cari?” tanya Ana sambil menghampiri Bulat ke gudang.

“Ana, di mana Ana simpen barang-barang Bulat waktu kecil”, tanya Bulat, yang tentu saja membuat Ana tak mengerti.

“Barang-barang apa?” tanya Ana masih dipenuhi tanda tanya.

“Barang-barang Bulat ketika Bulat masih kecil,” jawab Bulat agak senewen karena dari tadi yang dicari belum juga ketemu.

“Oh…, itu Ana simpen di lemari Ana, memang buat apa kamu mencarinya?” tanya Ana menyelidik.

“Ada deh… Ana, surprise…,” sahut Bulat lega, karena ternyata yang dicarinya bakal ketemu.

Sambil menghabiskan makan siangnya, Bulat bercerita panjang lebar mengenai hari itu, apa yang terjadi di sekolahnya dan tentu saja juga cerita tentang Ibu Mulan yang juga dekat dengan Omanya. Ana mendengarkan cerita Bulat sambil membereskan dapur yang berantakan karena membuat kue ulang tahun tadi.

“Ana, kue ulang tahunnya cantik banget ya, pasti Oma seneng tuh. Dan warnanya, warna kesukaan Oma, merah muda…” Bulat memuji kue ulang tahu bikinan Ana.

“Iya, apalagi kalo yang membuatnya kamu, Oma mungkin lebih suka. Oma kan sayang kamu,” kata Ana sambil tersenyum dan melihat Bulat.

“Yaa…, tapi Bulat…”, kalimatnya tidak diselesaikan, karena ia malu belum bisa membuat kue atau memasak.

“Ana, boleh Bulat masuk kamar Ana-Aya sekarang? Bulat mau mencari barang-barang Bulat waktu masih kecil”, katanya mengalihkan pembicaraan.

Ana pun mengangguk. Langsung saja Bulat melesat menuju kamar ayah-bundanya.

Di dalam kamar Ana-Aya, bulat sudah membongkar semua perabotan kecilnya yang disimpan Ana. Tapi nampaknya Bulat kembali kecewa karena yang ia harapkan tidak ada. Semua barang-barang waktu kecilnya hanya berupa baju, selimut, sepatu, kaos kaki, dan lain-lainnya. Tapi yang dicarinya tidak ada. Dan Bulatpun mulai terlihat sedih.

Suara deru mobil memasuki halaman rumah Bulat yang masih basah karena hujan tadi siang. Aya pulang sedikit terlambat karena harus terlebih dulu ke supermarket untuk membeli sesuatu. Titipan Ana juga, kado buat Oma. Wajah Aya tampak ceria sore itu. Memasuki rumah seperti biasa ia menyapa penghuni rumahnya, Bulat dan Ana, sambil membawa belanjaan langsung ke dapur.

“Ana.. Bulat.. di mana kalian? Kok gak ada orang di rumah?” tanya Aya sambil membuka sepatunya. Tidak seperti biasa suasana rumah yang ditemuinya ini.

Di kamar Aya mendapati putrinya sedang menangis di atas tempat tidur Ana-Aya. Sambil menyapanya, Aya bertanya ada apa dengan Bulat. Bukankah hari itu Oma berulang tahun, jadi seharusnya ia senang karena ia akan bertemu dengan saudara-saudara sepupunya dan juga Oma dan Opa. Mendengar itu semakin pecahlah suara tangis Bulat. Sambil memeluk Aya, Bulat bercerita. Menurutnya Ana tidak sayang padanya karena catatan-catatan Bulat waktu kecil tidak pernah dikumpulkan.

Ana yang waktu itu baru saja selesai mandi, begitu mendengar cerita putrinya pada ayahnya, menjadi amat terharu.


Acara ulang tahun Oma berlangsung meriah walaupun sederhana. Tamu-tamu yang datang meliputi keluarga dan tetangga-tetangga dekatnya. Oma memang omanya Bulat, dapat ia melihat kesedihan di mata cucunya itu. Di dapur Oma bertanya pada Ana, mengapa cucunya tidak ceria seperti biasanya. Mengenai apakah ada masalah di rumah tadi sebelum berangkat ke sini. Ana pun menjelaskan alasan kenapa cucu Oma itu berubah menjadi pendiam. Tersenyum Oma mendengar alasan yang dikemukakan mantunya itu. Setelah perbincangan di dapur itu, Oma beranjak menuju kamarnya di lantai atas.

Tampak di ruang tengah Aya sedang asyik mengobrol bersama tamu-tamu Oma sambil menikmati jamuan makan malam. Sedangkan Bulat nampak berkumpul bersama saudara-saudara sepupunya menonton acara anak remaja yang sedang digandrungi saat itu di TV, sambil memakan makanan dan minuman ringan. Acara ulang tahun ini cukup meriah. Tampak Onkel Yunas adik dari Aya nampak tertidur kecapekan di atas sofa Oma.

Tak lama kemudian pesta pun usai. Aya mengantarkan tamu-tamu Oma sampai di depan pintu. Hanya Bulat sekeluarga dan keluarga Om Yunas yang masih tinggal, saudara-saudara yang lain pamit bersama-sama dengan pulangnya tetangga-tetangga, dikarenakan rumah mereka yang jauh. Rumah Bulat walaupun di kota lain, paling dekat dengan rumah Oma di antara saudara-saudara sepupunya. Sedangkan Om Yunas tinggal di kota yang sama dengan Oma.

Bulat kemudian mencari Ana ke dapur. Ana yang saat itu sedang asyik berbincang-bincang dengan Tante Hera, istri dari Om Yunas, begitu melihat putrinya di depan pintu dapur langsung menggapainya untuk mendekat.

“Ada apa, sayang? Kamu capek?” tanya Ana saat Bulat telah sampai dan menyenderkan kepala padanya. Dielus-elus sayang rambut putrinya itu.

“Enggak Ana, Tante Hera perutnya udah gendut ya… kira-kira kapan ya, dede baby-nya datang,” tanyanya asal. Tak tahu apa yang harus diucapkan.

Pembicaraan pun berlanjut. Tante Hera pun menceritakan persiapan-persiapannya menanti kelahiran bayinya. Bulat lumayan terhibur atas cerita mengenai kelucuan bayi-bayi. Walaupun kadang hal itu mengingatkannya kembali pada kesedihannya semula.

Kira-kira pukul dua belas lewat tengah malam, Bulat dan keluarga pamit pulang karena besok masih harus pergi sekolah dan Aya-Ana pergi ke kantor. Tante Hera dan Om Yunas berencana memang akan bermalam di sana. Oma memeluk Bulat erat-erat. Bulat mengatakan maaf karena tidak sempat membawa kado buat Oma. Mendengar itu Oma hanya tersenyum dan mengatakan bahwa kedatangannya sudah cukup membuatnya bahagia daripada sebuah kado. Kemudian Oma memberikan oleh-oleh sebuah kotak segi empat berpita biru pada Bulat. Kotak yang sedari tadi berada di belakang punggungnya. Bulat terlihat bingung dengan apa yang diterimanya itu.

“Tapi Oma.., bukankah Oma, yang ulang tahun yang harusnya menerima kado ini, bukannya Bulat,” kata Bulat

“Iya, tapi ini Oma sudah siapkan sejak jauh-jauh hari sebelum Oma akan berulang tahun,” kata Oma sambil tersenyum.

“Terimalah sayang, ini buatmu, dan semoga kamu menyukainya yaaa…, ayo dong cucu Oma kok cengeng begini, mana senyummu berikan sekali buat Oma, biar Oma tak akan melupakannya malam ini”, canda Oma yang membuat Bulat menjadi tersenyum malu, lalu memeluk manja Oma.

“Terima kasih, Oma…, nanti aku akan buatkan kue kesukaan Oma tapi buatanku sendiri dan aku berjanji ingin belajar pada Ana”, kata Bulat penuh semangant. Bangkit keceriaan di wajahnya.

“Iya.., sekarang pulanglah, cepatlah tidur, kado itu nanti aja setelah sampai rumah baru kamu buka, jangan nakal, pintar-pintarlah belajar, nurut sama Ana-Aya!” Nasehat Oma yang serasa sudah hapal di luar kepala oleh Bulat. Setiap kali Bulat berkunjung ke Oma, saat akan pulang ia selalu mengatakan hal itu.

“Iya Oma,” jawabnya.

Sekali lagi cucu dan nenek itu saling berpelukan, seakan-akan keduanya tidak ingin berpisah malam itu.


Di tengah perjalan pulang Bulat berkata pada Aya juga Ana.

“Aya dan Ana, bolehkah aku malem ini tidur bersama kalian?” tanya Bulat penuh harap.

“Kenapa nggak bobo sendiri di atas, Bulat takut..??” tanya Ana dengan wajah yang sudah mengantuk.

“Bulat mau nonen ya…, sama Ana,” kata Aya sedikit meledek Bulat

“IIIhh.. Aya, Bulat kan sudah gede,” Kata Bulat sambil memonyongkan bibir mungilnya itu.

“Iya, iya…, tidurlah nanti bersama kami”, kata Ana mencairkan suasana malam itu.

“Terima kasih Ana, Aya jelek weeeek…,” kata Bulat sambil mencium pipi Ana lalu menjulurkan lidahnya ke Aya. Aya pun membalasnya dengan kilikan di pinggang. Suasana malam itu menjadi cair dan cerita. Aya berkata bila nanti sudah tiba di rumah Bulat pasti sudah digisangnya habis-habisan. Bulat tertawa, dia sudah membayangkan bagimana Ayanya akan menggelitikinya dan mencium gemas padanya.

Di atas tempat tidur mereka bertiga pun mulai bersiap-siap untuk tidur. Semua saling mengucap selamat tidur. Ana dan Aya mencium kening sang buah hati yang berbaring di antara mereka. Tak lama kemudian Aya sudah terdengar mengorok dan Ana juga sudah terlihat sudah tidur. Akan tetapi Bulat masih belum dapat memejamkan matanya. Masih teringat ia akan kotak segi empat berpita biru yang tadi berikan Oma kepadanya. Akhirnya ia bangun dan berjalan menuju meja TV, ke tempat di mana ia meletakkan kotak berpita biru oleh-oleh dari Omanya itu. Ia sudah tidak tahan ingin melihat isinya, padahal Ana tadi berpesan agar besok saja membukanya, karena saat ini sudah hampir dini hari dan Bulat kudu bobo.

Pita yang membalut kotak itu perlahan ia tarik, sambil duduk di atas bangku kayu yang terletak di sisi tempat tidur. Ia pun membuka pelan kotak itu dan mulai menjenguk isinya. Ada sepucuk surat di atas jilidan kertas-kertas yang tampak sudah menguning dimakan usia.

“Dear Cucuku yang manis,

Hari ini Oma sangat bahagia sekali, bisa melihat semua orang-orang yang Oma sayangi datang ke ulang tahun ini, termasuk kamu tentu saja. Jangan sedih lagi ya… Oma jadi ikut sedih kalo cucu Oma yang cantik ini murung tidak ceria.

By The Way… (pada saat membaca bagian ini Bulat tersenyum, karena gaya bahasa Oma seperti ABG saja) ini adalah kumpulan surat-surat dan coret-coretan tanganmu ketika kamu masih kecil. Anamu sangat rajin sekali mengirimkan perkembanganmu dari waktu ke waktu, sejak kamu masih berumur 1 bulan hingga sekarang kamu sudah berumur 10 tahun.

Dulu di rumah Oma belom mempunyai telepon seperti sekarang ini yang bisa menghubungimu kapan saja kalo Oma kangen. Sekarang kamu jangan sedih lagi ya… Oma jadi sedih kalo mukamu murung seperti tadi. Oma sayang kamu. Met bobo dan mimpi yang indah.

peluk cun dari Oma”

Tak terasa meleleh air mata Bulat dan jatuh di atas surat Oma. Bulat terharu membaca surat itu. Kemudian ia membuka kertas-kertas yang penuh coret-coretan yang tidak beraturan itu sambil tersenyum-senyum sendiri. Coretan-coretannya semasa kecil. Ia teringat kembali kenangan masa kecil yang penuh kasih sayang Aya dan Ana, juga Oma. Ingatannya kembali ke masa lalu, sesuatu hal yang amat tak dapat ia lupakan adalah saat mencoret-coret dinding-dinding rumah Aya-Ana. Di kamar tidurnya sampai sekarang masih terdapat sisa-sisa hasil-hasil karyanya itu.

Bulat kembali ke tempat tidur, sambil kemudian mencium Aya dan Ana. Ia membisikkan sesuatu di telinga Ana. Ana yang tadi terlihat tertidur lelap, ternyata hanyalah pura-pura belaka. Lelehan air mata Ana membasahi bantal putihnya saat putrinya mengecup dahinya. Terharu ia melihat putrinya dan kenangan-kenangannya dalam wujud coretan-coretan itu. Keduanya pun saling berpelukan dan kemudian tertidur hingga pagi yang cerah menyapa mereka.


– Kolaborasi dengan Doodlez Milinding – 2006-08-15

Terharu pemuda itu. Kisah dua terakhir benar-benar menyentuh hatinya. Ia yang tidak terlalu ingat mengenai keluarganya merasa kisah-kisah itu bisa mengisi kekosongan batinnya saat ini. “Sebaiknya kuteruskan membaca buku ini,” gumammnya.

Orang-orang Maya dan Nyata

Suatu hari pada hari yang lain. Nein Arimasen, orang itu tampak tidak senang dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh seorang wartawan di kantornya. Wartawan itu bernama Si Ingin Tahu.

“Pak Nein,” katanya, “mengakulah bahwa Anda ini tidak lain adalah Andi Muhammad. Saya telah menelusuri sejak keberadaan anda di internet. Dan lagi buku-buku anda dijual pada toko online yang sama, di mana buku-buku Andi Muhammad pun dijual.”

Mendengar itu, Nein Arimasen hanya dapat menghela napas, lalu jawabnya, “Pak Si,” begitulah panggilan akrab Si Ingin Tahu, “jika saya menjual buku-buku saya secara online di toko yang juga menjual buku-buku J.K. Rowling, apakah berarti seorang Nein Arimasen itu juga seorang J.K. Rowling? Tidak, bukan?”

“Kalau itu, ya.. jelas tidak!” sanggah Pak Si cepat, “tapi untuk kasus anda ini unik. Hanya beberapa nama yang muncul di toko online itu. Dan saya yakin, berdasarkan riset saya bahwa anda adalah juga Andi Muhammad.”

“No comment untuk itu,” jawab Nein, “seorang pengarang berhak toh, untuk tetap menggunakan nama penanya. Biarkan orang itu eksis. Jangan dikait-kaitkan dengan saya.”

“Apakah karena orang itu, Andi Muhammad, memiliki haluan yang berbeda dengan anda, sehingga anda tidak mengakui dirinya sebagai diri anda?” tanya Pak Si keukeuh.

“Pak Si,” akhirnya mengeras suara Nein, tak sabar ia akhirnya, “kita telah kenal sejak lama. Sejak saya meminta tolong pada Pak Si untuk membantu meresensikan karya-karya saya, sehingga pembaca dapat mengenalnya. Akan tetapi bukan dengan alasan bantuan itu sehingga Pak Si berhak memaksakan kehendak Pak Si untuk memperoleh berita mengenai orang itu, anu, siapa namanya tadi?”

“Andi Muhammad..,” jawab Pak Si cepat.

“Ya, orang itu yang saya maksud,” ucap Nein, “tak lazim pula nama itu di telinga saya. Bagaimana pula saya bisa pake nama pena itu, bila itu benar saya.”

“Jadi.., anda mengakuinya?” tanya Pak Si penuh harap. Bila hal ini benar, dapatlah ia berita hangat untuk malam ini bagi korannya.

“Bukan, itu hanya ilustrasi,” jawab Nein, masih dengan nada jengkel.

Di sudut ruangan, Dancewith Ghost tampak tersenyum-senyum sendiri. Ia yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan itu, tak dapat menyalahkan Pak Si seratus persen. Ada benarnya mengapa Pak Si sampai curiga pada Nein bahwa ia adalah orang yang dimaksud Pak Si. Terlalu banyak kebetulan belaka. Untung saja dirinya tak ikut dikait-kaitkan. Ia juga menjual buku-bukunya pada toko online yang sama. Memang ada beberapa orang yang menjual buku di sana. Akan tetapi produk yang paling banyak memang dua orang itu. Jadi jelas mengapa ‘kebetulan’ mengarah ke mereka berdua.

“Baiklah jika demikian,” lanjut Pak Si, “mari kita omongkan soal novel yang akan anda tulis.” Akhirnya Pak Si mengalah, walaupun di hatinya masih gondok bahwa misinya untuk menembak Nein dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang sudah dipersiapkannya, tidak berhasil.

“Nah, itu baru betul,” jawab Nein kembali antusias. Lalu jelasnya mengenai novel yang akan dituliskannnya, yang berisikan lanjutan dari novel sebelumnya, dikemas masih dalam setting waktu dan geografis yang sama, akan tetapi dengan alur yang lebih sederhana dan cepat. Beberapa pembaca memberikan umpan balik, bahwa novel terakhirnya terlalu rumit dan meloncat-loncat dalam aluran waktu. Perlu pembaca serius untuk dapat mengertinya. Pembicaraan itu pun berlanjut sampai matahari telah tenggelam dari kaki langit sebelah barat.

Pak Si pun pamit.


“Yo.., Nein..,” tanya Dancewith, “boleh dong gua tahu, sebagai teman, apa bener itu si orang itu?”

“Heee…! Jangan mulai lagi dong,” rengut Nein. “Udah cukup gua hari ini ketemu Pak Si. Ditembak dengan pertanyaan-pertanyaan ga beralasan itu. Masih untung dia g menulis dugaannya di korang. Bila iya, makin banyak tembakan ke gw, deh..”

“Sorry, bro!” jawab Dancewith, “cuman becanda. Jangan dimasukan ati ya!”

Nein hanya mengangguk. Di persimpangan Jalan Gajah dan Tikus, mereka berpisah. Nein menuju utara sedangkan Dancewith menuju selatan, pusat kota.


Sesampainya di rumah, setelah bersih-bersih, makan dan menenangkan diri. Nein pun membuka PC-nya, ditujunya suatu situs yang hanya diketahuinya sendiri dan beberapa orang. Termasuk di dalamnya orang yang namanya dituduhkan sebagai dirinya tadi.

Tak lama muncul sebuah pesan,

“Bagus…! sasaran telah tampak. Orang-orang sudah mulai mencurigaimu. Terus berupaya membentuk kecurigaan. Sesuaikan dengan rencana.

Master Kenobi”

Nein tersenyum membaca itu. Master telah tahu kunjungan dan juga tuduhan Pak Si. Hal ini memang direncanakan, agar jangan sampai dugaan mereka mengarah pada orang yang sebenarnya. Lebih baik salah sasaran, sehingga tokok sebenarnya masih dapat bergerak bebas.

Setelah menulis berbagai hal, merinci apa-apa yang ditanyakan Pak Si tadi, Nein pun mematikan komputernya. Master tahu kunjungan Pak Si, karena itu seperti perkiraannya semula. Akan tetapi ia perlu pelaporan dari Nein untuk detil-detil yang terjadi. Nein puas. Ia telah melaksanakan tugas yang diberikan padanya.

Diputuskannya untuk tidur. Hari telah larut. Pekerjaan kantor, biarlah besok saja dilanjutkan. Walau sudah kadung dibawa pulang, tak ada selera ia membereskannya.

Tidur merupakan obat yang baik. Obat bagi ketegangannya tadi siang. Besok, entah tugas apa lagi yang diberikan Master padanya. Di harus fit dan siap. Setiap saat.


Entah kapan halusinasi ini akan berakhir. Selama nafsu-nafsu masih merajalela dan dipupuk keinginan membuta. Entah nanti. Mungkin.

25-9-2006 – 2006-09-25

“Hah!! apa maksudnya ini?” ucap pemuda itu dan lalu ia teringat akan perkataan ayahnya saat ia menemukan buku ini. Ia pun kemudian mengangguk-angguk. Memang benar perkataan ayahnya, Seh Pratahu, bahwa buku itu bukan buku yang bagus. Mungkin dari penuturan dan ceritanya yang meliar ke sana-kemari, ayahnya menilainya sebagai buku yang kurang bagus.

“Tapi bagaimanapun, tidak mudah menulis sebuah buku,” ucapnya pada dirinya sendiri. “Mungkin baik bila aku gunakan buku ini sebagai kerangka atau sumber ide untuk cerita yang ingin aku tulis suatu saat nanti.”

Segera ia berlari ke ayahnya untuk mengembalikan buku tersebut.

Dan kisah pun berlanjut untuk dituliskan.


Tags: