nou

menari bersama air

Nein Arimasen
83 mins read ·

elemen kekosongan 8/9

url https://elemen-kekosongan.blogspot.com/2007/03/menari-bersama-air.html

“Ini yang namanya pantai, tepi daratan..,” ucap seorang pemuda pada dirinya sendiri sambil berdiri memandang gulungan-gulungan kecil ombak yang saling susul dan bertumbuk burai. Pemuda baru saja tiba dari perjalannya dari arah utara menuju pantai tersebut yang terletak jauh di selatan. Batas dari tlatah tersebut dengan lautan. Pantai Selatan.

Tak terasa jari-jemari kakinya yang telanjang bermain-main dengan pasir-pasir pantai. Melesak dan tergores halus. Tanpa terasa ia berjalan perlahan sampai kedua kakinya tercapai oleh sisa-sisa ombak yang kadang sampai kadang tidak ke tempat ia berpijak.

Bagi pemuda itu, batas darat dan air sebenarnya sudah pernah ia alami. Ia tidak asing dengan air, akan tetapi bukan air yang bagai tak bertepi seperti sekarang. Lautan. Melainkan ia pernah tinggal bersama orang tuanya di sebuah pulau di tengah danau, jauh di utara sana. Pulau di puncak Gunung Berdanau Berpulau. Sebelah utara dari Padang Batu-batu. Yang terakhir ini baru saja dilewatinya beberapa saat yang lalu. Tempat yang pula di sana hatinya tertambat dan menjadinya tujuan untuk kembali berlabuh. Tepatnya tiga tahun dari saat ini.

Telaga pemuda itu, setelah puas melamun dan menikmati keindahan ciptaan Sang Pencipta, mulai mencari-cari dengan matanya kalau-kalau ada orang untuk ditanyakan. Ia pergi ke pinggir lautan ini untuk mencari suatu kelompok yang disebut Suku Pelaut. Orang-orang yang hampir sepanjang hidupnya tinggal di laut. Bukan hanya melaut tapi benar-benar hidup di atas air. Dari mereka hendak dicarinya ilmu-ilmu beladiri tinggi, seperti dipesan oleh orangtuanya. Ilmu yang cocok dengan jenis tenaga yang telah dilatihnya. Tenaga Air.

Di Padang Batu-batu Telaga telah mendapat dua orang guru yang mengajarkan ilmu pedang menggunakan pedang panjang, Ilmu Pedang Panjang dan ilmu berkelahi tangan kosong yang berisikan gerakan-gerakan menyebet dengan telapak tangan serta tangkisan dan bantingan. Guru yang pertama adalah Walinggih, yang mengajarinya dua jurus pokok, yaitu Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi dan Sabetan Tunggal Menuai Dua. Sedangkan dari guru keduanya, Arasan ia memperoleh dua jurus pula, yaitu Menebang Kelapa dan Berkelit Membanting Padi, gerakan-gerakan yang diturunkan dari kegiatan keseharian orang-orang yang hidup dari bercocok tanam.

Dengan berbekal Tenaga Air yang telah diturunkan oleh ayah dan ibunya, Ki dan Nyi Sura, Telaga dapat dengan mudah menyelami dan mempelajari gerakan-gerakan yang diajarkan oleh kedua guru berikutnya selama berada di Padang Batu-batu. Tapi ia belum merasa puas. Selain belum benar-benar merasa cukup, juga orang tuanya menganjurkan ia mencari orang-orang Suku Pelaut, memohon menjadikan dirinya murid dan mempelajari gerakan-gerakan beladiri mereka yang memang khusus dibuat untuk pengamal ilmu Tenaga Air.

Tiba-tiba ia melihat setitik kecil sesuatu berlayar di pinggir horison mendekat ke arah pantai di sebelah kanannya. Perlahan-lahan titik tersebut membesar dan terlihat semakin jelas. Sebuah perahu nelayan.

Bergegas ia setengah berlari menuju ke pantai tempat perahu tersebut hendak berlabuh. Bila ada nelayan mendarat, pasti tak tahu dari sana ada perkampungan. Dan di perkampungan nelayan adalah tempat yang baik untuk mulai bertanya mengenai Suku Pelaut yang menjadi tujuannya sampai ke pantai ini.

Saat perahu yang ditujunya mendarat, Telaga menjadi terkejut saat mendapati bahwa perahu tersebut dikemudiakan oleh seorang gadis. Gadis tersebut tampak cekatan dalam menggulung layar untuk kemudian melompak keluar dan menarik perahunya sendiri sampai cukup jauh dari batas air laut. Setelah itu ia mulai membereskan barang-barang tangkapannya dari laut.

Telaga yang baru kali ini menyaksikan seorang nelayan perempuan, hanya bisa terpaku melongo. Tak sepatah kata pun terlontar dari mulutnya. Ia hanya memandang kagum dan membisu.

Gadis tersebut dengan cekatan dan sigap setelah membereskan perahunya dan mengangkat hasil tangkapannya dari laut, bergegas berlalu dari situ. Ia tidak memperdulikan tatapan Telaga yang masih berdiri tak jauh dari sana.

“Eh, harus aku ikut dia..,” tersadar Telaga dari kekagumannya. Ia pun kemudian beranjak untuk mengikuti langkah gadis tersebut yang tidak saja cepat tetapi juga lebar-lebar. Bukan langkah kaki gadis-gadis kebanyakan.

Kira-kira tiga ratus langkah dari tempat perahu gadis itu ditambatkan, setelah melalui semak-semak dan pohon-pohon kelapa serta nyiur, sampailah mereka di suatu lapangan agak terbuka. Tak jauh di depan sana tampak semacam pintu gerbang yang terbuat dari dua buah pohon kelapa yang hidup. Digantungi berbagai pernik untuk melaut dan terpampang nama desa itu, Tepi Darat Selatan. Suatu nama yang menandakan desa itu berada di bagian paling selatan dari daratan itu, setidaknya menurut para penghuninya.

Setelah gadis tersebut berlalu dari pintu desanya, Telaga menjadi ragu untuk terus mengikuti. Ia adalah orang asing, tamu tepatnya, yang belum tahu harus menuju ke mana di desa tersebut. Mengikuti gadis tersebut sampai ke rumahnya adalah tidak baik. Belum mereka berkenalan pula.

Akhirnya ia memutuskan untuk tidur dulu malam itu di luar desa, baru besok pagi ia akan berkunjung ke sana. Hari sudah menjelang senja, matahari tampak sudah mulai menghilang di ujung barat pantai. Telaga mencari-cari matanya, sampai menemukan sebuah batu karang yang dinaungi oleh beberapa pohon kelapa yang agak membungkuk. Tempat yang cukup baik untuk bermalam. Cukup terlindung dari angin. Ia pun membuka perbekalannya, makan dan setelah itu mulai beristirahat di sana.

Tak lama ia pun mulai terlelap dibuai angin semilir yang mengalun lembut di sela-sela karang yang membelakanginya.

Mungkin karena kurang pengalaman atau karena saking lelahnya, Telaga tidak waspada sehingga ia tidak menyisakan sedikitpun kesigapan untuk segera terbangun apabila ada suara-suara mencurigakan.

“Ini pemuda yang tadi mengikutimu, Mayiya?” kata suara seorang tua yang terdengar agak serak.

“Iya, kakek! Pemuda ini,” jawabnya.

“Tampaknya tidak bermaksud jahat,” ucap orang tua itu lagi sambil mengamat-amati Telaga yang tertidur pulas, meringkuk miring dan juga mendengkur.

“Belum tentu, mungkin belum muncul saja aksinya,” ucap gadis itu. Rupanya sedari tadi Telaga memperhatikannya dengan kagum, ia sudah tahu dan merasa tidak nyaman. Akan tetapi karena tidak ada siapa-siapa di antara mereka kecuali pasir dan air laut, Mayiya memutuskan untuk segera pulang ke desangnya. Lebih aman di sana. Setelah sampai ke rumahnya lalu ia melaporkan hal ini kepada kakeknya, Pelaut Ompong.

“Jangan terlalu curiga, tidak baik!” ucap kakeknya si Pelaut Ompong kemudian. “Jadi apa maumu sekarang, apabila engkau masih mencurigai pemuda itu?”

“Kita tangkap dan ikat saja, kakek! Besok baru kita tanyai,” usul cucunya itu. Suatu usul yang terdengar kasar dan asal-asalan juga.

“Kalau begitu engkau yang tangkap dia,” goda kakeknya kemudian.

“Ah, kakek!” rengek sang cucu manja.

“Baik, baik, aku tangkap dia. Tapi awas ya, kalau engkau yang salah, engkau harus minta maaf kepadanya. Mengerti!” jawab kakeknya tegas.

Dara itu mengangguk.

Lalu dengan perlahan kakek itu melangkah ringan, saking ringannya tapak kakinya tidak berbekas di atas pasir yang diinjaknya. Jadi apabila Telaga tidak dalam keadaan tidur pulas pun, sudah sulit untuk mendengar kedatangan mereka, apalagi saat ia benar-benar merasa aman dan lelap istirahatnya.

“Hmm, cah.., cahh.., kalo tidur itu sebaiknya tengkurap! Biar gampang notoknya…,” gerutu kakek itu saat telah berada di samping Telaga yang masih tertidur dengan posisi miring meringkuk memeluk kantung perbekalan dan juga lututnya.

“Di punggung saja kayaknya, masih terbuka..,” ujar kakek itu kemudian. Lalu Pelaut Ompong itu pun segerah perlahan mengusap punggung Telaga, sampai ia merasakan sebuah jalan darah yang dicari, dan… “Tukk!!!” jempolnya memijit pelan. Tubuh Telaga tampak sedikit tersentak tapi pemuda itu tidak terjaga. Mungkin tubuhnya sedikit bereaksi secara reflek terhadap aliran tenaga totokan itu, tapi tidak cukup kuat untuk menolak dan membangunkan orangnya.

“Sudah, kek?” tanya dara itu kemudian, memecah keheningan yang hanya terisi oleh deburan ombak dan gemerisikan angin di sela-sela daun kelapa.

“Sudah! Sekarang kamu yang bawa, Mayiya!” perintah kakeknya.

Gadis itu mengangguk. Lalu dengan sigap ia mengambil barang bawaan Telaga, menyatukannya dalam kontong dan memanggul sang pemuda. Bobot Telaga seakan-akan tiada berarti bagi gadis itu, walaupun tingginya hampir sama dengan Telaga. Bila saja Telaga sadar mungkin ia bisa merasa malu, dipanggul sedemikian rupa oleh seorang gadis.

Dan malam itu pun berlalu dengan tenangnya. Mayiya tenang karena pemuda yang diduganya punya maksud jahat terhadap dirinya telah ditangkap dan disekap di ruang kecil di belakang rumah sana. Sedangkan Telaga tenang kerana tidak tahu apa-apa, bahwa tempat tidurnya telah berpindah tempat. Hanya Pelaut Ompong yang masih agak tertegun saat membantu membawakan barang-barang pemuda itu. Sebilah pedang panjang. Mirip dengan pedang seseorang yang pernah dikenalnya dulu, jauh di sebelah utara. Pedang itu dibungkus kain-kain dan kulit kayu dan digunakan sebagai tongkat. Bila ia tidak memegang sendiri, mungkin masih dikiranya itu adalah tongkat. Dengan itu, Pelaut Ompong menjadi lebih berhati-hati. Mungkin saja dugaan cucunya benar, pemuda itu bukan orang biasa.


“Kukuruyukkkk!!! Kukuruyukkkk!!!” suara satu dua ayam jago memecah kehehingan pagi. Didahului dengan sepercik cahaya pertama dari ufuk timur, ayam-ayam pejantan itu berdulu-dulu meneriakan kabar bahwa hari baru telah datang.

“Agggghhhh!!!” ucap merdu seorang gadis yang menggeliat. Ia tampak manis dengan rona merah wajahnya yang masih kusut akibat tidurnya. Mayiya baru saja bangun dan sempat bermimpi soal pemuda yang dipanggulnya kemarin. Saat ia benar-benar tersadar, langsung ia bangkit dan menuju ruang tengah rumahnya, hendak bertanya pada kakeknya apa yang kemarin itu benar-benar nyata atau hanya mimpi belaka.

“Pagi, Mayiya!” sahut kakeknya yang sudah duduk di ruang tengah dengan ditemani kepulan kopi.

Mayiya tidak segera menjawab karena mulutnya terasa tersumbat. Di samping kakeknya tampak seorang pemuda sedang meniup-niup gelas kopi yang ada di dalam tangannya. “Huuuhh!! Huhhh!! Masih panas…,” ucapnya pelan.

“Kakek, itu…. dia…?” ucap Mayiya pelan sambil menunjuk sang pemuda. Pemuda yang dipanggulnya kemarin malam.

“Ah, nak Telaga? Nak Telaga ini cucuku, Mayiya. Dia yang minta engkau tadi malam diperlakukan secara ‘istimewa’,” ucap Pelaut Ompong dengan gurau.

Wajah merona tampak pada muka Mayiya. Malu sekali ia. Orang yang “ditangkap”-nya tampak tenang-tenang saja, sudah bangun dan malah sedang menemani kakeknya minum kopi. Dan ia sendiri… masih belum merapikan rambutnya. Bergegas ia kembali menghilang dalam kamarnya, menyibakkan kain penutup ruangan tersebut.

“Hahahahaha…!” kakek Mayiya tampak tertawa puas. Senang ia menggoda cucunya. Memang hubungan antara kedua orang itu, cucu dan kakek, benar-benar akrab. “Itulah cucuku, nak Telaga. Ayo jangan sungkan-sungkan, bila sudah dingin langsung saja dihirup. Nanti siang, minuman dan masakan yang lebih enak, buatan Mayiya lebih enak dari buatanku, bisa engkau nikmati.”

Telaga yang tak tahu harus mengucap apa, hanya mengangguk-angguk saja. Sambil perlahan diambilnya ubi bakar yang disajikan dan menguyahnya pelan-pelan. Sambil tak lupa tetap meniup-niup kopi yang sekarang sudah mulai agak dingin.

“Ceritakan soal Walinggih! Bagaimana kabarnya sekarang?” tanya Pelaut Ompong kemudian. Benar seperti dugaanya, pemuda itu ada kaitannya dengan Walinggih, seorang yang pernah dikenalnya dulu. Seorang pengguna pedang panjang.

Setelah kunyahan ubi bakar dilancarkan dengan kopi yang dihirupnya. Telaga pun mulai menceritakan mengenai keadaan Walinggih, sampai terakhir ia bertemu dan pamit untuk melanjutkan merantau ke arah selatan.


“Jadi engkau ingin mencari Suku Pelaut?” tanya gadis itu kepada seorang pemuda.

“Iya. Tahukah engkau di mana mereka bisa ditemui?” tanya pemuda itu balik.

“Aku pernah mendengarnya dari kakek, bahwa mereka itu sulit dicari. Hidup benar-benar di tengah laut dan jarang merapat. Hanya saat-saat tertentu saja mereka merapat. Benar-benar ‘orang laut’,” jawab sang gadis.

“Adakah yang bisa menunjukkan di mana aku bisa mencari mereka?” tanya pemuda itu kemudian.

“Tunggulah sampai kakakku, Mayayo, pulang! Ia banyak tahu. Bahkan dengar-dengar ia pernah bertemu dengan salah seorang dari mereka. Ia diselamatkan dari amukan badai oleh mereka dan diantar pulang ke darat karena perahunya telah hancur,” cerita gadis itu.

Mengangguk-angguk pemuda itu mendengar penjelasan sang gadis.

“Eh.., Telaga..,” ucap gadis itu lirih.

“Ya… Mayiya..?” jawab sang pemuda.

“Soal waktu itu…, aku…,” ucap sang gadis dengan wajah tersipu malu. Merona merah wajahnya.

“Ah, tak usah dipikirkan. Engkau bisa daja benar, bahwa aku adalah orang jahat yang hendak menunggu tengah malah untuk menyelinap menyerangmu. Itu sudah tindakan bagus. Paling tidak engkau tidak melukai aku sebelum bertanya,” jawab pemuda itu sambil tersenyum.

“Aku… minta maaf!!” ucap gadis itu.

“Tak ada yang perlu dimaafkan, hanya kesalahpahaman saja,” jawab sang pemuda.

“Terima kasih!!” berkata gadis itu kemudian.


Mayayo, kakak Mayiya, masih membutuhkan waktu kira-kira beberapa minggu sebelum kembali ke desa itu, Tepi Darat Selatan. Jadi selama menunggu Telaga diajar oleh Mayiya dan kakeknya Pelaut Ompong hal-hal mengenai laut. Kalau-kalau Telaga harus berlayar seorang diri dan bertahan hidup di tengah laut. Dari cara mencari ikan, menghemat tenaga sambil berendam di sisi perahu, menyuling air laut untuk minum dan mengobati sengatan matahari dan juga ubur-ubur serta ular laut. Banyak hal yang diajarkan oleh kedua orang itu kepada Telaga. Jarang mereka mendapat kunjungan orang luar, dan orang luar yang tertarik dengan penghidupan mereka. Kepada Telaga mereka menjadi amat terbuka dan menceritakan banyak hal.

Sebagai balasan Telaga mengajarkan Mayiya, karena Pelaut Ompong sudah merasa terlalu tua untuk belajar, ilmu-ilmu yang dimilikinya. Salah satunya adalah ilmu pedang panjang dan jurus-jurus beladiri tangan kosong warisan Arasan.

Mayiya yang cerdas dapat dengan mudah mencerap apa-apa yang diajarkan. Bahkan teman-temannya, baik laki-laki maupun wanita menjadi bersemangat dan ikut berlatih. Telaga menjadi tamu yang amat diterima di sana. Membuat suasana desa itu menjadi ceria.

“Ini yang disebut Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi…,” ucap Telaga sambil menunjukkan gerakan-gerakan yang bersalto balik, menyerang dengan pedangnya dan tidak terjatuh, melainkan melenting kembali ke tempat pijakan tadi ia melompat. Suatu serangan yang sulit diduga oleh lawan yang belum tahu.

Dikarenakan pedang panjangnya hanya satu dan anak-anak muda yang lain ingin ikut juga berlatih, akhirnya dibuat pedang-pedangan dari bambu yang ditengahnya diisi oleh pasir besi, agar beratnya menyerupai berat pedang panjang. Jurus-jurus pedang panjang hanya bisa dilakukan apabila pedang yang digunakan cukup berat dengan titik beratnya berada di pertengahan ujung dari pedang. Bagi yang tidak tahu dan ingin meniru tanpa tahu seluk-beluk pedang yang digunakan, tidak akan berhasil. Apalagi menggunakan pedang biasa.

Tapi bukanlah desa atau kota atau kumpulan komunitas lain bila seorang baru yang datang, mendapat banyak perhatian dan tidak ada yang tidak senang. Ada seorang pemuda, Wassa, yang telah lama menaruh hati kepada Mayiya. Ia menjadi tidak senang dengan kedatangan Telaga yang tampaknya dekat dengan pujaan hatinya. Ia menjadi gusar terbakar api cemburu, walaupun ia sendiri belum pernah menyatakan maksud hatinya kepada sang gadis. Wassa memang berniat untuk mengatakan apa isi hatinya, tapi untuk itu ia hendak menunggu Mayayo, sang kakak dari Mayiya. Di kampung itu ada adat bahwa pernyataan suka dan ada niat untuk meminang harus dikatakan kepada wakil dari yang hendak dipinang. Dalam ini Mayayo adalah wakil dari Mayiya. Pelaut Ompong, sang kakek telah berpesan akan hal itu kepada Wassa. Sebagai orang tua dari ayah Mayiya dan Mayayo ia wajib menikahkan cucu-cucunya, tapi menerima pernyataan ingin meminang Mayiya adalah kewajiban Mayayo.


Ombak yang bergulung-gulung tinggi, berkejar-kerjaran dalam angin, berlomba-lomba datang, menghantam perahu dan menjatuhkan airnya ke atas geladak kecil tersebut. Seorang pemuda dengan tabah tampak masih berusaha menurunkan layar perahu kecilnya, mengurangi kuasa angin atas perahunya. Kekuatan pengaruh air atas biduknya tak dapat ia reduksi, kecuali harapan dalam hati kepada Sang Pencipta, agar ia masih dapat pulang dengan selamat ke kampungnya. Tampak lelah sudah wajah sang pemuda.

Kampungnya, Tepi Darat Selatan. Kakeknya, Pelaut Ompong. Adiknya, Mayiya. Berkelebat cepat semua apa-apa yang ada di dalam angan. Apa ini tandanya orang yang menjelang maut? “Tidak!!” ucap pemuda itu membantin. “Ini belum berakhir! Selama masih ada nafas, tak akan ia menyerah!!”

Segera setelah semangatnya pulih, ia teringat pada ujar-ujar dari para tua-tua, bahwa dalam keadaan badai menggila dan berangin, ikatkan diri pada tiang perahu. Jangan sampi jauh dari satu-satunya pelampung kehidupan di tengah lautan. Segera dengan tali yang dapat digapainya, dililitkan dirinya kepada tiang layar perahu kecilnya. Dililitkannya berkali-kali. Satu, dua, tiga.., entah sampai berapa kali putar. Sebanyak-banyaknya, sampai ia sendiri berdiri lemas. Basah, kedinginan dan lelah. Dengan topangan ikatan tali itu, ia masih bisa berdiri.

Ombak yang bergulung tinggi, datang seakan tak hendak berhenti. Bertubi-tubi dan silih-berganti. Perahu diombang-ambing ke kanan dan ke kiri. Dibolak-balik sesuka hati. Untuk saja ada konstruksi, yang membuat perahu dapat tegak kembali. Bila tidak, sudah pasti, sang pemuda bagi ikan-ikan menjadi sarapan pagi.

Kesadaran yang perlahan menghilang menyambut sang pemuda. Tertunduk kepalanya lemas. Bak orang yang telah tiada nyawa. Pasrah biarkan diri dipermainkan gelombang laut tiada iba.

Tapi memang hari itu bukan hari akhir bagi Mayayo, sang pemuda yang terikat di tiang perahu. Alam berangsur-angsur mulai melunak. Menaruh iba dan berbaik hati. Angin meredup dan gelombang berangsur-angsur mengecil. Laut lalu menjadi tenang. Amat tenang seakan-akan hampir tiada angin bertiup. Suatu kontras yang amat sangat, bila dibandingkan dengan keadaan beberapa saat sebelumnya. Kuasa Sang Pencipta, sosok dari mana seluruh isi alam ini berasal, yang kuasanya bertebaran di mana-mana. Hanya sayang kita kadang kurang menyadarinya sehingga sering terlupa untuk bersyukur dan mengharap dengan tulus.

Perlahan-lahan matahari pagi mulai menampakkan sinarnya dari arah biasanya. Kaki langit sebelah timur tampak bersinggungan dengan lautan sejauh mata memandang. Sinar temaram kuning mentari peralahan-lahan mulai menjadi semakin cerah. Ia muncul untuk menghantarkan kehangatan kepada seluruh lautan dan penghuninya.


“Hiattt!!!” teriak seorang dara dengan lantangnya. Dengan gerakan yang lincah dan menawan ia melompat ke sana-ke mari di atas balok-balok kayu yang terapung-apung di tengah laut tersebut. Balonk-balok yang satu sama lain diikat dengan tali sehingga tidak dapat saling menjauh atau mendekat. Balok-balok tersebut diikat membentuk jaring kotak-kotak yang di keempat ujung jauhnya ditancapkan pada sebuah pelampung besar yang dijangkarkan ke dasar laut.

Walaupun terlihat balok-balik tersebut mengapung, akan tetapi tidaklah terlalu besar beban yang dapat ditampungnya. Oleh karena itu orang yang berlompatan di atasnya harus hanya hinggap sebentar untuk kemudian berpindah pada balok yang lain. Jika tidak, sudah dipastikan yang hinggap di atasnya akan tenggelam. Ini adalah salah satu bentuk latihan ilmu meringankan tubuh yang dilatih di tengah-tengah laut.

Dara tersebut dengan busana ringkas berwarna biru muda, warna yang dominan di daerah yang didominasi oleh air, tampak tak kenal lelah berlompatan sana-sini sambil menyabetkan tangan dan kakinya. Sabetan yang bukan sembarang sabetan, melainkan sabetan dengan penuh tenaga. Kesiuran angin tampak di sana-sini, di permukaan air yang telah terkena hawa pukulan dan tendangannya. Tampak segumpal air yang lebih putih dari sekelilingnya, menggumpal dan mengapung perlahan untuk kemudian menghilang. Bongkahan es. Ya, ilmu yang dilatih dara tersebut berkaitan dengan penggunaan Tenaga Air. Ia dapat memanipulasi air dengan hawa pukulannya sehingga menjadi dingin, dan sampai membeku.

“Plok-plok-plok!!” terdengar tepukan tangan seorang tua yang berdiri tidak jauh dari sana.

Jika dara berjubah biru muda tersebut sudah terlihat menggiriskan dengan pukulan serta tendangannya yang mampu mendinginkan air laut sampai menjadi bongkahan kecil es, ditambah pula ilmu meringankan tubuhnya yang mampu membuatnya “terbang” di atas air dengan bantuan balok-balok kayu yang terapung, lain pula dengan orang tua itu. Ia tampak berdiri seenaknya, dengan kedua kaki dipentang, di atas air. Sebenarnya tidak benar-benar di atas air, karena apabila diperhatikan tampak bahwa di bawah kedua kakinya, di bawah permukaan air di bawah tubuhnya, tampak segumpal es besar. Bongkahan yang menyanggah dirinya sehingga tidak tenggelam dan seakan-akan terapung atau dapat berdiri di atas permukaan air. Es sebesar satu dua gajah dan dalam siang yang seterik ini? Kemampuan yang tidak boleh dibuat main-main.

“Ah, kakek!! Masak sudah latihan hari ini?” rengek dara itu manja kepada orang tua yang ternyata adalah kakeknya sendiri.

Tampak mengeluarkan sepatah kata pun orang tua itu lalu menunjuk ke suatu arah di tengah laut, tak tampak apa-apa di sana. Tapi perlahan muncul sebuah titik yang semakin lama semakin jelas. Sebuah perahu. Perahu kecil dengan tiang layar yang doyong miring. Perahu yang jelas-jelas tampak telah didera badai dan dipermainkan ombak laut yang ganas. Pada tiangnya tampak seorang pemuda terikat. Diam. Wajahnya yang pucat dan bibir membiru, menandakan ia sedang dalam keadaan yang kurang baik. Pingsan.

“Kakek, apa yang harus kita lakukan?” tanya dara itu saat ia dan kakeknya telah tiba di atas perahu yang terombang-ambing dengan sang empunya terikat pada tiang perahu.

Sang kakek hanya menggerak-gerakkan tangannya. Dara tersebut kemudian mengangguk mengerti. Lalu ia mengeluarkan sebuah keong dari saku bajunya, meliuk melengkung dan berwarna hitam mengkilat. Keong Pemanggil. Suatu alat yang digunakan dengan ditiup, untuk memanggil bala bantuan apabila terjadi suatu peristiwa yang membutuhkan pertolongan dari kerabat atau kawan.

Tak lama kemudian tampak sebuah titik dari arah berlawanan perahu yang terombang-ambing tadi datang. Titik tersebut perlahan-lahan menjadi semakin besar dan memecah menjadi tiga buah. Tiba buah perahu yang bergerak dengan cepat atas bantuan dayung-dayung yang berumlah empat buah, dua di masing-masing sisinya. Selain itu masih ada dua orang di depan dan belakang yang mengerak-gerakkan tangannya mengendalikan air di depan dan belakang perahu.

Orang yang didepan menggerakkan tangannya ke depan sehingga di depan perahu mereka terbuka lubang yang cukup dalam akibat angin pukulannya, sedangkan yang dibelakang mendorong air dengan luasan yang lebih lebar, tidak membuat lubang akan tetapi mendorong perahu ke muka. Gerak mereka berganti-ganti dan dibantu dengan para pendayung yang menyibakkan air ke belakang. Paduan tenaga yang membuat perahu mereka bergerak dengan amat cepat. Seakan-akan seperti perahu yang memiliki “ilmu meringankan tubuh” di atas air.

Tak lama kemudian ketiga perahu tersebut telah merapat ke perahu yang terombang-ambing tadi. Sang pemuda yang pucat dan tak sadarkan diri telah dibuka ikatannya oleh sang dara dan dibaringkan di atas perahu, beralaskan gumpalan layar pada kepalanya. Perahu dara dan sang kakek serta ketiga perahu yang baru datang melingkar mengelilingi perahu yang tadi terombang-ambing. Semua orang tampak mengamati pemuda yang masih saja tak sadarkan diri itu.

Orang-orang yang baru datang itu tampak menggerak-gerakkan tangannya dengan cepat. Kakek sang dara juga membalaskan dengan isyarat-isyarat yang tak kalah cepatnya, ingin mengatakan bahwa, “Perahu ini harus ditarik ke pantai.”

Rekan-rekannya yang baru datang itu mengangguk-angguk setuju, kemudian mereka melemparkan tali dan mengaitkannya pada perahu sang pemuda yang masih pingsan itu. Mengikatnya pada empat bagian dan kemudian ke perahu mereka masing-masing termasuk si kakek. Setelah ikat-mengikat selesai, kelima perahu itu segera melaju dengan cara yang sama seperti mereka datang. Di sini terlihat bahwa sang kakek memiliki kemampuan lebih tinggi dari yang lain. Dengan hanya sendiri ia dapat melajukan perahunya selaju ketiga perahu yang lain. Cucunya hanya berdiam di depan perahu sambil mengamati pemuda yang masih pingsan itu.

Perjalanan mereka akhirnya berhenti pada sebuah bentuk yang mengapung di tengah-tengah air. Bukan pulau bukan pula perahu. Mungkin lebih tepat dikatakan perahu, akan tetapi dengan ukuran dan bentuk yang tidak lajim. Besar dan luas dan juga ditumbuhi oleh tanam-tanaman. Bukan pulau karena dapat berpindah-pindah. Para penghuninya menamakan Desa Terapung.

Kelima perahu tersebut, empat yang menarik dan satu yang ditarik melabuh pada satu sisi Desa Terapung. Pada sisi tersebut sengaja dibentuk mirip pantai sehingga perahu-perahu dapat merapat dan ditarik pada bidang yang miring, sebelum disangkutkan pada suatu kaitan dan diikat. Segera kelimat perahu tersebut telah dilabuhkan dan diikat dengan rapi, mencegahnya lepas dan hanyut ke lautlepas. Bagi mereka perahu adalah suatu alat yang penting untuk hidup di tengah laut. Daerah yang hanya terisi oleh air dan langit di atasnya.


Pemuda itu tampak membuka matanya. Ia merasa menggigil dan pening. Tiba-tiba ia teringat saat-saat terakhir kesadaran masih ada di kepalanya. Ya, di tengah laut, di atas perahu dan dihantam badai dan hujan. Segera ia bangung dan menyadari bahwa ia sedang berbaring di dalam sebuah kamar yang bersih dan terang. Bajunya juga telah berganti dengan baju lain yang kering dan nyaman.

Sebelum ia dapat berpikir lebih jauh di mana ia berada, tiba-tiba tampak sebuah pintu, satu-satunya pintu pada ruangan itu, terbuka. Sesosok orang tampak masuk dan tersenyum padanya. Seorang gadis.

“Bagaimana keadaanmu?” tanya gadis tersebut.

“Eh.., aku..? Di mana aku? Bagaimana.. bisa..? Badai itu…,” ucap pemuda tersebut yang masih tampak bingung dengan keadaannya itu.

Gadis tersebut berkata menenangkan, “Jangan terburu-buru untuk mengingat! Istirahat sajalah masih banyak waktu. Lebih penting untuk memulihkan kesehatanmu. Ini makananmu!”

Pemuda itu mengangguk. Dan benar, ia merasakan bahwa sekujur tubuhnya sakit-sakit dan juga tak mampu untuk bertahan lama dalam berbicara. Terasa tanpa tenaga. Mungkin akibat demam yang dialaminya.

“Bisa makan sendiri?” tanya gadis itu setelah melihat wajah yang pemuda yang masih pucat tersebut.

Pemuda itu mengangguk mengiyakan.

“Ini kuletakkan makananmu. Campuran bubur dan ikan. Baik untuk tubuh yang masih demam dan lemah. Makanlah! Pelan-pelan saja. Jika bisa habiskan,” ucap gadis itu sambil meletakkan makanan dan minuman yang ia bawa.

“Apa nama tempat ini?” tanya pemuda itu setelah ia memperoleh agak sedikit tenaga setelah beberapa suap bubur dan seteguk teh hangat dicernanya.

“Desa Terapung,” jawab gadis itu pendek. “Istirahatlah dulu!” katanya kemudian setelah melihat bubur dan teh yang dihidangkannya telah habis berpindah ke perut sang pemuda.

Pemuda itu kembali menangguk. Kali ini ia tidak lagi bertanya-tanya dan segera merebahkan badan dan menutup matanya. Berusaha untuk beristirahat, memulihkan tenaganya.

“Desa Terapung..,” kata-kata tersebut masih terngian-ngiang di telinga dan kepalanya saat ia kemudian terlelap. Rupanya di dalam bubur tersebut diberikan sejenis ramuan yang membuat pelahapnya menjadi mengantuk. Hal ini dengan tujuan agar membuat tubuh lebih cepat pulih dengan banyak beristirahat. Tidur.


Dua orang pemuda tampak berdiri berhadapan di tengah-tengah nisan-nisan batu yang tersebar tak beraturan. Di kejauhan terdengar deburan ombak samar-samar. Saat itu tengah hari lewat sedikit. Bayang-bayang benda mulai kembali menampakkan dirinya.

“Jadi hanya karena itu engkau menantangku untuk berkelahi, Wassa?” tanya pemuda pertama yang beridiri gagah dengan badan tegap dan berotot.

Lawannya yang juga tak kalah gagahnya hanya mengangguk pendek.

“Tapi…,” ucap pemuda pertama itu lagi.

“Tak usah banyak alasan! Jika engkau takut, katakan saja, Telaga!” ucap Wassa dengan senyum agak mengejak.

Takut, kata itulah yang membuat Telaga hampir tidak dapat berpikir jernih. Ia tidak suka kata itu, apalagi jika kata itu dilemparkan orang kepada dirinya. Ia hanya melihat tidak ada alasan untuk berkelahi dengan pemuda di hadapannya ini. Pemuda yang hanya cemburu karena ia dekat dan tinggal serumah dengan Mayiya dan kakeknya, Pelaut Ompong. Suatu alasan yang picik.

Sebelum Telaga sempat mengeluarkan kalimat lain, Wassa telah bergerak dan memukulnya lurus. Kaku dan keras. Pukulan yang hanya diisikan oleh tenaga kasar dan dilakukan oleh orang yang tidak mengerti banyak ilmu bela diri. Suatu serangan tanpa pertahanan diri.

Dengan mudah Telaga menggeser sebuah kakinya ke belakang dan menghindari pukulan itu. Ia belum ingin menjatuhkan pemuda lawannya itu, walau hatinya juga sudah mulai panas akibat ejekan lawannya.

Demi melihat pukulannya dapat dielakkan degan mudah, wajah Wassa menjadi semakin merah gelap. Segera ia menarik serangannya yang luput itu, melanjutkan dengan tendangan lurus ke arah kepala Telaga.

Kembali tendangan itu dapat dielakkan dengan tipis oleh Telaga yang hanya memiringkan sedikit kepalanya dan membiarkan kaki tersebut kehilangan daya dorongnya dan terhenti dengan sendirinya di udara karena telah terentang habis. Sebenarnya Telaga dapat dengan mudah menangkap kaki itu dan menekuk lalu membanting Wassa dengan mudah. Berbekal jurus Berkelit Membanting Padi hasil ajaran gurunya Arasan, ia dapat segera melihat kedudukan lemah dari posisi Wassa. Suatu celah yang benar-benar tepat untuk dimakan oleh jurus tersebut. Tapi kembali Telaga hanya berdiam diri. Ia masih ingin melihat sejauh mana Wassa punya kemampuan.

Berulang-ulang Wassa menyerang dengan beringas. Serangan kasar dan membabi-buta. Berulang kali pula Telaga dengan mudahnya mengelak. Tidak hanya mengelak bahkan mengelak dengan tipis dan hanya pada saat-saat terakhir. Suatu elakan yang seakan-akan berbicara bahwa kepandaian Wassa belum ada cukup untuk dikeluarkan baginya.

Satu waktu yang cukup untuk memasak nasi pun telah lewat. Jika Telaga masih tampak segar dan sigap, adalah Wassa yang sudah terlihat lelah dengan keringat bercucuran di mana-mana. Wajah, dada, pungguh dan lehernya telah basah olehnya. Napasnya pun terlihat mulai terengah-engah.

“Telaga… jangan engkau menghindar… terus…!! Ayo lawan… aku!!” ucap Wassa yang diselilingi dengan napasnya yang bersambung dan putus. Terengah-engah sekali tampaknya.

Telaga yang tadinya merasa agak dongkol kepada pemuda lawannya itu menjadi merasa kasihan. Pemuda yang telah dibutakan cintanya kepada Mayiya. Padahal ia tidak tahu apakah apakah sang gadis membalas cintanya atau tidak.

“Wassa, kita sudahkan saja hal ini. Tak ada gunanya,” ucap Telaga perlahan.

Walaupun mendongkol Wassa tidak dapat berkata apa-apa. Lelah sudah pemuda itu. Tenaganya terkuras habis hanya untuk memberikan pukulan dan tendangan kosong. Serangan-serangan yang tidak pernah mencapai tubuh Telaga.

Ia pun terduduk lelah. Sedih. Dan termenung.

Telaga yang merasa tidak enak bahwa kedatangannya ke tempat ini menyebabkan pemuda itu teracuni pikiran cemburu, mencoba untuk membantu. Sudah dilupakannya perkataan Wassa yang mengatakannya takut tadi sehingga ia terpancing emosinya untuk melayani.

“Aku sama sekali tidak tertarik pada Mayiya,” ucap Telaga sambil duduk di samping pemuda yang sudah tempak tak bertenaga itu.

Sebersit semangat dan juga kebingungan tampak terlihat sejenak di matanya. Lalu katanya, “Tapi aku sering melihat engkau dan dia…”

“Aku ‘kan menumpang di sana. Lucu jika orang yang menumpang di rumah orang lain, akan tetapi tidak berinteraksi dengan yang punya. Bukan begitu?” tanya Telaga balik.

Wassa hanya tersenyum malu. Tapi masih ada rasa penasaran dalam hatinya. Ia kemudian lanjut berkata, “Aku melihat bahwa Mayiya tampak kagum pada kemampuanmu mengayunkan pedang panjang dan juga bersilat. Aku merasa ia sudah jatuh cinta kepadamu.”

“Aku ini sudah bertunangan, Wassa. Dan aku tidak akan mencoba-coba untuk tertarik dengan gadis lain selain tunanganku,” jelas Telaga. “Bila engkau merasa bahwa bersilat dengan pedang panjang dan tangan kosong bisa menarik perhatian seorang gadis, mari sini aku ajarkan!”

“Engkau mau mengajarkan aku ilmu silat itu…? Setelah aku hampir mati-matian ingin menghajarmu?” tanya Wassa tidak percaya akan tawaran yang diajukan oleh Telaga.

Telaga menganggguk, lalu katanya, “Ini semua hanya salah paham. Dengan ini kita jadi bersahabat. Atau engkau tidak mau bersahabat denganku, Wassa?”

“Tidak!! Tidak!!” sahut Wassa cepat, “Sudah tentu senang sekali bersahabat denganmu, Telaga. Seorang berilmu dan juga ramah. Aku senang sekali!”

“Baiklah kalau begitu. Nanti malam kita bertemu lagi di sini. Aku rasa, untuk suatu kejutan, baiknya kita latihan diam-diam. Biar nanti Mayiya tahu setelah engkau mahir. Bagaimana?” usul Telaga.

Wassa mengangguk setuju.

“Di samping itu, aku juga tertarik dengan tempat ini,” katanya sambil mengedarkan pandangan, melihat berkeliling pada nisan-nisan batu yang tersebar tak beraturan itu. Tampak kuno dan beberapa sudah terguling.

“Pemakaman kuno ini? Ada cerita menarik mengenai tempat ini. Nanti kuceritakan,” ucap Wassa yang sudah merasa gembira bahwa ia akan diajari ilmu beladiri oleh Telaga. Sudah lupa ia akan kekesalannya tadi. Sudah menjadi sahabat rupanya mereka berdua.

Keduanya kemudian bersama-sama berjalan menuruni bukit kecil itu. Menuju desa Tepi Darat Selatan. Sekarang mereka berjalan berdua bagai seorang sahabat, tidak seperti semula yang terisi dengan rasa curiga dan ketidaktahuan. Perkelahian yang barusan terjadi membuat keduanya menjadi akrab satu sama lain.

Angin pun berhembus perlahan, menyisir lembut daun-daun nyiur. Gembira akan persahabatan dua manusia yang baru saja terbentuk.


“Pernah dengan kata Fibonacci?” tanya Wassa seusai Telaga mengajarkan beberapa gerakan beladiri dan juga latihan kuda-kuda yang cukup melelahkan.

“Belum,” jawab Telaga singkat. Ia tertarik pada ucapan Wassa tadi siang, saat mereka masih belum bersahabat bahwa ada cerita menarik di balik posisi nisan-nisan yang terlihat tidak beraturan di pemakaman kuno di atas bukit ini.

“Alkisah ada dua orang dari Tlatah Bharat (India), yaitu Gopala dan Hemachandra, yang tidak secara sengaja menemukan suatu keteraturan. Mereka sedang memasukkan barang-barang ke dalam kantong. Ditemukan bahwa barang-barang yang berbeda ukurannya dapat memenuhi kantong dengan sangat pas seperti barang-barang yang berukuran sama,” cerita Mayayo. “Seratus tahun kemudian para pengujar dari tlatah lain mempelajari hal tersebut dengan lebih tekun dan berhasil merumuskan aturannya, yang dinamakan deret Fibonacci.”

“Menarik, tapi apa hubungannya dengan makam ini? Eh, sebelummya tunjukkan dulu bagaimana keteraturan yang engkau maksud dalam cerita itu! Aku sama sekali belum mengerti,” ucap Telaga penuh ingin tahu.

Wassa merasa bangga bahwa Telaga yang dikaguminya dalam ilmu beladiri masih merasa tertarik dengan ceritanya mengenai keteraturan pemakaman kuno ini.

“Perhatikan angka-angka berikut ini!” ucap Wassa sambil menuliskan sederat angka-angka di atas tanah menggunakan potongan ranting kayu.

O I I II III V VIII XIII XXI XXXIV LV LXXXIX CXLIV CCXXXIII CCCLXXVIII DCX CMLXXXVII

“Sampai di sini saja, selebihnya aku tidak hapal,” ucap Wassa.

Telaga kemudian mengamati akan tetapi ia tidak melihat keteraturan dari angka-angka yang baru saja dituliskan oleh Wassa. “Masih belum mengerti,” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Perhatikan bahwa suatu bilangan, setelah bilangan ketiga, adalah hasil penjumlahan dua bilangan sebelumnya,” ucap Wassa memberi petunjuk.

“Iya, benar!!” ucap Telaga kemudian yang setelah menghitung-hitung, dan benar menemukan apa yang diucapkan oleh Wassa. Benar sampai bilangan terakhir yang dituliskan oleh Wassa, CMLXXXVII. “Menarik!” ucapnya kemudian.

Hening sejenak. Wassa membiarkan Telaga menikmati keteraturan dari hal baru yang baru saja dijelaskan. Lalu terdengar Telaga bertanya, “Dan hubungannya dengan pemakaman kuno ini?”

Tersenyum Wassa mendengar itu. Ceritanya ternyata membuat Telaga amat tertarik. Dinginnya udara malam di bukit itu tidak dapat menghalangi dua pemuda itu untuk berlalu dari sana. Yang satu bersemangat untuk bercerita dan yang satu bersemangat untuk mencari tahu apa cerita di balik pemakaman kuno itu.

Lalu Wassa menceritakan bahwa pemakaman kuno itu dibagi menjadi delapan bagian. Tapi tidak delapan luasan yang sama besar, melainkan delapan daerah berbentuk bujur sangkar yang sisi-sisinya mengikuti ukuran delapan angka pertama derat Fibonacci. Batas dari kedelapan bujursangkar tersebut ditandai dengan nisan batu yang tinggi. Sedangkan nisan-nisan lain yang lebih kecil berada di dalam kedelapan daerah bujursangkar tersebut.

Mengangguk-angguk Telaga mendengar penjelasan tersebut. Dibalik ketidakteraturan yang sekilas terlihat itu, ternyata tersembunyi suatu keteraturan yang mengagumkan.

“Di balik itu..,” ucap Wassa dengan penuh kemisteriusan, “terdapat rahasia ilmu beladiri tinggi, yang sayangnya tidak ada orang sampai saat ini berhasil memecahkannya.”

“Sungguhkan? Ceritakan tentang hal itu!” pinta Telaga ingin tahu. Rahasia, apalagi berkaitan dengan ilmu beladiri tinggi, membuatnya benar-benar tertarik.

“Sayangnya aku juga tidak banyak tahu. Pelaut Ompong, kakek Mayiya yang paling mengetahui di kampung ini. Coba tanyakan kepadanya,” jawab Wassa.

Kemudian keduanya menyudahi latihan dan juga cerita mengenai pemakaman kuno tersebut. Keduanya akan bertemu kembali di tempat itu untuk meneruskan latihan dalam beberapa hari ini.


“Mengapa engkau ingin tahu cerita mengenai pemakaman kuno di atas bukit itu?” tanya Pelaut Ompong saat mereka sedang menikmati sarapan pada suatu pagi.

“Saya dengar dari Wassa, bahwa ada keteraturan Fibonacci terkait dengan pembagian pemakaman itu. Dan di balik itu malah ada rahasia ilmu silat tinggi,” jawab Telaga jujur.

“Hahaha..! Anak muda selalu ingin tahu sesuatu yang berkaitan dengan ilmu silat. Waktu aku seumurmu juga demikian,” berkata Pelaut Ompong arif. “Bahkan, sampai kami-kami saat itu menggali sana-sini untuk mencari-cari di mana letak kitab silat tersebut dikuburkan. Jika ada nisan-nisan yang tidak lagi tegak, itu karena pernah kami geser dan tidak kokoh kembali dikuburkan.”

Mengangguk-angguk Telaga mendengarkan penjelasan itu.

“Jadi paman tidak menemukan kitab silat itu?” tanya Telaga kemudian.

“Kami tidak berhasil menemukannya,” jawab Pelaut Ompong. “Hanya lelah-lelah dan rasa dongkol yang kami peroleh saat itu.”

“Jika memang kitab itu tidak ada, mengapa bisa ada cerita mengenai hal itu?” tanya Telaga kembali.

“Orang yang menceritakan berita itu.., hmmm…, tunggu dulu..!” ucap Pelaut Ompong yang tampak memikirkan suatu nama yang sudah lama tidak diingatnya itu, “benar-benar lupa aku.”

Tampak ada sirat kecewa pada wajah Telaga mendengar hal itu. Jika Pelaut Ompong tidak bisa menceritakan lebih jauh ketimbang cerita Wassa, berarti tidak banyak informasi yang bisa diperolehnya. Jadi, mungkin saja cerita mengenai ilmu silat tinggi di balik keteraturan dalam pembagian pemakaman kuno di atas bukit itu hanyalah suatu isapan jempol belaka.

“Mungkin itu hanya isapan jempol, ya paman?” ucap Telaga kemudian kepada Pelaut Ompong dengan nada putus asa.

Pelaut Ompong hanya tersenyum dan tidak menjawab lebih jauh. Ia membiarkan sang pemuda tenggelam dahulu pada kekecewaannya akan ketidaktahuannya akan cerita lebih lanjut mengenai pemakaman kuno di atas bukit itu.


Malamnya, karena tidak ada janji untuk melatih Wassa dan juga pemuda-pemudi di desa tersebut, Telaga beristirahat lebih cepat. Ia tidak menemukan baik Pelaut Ompong maupun Mayiya di rumah mereka, rumah di mana ia menumpang tinggal. Sejenak dirasakannya suatu keanehan, akan tetapi cepat rasa itu dihapuskannya. Ia orang baru di rumah dan juga di kampung itu. Bisa jadi ia tidak banyak tahu kegiatan orang-orang di sana, sehingga kemungkinan mereka baik-baik saja. Mungkin mereka melakukan hal-hal yang mereka tidak ingin bagi tahu kepada Telaga.

Saat ia merebahkan diri di ruangan tempat ia biasa beristirahat, tiba-tiba ia melihat sebuah catatan ditempelkan dengan pisau di langit-langit. Secara reflek ia tersentak dan berdiri, melompat meloloskan pesan tersebut dari langit-langit dengan mencabut pisaunya. Sebuah pesan pendek tertera di atas kertas tersebut,

“Jika ingin tahu rahasia di balik pemakaman kuno di atas bukit, datanglah ke sana tiga malam lagi saat bulan benar-benar gelap. Jangan beritahu siapa-siapa.”

Tidak ada tanda-tangan di bawah pesan itu. Suatu pesan yang dikenal sebagai surat kaleng. Bisa berarti suatu kabar benar bisa juga palsu.

Berdebar-debar Telaga saat setelah membaca pesan tersebut. Mungkin ini petunjuk yang dicari-carinya. Segera ia menyembunyikan pesan itu di balik pakaiannya dan juga pisau yang digunakan untuk menancapkan pesan itu tadi di balok kayu langit-langit rumah itu. Segera ia berpura-pura tidur sambil pikirannya bergerak kemana-mana, membayangkan apa yang akan dihadapinya dan siapa yang akan ditemuinya di sana.

Tak berapa lama ia mendengar Pelaut Ompong dan Mayiya pulang. Segera ia mengatur napasnya semakin teratur dan pelan, agar terlihat ia sudah tidur dan tidak terjadi apa-apa. Sementara itu pikiran sang pemuda semakin liar dan berkecamuk macam-macam.

Tak berapa lama beristirahat pula Pelaut Ompong di samping sang pemuda dan Mayiya di kamarnya.

Malampun semakin larut. Angin masih berhembus lembut di kejauhan, membelai lembung daun-daun pohon kelapa dan juga ujung-ujung rerumputan.


Dalam beberapa hari itu, sebelum hari yang dituliskan dalam surat tanpa pengirim itu datang, Telaga masih bimbang apa ia harus meninggalkan pesan atau tidak kepada Pelaut Ompong dan Mayiya, karena masih merasa agak curiga pada pengirim pesan tersebut. Lagi pula ia masih orang asing di desa itu. Tidak tahu ia siapa yang mengiriminya pesan tersebut dan apa yang akan dihadapinya di sana, di atas bukit.

Hari-hari pun berlalu dengan cepat. Dan malam ini adalam malam di mana bulan sedang gelap-gelapnya. Saat untuk pergi ke bukit, ke tempat di mana pemakaman kuno tersebut berada. Pergi mencari tahu rahasia di balik pemakaman kuno tersebut, jika pesan tanpa pengirim itu benar adanya.


Malam baru menjelang tiba. Setelah bersantap malam dengan Pelaut Ompong dan Mayiya, Telaga minta diri untuk beristirahat. Kedua orang pemilik rumah merasa agak sedikit aneh karena tidak biasanya Telaga buru-buru minta beradu, biasanya ia malah tidur paling larut setelah berbicara ngalor-ngidul dengan Pelaut Ompong.

“Kamu ada apa dengan Telaga?” tanya Pelaut Ompong pada cucunya, Mayiya.

“Enggak ada apa-apa, kek. Memang kenapa?” tanya balik Mayiya.

“Itu Telaga, kok masih hari ini sudah minta diri. Tumben.” jawab sang kakek.

“Mungkin ia capek sedari tadi pagi melatih anak-anak muda beladiri,” tebak Mayiya. Ia baru memperhatikan perubahan kelakuan Telaga saat kakeknya bertanya.

“Ah, mungkin juga,” jawab kakeknya. “Kalau begitu, kita istirahat juga saja.”

“Iya, kek. Tapi sehabis saya bereskan ini cucian piring dan bekas makan kita tadi,” jawab cucunya.

Kemudian Mayiya membereskan bekas-bekas makan, di mana sang kakek tampak mengepul-kepulkan rokoknya menunggu cucunya selesai. Setelah itu mereka berdua pergi tidur. Sang kakek di samping Telaga dan Mayiya di kamarnya sendiri.

Hari itu bulan benar-benar pada titik terendahnya. Langit benar-benar gelap. Dan secara kebetulan angin sedang tenang-tenangnya, membuat malam itu gelap dan lengang.


Adalah seorang pemuda yang sedari tadi tidak dapat tidur. Ia menunggu sampai dengkur orang di sebelahnya benar-benar teratur. Tapi waktu itu tak kunjung tiba. Sang kakek yang tidur di sebelahnya tampak masih bolak-balik mencoba terlelap, mungkin udara malam tanpa angin membuatnya sedikit kegerahan.

Setelah hampir-hampir tertidur, Telaga mendengar bahwa dengkur orang di sebelahnya telah teratur. Begitu pula orang lain di ruang sebelah, Mayiya. Untuk benar-benar meyakinkan ia menunggu sebentar untuk kemudian mengendap-endap beranjak keluar. Dengan hati-hati ia melangkah agar jangan sampai menerbitkan bunyi yang dapat membangunkan kedua orang dalam rumah tersebut.

Akhirnya ia berada di luar rumah. Malam tanpa bulan. Untung saja masih ada bintang-bintang yang tidak tertutup awan yang memberikan sinarnya untuk menerangi padangan saat itu. Setelah membiasakan matanya pada keadaan yang gelap itu, Telaga pun beranjak menuju suatu arah. Arah di mana suatu bukit berada, yang di atasnya terdapat suatu pemakaman kuno.

Agak sulit Telaga berjalan terseok-seok akibat gelapnya malam. Hampir ia terjatuh pada suatu parit di luar desa. Untung saja refleknya bagus sehingga dapat segera menarik kakinya dan mencari pijakan lain. Jika tidak, bisa memar-memar ia terhantam pinggiran parit yang terbuat dari tanah dan batu.

Setelah berjalan beberapa saat, tahulah Telaga bahwa ia telah tersasar. Akibat parit tadi ia jadi kehilangan konsentrasi untuk memperhatikan arah ke mana ia harus berjalan. Dan tiba-tiba awan menutup langit sehingga ia sama-sekali buta dalam kegelapan malam.

Berdebar-debar jantung Telaga. Ia memikirkan apa yang harusnya ia lakukan. Menunggu awan menghilang atau menyalakan obor yang ia bawa. Kemungkinan kedua dapat menyebabkannya terlihat oleh orang yang berjaga. Kemungkinan pertama bisa lama datangnya, dan ia tidak tahu apakah orang yang menantinya di pemakaman kuno di atas bukit itu akan selalu berada di sana atau tidak.

Sebelum ia sempat menyalakan obornya, tiba-tiba terdengar suara lirih yang hampir-hampir tidak terdengar bila tidak memiliki pendengaran yang tajam.

“Jangan nyalakan api, ikuti arah berlawanan dengan deburan ombak. Bukit ada di sana…”

Merinding sedikit buluk kuduk Telaga. Orang yang menantinya telah tahu ia kesasar dan memberi petunjuk.

Hening.

Setelah rasa terkejutnya pulih, ia pun mengikuti petunjuk orang tersebut. Perlahan mendengarkan dengan baik dari mana bunyi ombak berdebur. Setelah yakin, ia pun mengambil arah berlawanan. Perlahan, meraba-raba sana-sini.

Akhirnya saat ia tersandung sebuah batu setelah merambah agak menanjak, awan pun tertiup angin sehingga bintang-bintang kembali menampakkan sinarnya. Telaga kemudian memperhatikan batu yang membuatnya tersandung, segera ia melihat bahwa itu adalah sebuah batu nisan tua.

Ia sudah hampir berada di sana. Pemakaman kuno di atas bukit terlihat hanya beberapa tombak lagi jauhnya. Nisan yang tersandung oleh kakinya rupanya tergeletak agak jauh dari lokasi pemakaman itu.

Beberapa langkah kemudian di tempuhnya. Sekarang ia telah berada di sana. Di tengah-tengah pemakaman kuno, tempat yang sering ia gunakan untuk melatih Wassa. Suasana tampak lengang. Tak ada seorang pun kecuali dirinya. Juga tak tampak orang yang membisikanya tadi.

Sepi. Dan Telaga pun menunggu dalam kesunyian.

Telaga telah berada cukup lama di pemakaman kuno di atas bukit tersebut. Sunyi. Kecuali dirinya ia tidak merasa ada siapa-siapa di sana. Sendiri.

Satu, dua, tiga kali waktu yang cukup untuk menanak nasi telah lewat, akan tetapi tidak ada suatu pun terjadi. Sedikit gelisah ia menunggu. Suasana yang terlalu sepi, kecuali deburan ombak di kejauhan serta gemerisik angin membelai daun-daun nyiur ang melambai, membuatnya sedikit tidak tenang.

Tiba-tiba ia merasakan hawa dingin yang menusuk mengembang. Hawa dingin yang sekali dua kali pernah dirasakannya saat ia masih menuntut ilmu pada kedua orang tuanya di Pulau Tengah Danau di Gunung Berdanau Berpulau. Suatu hawa dingin yang umumnya dimiliki oleh mahluk-makhluk yang memiliki Tenaga Air secara alami. Jenis tenaga dalam seperti yang dilatihnya.

Hawa tersebut bertambah kuat semakin lama. Tak terasa tubuh Telaga menjadi menggigil. Mau tak mau ia harus mengerahkan tenaga dalamnya, merapalkan Tenaga Air, mengalirkan hawa hangat yang berputar perlahan dalam tubuhnya untuk mengimbangi hawa dingin tak wajar yang ia rasakan.

Setelah ia merasa sedikit nyaman, mulai Telaga mencoba-coba untuk memperhatikan, lebih tepatnya merasakan apa atau siapa yang menjadi sumber dari hawa dingin tersebut. Dengan berkonsentrasi ia mulai “membaca” dari arah mana datangnya hawa tak wajar itu.

Serangkum aliran hawa dirasakannya berasal dari muka, menjurus ke sebuah pohon besar yang berdiri dengan angker di tengah kegelapan malam yang hanya dihiasi oleh bintang-bintang. Dengan perlahan dan hati-hati Telaga beranjak ke sana.

Belum belasan langkah ia melangkah, dan masih sejarah dua tombak dari tempat yang diduganya terdapat apa atau siapa penyebab hawa dingin tersebut, aliran hawa itu tiba-tiba hilang. Dan udara malam kembali terasa seperti sebelumnya.

Sebelum Telaga sempat berpikir lebih jauh, tiba-tiba serangkum aliran hawa kembali dirasakannya, kali ini dari arah kirinya. Menyambar dengan lembut, dingin, dan perlahan-lahan semakin kuat intensitasnya. Membuatnya kali ini menjadi lebih menggigil dari sebelumnya. Untuk itu bahkan ia sampai perlu memejamkan mata untuk berkonsentrasi menghalau hawa tersebut.

Akan tetapi saat ia kembali memburu arah datangnya hawa tersebut, kembali keberadaannya menghilang dari pengamatan Telaga. Sunyi. Udara malam kembali terasa “hangat” seperti semula.

Tak perlu waktu lama berlalu kali ini kembali datang “serangan” dari arah yang berbeda. Dan kembali berlaku hal yang sama, menghilang saat Telaga telah berhasil mengatasinya dan mencoba untuk mencari sumber dari hawa tersebut. Berkali-kali, dan juga kembali datang rangkuman hawa dingin dari arah yang sebelumnya telah datang. Akhirnya Telaga menyadari bahwa seseorang atau pun sesuatu mungkin sedang “menguji” dirinya.

“Maaf, bila saya Telaga mengganggu ketengangan ki sanak,” ucapnya pelan dan menghormat ke pada kegelapan di sekelilingnya, sambil tak lupa mengedarkan pandangan ke segala arah.

Hening tak ada jawaban. Tapi tak lagi datang rangkuman hawa dingin untuk beberapa saat.

“Bilakah ki sanak akan memunculkan diri?” ucapnya lagi, kali ini dengan dada agak berdebar-debar, menduga-duga apa atau bagaimana wujud dari sosok yang bisa membangkitkan hawa dingin sekuat itu dari jarah yang tidak dapat dirasakannya.

Kembali hening.

Tiba-tiba seberkas angin menyambar perlahan dari belakangnya. Secara reflek Telaga berbalik, menghindar karena menyangka dirinya diserang. Dan di depannya, di udara, mengambang sebuah kain lusuh terlipat. Tampak di salah satu ujungnya corak-corak seperti tulisan.

Ia menggapai kain lusuh tersebut, yang segera jatuh lunglai di telapak tangannya. Suatu demonstrasi pengendalian tenaga dalam dari jauh yang mengagumkan. Mengirimkannya hampir tanpa suara, menahannya bertahan di udara dan melepaskannya terjatuh dalam tangan Telaga tanpa menyakiti pemuda itu. Pengendalian tenaga yang mengagumkan.

“Baca baik-baik pesan yang tertulis di sana. Kita akan bersua lagi nanti..,” suatu suara lirih terdengar samar-samar, pelan, tapi jelas. Suara yang sama, yang memberinya tadi petunjuk saat ia tersesat dalam perjalanan menuju pemakaman kuno ini.

Setelah menunggu beberapa saat dan tidak ada apa-apa lagi, hawa dingin yang menyerang ataupun suara lirih yang memberikan petunjuk, Telaga pun beranjak dari sana kembali ke rumah Pelaut Ompong dan Mayiya. Hari pun sudah mulai mendekati fajar, ia harus cepat-cepat pulang atau nanti akan memperoleh hujan pertanyaan mengenai kepergiannya yang diam-diam ini pada malam hari. Sesuatu yang agak sulit dijelaskkanny kepada kedua orang yang telah amat baik menampungnya dalam rumah mereka.


Sinar matahari yang telah cukup tinggi, yang menerobos masuk ke dalam jendela ruangan itu, mengusik seorang pemuda yang sedang terlelap. Perlahan ia terbangun dan tampak berusaha mengingat-ingat sesuatu. Jelas tampak dalam raut wajahnya bahwa ia masih bingung di mana ia sekarang berada.

“Desa Terapung…,” tiba-tiba kata itu terucap oleh mulutnya.

Ya, itu kata-kata yang diucapkan oleh seorang gadis yang kemarin memberinya makan dan juga mengawasinya. Merawatnya dan memberikan apa-apa keperluannya. Ia tidak begitu ingat. Saat itu tubuhnya masih lemah dan istirahatlah hanya hal yang dapat dilakukannya. Dan itu pula yang diperintahkan oleh gadis itu.

Sekarang ia telah merasa lebih sehat tubuhnya. Minuman dan makanan yang disuguhkan kepadanya telah memulihkan tubuh sang pemuda yang lelah dan lemas akibat dihantam badai serta angin, sebelum ia ditemukan oleh seseorang di laut sana. Kapan dan bagaimana ia ditemukan pun ia belum tahu. Akan ia tanyakan nanti kepada orang-orang yang membawanya ke sini. Ke tempat yang ia tahu hanyalah dari nama yang disebut oleh gadis itu, Desa Terapung.

Ia pun kemudian berusaha menggerak-gerakkan tubuhnya. Kaku masih, mungkin akibat terlalu lama tidur setelah memakan penganan yang diberikan. Tapi ia merasa dirinya lebih segar dan bertenaga, tidak seperti saat ia pertama kali sadar. Terasa benar lemasnya.

Setelah mencoba dan yakin bahwa ia benar-benar kuat untuk berdiri dan berjalan-jalan, pemuda itu bergerak ke sana-ke mari dalam ruangan. Melemas-lemaskan kaki dan tangannya. Tak lama mulailah ia bosan dan ingin keluar untuk melihat-lihat.

Dibukanya pintu kamar tempat ia selama ini tinggal. Pintu yang terbuat dari kayu sederhana akan tetapi rapih pengerjaannya. Tak berbunyi. Menandakan yang membuatnya benar-benar memahami cara membuat pintu dan engsel yang baik.

Sekarang tampak di depannya, sejauh mata memandang bangunan-bangunan kayu yang bersebaran di atas lantai yang juga terbuat dari kayu. Bentuknya yang kotak-kotak sederhana dan berwarna murni kayu, dengan dihiasi sedikit daun-daun kering dan jala-jala, menyajikan nuansa yang belum pernah dilihat pemuda itu sebelumnya.

Perlahan ia mulai berjalan ke suatu arah. Sampai saat itu belum ditemuinya seorang pun. Ia pun kembali berjalan ke arah tersebut. Menyusuri jalan di antara bangunan-bangunan kayu tersebut. Jalan yang juga terbuat dari kayu. Semuanya serba kayu.

Akhirnya ia sampai di ujung jalan itu. Membentang di hadapannya tampak air. Laut. Merebak sejauh mata memandang air lautan yang saat itu hanya berombak perlahan. Pertemuan antara “daratan” tempat ia berdiri dengan air di hadapannya, hanyalah berupa pinggiran kayu yang dipahat miring dan ujungnya terendam dalam air. Deburan ombak perlahan menyembunyikan dan memperlihatkan secara berganti-ganti ujung dari “pantai kayu” tersebut. Terkagum-kagum pemuda itu menyaksikan “pulau” tempat ia berada saat itu.

Saat ia tenggelam dalam lamunannya menikmati tempat tersebut, tiba-tiba sebuah lengan menepuk bahunya. Kaget pemuda itu karena kedatangan orang itu benar-benar tidak dapat dirasakannya. Memang benar-benar orang itu dapat menghilangkan keberadaannya, atau ia saja yang sedang melamun mengagumi keindahan dari tempat tersebut.

Orang yang menepuknya hanya tesenyum melihat kekagetan sang pemuda. Lalu dengan isyarat tangannya ia meminta maaf telah mengagetkan. Lalu ia menunjuk ke satu arah di mana dari sana terdengar bunyi-bunyian dan tampak bahwa terdapat banyak orang berkerumun. Rupanya di sanalah orang-orang berada sehingga sedari tadi pemuda itu tidak berjumpa dengan siapa-siapa. Dengan mengikuti orang yang menepuknya tadi pemuda itu pun beranjak ke sana menuju orang-orang yang sedang berkumpul.

Di sana, di tengah-tengah orang yang membentuk setengah lingkaran, tampak sebuah mayat yang telah dibungkus dengan kain dan dimasukkan ke dalam kotak kayu berbentuk perahu. Peti mati bentuk khas Desa Terapung. Di sana tampak pula gadis yang memberinya makan. Ia berdiri bersama dengan orang-orang lain memperhatikan seorang dengan rambut dan jenggot yang panjang, yang tampaknya sedang memimpin upaca pemakaman tersebut.

Orang tua berjenggot dan berambut panjang yang duduk dekat mayat yang akan disemayamkan itu tampak menggerak-gerakkan tangannya. Kadang ke atas kadang ke bawah, lalu juga menunjuk ke arah orang-orang dan juga ke arah yang telah wafat. Mengangguk-angguk orang-orang yang “mendengarkan” wejangannya tersebut. Lalu setelah diam sesaat ia kembali menggerak-gerakkan tangannya. Dan akhirnya mempersilakan dua orang untuk menutup peti mati itu dan mengikatnya erat-erat dengan akar-akaran yang telah disediakan. Lalu delapan orang menggotong peti mati itu, membawanya sampai ke tepi air dan meluncurkannya ke dalam air.

Berdebur pelan peti itu tampak sebentar terapung. Perlahan-lahan ia mulai tenggelam dengan mengeluarkan gelembung-gelembung udara. Kurang dari sepeminum teh, peti itu telah hilang dari pandangan mata. Hanya bayangannya yang terlihat samar-samar di dalam air, perlahan-lahan semakin kabur dan akhirnya lenyap sama-sekali.

Orang yang mati telah dikuburkan. Dikuburkan dengan peti yang berat di bawah air. Dibiarkan bersemayam dengan damai di dasar lautan.

Takjub pemuda itu melihat cara penguburan yang belum pernah dilihatnya. Ya, mungkin dengan tinggal di atas “pulau” buatan ini, tidak terdapat cukup tanah untuk mengubur orang yang meninggal. Untuk itu, laut adalah satu-satunya solusi. Bila sudah tentu tidak dibakar.

Tak berapa lama orang-orang itu pun berbubaran. Tinggal beberapa orang di antara mereka, termasuk si pemuda, orang yang menepuk bahunya tadi dan sang gadis yang memberi sang pemuda makan. Ada juga orang-orang tua dan pemimpin upacara penguburan tadi. Baru sekarang mereka menyadari kehadiran sang pemuda. Orang yang membawa pemuda itu tadi ke sana menjelaskan dengan menggerak-gerakkan tangannya. Sang pemimpin upacara pun mengangguk-angguk. Lalu seorang dari mereka, yang kelihatannya dituakan, mengajak semua masuk ke salah satu bangunan kayu berwarna cerah tak jauh dari sana. Sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk pertemuan. Balai desa dari Desa Terapung.

Orang-orang pun duduk melingkar dalam ruangan besar itu. Dari luar terlihat biasa, ternyata di dalamnya lebih besar dari kelihatan dari luar. Mungkin dari warna di dalam yang lebih cerah. Padahal warna bangunan tersebut dari luar sudah cerah. Di dinding kayu yang membatasi ruangan tersebut dengan ruang di luarnya, tampak beragam hiasan menempel, gambar-gambar dan juga ukiran. Umumnya topik-topik yang terkait dengan isi laut dan air. Ada ikan, kapal, gurita raksasa, ikan paus dan sebagainya.

Tak ada kata-kata yang terucap. Pemuda itu, orang yang diselamatkan dari amukan badai, mulai bertanya-tanya, mengapa sedari ia datang, hanya dengan sang gadis ia berbicara. Dengan orang yang tadi menepuk bahunya pun ia tidak bertukar kata. Tapi ia mengerti kira-kira apa yang akan diungkapkan. Dan dalam pertemuan ini semakin besar tanda-tanya dalam dirinya. Benar-benar tak ada suara yang terucap, masing-masing orang hanya menggerak-gerakkan kedua tangannya ke sana-ke mari disertai mimik dan juga perubahan kernyit wajah.

Salah seorang dari mereka menepuk tangannya dan menunjuk pada sang gadis. Orang yang ditunjuk mengerti. Ia mengangguk dan berangsur bangkit, dan menempatkan dirinya di samping pemuda, ke tempat yang segera diberikan oleh orang-orang yang tadinya duduk bersisian dengan sang pemuda.

Gadis tersebut tersenyum padanya. Setelah mengangguk kepada orang tua-tua yang ada di sekitarnya, ia kemudian mulai membuka percakapan.

“Siapa namamu?” tanyanya ramah.

“Saya bernama Mayayo,” jawabnya. Senang rasanya ada yang bisa diajak berbicara.

“Saya Akanamia,” jawab gadis itu. Lalu ia memperkenalkan masing-masing tetua dan juga orang yang tadi memimpin upacara. Semua orang disebutkan namanya oleh gadis itu. Jumlah nama yang tidak akan diingat oleh Mayayo dalam sekali temu itu. Tapi tampaknya mereka tidak terlalu ambil pusing, tersenyum saat namanya disebutkan dan menepuk dada kiri mereka dengan telapak tangan masing-masing.

Mayayo pun mengikuti apa yang mereka lakukan. Mungkin itu salam untuk di antara orang-orang ini.

Lalu seorang dari mereka, orang yang sudah terlihat cukup tua, maju dan bercerita menggunakan gerak-gerak tangannya dan mimik muka yang berubah-ubah. Akanamia dengan perlahan mengucapkan apa-apa yang diceritakan oleh orang tua yang bercerita tersebut. Rupanya itu adalah budaya menceritakan sejarah kepada orang baru yang singgah di tengah komunitas mereka. Bila tidak ada orang baru, kebiasaan ini pun tetap dilakukan, dengan pendengar orang-orang sendiri. Dengan cara ini cerita mengenai mereka dan leluhurnya tidak hilang.

Mereka rupanya dalah orang-orang yang tidak dapat berbicara, sebagian dari Suku Pelaut yang sering disebut Suku Pelaut Sunyi. Sunyi karena tiada percakapan selain gerak-gerak tangan mereka Kesunyian yang diperoleh akibat suatu dan lain hal terkait dengan kebiasaan mereka yang tinggal seumur hidup mereka di atas laut dan tidak berkawin-campur dengan suku-suku lain sehingga variasi gen mereka tidak terlalu kaya. Tapi di luar kekurangan mereka itu, mereka memiliki kelebihan, yaitu dapat berkomunikasi dengan makhluk air melalu pikiran, yang membuat mereka mudah untuk memanen hasil laut berupa ikan dan tumbuh-tumbuhan. Selain itu terdapat pula, berkaitan dengan tempat mereka tinggal, kepandaian mengendalikan Tenaga Air dengan lebih alami karena cocok dengan susunan aliran hawa yang membuat mereka tidak bisa berbicara tersebut.

Mengangguk-angguk Mayayo mendengarkan penjelasan itu. Kakeknya, Pelaut Ompong, pernah bercerita adanya orang-orang yang hidup selamanya di atas air. Mereka-mereka itu disebut sebagai Suku Pelaut. Tapi belum pernah ia mendengar cerita bahwa ada Suku Pelaut Sunyi, bagian dari Suku Pelaut yang tidak bisa berbicara akan tetapi mahir Tenaga Air dan bisa berkomunikasi dengan makhluk-makhluk dalam laut.

Setelah cerita itu selesai, Mayayo diminta Akanamia untuk bercerita tentang dirinya. Sudah tentu atas permintaan orang tua-tua tersebut. Dengan perlahan Mayayo menceritakan perihal dirinya dan mengapa ia sampai teramuk badai. Kali ini Akanamia tidak “menerjemahkan”, rupanya orang-orang itu hanya tidak bisa berbicara, tapi mereka dapat mendengar dengan baik.

Tak lupa setelah cerita Mayayo habis, beberapa dari mereka mengajukan pertanyaan ini-itu kepadanya. Sudah tentu dilakukan melalui perantaraan Akanamia. Cukup sulit juga ternyata kegiatan itu, terlihat bahwa kadang-kadang Akanamia bertanya balik dengan menggerak-gerakkan tangannya. Untung saja tidak ada pertanyaan aneh-aneh yang diajukan. Akhirnya selesai juga pertemuan itu. Orang-orang pun berbubaran.

Dua orang menghampiri Mayayo. Satu adalah Akanamia dan seorang lagi seorang tua, yang dikenalkan sebagai kakeknya tadi oleh gadis tersebut. Mayayo kemudian berterima kasih kepada kedua orang tersebut setelah mendengar bahwa mereka yang pertama menemukan dirinya dan memanggil rekan-rekan mereka untuk membawanya ke Desa Terapung, berikut pula perahunya.

“Mari kita makan siang!” ajak Akanamia setelah kakeknya memberi isyarat kepadanya.

Mayayo mengangguk dan berjalan mengikut kedua orang itu. Kembali menyusuri lorong-lorong di antara bangunan kayu yang “tumbuh” di atas tanah berupa papan-papan kayu.


Ikan bakar, sayur-sayuran hasil bercocok tanpa atau dengan sedikit tanah, dan bubur rebusan tulang dan sumsum ikan besar adalah menu makan siang itu. Tiga orang itu tampak mengelilingi hidangan yang disajikan dalam piring dan mangkok yang terbuat dari kayu dan perabotan dari tulang ikan.

Lahap ketiganya menyantap apa-apa yang ada. Tidak terdengar percakapan kecuali kunyahan samar-samar. Begitulah makan yang baik. Berkonsentrasi, menyerap kenikmatan yang hanya sejengkal usianya, dari ujung bibir, dibaui hidung, sampai akhir lidah. Setelah itu tak ada lagi perbedaan rasa makanan yang hambar ataupun nikmat. Bila menyadari, proses memakan hidangan akan menjadi lebih sakral dan khidmat.

Akanamia dan kakeknya tak lupa menjelaskan bagaimana makanan-makanan itu disiapkan. Sang kakek dengan gerakan-gerakan tangannya, yang kemudian dijelaskan dengan ucapan oleh cucunya, Akanamia. Mayayo mengangguk-angguk mendengarkan. Sebagai seorang nelayan ia telah banyak berkecimpung di laut dan makan-makanan ikan, tapi apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang Suku Pelaut ini, menambah sedikit-banyak pengetahuannya. Cara memasak yang lebih hemat energi, cara mengawetkan ikan yang lebih baik dan memanfaatkan tulang-tulang ikan untuk perabot makan dan lainnya. Bagi Suku Pelaut, pergi ke darat untuk mencari bahan-bahan dasar untuk perabot amat jarang dilakukan. Begitu kebiasaan leluhur mereka, begitu pula yang mereka lakukan tanpa banyak bertanya-tanya. Suatu kearifan orang-orang yang sederhana.

“Apakah engkau telah beristri?” tanya sang kakek itu setelah makan siang mereka selesai. Suatu pertanyaan yang diterjemahkan dengan muka merah padam oleh Akanamia, cucunya.

“Belum!” jawab Mayayo pendek. Nalurinya mengatakan ada yang “tidak beres” dengan pertanyaan ini. Orang yang baru kenal, memiliki cucu yang telah dewasa dan cantik, dan mengajukan pertanyaan seperti itu kepadanya.

“Bagus!!” ucap kakek itu kemudian. Untuk kata-kata pendek seperti “ya”, “tidak”, “bagus” dan “jelek” Mayayo telah diajari dan dengan cepat mengerti. Bahasa isyarat yang diajarkan tidak terlau sulit, hanya saja kembangannya yang banyak dan gerakannya yang cepat membuatnya tidak dengan mudah dapat mengikutinya.

“Akanamia juga belum,” ucap kakek itu kemudian melalui perantaraan mulut kakeknya. Merahnya wajah sang cucu menjadi semakin jelas. Bila bisa terbakar, mungkin sudah terbakar wajah itu. Sudah memerah bahkan sampai ke lehernya yang putih dan jenjang. Ia sudah bisa merasakan ke mana akan arah pembicaraan ini selanjutnya.

Hening mengisi sesaat waktu di antara mereka. Kakek Akanamia yang telah banyak makan asam garam dunia masih menjajagi tanggapan Mayayo atas pernyataannya. Ia melihat sedikit banyak bahwa cucunya tertarik pada pemuda itu. Dan sekarang ia ingin tahu apakah terdapat juga hal yang sama dari pemuda itu kepada cucunya. Bila ya, amatlah menggembirakan karena ia juga suka akan sikap pemuda itu yang baik menurut pandangannya.

“Aku ingin menjodohkan cucuku dengan dirimu, Mayayo!” ucap kakek itu. Akanamia, sang cucu yang menjadi penerjemah sudah tentu menjadi kikuk sekali. Hampir-hampir ia salah menyampaikan pesan kakeknya. Sempat ia ditepuk oleh kakeknya pelan, yang tampak senyam-senyum kecil.

Bengon Mayayo mendengar itu. Ia telah dapat menduga hal ini, tapi terjadi banyak hal dalam beberapa hari belakangan ini. Ia terkena hantaman badai, tidak tahu berada di mana. Harus juga ia segera pulang, atau kakeknya dan adiknya kuatir, sedangkan ia belum tahu jalan pulang. Di luar itu ia malah ditawarkan untuk dijodohkan dengan cucu kakek yang duduk di hadapannya ini. Cucu yang menerjemahkan pesan-pesan sang kakek yang hanya bisa berisyarat tangan tapi tak bisa berbicara.

“Ini…, aku…, eh..,!!” katanya tak jelas. Sudah tentu kakek itu tahu, setelah ia bercerita bahwa ia telah pula tidak berorang tua, dan hanya berkakek dan beradik. Jadi ia sendiri, sebagai seorang pemuda dewasa yang menentukan dia siapa ia akan menikah nanti. Tak lagi ada alasan untuk meminta persetujuan orang lain. Memerah wajah sang pemuda. Hatinya telah bicara, ia pun tertarik kepada Akanamia. Ya, siapa tak tertarik pada dara yang ada di depannya ini. Wajah dan cara berbicaranya yang menawan, juga sikapnya yang tidak dibuat-buat serta ramah. Tak perlu dua kali setiap pemuda ditawarkan kesempatan seperti ini.

“Jika engkau tidak suka…!!” kata kakek tersebut dengan gerakan-gerakan tangannya. Berdebar-debar pula Akanamia saat menerjemahkan kalimat ini. Hatinya telah jatuh hati pada sang pemuda, dan ia tidak ingin mendapat jawaban yang berlawanan dari keinginan hatinya.

“Tidak!! Bukan itu!! Saya suka… Akanamia..,” ucap pemuda itu dengan agak bergetar. Mungkin ia tidak takut badai di lautan, tapi pengucapan rasa suka terasa lebih berat dari hantaman angin dan air ke atas diri dan perahunya. Lucu memang, mengucapkan isi hati kadang-kadang sulit.

“Bila demikian, engkau menerima…?” tanya kakek itu kemudian.

Menangguk pemuda itu perlahan. Lalu ia tertunduk. Demikian pula dengan dara yang duduk di dekat kakeknya itu. Suara tawa kakek tersebut tanpa nada, hanya udara yang keluar masuk dengan cepat dari mulutnya menggema lirih-lirih. Senang ia bahwa cucunya mendapatkan seorang pemuda seperti Mayayo.

“Tapi saya harus memberitahu dulu kakek dan adikku, tak bisa saya tiba-tiba membawa Akanamia ke sana..,” ucap pemuda itu ragu-ragu. Ya, amatlah aneh. Ia hilang, terserang badai dan pingsan, tahu-tahu muncul kembali membawa seorang istri.

“Sudah tentu.., sudah tentu…! Itu bisa diatur. Engkau tinggalkan saja sesuatu tanda pada Akanamia dan janji akan menjemputnya kembali. Setelah itu engkau sendiri atau bersama pengantarmu bisa kembali dan membawanya ke desamu,” ucap kakek itu kemudian.

Mengangguk Mayayo mengiyakan. Akanamia memandangnya dengan tersenyum bahagia. Tak terasa air matanya menetes. Andai ibu dan ayahnya masih hidup dan dapat melihat ini. Kakeknya kemudian memegang bahunya sebentar dan mengangguk-angguk puas.


Hari-hari pun berlangsung dengan cepat bagi Mayayo di Desa Terapung. Persiapan kepulangannya dan juga untuk memberitahu keluarga akan perjodohannya dengan Akanamia. Tak lupa ia diajari beberapa Jurus Air dan juga pengolahan tenaganya, Tenaga Air. Itu adalah ilmu-ilmu khas yang dimiliki oleh anggota Suku Pelaut. Waktu beberapa hari itu tak cukup bagi Mayayo kecuali untuk menyerap dasar-dasar dari kedua ilmu tersebut. Untung saja ada sedikit bakat dan otaknya yang cerdas, membuat pemuda itu sedikit banyak dapat mengingat-ingat apa-apa yang telah diajarkan.

“Masih banyak waktu nanti untuk belajar lebih lanjut. Akanamia kelak sebagai istrimu akan dapat mengajarimu setiap hari,” ucap kakek sang dara. Sekarang setelah isi kedua hari muda-mudi itu jelas, tak lagi jengah Akanamia menerjemahkan isyarat tangan kakeknya kepada sang pemuda, bahkan dengan muka yang gembira.

Selain itu Mayayo diajarkan pula cara-cara membaca cuaca tidak hanya dengan memperhatikan panas dinginnya udara, kencangnya angin serta riak gelombang laut, melainkan juga dengan kelakuan ikan-ikan di dalam air. Sudah tentu untuk itu ia harus mencelupkan kepalanya ke dalam air dan mengamati. Berbicara melalui pikiran tidak mudah diajarkan bagi orang-orang luar yang aliran darah dan hawanya tidak seperti orang-orang dari Suku Pelaut. Tapi walaupun demikian kakek Akanamia menjelaskan teorinya kepada Mayayo, kali-kali pemuda itu dapat merapalkannya.

Tak terasa telah tiba saatnya untuk berpisah sementara. Dua muda-mudi, Mayayo dan Akanamia, merasa bahwa perpisahan itu akan berlangsung lama. Suatu hal yang wajar antara dua insan yang sedang menjalin kasih. Kakek Akanamia hanya memandang kedua insan yang sedang berbicara itu dengan tersenyum. Ia merasa tenang bahwa cucunya akhirnya memperoleh tambatan hati. Tidak mudah untuk mencari pasangan hidup di Desa Terapung untuk masa-masa ini. Orang-orang telah banyak yang menjadi tua. Anak-anak kecil baru mulai belajar berjalan. Tidak ada yang cocok untuk umur cucunya saat ini. Itulah salah satu kekurangan komunitas yang terpencil. Dengan keberaniannya dan hasil urun rembug, kakek Akanamia menjodohkan cucunya dengan orang luar. Ini bukanlah suatu kebiasaan koloni itu. Tapi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan melihat jumlah orang pada umur yang ada sekarang, kebiasaan lama untuk hanya menikah antar sesama mereka perlu sedikit diperlunak. Perlu ada kesempatan untuk orang-orang pergi atau masuk. Jika tidak koloni Suku Pelaut Sunyi akan dapat punah dengan sendirinya.

Sendiri, begitulah yang dirasakan Mayayo saat ini. Baru saja dua orang dari Suku Pelaut Sunyi mengangatarnya dengan sampan mereka. Mendampinginya kanan kiri agar perahunya dapat melaju dengan cepat meninggalkan pulau terapung mereka. Tidak mudah bagi orang biasa untuk mendekati, masuk atau keluar dari pulau tersebut, Desa Terapung, tanpa dibekali pengetahuan khusus. Bisa mereka akan berkeliling-liling saja sampai kecapaian akibat arus putar di bawah permukaan air yang tidak terlihat. Arus putar yang memang sengaja dibuat untuk menjaga Desa Terapung dari pendaratan pihak-pihak yang tidak diinginkan.

Setelah lepas dari arus putar tersebut, kedua orang yang berasal dari Suku Pelaut Sunyi itu melepaskan Mayayo untuk berlayar seorang diri. Berlayar kembali ke desanya. Bertemu dengan adiknya Mayiya dan juga kakeknya Pelaut Ompong. Ia membawa kabar yang menggembirakan bahwa ia telah berjodoh dengan seorang dari Suku Pelaut Sunyi, Akanamia. Seorang dara yang sejak awal pertemuannya dikagumi oleh pemuda itu.

Tak terasa telah lama ia berlayar. Desa terapung telah tidak lagi terlihat, begitu pula dua orang pengantarnya tadi. Sekarang ia sendiri, seperti keadaanya beberapa hari yang lalu, sebelum dihantam badai dan ditemukan oleh Akanamia dan kakeknya.

Masih perlu beberapa waktu lagi sebelum ia tiba di desanya. Tangkapan ikan yang hilang akibat dihantam badai telah digantikan dengan oleh-oleh dari Suku Pelaut Sunyi. Pasti orang-orang di kampungnya akan senang dengan oleh-oleh ini. Ia harap juga adiknya suka dengan hias-hiasan dari dasar laut yang merupakan rantaian mutiara yang khusus diberikan oleh Akanamia untuk calon ipar perempuannya.

Angin pun perlahan bertiup kencang dengan riak air yang bersahabat, seakan-akan mengatakan bahwa “Gunakan aku untuk memacu perahumu melaju ke rumah!” Dengan sigap Mayayo membentangkan layarnya. Mengarahkan kemudinya ke arah pulang dan perahu pun melaju dengan lebih cepat.


“Baru melaut?” tanya seorang kepada pemuda yang sedang menarik sampannya, mendaratkannya di atas pasir dan kemudian mengikatnya pada tonggak-tonggak kayu yang memang disediakan untuk itu.

“Iya!” jawab pemuda itu pendek. Ia tidak kenal orang yang baru menyapanya itu. Aneh, tidak biasanya ia tidak kenal seseorang yang berada di pantai dekat dengan desanya. Mungkin tamu orang-orang desa, pikirnya. Kemudian ia mulai menurunkan muatannya dari dalam perahu.

“Wah, tangkapan yang bagus dan juga hias-hiasan ini. Berdagang pula rupanya?” ucap orang itu lagi. Kali ini ada sesuatu yang tidak enak yang terkandung dalam nada bicaranya.

Pemuda yang sedang menurunkan muatan sampannya ke atas pasir, merasa agak tidak nyaman karena orang tersebut benar-benar memperhatikan satu-satu barang-barang yang dikeluarkannya dari perahu. Apa orang ini tidak mengerti bahwa itu adalah urusan pribadi, sehingga mengamati sampai sedekat itu. Tapi tak lama kemudian semuanya jelas, memang ada maksud tidak baik di sana.

“Engkau harus membayar pajak atas barang-barangmu ini!” ucap orang itu. Kali ini nadanya tidak lagi ramah.

Terkejut pemuda tersebut mendengar hal ini. Sejak kapan ada pajak penangkapan ikan dan penukaran barang-barang di laut. Bila berdagang di pasar, barulah ada pajak. Itu pun pajak-pajak itu digunakan untuk membersihkan tempat sehabis berdagang dan memperbaiki gubug-gubug yang digunakan untuk menggelar barang-barang yang akan dijual.

“Sejak kapan ada pajak?” tanya pemuda itu balik. Masih ramah dan sedikit bingung.

“Sejak detik ini!” ucap orang itu dengan nada kurang ajar. Sambil tak lupa ia menyampirkan tangannya ke arah pinggang, di mana sebatang golok dengan pongahnya bertengger di sana.

Sebelum pemuda itu berpikir untuk bertindak, tiba-tiba datang beberapa orang dari arah semak-semak di pinggir pantai. Enam orang yang segera menghampiri mereka berdua yang baru akan bersitegang.

“Hahahaha!!” ucap seorang dari mereka. “Buat apa lama-lama, jika tak mau bayar, rampas saja barangnya!” Rupanya mereka adalah teman dari orang yang memamerkan goloknya itu. Orang yang ingin menarik “pajak” atas jerih payah orang dari melaut.

Senyam dan senyum kecongakkan dan tampak mengiasi wajah mereka. Ciri-ciri orang yang tidak jantang. Mengandalkan jumlah banyak dan senjata untuk memeras satu orang yang berada di tempat yang sunyi sehingga tidak bisa meminta bantuan kepada siapa-siapa.

Sang pemuda masih sedikit berpikir, melawan kelihatannya berat, walau bukan berarti tidak mungkin. Tapi bukan itu yang menjadi bebannya, melainkan harga diri. Ia tidak suka dilecehkan seperti itu. Dan sekali hal ini terjadi pada para nelayan, orang-orang ini pasti akan melanggengkan pemerasan mereka kepada orang-orang lain yang tinggal di sini. Ini yang ia tidak mau.

“Jadi kalian ini yang disebut orang Bajak Pantai. Para pemeras nelayan-nelayan yang baru saja melaut?” tanya pemuda itu tanpa takut sambil memperhatikan satu-satu bakal lawannya dan berpikir-pikir bagaimana cara melawan mereka tanpa merugikan dirinya. Ia pernah mendengar soal Bajak Pantai, yang tidak seperti Bajak Laut yang merampok kapal-kapal, orang-orang ini memeras para nelayan dan penghuni desa yang tinggal di tepi pantai. Orang-orang yang tinggal jauh di dari perlindungan para Paturan sehingga tidak bisa berbuat apa-apa.

“Jika engkau sudah tahu siapa kami, bagus itu! Jadi tinggal berikan saja barang-barangmu,” ucap seorang dari mereka yang segera mengulurkan tangan hendak mengambil salah satu bungkusan milik si pemuda.

“Nanti dulu!” ucap sang pemuda pelan. Dayungnya telah diayunkan mencegah tangan itu menggapai barang-barang miliknya. Walaupun digerakkan perlahan tapi dayung itu menimbulkan sedikit angin. Tenaga kasar yang perlu diperhatikan.

“Jadi engkau ingin melawan?” ucap rekannya yang lain yang diikuti oleh seluruh kawannya meloncat mundur dan mencabut golok masing-masing.

Sekarang tujuh orang tampak mengelilingi pemuda itu dengan golok yang terhunus. Tidak ada lagi wajah-wajah ramah palsu yang tadi disajikan mereka. Sebenarnya mereka tidak ingin beramah-ramah, melainkan mencoba hanya untuk menghemat tenaga, kalau-kalau dapat memperoleh rampasan tanpa harus mengeluarkan keringat. Cukup dengan ancaman. Tapi sayangnya tidak berhasil dengan pemuda ini. Sekarang mau tidak mau mereka harus berlaga. Selain untuk mendapatkan hasil, perlu pula untuk menjaga keangkeran nama besar mereka.

“Wutttt!!” serangan golok seorang dari mereka dapat dielakkan dengan mudah oleh sang pemuda. Sementara bacokan golok yang lain terpaksa ditangkisnya dengan dayungnya, “Dheggg!!”

Bergetar tangan orang yang goloknya ditangkis, ternyata si pemuda memiliki tenaga kasar yang cukup besar sehingga dapat dengan mudah menangkis goloknya serta masih menggetarkan tangannya.

“Wutt!! Plakk!!! Bleggg!!” bertubi-tubi hujan golok dan juga tendangan dijatuhkan oleh para Bajak Pantai kepada si pemuda nelayan itu yang mengelak, menangkis dan membalas dengan dayung kayunya, Perkelahian yang jelas-jelas tidak seimbang. Satu lawan tujuh dan golok lawan dayung. Bisa dipastikan si pemuda tak lama lagi akan bersimbah darah. Sebaret luka telah diperolehnya saat ia tidak cepat menghindar sehingga punggungnya kena sabetan golok.

Dengan menggigit bibir pemuda itu memantapkan semangatnya untuk terus berlaga. Luka yang mulai meneteskan darah dan memberikan perasaan perih itu coba untuk dia tahan.

“Duggg!!!” dayung sang pemuda memakan salah satu kepala penyerangnya yang segera tersuruk ke atas pasir dengan kepala pecah. Rupanya walaupun tidak bisa bersilat dengan baik, pemuda itu mengenal beberapa gerakan yang mengalir dan tak terduga. Ia serang sana-sini dengan kacau, tapi kadang berurutan dan saling mengejar. Lawannya yang meremehkan tidak menyangka bahwa dayung tersebut dapat berbali arah dengan cepat dan menyerang balik dirinya.

“Hati-hati!!” ucap seorang lawannya memperingatkan rekan-rekan sesama pengeroyok sang pemuda. “Dia bisa juga sedikit-sedikit ilmu beladiri…!! Kurung rapat!!”

“Telaga, itu Mayayo!” ucap seorang pemuda yang segera berlari-lari dengan disusul temannya yang dipanggil Telaga tadi.

Kedua pemuda itu segera berlari cepat ke arah batas air dan pantai di mana pertarungan telah berpindah tempat. Mayayo yang dikeroyok dengan tubuh terluka sana-sini tampak berdiri dengan air telah merendam kakinya sebatas dengkul, yang terlihat menyulitkannya untuk mengelak. Tampak di pantai tak jauh dari sana seorang dengan kepala retak dan permukaan pasir yang memerah di bawah kepalanya tergeletak. Di tangannya tampak masih golok tergenggam erat.

Ada enam orang yang mengeroyok Mayayo. Yang dikeroyok sudah tampak kelelahan. Bibirnya tampak terkatup rapat menahan sakit akibat luka sabetan golok dan lebam pukulan serta tendangan. Saat ia melihat kedua orang yang datang, berucap ia “Wassa!!”. Tidak kenal ia pemuda yang datang bersama Wassa. Tapi melihat adanya bantuan datang, naik kembali semangat bertarugnya.

Demi mendengar bahwa pemuda yang dikeroyok itu adalah Mayayo, kakak dari Mayiya. Telaga tak terasa tersenyum. Kejadian ini amat baik untuk menonjolkan kemampuan Wassa yang baru diajarinya dan juga sebagai kepedulian Wassa kepada orang-orang di desanya. Bisa jadi hal ini akan menjadi nilai yang baik bagi pemuda itu di mata kakak dari orang yang dicintainya.

Segera kedua pemuda itu, Wassa dan Telaga, menceburkan diri dalam pertarungan. Segera jalannya bertarungan berpindah dari tadi berat ke kekalahan Mayayo menjadi seimbang. Mungkin lebih berat ke kemenangan pihak Mayayo andai saja ia tidak terluka dan Telaga tidak menahan serangannya.

Dengan tangan kosong saja kedua pemuda itu dapat menahan serangan orang-orang Bajak Pantai yang menggunakan golok, tapi tidak mendesaknya. Pertarungan pun berjalan sedikit lama dengan kedudukan seimbang. Karena bertangan kosong, kedua pemuda yang baru datang itu tidak bisa mendesak terlalu dalam orang-orang yang bersenjatakan golok tersebut.

Lawan dari ketiga pemuda itu, begitu melihat adanya bala bantuan, menjadi kecut hatinya. Sudah menjadi kebiasaan mereka untuk memeras hanya di tempat yang sunyi. Sekarang hati mereka menjadi kebat-kebit kalau-kalau orang sekampung akan datang mengeroyok mereka. Begitulah watak yang pengecut, tidak berbanyak atau bersenjata, tak ada keberanian.

Tiba-tiba Telaga berbisik kepada Wassa, “Serang yang jauh darimu dengan loncatan belakang, ingat gerakan yang aku ajari!”.

Menangguk Wassa mendengar petunjuk itu. Dari hasil diskusi mereka saat berlatih di makam kuno di atas bukit mereka menciptakan gerak-gerak menyerang yang tak terduga. Menyerang orang yang jauh dan mengabaikan yang dekat. Sudah tentu Telaga tidak menceritakan sejujurnya bahwa ide itu datang dari orang yang ditemuinya seorang diri di sana. Sesosok wujud yang sama sekali belum dikenalnya. Kepada Wassa ia hanya mengatakan bahwa ide itu datang dengan memperhatikan keteraturan dari pemakaman kuno di atas bukit tersebut.

Dengan mendadak Wassa meloncat mundur saat serangan di sebelah kirinya kosong dan lawan yang dituju sedang menarik goloknya. Ia menyerang cepat dan mengejar. Lawan itu terkejut karena tak disangka dirinya yang berdiri paling jauh dari sang pemuda, malah diserang dan dikejar. Rekannya yang mencoba menyerang, dipapaki serangannya oleh Telaga. Sebenarnya bila Wassa cukup hati-hati dan melakukan gerakan dengan tipuan secara tiba-tiba, tak perlu Telaga membantunya. Ini karena Wassa belum begitu paham gerakan ini sehingga perubahan serangannya dapat terbaca oleh rekan sang lawan yang ditujunya.

“Deggg!!!” pukulan Wassa masuk ke dada lawannya tersebut. Dan selagi lawannya itu terhuyung ke belakang untuk menghindar, Wassa terus merengsek maju. Ia membungkukkan tubuhnya sehingga bacokan ngawur lawannya yang dilakukan sambil menahan dadanya yang sakit lewat di atas kepalanya, lalu menyelinap di bawah tinggi bahu lawannya, mengait tangan yang tidak memegang golok, memutarnya dan melakukan bantingan dengan jurus Berkelit Membanting Padi. Gerakan yang diajarkan Telaga. Suatu ilmu tangan kosong yang diperoleh Telaga dari gurunya Arasan.

Akibatnya Bajak Pantai itu terbanting di atas pasir dan pingsang. Tak bergerak-gerak. Gerakan yang cepat ini juga membungkamkan mulut rekan-rekannya yang semakin ciut nyalinya. Sudah dua teman mereka ditumbangkan. Belum lagi jika penduduk kampung datang. Dengan saling melirik antara mereka, orang-orang Bajak Pantai itu pun bersuitan dan segera ambil langkah seribu dari tempat itu. Tak lupa salah seorang dari mereka mengucapkan sumpah serapah dan juga ancaman kepada ketiga pemuda itu.

Mayayo segera terduduk letih. Dengan dipapah oleh Wassa dan Telaga ia didudukan di atas pasir, menyandar pada perahunya. Segera Wassa meminumkan air yang dibawanya di pinggang. Sunyi kemudian di antara mereka. Sementara kedua lawan mereka, yang satu mati dan yang satu pingsan, tampak tergeletak tak jauh dari sana.

Sementara itu tampak riuh-rendah di kejauhan. Rupanya selain Wassa dan Telaga yang melihat dan terjun langsung ke perkelahian itu, ada pula orang desa lain yang melihat dan segera melaporkan hal ini. Berbondong-bondong orang dengan tongkat dan golok datang menjelang. Tajam juga intuisi para Bajak Pantai, sehingga melihat kedudukan yang tidak seimbang melawan Mayayo, Wassa dan Telaga, segera mereka mengambil langkah seribu. Jika telat mereka memilih keputusan itu, bisa jadi mereka sudah berbaring di atas pasir dan babak-belur dihajar orang-orang desa ini.


“Kakak!!” teriak Mayiya saat melihat kakaknya dipapah oleh Telaga dan Wassa. Menghambur gadis itu dalam rengkuhan kakaknya dan menangis sesenggukan. Ia tidak menyangka bahwa perkelahian di pantai yang disampaikan oleh seseorang sehingga para pemuda dan laki-laki bersama-sama ke sana, melibatkan kakaknya. Untung saja tidak terjadi apa-apa terhadap sang kakak.

“Huss!! Sudahlah adiku, aku tidak apa-apa! Terima kasih pada kedua orang ini, terutama Wassa yang sudah membelaku sehingga para Bajak Pantai itu lari terbirit-birit,” katanya sambil menunjuk pada Telaga dan Wassa.

Menangguk dan memandang dengan penuh terima kasih Mayiya kepada kedua orang ini. Wassa yang dipandang seperti itu menjadi jengah dan berdebar-debar hatinya.

Segera Mayiya membawa kakaknya ke serambi rumahnya. Di sana telah berkumpul orang tua-muda yang segera berdatangan serta-merta mendengar kedatangan Mayayo dan juga perkelahian di pantai tersebut. Dengan cekakan Mayiya mengobati kakaknya. Membubuhkan luka sang kakak dengan ramuan dan membalutnya, setelah terlebih dahulu membersihkannya. Untung saja para Bajak Pantai itu adalah orang-orang kasar biasa, sehingga golok mereka tidak dibubuhi racun. Luka yang terkena racun dapat berbahaya sekali.

Tak lupa Mayiya juga menanyakan keadaan Telaga dan Wassa. Telaga mengatakan ia baik-baik saja, dan menunjuk ke pada Wassa yang terluka ringan. Dengan segera gadis itu mengobati sang pemuda yang ditunjuk, yang menjadi berdebar-debar dan bergemuruh dadanya saat gadis itu menyentuh dan mengobati lengannya yang luka tergores golok.

Pelaut Ompong tak ada di tempat. Ia sedang pergi ke desa lain untuk suatu urusan. Kemudian warga pun bubaran setelah mereka saling membicangkan soal penyerangan di pantai itu. Rasa-rasa cemas tampak dalam wajah mereka. Bila suatu saat mereka mendapat giliran, menjadi bahan pikiran masing-masing orang. Ada yang mengusulkan bahwa masalah ini harus dibicarakan sedesa dan dicarikan pemecahannya. Menangguk-angguk beberapa orang menyetujui usul itu. Dan dalam waktu dekat rencananya akan diadakah rembug desa untuk membahas hal ini. Setelah mengucapkan selamat datang dan semoga cepat sembuh kepada Mayayo, orang-orang pun mulai berpamitan, kembali ke rumah masing-masing dan meneruskan pekerjaan mereka yang tadi terhenti.


Beberapa hari kemudian Pelaut Ompong pun pulang. Dengan gembira ia mendapati bahwa cucu laki-lakinya, Mayayo, telah tiba kembali di rumah. Perkara perkelahian di pantai tidak terlalu menyita perhatiannya melainkan jauh lebih senang ia mendengar bahwa Mayayo telah berjodoh dengan Akanamia dari Suku Pelaut. Tak lupa pula Pelaut Ompong menyampaikan maksud dari Wassa yang ingin meminang Mayiya. Tadinya Wassa bagi Mayayo adalah seorang pemuda biasa, akan tetapi setelah pemuda itu menolongnya dari serangan para Bajak Pantai waktu ia baru mendaratkan perahu, pandagangannya terhadap pemuda itu berubah banyak. Ia kagum akan sikap pemuda itu. Dengan segera ia menyetujui pinangan Wassa. Hanya waktu belum ditentukan kapan mereka berdua akan menikah. Mayiya yang merasa berhutang budi pada Wassa menerima bahwa pemuda itu menjadi jodohnya, terlebih setelah mendengar bahwa Telaga yang dikaguminya pun sudah bertunangan. Jadilah kebahagiaan pada keluarga Pelaut Ompong. Kedua cucunya akan segera menikah karena telah memiliki jodoh masing-masing.

Adapun Telaga setelah orang yang ditunggu-tunggunya tiba, Mayayo, segera meminta keterngan perihal Suku Pelaut. Awalnya Mayayo tidak mau banyak bercerita mengingat Suku Pelaut tidak terlalu suka dikunjungi oleh orang tak dikenal. Akan tetapi mengingat bahwa Telaga pulalah yang mengajarkan ilmu beladiri kepada Wassa sehingga pemuda itu dapat menolong dirinya, bercerita pulalah ia. Bahwa Suku Pelaut umumnya memiliki tempat yang berpindah-pindah, dan ia secara kebetulan dapat bertemu dengan mereka. Ia saja yang telah berjodoh dengan seorang dari mereka, tidak tahu bagaimana cara mencari kediaman mereka. Ia hanya akan berlayar kembali ke tempat ia terakhir berpisah dari mereka dan menunggu tanda-tanda di sana.

Mendengar itu Telaga pun semakin bersemangat untuk mencari tahu mengenai Suku Pelaut itu. Ia merasa keterangan lebih lanjut dari orang-orang di desa itu tidak dapat diperolehnya. Sudah saatnya ia melanjutkan perjalanan. Mungkin ke desa lain masih di sepanjang pantai. Jika ada satu hal yang memberatkannya adalah orang yang mengundangnya ke makam kuno di atas bukit itu. Sampai sekarang ia belum tahu siapa orang itu dan apa maksudnya. Pelaut Ompong dan juga Mayayo tidak bisa memberikan keterangan tambahan, bahkan setelah Telaga menceritakan perihal pertemuannya dengan suara tanpa wujud di sana. Keduanya hanya menggeleng-gelengkan kepala saat ia menceritakan hal itu.

Telaga kemudian setelah melihat Mayayo sembuh dan para Bajak Pantai tidak lagi datang untuk membalaskan kekalahannya, minta diri. Pemuda dan pemudi yang telah sedikit banyak dilatih beladiri olehnya merasa cukup kehilangan karena telah tercipta keakraban di antara mereka. Yang paling merasa kehilangan sudah tentu Wassa. Ia merasa pemuda itu telah banyak membantunya sehingga ia sampai bisa merebut hati gadis yang dicintainya.

Dilepas dengan rasa persahabatan Telaga pun berlalu dari desa yang bernama Tepi Darat Selatan itu. Beberapa orang sahabat telah diperolehnya di tempat itu. Tempat yang suatu saat akan dikunjungi kembali. Mungkin.


“Itu paman! Itu pulau yang diceritakan Telaga, past!” ucap seorang dara kepada lelaki tua yang menyertainya, yang hanya mengangguk mengiyakan.

Keduanya terdiam saat langkah kaki mereka hampir menyentuh batas antara darat dan air. Sebuah danau yang luas dan indah, yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah pula. Pulau yang menjadi tujuan mereka.

“Sekarang bagaimana caranya menyeberang ke sana?” tanya orang tua itu perlahan, seperti berbicara kepada dirinya sendiri. “Engkau ada ide, Sarini?” katanya kemudian kepada dara yang ada di dekatnya.

Dara yang dipanggil Sarini itu hanya menggelengkan kepalanya. Ya, ia tidak tahu harus bagaimana menyeberang danau itu untuk mencapai pulau di tengahnya. Terpikir hanya satu jalan, yaitu berenang. Tapi ia masih ragu-ragu melihat jarak tempuh yang harus dilampauinya sebelum mereka mencapai pulau di tengah itu. Belum lagi apa-apa yang hidup di dalam danau itu, yang mungkin dapat menghambat penyeberangan mereka.

“Mari kita kelilingi dulu danau ini, paman Walinggih! Siapa tahu ada tempat untuk menyeberang,” usulnya kemudian.

Orang tua, sang paman Walinggih mengangguk setuju karena ia tidak ada ide lain yang lebih baik untuk dilakukan.

Mereka pun mulai menyusuri pantai di tepi bagian luar danau tersebut. Berjalan agak cepat, dan makin lama makin cepat. Kegembiraan akan keindahan tempat itu rupanya menulari sang dara dan sang lelaki tua, sehingga mereka memacu langkah mereka dalam mengelilingi pantai itu. Tak terasa akhirnya mereka tiba di tempat semua.

“Cape paman…., dan itu matahari sudah mulai hilang…,” ucap Sarini sambil menunjuk ke arah barat. Di langit bagian tersebut tampak sinarnya sudah mulai menguning dan bertambah temaram.

“Lebih baik kita mencari tempat untuk bermalam dulu,” ucap Walinggih, “kelihatannya kita tidak dapat menyeberang sekarang. Mungkin ada nelayan atau orang yang suatu saat ingin menyeberang dan kita dapat meminta tolong.”

Seakan-akan tahu kebutuhan mereka tiba-tiba dari arah daratan tampak dua orang berjalan sambil menggotong perahu mereka. Mereka rupanya ingin mencari ikan di danau itu pada malam hari. Mungkin ikan-ikan yang hanya muncul dalam gelap, pikir Walinggih.

Segera Walinggin menyapa mereka dan menyatakan maksudnya untuk minta diseberangkan ke pulau di tengah-tengah danau tersebut.

Kedua orang nelayan yang baru datang itu tampak agak curiga terhadap Walinggih dan Sarini. Hal ini karena jarang sekali ada orang luar yang berkunjung ke danau itu, apalagi menyeberang ke pulau di tengahnya. Untuk itu berceritalah Walinggih tentang maksudnya dan juga perihal Sarini.

“Ah, jadi anda berdua ini, tamunya Ki dan Nyi Sura?” ucap seorang dari mereka. “Baiklah kalau begitu, kami bantu menyeberang.”

“Kalian tidak usah kuatir masalah penangkapan ikan, saya akan mengganti ongkos penyeberangan ini,” ucap Walinggih ramah. Ia sudah amat berterima kasih ada yang akan membantunya menyeberang ke pulau itu.

Kedua orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya, “Tidak!! Tidak!! Kami membantu dengan cuma-cuma. Ketiga orang yang hidup di tengah pulau itu telah cukup membantu kami. Kami ingin sekali membantu mereka kembali, dan saat ini adalah kesempatan kami.”

Mengangguk-angguk Walinggih mendengar itu. Orang-orang desa yang masih mengingat jasa orang lain dan mau membalas budi. Andai saja orang-orang kota saat ini juga masih seperti itu, saling tolong-menolong dan membantu tanpa perhitungan.

Naiklah kemudian mereka berempat di atas sampan itu. Awalnya seorang dari nelayan tersebut agak kuatir perahu mereka akan tenggelam atau terbalik dikarenakan muatan yang berlebih. Umumnya perahu mereka hanya kuat mengangkut dua sampai tiga orang. Tapi alangkah herannya mereka bahwa perahu mereka tidak melesak ke dalam air seperti perhitungan mereka semula. Yang mereka tidak ketahui adalah bahwa Walinggih dan Sarini mengerahkan ilmu meringankan tubuh selama penyeberangan itu sehingga seolah-olah perahu kedua nelayan itu hanya mendapatkan tambahan bobot dua orang anak kecil saja.

Sembari menyeberang itu berceritalah kedua nelayan tentang pekerjaan mereka dan ikan apa yang ingin ditangkap mereka hari itu. Dan benar seperti dugaan Walinggih semula, mereka mencari ikan yang hanya keluar pada malam hari. Ikan tersebut terutama keluar saat bulan bersinar. Entah mengapa sinar bulan menarik jenis ikan tersebut untuk berenang-renang dekat permukaan seperti halnya laron yang terbang mendekati nyala api. Untuk itu para nelayan akan memasak jebakan jaring yang membuat ikan tersebut mendekati permukaan karena sinar bulan, akan tetapi tidak melihat jaring yang dipasangkan. Suatu perangkap satu arah, ikan dapat masuk tapi tidak lagi dapat keluar atau berbalik.

Kedua penumpang mereka mendengarkan cerita kedua nelayan dengan membisu. Samar-samar terdengar suara perut mereka minta diisi. Keduanya saling memandang dan tersenyum. Nelayan yang bercerita tidak mendengar karena sendang asiknya mendongeng sedangkan temannya sedang asik mengemudikan perahu yang bergerak perlahan ke arah pulau karena adanya arus di bawahnya.


Tak lama sampailah perahu yang ditumpangi Walinggih dan Sarini ke pulau di tengah danau itu. Dengan sigap kedua nelayan yang membawa mereka mendaratkan perahu mereka dan mempersilakan mereka untuk mendarat. Keduanya sempat menanyakan apakah Walinggih dan Sarini ingin diantar kembali ke seberang setelah berjumpa dengan Ki dan Nyi Sura, akan tetapi kedua orang itu mengatakan bahwa waktu untuk itu tidak dapat dipastikan. Kedua nelayan tersebut kemudian mengangguk mengerti.

Lalu kata seorang dari mereka, “Ki dan Nyi Sura pasti juga memiliki sampan. Atau jika kalian ingin dijemput, apungkan saja sesuatu dan sertakan kertas di atasnya. Arus danau ini akan membawanya ke tempat kami.”

Menangguk mengiyakan Sarini dan Walinggih, walaupun mereka sebenarnya tidak terlalu mengerti bagaimana cara itu bisa menyampaikan pesan kepada nelayan yang tinggal di pinggir pantai danau itu. Tapi mereka tidak bertanya lebih lanjut melainkan menyimpannya dalam hati. Mungkin sebaiknya ditanyakan kepada kedua orang yang akan mereka temui di pulau itu. Setelah mengucapkan terima kasih, kedua nelayan itu pun kembali ke air untuk menangkap ikan yang tadinya merupakan tujuan mereka mendanau.

“Nah, paman.., kita sudah di sini. Ke arah mana kita harus berjalan?” tanya Sarini kemudian.

Walinggih mempelajari dulu rerimbunan yang ada di hadapannya, di belakang hamparan pasir putih yang sunyi akan tetapi bergemerlap oleh timpaan sinar bulan. “Mungkin ke sana,” tunjuk orang tua itu pada sebuah jalan setapak yang terlihat samar-samar di balik rerimbunan rumput.

“Betul, paman! Saya tidak melihatnya tadi. Itu pasti jalan setapak yang akan membawa kita ke tempat orang tua Telaga,” ucap gadis itu. Tak terasa ada rasa sungkan dan jengah. Ya, bagaimana tidak, ia akan bertemu dengan orang tua dari pemuda yang akan menikahinya.

Keduanya kemudian beranjak dari sana dan mulai menyusuri jalan setapak yang mulai tampak ditumbuhi rerumputan sehingga tidak terlalu jelas terlihat. Keadaan jalan itu seakan-akan menceritakan bahwa ia sudah cukup lama tidak digunakan sehingga rumput-rumputan memperoleh kesempatan untuk tumbuh dan menghapus jalur-jalur lindasan kaki yang tadinya ada. Untung tidak terlalu lama, jika tidak, harusnya Sarini dan Walinggih berjalan sambil membuat jalan setapak baru.

Tak lama kemudian sampailah mereka ke suatu tempat yang agak terbuka, tetapi juga telah dipenuhi rerumputan. Di sana berdiri sebuah saung. Akan tetapi sama dengan kondisi jalan setapak yang baru saja mereka lewati, kondisinya pun tak terurus. Terlihat telah lama tidak disentuh oleh tangan manusia yang menggunakannya.

“Paman, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Sarini perlahan, “kelihatannya mereka tidak ada di sini?”

“Iya, terlihat seperti sudah lama tidak ada orang di sini,” jawab Walinggih mengiyakan. Tapi bila kedua orang yang ingin dikunjungi mereka tidak berada di tempatnya, mengapa kedua nelayan yang mengatakan kenal dengan mereka tidak mengatakan apa-apa tadi. Malah senang bahwa ia dan Sarini hendak berkunjung ke pulau itu. Pikirannya melayang ke mana-mana. Ada yang dirasanya tidak beres dan telah terjadi di tempat ini.

Tiba-tiba matanya melihat ke sebuah catatan yang terlihat sengaja disimpan di dinding saung itu. Agak terletak di sebelah dalam, sehingga orang yang tidak masuk tidak akan menyadari bahwa ada catatan di sana. Tidak diambilnya catatan itu melainkan hanya dibacanya.

“Di gua dekat ceruk Sungai Batu Hitam.”

Tak ada kata-kata lain. Mungkin pesan yang sengaja ditinggalkan bagi orang yang sudah tidak asing lagi dengan keadaan tempat ini, yang tahu di mana itu “Sungai Batu Hitam”.

“Mari kita ikuti petunjuk ini,” katanya kemudian kepada Sarini yang setelah diberitahu juga terlihat bingung. Sudah keadaan tempat ini yang tidak terurus ditambah dengan petunjuk yang asing bagi mereka.

Keduanya pun mulai mencari-cari di mana kiranya dari tempat itu bisa terdapat sebuah sungai, dan syukur-syukur dekat batu yang berwarna hitam, sehingga bisa saja adalah sungai yang dimaksud. Setelah lama mencari-cari, akhirnya gemerik air terdengar samar-samar. Keduanya pun berjalan ke arah sana dengan ditemani oleh sinar bulan yang cukup membantu mereka menemukan jalan dalam rerimbunan tersebut.

Sebuah ceruk yang digenangi air yang cukup lebar dan berwarna kegelapan berada di sana, di bawah sebuah sungai yang sebagian airnya merembes dan mengalir perlahan ke bawahnya. Sebagian lain mengalir menuju tempat lain dan menuju danau.

“Jika ceruk ini yang dimaksud dan sungai tersebut, maka guanya berada tak jauh dari ini,” ucap Walinggih perlahan.

Sarini mengangguk-anggukkan kepalanya. Tapi matanya belum dapat menemukan di mana sekiranya sebuah gua dapat berada di tempat itu.

Tiba-tiba serangkum hawa dingin memembelai mereka sehingga tersentak dan menuju ke suatu arah, di mana dalam arah tersebut tampak sebuah lubang gelap dalam dinding batu hitam, dengan gemerlapan kemilau putih samar-samar terpancar dari dalamnya. Sebuah gua yang memancarkan sedikit sinar temaran dari dalamnya.

“Itu seharusnya gua yang dimaksud dalam pesan itu,” ucap Walinggih.

Keduanya pun segera beranjak ke sana.

“Hati-hati, paman!” ucap Sarini saat mereka tiba di muka gua tersebut.

“Benar, kita harus hati-hati!” ucap Walinggih mengiyakan. Ia tidak tahu siapa yang tadi mengirimkan serangkum hawa dingin sehingga mereka dapat mengetahui posisi gua ini. Siapapun orang itu, mereka berdua belum mengetahui maksudnya, tapi yang pasti ilmu kepandaiannya tidak boleh dianggap sepele.

Dengan hati-hati mereka masuk ke dalam gua dan melalui beberapa stalaktit dan staklamit yang hampir membentuk tiang-tiang. Perlahan mereka menyelinap di antara tiang-tiang batu yang ada dan tetap hati-hati, sampai akhirnya mereka di suatu ruangan dengan langit-langit yang lebar dan tinggi. Di sana-sini tampak air perlahan menetes perlahan, mungkin rembesan air dari sungai yang mengalir di atas gua batu ini.

Di sana ditengah-tengah ruangan yang temaram disinari rerumputan dan tanaman yang bersinar dalam gelap. Tampak sesosok sedang duduk di hadapan dua buah gundukan berwarna putih pualam setinggi dirinya.

Perlahan kedua orang itu, Walinggih dan Sarini, mendekati sesosok yang tampak sedang berkonsentrasi tersebut. Tak berani menganggu, keduanya pun duduk bersila dalam jarak setombak darinya dan menunggu.

Hening sejenak meliputi suasana di sana, menambah intensitas hawa dingin yang terasa mengisi dengan pekat udara di sekitar mereka.

“Kalian mencari Ki dan Nyi Sura?” tanya orang itu perlahan sambil membuka matanya. Tampak bola matanya yang tidak seperti biasanya melainkan berwarna keputihan, seperti kulitnya yang pucat dan rambutnya yang seluruhnya telah memutih.

“Ya, kami mencari mereka. Bisa tolong tunjukkan di mana mereka berada?” tanya Walinggih dengan sopan.

Orang itu dengan raut muka sedih menunjuk kepada kedua gundukan berwarna putih yang “duduk” di hadapannya.

“Ini…. mereke!!!” ucap Sarini yang tidak dapat menahan keterkejutannya demi melihat bahwa di balik pualam putih, yang ternyata adalah es, tampak samar-samar wajah seorang manusia. Dua buah manusia yang telah membeku. Ki dan Nyi Sura.

“Engkau yang membuat mereka demikian??” ucap Walinggih yang segera siapa dengan gerakan siap mencabut pedang panjangnya. Walaupun ia tahu orang dengan kemampuan yang dapat membuat orang membeku seperti itu adalah di atas kemampuan dirinya dan Sarini.

“Aku adalah sahabat mereka…,” ucapnya perlahan, “aku melakukan ini untuk mencegah mereka terluka lebih parah.”

“Terluka? Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Walinggih yang sikapnya kemudian melunak demi mendengar jawaban yang jujur dari orang tersebut. Tak tersembunyi kepura-puraan dari cara orang itu berbicara dan mejawab pertanyaannya tadi.

“Mereka sedang melatih Tenaga Air tingkat tertentu, di mana mereka harus membolak-balik aliran darah mereka untuk menerobos titik-titik yang tersumbat. Tapi sayangnya terdapat kesalahan sehingga mereka terluka,” jelas orang itu. Lalu lanjutnya, “pada saat-saat itu kebetulan aku kembali dan menemukan mereka dalam keadaan terluka dengan jalan darah terbalik-balik. Dengan membekukan mereka, untuk sementara mereka berada dalam keadaan aman. Tapi perlu dicari orang yang dapat mengobati mereka.”

Walinggih dan Sarini mendengarkan penjalasan itu dengan penuh perhatian. Tak disangkanya kedua orang yang membeku tersebut sedang ditolong oleh sang sosok yang hampir berwarna seluruh tubunya keputihan tersebut.

Lalu setelah ditanya, Walinggih dan Sarini pun menjelaskan maksud kedatangan mereka untuk bertemu dengan Ki dan Nyi Sura. Tersungging senyum di wajah pucat orang itu demi mendengar kabar gembira yang dibawa oleh kedua pengunjung itu.

Lalu katanya, “Ah, kalian membawa kabar baik. Tentunya kedua sahabatku ini akan gembira sekali, jika saja mereka dapat mendengarnya.” Wajahnya kembali muram demi ia menyelesaikan kalimatnya.

Kedua orang yang duduk bersila di hadapannya tampak diam. Tak tahu harus berbuat apa. Keheningan pun kembali menyeruak di antara mereka berlima.


“Berapa lama pembekuan ini bisa dilakukan?” tanya Walinggih kepada orang yang terlihat seluruh tubuhnya hampir berwarna putih tersebut, yang mengaku bernama Rancana.

“Tidak tahu,” jawab Rancana pendek. Ia hanya melakukan apa yang diminta oleh kedua orang temannya itu untuk menghambat luka dalam tubuh mereka. Melakukan olah tenaga yang mereka ajarkan sehingga dapat membekukan tubuh mereka.

“Dan engkau dapat melakukannya sendiri, terus-menerus?” tanya Walinggih kemudian.

“Tidak juga,” ucapnya pelan, “proses ini juga membahayakan diriku sendiri. Tapi beberapa hari lagi mereka sudah tidak perlu dibantu. Pembekuan mereka akan langgeng selamanya apabila suatu tahap mati suri telah tercapai.”

Keduanya kemudian terdiam, larut dalam pikirannya masing-masing.

“Warna putih pada tubuhmu juga akibat penyaluran tenaga untuk membekukan mereka, betul begitu?” tanya Walinggih kemudian.

Rancana hanya mengangguk. Dugaan Walinggih benar adanya, bahwa efek samping dari cara ia menolong adalah memperoleh kehilangan warna pada bagian-bagian tubuhnya. Sudah bola matanya, rambutnya dan juga kulitnya. Pada akhirnya bagian-bagian dalam tubuhnya juga, seperti lidah dan rongga mulut. Dan akhir yang tidak diharapkan adalah ia akan memutih membeku, menjadi patung es, mirip dengan kedua orang yang ditolongnya.

“Pesanku, bila aku harus menemani mereka ‘membeku’..,” ucap Rancana, “tolong katakan pada muridku, Lantang, bahwa aku belum menemukan cara melancarkan aliran hawa dalam tubuhnya.” Lalu diceritakan perjalannya ke Rimba Hijau, bertemu dengan para Manusia Tiga Kaki dalam upaya mencari penyembuhan muridnya.

Mengangguk-angguk Walinggih mendengar pesan tersebut. Ia melihat betapa besar kasih sayang Rancana kepada muridnya itu, yang ternyata tidak mampu menyalurkan tenaga dalamnya akibat sebab yang tidak diketahui pada susunan jalan darahnya. Walinggih pun menyanggupi permintaan itu.

Disamping mengoper tenaga dalamnya kepada Ki dan Nyi Sura, Rancana pun menyempatkan diri untuk mengajari Sarini ilmu meringankan tubuhnya. Ia yang dikenal sebagai Bayangan Menangis Tertawa, memang memiliki ilmu simpanan dalam meringankan tubuh dan bergerak cepat ke sana-kemari.

Sudah tentu yang merasa gembira pula selain Sarini adalah Walinggih, ia merasa senang bahwa muridnya mendapat tambahan ilmu dari seorang yang tokoh yang selama ini telah lama menghilang dari dunia persilatan.

Hari-hari pun berlalu diisi dengan pengoperan tenagan kepada Ki dan Nyi Sura, latihan Sarini dan perbincangan antara Walinggih dan Rancana. Pengembaraan Rancana yang ke sana-ke mari ternyata telah membawa padanya juga kabar mengenai Hakim Haus Darah, julukan yang dulu dimiliki Walinggih. Julukan yang telah lama ditinggalkan dengan sifat-sifat jeleknya.

Keduanya tertawa karena mereka saat ini telah menjadi tua dan julukan-julukan kuno telah lama lewat. Yang mereka pikirkan sekarang adalah orang-orang yang menjadi murid-murid mereka. Suatu kesamaan dari orang-orang yang menjadi lebih bijaksana setelah diri mereka menjadi tua dan sadar hidup tidak lama lagi di dunia ini.


Tak terasa telah berlalu hari-hari di mana Walinggih dan muridnya Sarini menetap di Pulau Tengah Danau, menemani Rancana yang terus menerus menyalurkan tenaga dalamnya ke Ki dan Nyi Sura yang telah membeku. Dengan cara yang diberikan oleh mereka berdua, mau tak mau Rancana pun berangsur-angsur akan menjadi seperti mereka. Menjadi sesuatu yang hanya memiliki hawa dingin dan pada akhirnya akan membeku menjadi sama seperti mereka. Pada tahap tersebut Ki dan Nyi Sura tidak lagi perlu diasup tenaga dalam karena kondisi mereka telah dapat menyerap sendiri aliran tenaga yang dibangkitkan oleh gua di mana mereka berada dan juga aliran sungai di atas gua tersebut.

Rancana pada awalnya telah tahu resiko ini, dan kedua rekan yang akan ditolongnya telah mencoba mencegah, tetapi setelah mereka berdua tak sadar diri lagi, Rancana pun memaksa untuk menolong, dengan harapan ia dapat mengatasi hal tersebut dan tidak menjadi seperti mereka. Tapi rupanya tenaga yang ia miliki belum cukup kuat sehingga mau tak mau penyaluran tersebut merugikan dirinya. Suatu pengorbanan yang tidak disesalkan oleh Rancana sendiri, kecuali bahwa ia telah gagal mencari jalan keluar bagi kesembuhan murinya, Lantang. Bahkan kunjungannya ke Rimba Hijau, sempai bertemu dengan Hitam-Putih, pemimpin salah satu Kaum Manusia Tiga Kaki pun tidak membuahkan hasil yang berarti. Jika saja Ki Tapa masih hidup, mungkin ia masih dapat memberikan satu dua keterangan yang berguna.

Dengan tergesa Rancana pun mengajarkan ilmu meringan tubuhnya kepada Sarini dan juga langkah ajaibnya, Langkah-langkah Kering di Bawah Hujan, suatu jurus yang dapat menyelamatkan diri dari terkena sengatan senjata tajam di dalam hujan serangan lawan. Jurus yang juga yang juga dimiliki oleh Kakek Gu. Entah apa hubungan antara keduanya. Jurus ini adalah jurus yang berasal dari ilmu dasar yang dimiliki oleh Rancana, yang mendasarkan gerakannya pada gerakan aliran, air atau angin. Membuat tubuh bergerak dengan lincah ke sana-kemari memanfaatkan aliran tenaga lawan. Dengan cara ini sebagai manapun lawan mendesak ia akan bisa menghindar. Mirip dengan upaya orang yang membelah udara atau air. Sia-sia. Sehabis serangan lewat, yang dibelah akan kembali mengisi ruang yang tadi kosong.

“Jika belum bisa menerapkan, hapalkan dulu gerakan dan teori-teorinya,” ucap Rancana suatu saat demi melihat Sarini agak sulit untuk mencerna apa yang ia ucapkan. “Engkau juga dapat membicarakannya dengan gurumu, Walinggih. Walaupun ilmu kami berbeda, tapi setidaknya pengalamannya dalam bidang ilmu beladiri akan memudahkanmu untuk mencerna apa-apa yang aku ajarkan ini.”

Sarini mendengarkan dengan tekun ucapan gurunya ini. Rancana walaupun tidak ingin disebut guru, telah menjadi guru ketiga dari Sarini. Guru pertama adalah ayahnya sendiri, Arasan. Lalu Walinggih dan sekarang Rancana. Beragam ilmu dari ilmu silat tangan kosong, menggunakan pedang dan sekarang meringangkan tubuh dan ilmu menghindar telah dipelajarinya. Hanya saja ilmu-ilmu tersebut belum cukup matang dan mengendap dalam pemahamannya. Perlu waktu memang, agar suatu ilmu dapat berjalan dengan otomatis dalam pemanfaatannya. Mirip seperti pohon yang dirawat, disiramai dan akhirnya berbuah.

Di saat itu Walinggih yang bertugas mencarikan mereka makan dan juga memantau kalau-kalau ada pendatang yang tidak diinginkan menganggu penyaluran tenaga dalam ke Ki dan Nyi Sura oleh Rancana. Tapi sepertinya orang-orang yang tinggal di pulau tersebut tidak memiliki musuh, sehingga tidak ada orang yang ingin mencari-cari masalah dengan mereka. Tidak mencari musuh adalah suatu sikap hidup yang baik dalam rimba persilatan.

Tibalah hari yang telah lama diduga Rancana, ia merasa menggigil hebat dan badannya mulai sulit digerakkan. Walaupun demikian ia masih berusaha untuk menyalurkan tenaga terahir yang dapat dia bangkitkan untuk menyurup ke dalam tubuh Ki dan Nyi Sura. Ia telah berpesan kepada Walinggih dan Sarini, bahwa setelah ia “membeku” agar disandingkan dekat dengan kedua rekannya, membentuk posisi segitiga. Di luar itu juga ditarik geris antara mereka yang saling menghubungkan dan dipasang beberapa simbol dan batu untuk menjaga aliran hawa antara mereka dan juga gua tempat mereka tinggal. Tak lupa ia memesankan untuk menutup pintu gua itu agar tak ada orang yang tak dikenal datang dan mengganggu. Pesan untuk Telaga dan Lantang dituliskan di batu di luar gua tersebut. Pada suatu tempat yang hanya diketahui oleh penghuni tempat tersebut.

Walinggih dan Sarini tampak berdiri di muka gua yang dari dalamnya tampat sinar temaram memancar. Gundukan seperti pualam putih tampak bertambah satu jumlahnya sehingga menjadi tiga buah sekarang, Ki dan Nyi Sura serta Rancana.

“Engkau sudah siap?” tanya Walinggih kepada muridnya.

Sarini mengangguk.

“Gunakan tenagan gempuran yang kuat dengan pedang panjangnmu untuk meremukkan batu-batu besar di atas itu, lalu gempur dengan hentakan kasar sehingga mereka runtuh dan menimbuni mulut gua,” perintah gurunya itu kemudian.

Gadis itu segera melaksanakan perintah gurunya, ia bergerak cepat meloncat dan menyabetkan pedang panjangnya berulang-ulang, beberapa batu tampak berderak-derak, tetapi masih lengket pada tempatnya. Kemudian setelah selesai ia menyerang lurus, menancapkan pedangnya dalam dan menghentakkan ke arah samping, memutar, menyebabkan batu-batu yang sudah retak tadi bergetar dan mulai berjatuhan menutupi mulut gua tersebut.

“Bagus!! Sekarangn biarkan lubang yang di atas itu untuk sedikit pertukaran hawa, aku tak tahu apa mereka bertiga masih memerlukannya atau tidak,” ucap gurunya. “Kita perlu berikan sedikit tanah dan rerumputan untuk kamuflase agar mulut gua ini tidak mudah ditemukan.”

Lalu keduanya mencari-cari tanah dan juga rumput-rumputan dan mulai mendandani mulut gua, yang baru saja mereka tutup dengan batu-batu, dengan tanah dan rumput-rumputan. Tak lupa disirami pulau dengan air dari ceruk yang tak jauh dari sana.

Selama seminggu masih Sarini dan Walinggih menunggui gua tersebut, kalau-kalau ada perubahan atau sesuatu terjadi. Juga untuk meyakinkan kalau rumput-rumput yang dipindahkan telah tumbuh dan benar-benar menutupi gua tersebut, sehingga orang yang tidak kenal dengan tempat itu pasti tidak akan menyadari bahwa dulu di tempat itu pernah ada gua.

Setelah yakin bahwa semunya baik dan sesuia dengan kemamuan Rancana, Walinggih dan Sarini pun akhirnya meninggalkan tempat itu, menyeberang kembali ke pantai di pinggi danau dengan menggunakan perahu nelayan yang dulu mengantarkan mereka, dengan terlebih dahulu meninggalkan pesan bagi mereka. Kedua nelayan yang sama juga yang membawa mereka kembali ke pantai. Keduanya tidak banyak bertanya. Bukan orang usil mereka akan urusan orang lain.

Sehabis mengucapkan terima kasih Walinggih dan Sarini pun mulai menuruni Gunung Berdanau Berpulau, kembali ke Padang Batu-Batu di mana rumah mereka berada. Selain itu juga memberi kabar ke pada ayah Sarini, Arasan tentang apa yang menimpa calon besanya. Sarini sendiri akan menanti kepulangan kembali Telaga di rumahnya.


“Akanamia, latih baik-baik rangkaian jurus pamungkas yang aku ajarkan tadi,” ucap orang tua itu kepada cucunya dengan isyarat tangan yang ditanggapi dengan anggukan oleh cucunya. “Engkau tak lama lagi akan dijemput oleh calon suamimu. Kalian latih baik-baik ilmu tersebut dan turunkan kepada anak cucu kalian. Kakek akan sangat bangga kalau suatu saat masih dapat bersua dengan mereka.”

Tak terasa air mata menetes pada pipi dara itu. Sudah lama sekali sejak ia ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya, kakeknya menjadi orang tua tunggal baginya. Tak dinyana akan datang suatu hari di mana mereka harus berpisah. Tanpa dapat menahan rasa sedihnya ia pun berlutut dan memeluk lutuh kakeknya sedang bersila di hadapannya.

“Kita tidak berpisah selamanya, ada waktu berpisah, sudah tentu ada waktu berkumpul lagi,” begitu kira-kira ucapan orang itu yang dilekukan dengan usapan-usapan pada rambut cucunya itu. Ucapan yang semakin memembuat mata Akanamia basah.

“Baik, kakek. Akan kuturuti kata-katamu,” ucapnya sambil menunduk dan mencium tangan kakeknya yang dibalas dengan kembali usapan sayang tangan tua renta pada rambut dara tersebut.

“Menari Bersama Air,” begitu ucap tangan kakek itu kepada cucunya, “adalah nama jurus pamungkas yang aku ajarkan tadi. Gunakan hanya dalam kesempatan terdesak saja.”

Cucunya mengangguk mengiyakan pesan kakeknya tersebut.

Waktu pun berlalu dengan cepat sampai kedatangan kembali Mayayo untuk meminang Akanamia, untuk itu turut bersamanya Pelaut Ompong kakeknya dan juga Wassa, calon iparnya. Dengan menerangkan bahwa adalah baik apabila kedua saudara itu, Mayiya dan Mayayo melangsungkan pernikahan pada hari yang sama, disetujuilan usulan itu. Kedua pasangan muda-muda yang memperoleh jodoh yang sama-sama gagah dan cantiknya, membuat para tamu yang menghadiri pesta sederhana itu pun merasa amat berbahagia dan bersyukur. Turut mendoakan hal-hal yang baik bagi keempatnya.


“Jadi engkau ingin ikut melaut?” tanya seorang pelaut tua kepada anak muda di depannya.

“Benar, paman! Ingin menimba ilmu di kapal,” jawab anak muda itu cepat.

“Tidak mudah, lho! Beda di dengan di darat. Dan kamu bisa saja nanti kangen dengan darat. Bisa berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan kami berada di atas air tanpa singgah sehari pun di mana-mana. Apa kamu mampu?” tanya pelaut tua itu lagi.

“Saya akan coba, paman. Saya berjanji untuk tidak mengeluh,” ucap anak muda itu meyakinkan.

Demi melihat kesungguhan dalam mata pemuda itu, sang pelaut tua akhirnya mengijinkan ia untuk ikut sebagai anak buah kapal. Postur anak itu yang kuat dan sehat menyenangkan hatinya. Ia tidak ingin ada anak buah yang sakit-sakitan dan lemah. Kehidupan di atas laut adalah kehidupan yang keras.

“Baik! Siapa namamu?” tanya pelaut itu kemudian.

“Telaga!” jawab pemuda itu mantap.

Lalu pelaut tua itu mencatatkan nama pemuda itu di dalam buku lognya, buku yang mencatat nama-nama kelasi dan juga penumpang yang akan ikut berlayar dalam kapalnya.

“Jangan telat hadir dua hari lagi di sini. Cari aku atau kapal yang kutulis di atas secarik kertas itu, mengerti!” ucapnya kemudian setelah meneliti beberapa tulisan dalam buku tebalnya itu.

“Baik, paman!” jawab pemuda itu dengan raut gembira yang tidak disembunyikannya.

Lalu mereka berdua pun berpisah.

Perjalanan di atas laut bagi Telaga pun dimulai. Ia benar-benar merasa senang karena ini merupakan perjalanan pertamanya di atas sebuah kapal laut. Sebuah kapal yang membawa penumpang dan juga barang-barang ke berbagai negara di penjuru dunia. Ia selain ingin mencari tahu mengenai Suku Pelaut juga ingin menambah pengetahuannya dengan mengenal tempat-tempat lain yang dipisahkan dengan air dari tanah kelahirannya. Tanah seberang, begitu kata orang-orang. Terdapat puluhan bahkan ratusan tanah seberang, yang orang-orangnya hidup dengan cara yang berbeda dengan orang-orang di Tlatah Nusantara. Beberapa yang pernah di dengarnya misalnya Tlatah Tengah, Tlatah Matahari Terbit, Tlatah Alemania dan masih banyak Tlatah-tlatah lainnya. Semuanya membuatnya amat bergairah dalam perjalanannya ini.

Rupanya saat musim ini tidak banyak orang yang ingin bepergian dengan kapal. Selain sebuah keluarga yang terdiri dari ibu, bapak dan kedua anaknya, hanya terdapat lima orang yang menumpang kapal tersebut. Dilihat dari tongkrongan mereka, kelima orang tersebut adalah para pesilat walaupun tidak secara kentara senjata yang mereka bawa terlihat. Telaga dapat memahami itu dari cara mereka berjalan yang pasti dan seimbang dan juga sorot mata tajam serta waspada ciri dari orang-orang yang selalu siap akan pertarungan. Hal yang aneh dari mereka adalah corak dan ragam kulit dan bentuk tubuh mereka yang beraneka. Juga bahasa yang mereka gunakan. Masing-masing kelihatannya memiliki asal dan bahasa masing-masing, tapi dapat saling mengerti dengan baik. Telaga pun bertanya-tanya dalam hatinya, apa yang mengaitkan mereka berlima yang terlihat amat berbeda tersebut.

“Berapa lama perjalan ini sampai ke sana?” tanya seorang bertubuh subur dan besar kepada seorang gadis manis yang berdiri di sisinya.

“Empat sampai lima minggu,” jawab orang yang ditanya, “bila cuaca buruk dan ada perompak, mungkin malah lebih lama.”

“Perompak? Perampok maksudmu?” tanya orang pertama itu lagi.

“Yang pertama itu bekerja di laut, sedangkan yang kedua engkau sebutkan itu bekerja di darat,” sela seorang dari mereka yang berkulit pucat.

Mengangguk-angguk orang yang mengajukan pertanyaan itu. Terlihat bahwa orang itu “baru” di antara mereka berlima. Masih banyak hal yang mungkin harus dipelajarinya.

Telaga yang tidak sengaja menguping, entah bagaimana telah merasa akrab dengan pemuda berkulit coklat, bertubuh besar dan subur itu. Mungkin dari kesamaan fisik mereka yang sama-sama berasal dari Tlatah Nusantara ini.

Ia pernah bertukar pandang dengan pemuda itu dan saling tersenyum. Dengan keempat rekan pemuda itu, Telaga tak terlalu peduli karena mereka pun tidak mempedulikan dirinya, yang mungkin dianggapnya hanyalah seorang anak buah kapal yang tidak berarti.

“Hai, aku Telaga,” ucapnya saat melihat pemuda itu tampak termangu sendiri menghadapi laut yang tenang hampir tanpa gelombang.

“Aku Gentong,” jawabnya ramah.

“Teman-teman yang menarik,” ucap Telaga sambil melirik ke arah rekan-rekan pemuda itu yang tampaknya sedang bermain kartu berempat.

“He-eh!” jawab pemuda itu sekenanya. Kelihatannya ia tidak tahu harus berkomentar apa mengenai keempat rekannya tersebut.

Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan putra-putrinya itu jarang terlihat di atas dek. Pelaut tua yang mengijinkan Telaga untuk ikut dengan pelayaran itu hanya mengatakan bahwa mereka tidak begitu tahan udara laut, sehingga lebih sering menghabiskan waktu di kamar mereka. Suatu yang aneh menurut pemuda itu, tidak tahan laut tapi kok berlayar? Pasti ada keperluan yang mendesak.

“Telaga, bersihkan dek bagian bawah!” tiba-tiba teriakan perintah memanggilnya, membuyarkan lamunannya akan kemungkin-kemungkinan yang dimiliki oleh keluarga tersebut. Segera ia beranjak dengan tak lupa pamit pada Gentong.

Setelah ia pergi, rekan pemuda itu tampak bangkit meninggalkan permaiannya dan berdiri dekat pemuda bertubuh subur dan besar itu, “Jangan terlalu banyak bercerita. Kita tidak tahu siapa pemuda itu. Bisa-bisa orang suruhan dari mereka-mereka yang menginginkan kepala kita.”

“Ya, akan aku camkan itu, Dhoruba!” ucap Gentong sedikit jengkel. Ya, ia memang yang paling “muda” dari mereka berlima. Tapi kadang-kadang sikap mereka yang masih memperlakukannya sebagai anak kecil dengan larangan-larangan membuatnya tidak dapat menahan emosi. Perubahan hidupnya yang tiba-tiba dan banyaknya hal-hal yang ia tidak tahu membuatnya menjadi gampang tersinggung.

Yang dipanggil Dhoruba itu segera kembali ke permainan yang sedang menunggu kedatangannya. Seorang berkulit merah dan berwajah keras tampak mengerlin kepada Gentong. Misun nama orang itu. Hanya dengan Misun Gentong merasa tenang. Ia tidak banyak mengatur akan tetapi menjelaskan hal-hal yang ingin diketahuinya dengan cara yang menyenangkan. Tidak menggurui. Cara yang mengingatkannya kepada mendiang gurunya, Ki Tapa.

Begitulah kehidupan berjalan. Di dalamnya para pendekar-pendekar memilih jalannya masing-masing. Mengikut tuntunan dari Sang Pencipta untuk mengisi arah hidupnya sendiri-sendiri. Kisah yang masih akan panjang berlangsung dalam waktu dan ruang.

“Turunkan layar!!” tiba-tiba terhembus perintah. Angin yang hampir tak ada tiba-tiba mengencang dengan wajah langit yang gelap tiba-tiba tampak di depan kapal, di kejauhan dekat horison. Wajah dari badai dasyat yang akan menjelang. Para anak buah kapal, termasuk Telaga pun bersiap. Kelima orang penumpang masih tampak tenang-tenang bermain permainan mereka.

Dan angin pun bertambah kencang bertiup.


Tags: