nou

orang-orang abadi

Nein Arimasen
82 mins read ·

elemen kekosongan 7/9

url https://elemen-kekosongan.blogspot.com/2007/02/orang-orang-abadi.html

“Misun, coba tengok apa makam yang kita cari sudah tidak lagi dijaga!” ucap seorang berkulit putih pucat kepada rekannya seorang berkulit merah. Orang yang dipanggil Misun, yang berarti “saudara muda” dalam bahasa Sioux Lakota, itu berbegas bangkit dari duduknya. Tak lupa ia menggapai kapaknya yang tadinya ditancapkan di dekat kakinya.

Sepeninggal Misun, seorang berkata kepada yang tadi berbicara, “Angus, masih berapa lama kita perlu berada di tlatah ini. Selalu hujan dan basah. Membuatku selalu merasa kelembaban.” Yang berbicara adalah seorang berkulit hitam legam dan berambut keriting, Dhoruba namanya. Nama yang dalam bahasa Swahili berarti “badai”. Orang yang dipanggil Angus tampak sedikit berpikir sebelum menjawab. “Entahlah, Dhoruba. Aku tidak tahu. Lebih baik engkau tanyakan saja nona Siaw Liong.”

“Bertanya kepada si Sesat Naga Kecil? Mending aku menjadi lembab dan basah daripada mendengar penjelasannya yang mumet itu,” ucap Dhoruba sambil menunjukkan muka bergidik, seakan-akan wanita yang dipanggilnya Sesat Naga Kecil benar-benar menggiriskan hatinya.

Tak lama kemudian Misun pun kembali. Seperti biasa sikapnya, ia tak banyak bicara. Ia hanya mengisyaratkan dengan tangan bahwa tempat yang mereka tuju telah tidak lagi dijaga. Hal ini berarti bahwa malam ini mereka dapat menuntaskan tugas mereka dan mungkin esok hari pergi dari tempat itu. Melanjutkan perjalanan mereka jauh ke barat.

Malam yang dinanti pun tak lama tiba. Dengan hanya diterangi oleh bulan yang tertutup awan, ketiga orang tersebut, Angus McLeod, Dhoruba dan Misun, berjalan perlahan menuju suatu lahan terbuka di dalam Rimba Hijau. Di suatu tempat di mana belum lama ini tak jauh dari sana terjadi pertempuran berdarah dan di atasnya kemudian dibuat beberapa buah makam. Lima makam tepatnya.

Angus, sebagai seorang yang memegang pimpinan kala Shia Siaw Liong tidak ada, dengan hati-hati berdiri di depan sebuah makam. Berkonsentrasi dan bernapas dengan teratur. Ia mencoba merasakan apa-apa yang mungkin bisa dirasakannya dari dalam makam tersebut. Hal yang sama diulanginya sampai semua makam telah dicoba. Belum ada petunjuk.

Beberapa hari sebelumnya, dengan yakin Shia Siaw Liong mengatakan bahwa salah seorang dari yang terbunuh itu adalah salah seorang dari mereka. Oleh karena itu mereka harus membawanya dari sana. Melatihnya dan menjadikannya siap untuk menjadi seperti mereka. Setelelah memberikan tugas itu, sang nona pun pergi mencari sesuatu di kota Luar Rimba Hijau. Barang-barang yang ada hubungannya dengan tugas kali ini.

“Sulit.. Aku belum bisa merasakannya. Mungkin kuburnya terlalu padat sehingga ia tidak sempat terjaga,” ucap Angus seakan pada dirinya sendiri. Tiba-tiba ada semacam getaran di udara menyerang otaknya. Membuat kepalanya berdenyut-denyut. Hal yang sama dirasakan pula oleh kedua rekannya.

“Ya, ini dia. Tapi terlalu sulit untuk menemukan berasal dari makam yang mana,” ucap Dhoruba.

Misun tampak berdiri di hadapan makam nomor dua dari tengah. Didekatkannya telinganya pada tanah. Wajahnya tampak berubah. Lalu dengan isyarat ia memberitahukan Angus dan Dhoruba apa yang didengarnya. Ketiganya kemudian langsung membongkar makam tersebut.


Pemuda itu hanya ingat saat sebuah sabit tajam dan panjang mengayun pelan dan menghujam punggungnya. Tembus sampai dada sehingga ia bisa melihat darahnya sendiri menghiasai senjata tersebut. Setelah itu dirasakannya dingin dan gelap. Lalu kesadarannya hilang.

Sesekali ia seperti tersadar dari mimpi tapi kembali ia dihadapkan pada ruang yang sempit dan juga basah. Bau tanah yang lembab juga menyengat. Ia tidak ingat bagaimana bisa berada di tempat seperti itu. Dan juga apa hubungannya dengan pertempuran yang lalu.

Sudah matikah ia? Inikah dunia yang dikunjungi orang setelah mati? Atau ia hanya berada di dalam kubur, akan tetapi tidak mati?

Jawaban tak kunjung datang, melainkan hanya kesadaran yang datang dan pergi. Setiap kali kesadaran muncul, rasa sakit yang menggila pun timbul menyertainya. Membuatnya ingin menjerit sekeras-kerasnya, tapi bagai tak ada suara yang keluar. Hal itu berlangsung berulang-ulang. Berkali-kali. Sampai akhirnya ia pun pasrah dan menjalaninya.

Pemuda itu, Gentong, kembali tersadar dan menjerit tampa suara. Keringat deras mengalir dan juga kejangnya otot-otot. Kesadaran kembali datang. Sebentar lagi, ya sebentar lagi kesadaran ini akan hilang kembali seperti sebelumnya. Seperti itu, berulang-ulang sejak pertempuran yang lalu.

Tiba-tiba telinganya menangkap adanya suara-suara di atasnya. Suara-suara orang menggali-gali. Suara-suara yang mendatangkan harapan baginya. Coba digerakkan tubuhnya, tapi tidak dapat. Kain yang ditutupkan dimukanya hanya memberikan kegelapan. Himpitan tanah di atasnya membuat napas yang kadang-kadang datang menjadi sesak dan mulai menghilangkan kesadarannya.

Suara-suara yang ada di atasnya membuatnya kembali terjaga. Ia berusaha sedapat mungkin untuk bernafas dengan rendah dan tidak sampai kehabisan napas seperti keadaan berulang-ulang sebelum kesadarannya hilang. Lambat-laun terdengar suara-suara tersebut semakin jelas dan keras.

Dalam bahasa yang tidak dimengertinya, terucap kata-kata yang menyatakan bahwa pengalian sebaiknya dihentikan. Mungkin karena sudah dekat dengan orang yang dikuburkan. Lebih baik dilakukan lanjut dengan tangan, agar tidak melukai orang yang dikubur itu.

Garukan-garukan tangan mulai terdengar. Perlahan tapi pasti membuat aliran darah Gentong semakin cepat, dan ini fatal akibatnya. Ia menjadi kembali sesak dan mulai kehilangan kesadaran. Gelap pun kembali menjelangnya. Kesadarannya pun hilang lagi. Tak dirasakannya saat ketiga orang yang menggali kuburnya, mengangkatnya dan memanggulnya pergi. Sambil tak lupa seorang dari mereka kembali merapikan kuburnya kembali, sehingga seakan-akan tidak ada apa-apa yang pernah terjadi di sana. Jejak-jejak akan segera menghilang ditelan hujan gerimis yang perlahan-lahan turun. Hujan yang seperti mengamini perbuatan ketiga orang tersebut.

Sesosok pasang mata tampak bersinar dalam kegelapan. Tinggi matanya tidak sampai sedada orang dewasa walaupun makhluk itu berdiri di balik semak-semak. Ia tidak berbuat apa-apa. Hanya memperhatikan apa yang baru saja terjadi di makam di lapangan rumput tersebut. Sejenak ia menunggu sampai langkah-langkah kaki ketiga orang tersebut tidak lagi terdengar, kemudian ia pun menghilang di balik rerimbunan.


Tiga orang tampak berjalan beriringan. Seorang tua dan dua orang muda-mudi. Yang tua berbadan tegap dan berbusana kain bermotif kasar yang berwarna sebelah kanan biru muda dan sebelah kiri hijau muda. Kulitnya berwarna sedikit kebiruan, seperti warna urat-urat darah orang yang kebiruan. Sedangkan sang gadis yang jelas terlihat dari sisik biru kehijauan tubuhnya dan rambutnya yang hitam keemasan, bahwa ia adalah seorang Undinen. Roh Air, begitu sebutan orang-orang kepada jenis makhluk tersebut. Seorang yang terakhir, sang pemuda, tampak biasa-biasa saja.

Ketiganya tampak berjalan perlahan dan tampak tak ada tujuan. Sesekali mereka berhenti dan menikmati pemandangan alam yang ada di hadapannya. Memang hari itu matahari bersinar tampak ditutupi awan dan angin sepoi-sepoi bertiup, menciptakan hari yang indah dan cerah.

“Paman Wananggo..,” tiba-tiba Undinen yang bernama Xyra itu bertanya kepada orang yang tua, “ke mana kita akan mencari buah dan akar tersebut?”

Orang yang ditanya tidak langsung menjawab melainkan hanya tersenyum-senyum saja. Geli ia melihat kekhawatiran sang gadis kepada pemuda temannya itu. Orang lain pun sudah dapat memperkirakan bahwa terdapat “apa-apa” di antara kedua muda-mudi itu.

“Nak Xyra, sabarlah! Tak akan lari waktu dikejar. Kita masih punya waktu beberapa hari lagi, sebelum waktu bulan purnama tiba. Dan tempat yang kita tuju itu, besok siang akan kita capai,” jawab orang tua itu sambil kembali tersenyum. Lalu tambahnya, “dan di sana kita butuh kemampuanmu sebagai seorang Undinen untuk menemukan buah dan akar dari tanaman tersebut.”

Sang Undinen pun mengangguk mengiyakan. Menyatakan tanpa suara bahwa ia akan melakukan apa-apa yang perlu, asalkan orang yang dikasihinya itu dapat sembuh kembali.

“Sekarang mari kita nikmati dulu indahnya hari ini. Dan juga tidak lupa mengisi perut yang sudah berbunyi,” ucap orang tua itu lagi. Biasanya Wananggo tidak banyak bicara, entah kenapa setelah bertemu dengan Xyra dan Lantang, ia merasa kerasan. Ia merasa kedua orang itu sebagai bagian dari dirinya. Sebagai keluarga. Ya, Wananggo tidak lagi memiliki keluarga. Istri dan anaknya telah meninggal karena sakit. Sejak saat itu ia menjadi murung dan tidak tentu hidupnya. Baru belakangan ini ia menyadari buat apa merusak dirinya sendiri dan pada saat itulah ia bertemu dengan Lantang dan Xyra, yang kebetulan juga memerlukan bantuan dirinya.

Tiba-tiba terdengar samar-samar suara deburan. Suara laksaan air yang dijatuhkan dari tempat yang tinggi. Air terjun.

“Nah itu tempat bermalam kita,” ujar orang tua itu dengan gembira. Lalu diajaknya kedua orang itu untuk bergegas memacu langkahnya agar cepat mencapai tempat bermalam yang dimaksud.

Setelah mendaki sebuah bukit, tampak di baliknya sebuah pemandangan yang mengesankan. Sebuah sungai besar tampak mengalir menjauh dari arah mereka dan kemudian menghilang di horison. Jatuh ke bawah akibat tarikan bumi dan menimbulkan bunyi-bunyi deburan menggelegar. Sebuah air terjun yang megah.

“Itu namanya Air Jatuh,” jelas Wananggo. “Dulu di sini terdapat banyak tempat pertapaan. Tapi semenjak Perguruan Atas Angin melebarkan kekuasaannya, para petapa tersebut disuruh pergi atau lebih tepat dipaksa pergi. Mereka menganggap daerah ini sebagai daerah kekuasaannya.”

“Dan kita akan menyusup ke sana?” tanya Lantang ingin tahu.

“Ya, tentu!” jawab Wananggo. “Tumbuhan yang aku ceritakan itu tumbuh di salah satu pulau di bawah sana. Untuk itu kita perlu menyusup ke dalam wilayah Perguruan Atas Angin. Mau tidak mau, demi kesembuhanmu.”

Kedua muda-mudi itu hanya mengangguk mengiyakan.

“Dan untuk itu, kita perlu tenaga dan konsentrasi. Sekarang lebih baik kita mencari tempat yang baik untuk bermalam. Isi perut dengan baik dan tidur,” usulnya. “Besok pagi-pagi sekali kita mencari jalan masuk. Semoga kita mendapat kesempatan yang baik, besok siang telah tiba di pulau tersebut dan malamnya, saat bulan purnama, mengambil tumbuhan tersebut pada waktu khasiat akar dan buahnya sedang pada puncak-puncaknya.”

Kembali kedua orang muda di hadapannya mengangguk setuju dan melakukan apa yang disarankan oleh orang tua tersebut.


“Bagaimana keadaannya?” tanya sebentuk suara merdu wanita.

“Masih ‘mati’, nona Siaw Liong,” jawab seorang yang ada di hadapannya.

“Belum ‘hidup’ dia?” tanya wanita itu kembali.

“Belum. Apa mau dipaksa?” kembali orang yang tadi menjawab, mengajukan usul.

“Tidak, biarkan saja. Dulu juga, engkau Angus, perlu waktu dua hari aku menungguimu sampai kau benar-benar hidup. Engkau sempat mati-hidup-mati-hidup karena saat itu belum bisa menguasai peredaran hawa yang beru engkau peroleh itu,” ucap wanita itu sambil tersenyum.

Orang yang diingatkan akan hal tersebut hanya tersenyum saja. Ya, ia ingat saat itu. Hawa dalam tubuhnya sangat kacau bergerak, sehingga ia terluka dalam dan kembali “mati”.

“Mana Dhoruba dan Misun?” tanya wanita itu kemudian setelah sunyi sejenak di antara mereka.

“Misun seperti biasa sedang mengamati di atas pohon sana. Melihat ke segala arah. Dhoruba sedang mencari makan malam kita,” jawab orang yang dipanggil Angus itu.

“Kita perlu bicara malam ini. Jumlah kita sudah cukup. Perjalan pulang bisa dilakukan..,” katanya pelan. Ia menekankan nada suaranya pada kata-kata “perjalanan pulang”, yang membuat Angus menjadi sedikit berdesir.

Ya, perjalan pulang. Selama ini adalah hal itu yang mereka cari. Dan untuk itu perlu lima orang dari mereka-yang-tak-bisa-mati untuk melakukannya. Sulit. Umumnya salah seorang dari mereka-yang-tak-bisa-mati, saling baku-hantam satu sama lain, memperebutkan kepala lawannya, untuk memperoleh tenaga, hawa dan pengetahuan yang telah tercukupi. Hal-hal yang sebenarnya dapat diperoleh bersama-sama apabila mereka berhasil “pulang” ke tempat asal mereka.

“Beritahu aku bila orang baru itu telah ‘hidup’,” berkata kembali sang wanita. Lalu ia pun berlalu dari sana.

Angus hanya mengangguk tanpa menjawab. Pikirannya sedikit melayang.


“Jadi..?” tanya seorang wanita pesolek yang berjalan mondar mandir dalam ruangan itu. Kecantikannya yang aneh dan hasil bantuan pupur dan bedak serta ilmu awet muda membuatnya sedikit aneh. Tapi pasti tiada orang di luar ruangan itu yang berani menggugahnya. Ya, karena ia adalah salah seorang dari pimpinan Perguruan Kapak Ganda, Cermin Maut.

“Baiknya kita matangkan saja rencana untuk menyerbu Air Jatuh itu,” ucap seorang dari mereka yang tampak sedang memain-mainkan sejenis senjata yang merupakan alat untuk menuai padi. Sejenis sabit besar. Ia memutar-mutarkan senjata itu ke sana-ke mari. Beberapa pelayan yang berdiri di pinggir ruangan tampak ngeri, takut-takut kepala mereka menjadi sasaran dari sabit tersebut. Tapi tampaknya Sabit Kematian tak ambil pusing. Kadang malah ia sengaja memutar sabitnya satu dua jari di atas kepala beberapa orang pelayan. Sudah satu orang yang semaput dan kencing di celana saking takutnya.

“Aku setuju..,” sahut sebuah suara lain. Seorang dari mereka. Seorang yang tampak sedang menimang-nimang kukunya yang semakin kuning gelap warnanya. Warna yang menunjukkan tingkat ganas racun yang terdapat dalam kuku-kuku tangan tersebut.

“Baik jika begitu,” jawab Cermin Maut kemudian, “kita hubungi anak-murid dari dua kota lainnya agar mereka dapat segera bersiap-siap.”

Seorang dari murid mereka yang ikut rapat tersebut segera mengambil sejumlah perkamen kosong untuk ditulisi. Cermin Maut sebagai pimpinan yang mengurusi hal-hal kepemimpinan, tidak seperti dua orang saudara seperguruannya yang malas untuk hal selain pertarungan, mulai menuliskan pesan kepada pimpinan perguruan cabang Perguruan Kapak Ganda yang berada di Kota Lembah Batu Langit dan Kota Pinggiran Sungai Merah. Telah terdapat tiga perguruan besar di tiga kota, termasuk di Kota Paparan Karang Utara. Tiga perguruan di tiga kota yang terletak mengapit Kota Air Jatuh. Tempat perguruan lawan mereka berada, Perguruan Atas Angin.

Segera setelah surat itu selesai dituliskan para murid yang bertugas membawa pesan itu segera berangkat ke kota tujuannya masing-masing. Sementara murid-murid Perguruan Kapak Ganda di Kota Paparan Karang Utara tampak bersiap-siap untuk mengumpulkan senjata dan perlengkapan untuk menyerang Perguruan Atas Angin di Air Jatuh.


Pertempuran antara dua klan Orang-orang Dataran Tinggi di Skotlandia kerap terjadi. Antara yang jahat dan yang baik. Antara orang-orang petani yang hanya mempertahankan tanah pertanian mereka dan orang-orang yang gemar melakukan ekspansi, orang-orang yang malas untuk bercocok tanam dan lebih gemar mengucurkan darah untuk mengisi perut mereka.

Pertempuran kali ini pun amat serunya. Klan McLeod yang menjadi sasaran dari klan Darkyzp, suatu klan ekspansionis dan brutal. Sudah berpuluh-puluh tahun klan Darkyzp berusaha menundukkan klan McLeod tapi tak berhasil. Bukan hanya masalah perebutan wilayah dan juga hasil pertanian, akan tetapi lebih cenderung pada masalah politis. Jika saja klan Darkyzp dapat mengalahkan klan McLeod maka semangat klan-klan lain untuk melawan akan menjadi runtuh. Klan McLeod memang terkenal dengan semangatnya yang selalu memenangkan pertempuran dan tidak agresionis.

Akan tetapi kali ini mungkin tidak seberuntung kali-kali lain. Dengan mengontak orang-orang barbar liar, klan Darkyzp telah menjanjikan orang-orang barbar atas budak-budak laki-laki dan wanita dari klan McLeod yang dikalahkan. Suatu imbalan menggiurkan bagi bangsa yang juga senang berperang itu. Walaupun tidak ada permusuhan pribadi antara orang-orang barbar liar dan klan McLeod, akan tetapi sebagai bangsa bayaran, mereka tidak pernah menampik tawaran yang berharga. Jadilah mereka sekutu dari klan Darkyzp.

“Mereka datang!!” teriak seorang anak kecil dari atas pohon di sebuah bukit.

Ucapan itu langsung disahut-sahutkan oleh rekan dewasanya yang berjarak beberapa tombak dari sana dan seterusnya. Menggaung-gaungkan teriakan-teriakan ke seluruh daerah itu. Menandakan agar semua bersiap untuk bertempur. Tua-muda, lelaki dan perempuan. Mereka semua harus berjuang, karena jika kalah tidak ada ampung bagi mereka.

Seorang masuk ke dalam sebuah gubuk, “Angus, mereka datang.”

“Hmm, benar seperti informasi yang kita terima. Berapa banyak?” tanyanya kembali.

“Tiga ratus ratus sampai lima ratus orang, setengahnya berkuda,” jawab pembawa informasi tersebut.

“Dan orang-orang barbar liar ada di antara mereka?” tanya Angus kembali.

Yang ditanya hanya mengangguk saja. Cemas tampak dalam wajahnya.

“Baiklah, tidak ada hal lain yang bisa kita lakukan. Apa boleh buat, kita harus berperang habis-habisan kali ini,” ucapnya lelah. Ya, ia telah lelah beberapa pertempuran dalam beberapa bulan ini. Perlu ada pemerintahan yang sah di Skotlandia, atau bangsa lain akan masuk dan mengalahkan semua klan yang senang satu sama lain berperang sendiri-sendiri ini.

Angus bukan pemimpin klan McLeod. Ia hanya anak dari pemimpin yang lama. Ian McLeod, yang sedang terbaring sakit sejak pertempuran yang lalu. Mau tidak mau Angus harus sedikit berkontribusi akibat posisi ayahnya. Saudaranya Joseph lebih suka berperang di garis depan ketimbang memimpin dan berpikir strategi yang sulit-sulit. “Kamu saja yang memimpin,” begitu katanya suatu saat.

Jadilah ia, Angus McLeod, pemimpin ad interim atau sementara, selama ayahnya belum sembuh.

Dengan segera mereka yang ada di sana mengangguk dan bergegas keluar. Mereka telah membicarakan strategi untuk berperang melawan klan Darkyzp kali ini. Strategi hantam kromo dan bergerilya berganti-ganti. Untuk itu tempat-tempat di bawah tanah telah dibuat agar mereka dapat sembunyi dan menyerang dengan cepat. Menjadikan desa mereka, tempat tinggal mereka sebagai medan perang sebenarnya. Tak ada jalan lain. Bangsa barbar liar amat tangguh dalam pertempuran satu lawan satu dan tempat terbuka. Panah klan Darkyzp juga amat berbahaya di lapangan. Lebih baik di desa mereka yang dilindungi oleh batu-batu dan pohon-pohon. Di sela-selanya mereka bisa bergerilya dan menyerang balik. Kondisi yang mirip dengan Padang Batu-batu.

Terompet dari tanduk pun ditiupkan. Semua siaga mengambil tempatnya masing-masing. Dari anak kecil sampai orang tua. Dari yg sehat sampai yang cacat. Semuanya bersemangat untuk berperang demi kebebasan mereka. Kebebasan untuk tetap hidup dan merdeka. Ya, mereka telah mendengar bahwa lawan-lawan bangsa barbar liar yang kalah akan dijadikan budak atau dijual. Dan mereka tidak menginginkan hal itu. Tidak ingin kalah.

Pertempuran pun bergelora. Pertempuran yang tidak seimbang. Dua kelompok besar orang-orang haus darah, klan Darkyzp dan bangsa barbar liar, lawan klan McLeod yang walaupun memiliki semangat dan kemampuan individu tinggi, tapi kalah dalam jumlah. Beberapa orang klan McLeod yang berani memancing dan rela mati pertama-tama, tampak menghadang gelombang serangan kedua kelompok haus darah tersebut. Satu persatu dari mereka mencium tanah dengan bersimbah darah, darah mereka sendiri, setelah mengajak satu dua orang lawan mereka menuju alam lain.

Waktu pun berjalan. Jumlah yang jatuh terus bertambah. Dengan adanya isyarat terompet tanduk, barisan terdepan pun berlarian, masuk ke dalam desa. Pintu gerbang pun ditutup.

“Ghrrrrrg..!!” ucap seorang pempimpin barbar liar, yang dikepalanya mengenakan tengkorak beruang.

“Cepat, jalan biarkan mereka lari!!” ucap yang lain, yang dikedua pundaknya mengenakan hiasan dua buah tengkorak bayi manusia, satu di kiri dan satu di kanan.

Gelombang penyerang pun beringsut maju. Tak terpikirkan oleh mereka adanya siasat dari klan McLeod yang menanti mereka. Dengan bekal pendobrak batang kayu, mereka memukul-mukulkan pintu gerbang. Memaksakannya untuk terbuka.

“Dukkkk!!!” gempuran pertama.

Orang-orang di belakang gerbang tersebut tampak menyusun-nyusun tombak-tombak berujung tajam yang diarahkan membentuk sudut. Sudut yang pas dengan dada kuda. Terlalu tinggi untuk dilompati akan tetapi terlalu rendah untuk dihindari.

“Dukkkk!!” gempuran kedua bergema.

Blokade tombak-tombak telah siap dipasang. Sebagian dari klan McLeod telah menyingkir. Hanya belasan yang tersisa untuk strategi ini. Pandangan penuh semangat dan kerelaan untuk mati tampak saling dilemparkan tanpa kata-kata. Kesetiaan dan penghormatan.

“Dukkkk!!! Kraakkkk!!” gempuran ketiga datang dan merupakan batas ketahanan dari pintu gerbang desa itu. Pintu pun terbuka dengan lebar.

Bagai air bah kuda-kuda para penyerang mengalir masuk. Orang-orang klan McLeod yang berjaga lansung menyerang dengan tombak dan panah untuk mengalihkan perhatian para penyerang dari blokade tombak yang dipasang.

Akibatnya telah diduga, sebagian dari mereka langsung tersungkur lengkap dengan kudanya dan menemui ajal bersamaan dengan berdebamnya tubuh mereka di atas tanah. Suatu hasil yang dinanti-nantikan oleh strategi ini untuk mengurangi jumlah musuh. Dua puluhan orang berhasil ditanahkan. Cukup untuk baik untuk blokade sekecil itu.

Di sela-sela batu dan rumah setelah masuk ke dalam desa melewati blokade pintu gerbang, para penyerang mulai membantai siapa saja yang ditemui. Sayangnya tidak banyak orang-orang klan McLeod yang ada, telah banyak dari mereka bersembunyi. Menanti untuk menyerang balik.

“Ada yang aneh,” seru seorang dari klan Darkyzp. “Klan McLeod tidak sesedikit orang-orang yang telah mati tadi.”

“Siapa yang tahu, mungkin sudah semua,” ucap rekannya.

“Tidak mungkin. Bila sudah semua, tidak baik untuk perjanjian dengan mereka,” katanya sambil melirik pada orang-orang barbar liar yang masih berkuda dan berlari kesana-kemari mencari-cari korban untuk ditangkap atau dibunuh.

Rekannya mengangguk. Lalu ia berlalu dan memerintahkan untuk mulai mencari dipelosok-pelosok desa. Dibalik-balik jerami dan sebagainya. Semua dibolak-balik, tapi hasilnya nihil. Klan McLeod yang tersisa seakan-akan hilang dari pandangan.

Beberapa orang barbar liar tampak gelisah dan marah dengan keadaan ini. Mereka mengharapkan hasil yang banyak dalam bentuk tawanan orang-orang McLeod yang kalah. Tapi apa yang mereka dapatkan. Tidak ada. Semua orang menghilang di dalam desa itu.

Suasana yang tidak nyaman itu berlangsung cukup lama, sampai beberapa orang dari mereka menjadi tidak sabar dan mulai melakukan pembakaran-pembakaran. Asap pun membumbung tinggi ke angkasa. Menghiasi hari yang cerah itu. Menorehkan kesedihan atas pembantaian yang sedang berlangsung.

Tiba-tiba, “Ceppp!! Cappp!!” sejumlah panah-panah menghambur pada tubuh-tubuh sang penyerang. Panah-panah yang datang dari arah pohon-pohon dan bukit-bukit batu di belakangnya.

“Grrrggghhh!! Di sana, di belakang desa!!” teriak seorang barbar liar. Ia yang luput dari serangan panah, tidak seperti rekannya yang telah hilang nyawanya, segera ia memacu kudanya. Kawan-kawannya yang lain segera mengikuti arah perginya orang tersebut.

Di sana, di tempat yang telah dipersiapkan tampak sisa-sisa dari klan McLeod berdiri. Di sela-sela batu-batu tampak mereka bersiaga. Tua dan muda. Pria dan wanita.

Mereka menunggu datangnya musuh yang berlari dan berkuda. Menunggu dengan harap-harap cemas, menunggu sampai saat-saat terakhir, agar musuh dapat kembali dikelabui sehingga masuk perangkap.

Dan kali ini pun kembali berhasil. Musuh yang tidak menyangka bahwa di hadapan mereka terdapat parit yang cukup lebar dan dalam, yang ditutupi oleh kayu-kayu dan ranting. Mereka tertipu dengan anggota klan McLeod yang berlari melewati perangkap tersebut. Ya, orang tersebut berlari di atas tongkat-tongkat kayu yang sengaja dibuat sehingg terlihat seolah-olah tidak terdapat perangkap di sana.

Akibatnya terjatuhlan sekitar belasan penunggang kuda dan penyerang yang berjalan kaki. Mati. Beberapa patah tulangnya dan lainnya terlempari tombak dan batu dari atas parit.

Setelah parit terkuak, mudah untuk dihindari. Sisa dari penyerang masih berjumlah cukup banyak. Dan sekarang pertempuran sebenarnya berlangsung.

Anggota klan McLeod berlari-lari di sela-sela batu-batu dan pohon. Menghindar dan menyerang balik. Cukup banyak jatuh korban di antara mereka dan juga penyerang. Darah pun mengalir deras memerahkan tanah-tanah di sekitar tempat itu.

Matahari pun tak tahan dan turun dari puncak tertingginya hari itu. Ia menangis melihat banyaknya darah yang tertumpah hanya akibat ambisi sedikit orang.

Teriakan-teriakan penambah semangat masih terdengar dari kedua belah pihak. Tapi bisa dipastikan bahwa klan McLeod tidak akan memperoleh kemenangan. Walaupun musuh sudah separuhnya habis, tapi mereka masih tiga kali lebih banyak dari anggota klan McLeod yang hidup. Jumlah yang tidak seimbang, ditambah dengan masih adanya kuda dan kekejaman mereka. Lain halnya dengan klan McLeod yang hanya mempertahankan hidup, walaupun mereka bersemangat tinggi, tapi lambat-laun dengan melihat semakin banyaknya keluarga mereka yang mati, semakin lemahlah semangat mereka. Tapi ada satu hal yang harus dihormati, bahwa mereka tidak rela ditangkap dan dijadikan budak. Mereka berjuang sampai titik darah penghabisan.

Hari itu menjadi hari yang paling gelap dalam sejarah klan McLeod.


Pemuda bertubuh subur dan besar itu akhirnya membuka matanya. Mula-mula apa yang tampak tidaklah terlalu jelas. Semua kabur dan berkabut. Lambat laun mulai jelas. Dan ia melihat kurang lebih beberapa orang yang sedang mengamati atau berada di sekelilingnya. Tiga-empat orang. Orang-orang yang berbeda satu sama lain.

Hal lain yang segera menggugahnya adalah rasa aneh dalam kepalanya, berdenyut-denyut tak beraturan. Berdenyut-denyut seakan-akan memberitahukan ada sesuatu yang baru, sesuatu yang kontak langsung dengan kepalanya. Perlahan-lahan ia memegangi kepalanya.

“Lihat, ia mulai merasakan ‘kontak’ di antara kita,” ucap seorang yang berkulit hitam legam dan berambut keriting.

“Hmmm,” hanya itu jawab temannya yang berkulit kemerahan di sebelahnya.

Seorang berkulit putih pucat tampak mendatanginya, memperhatikannya dari dekat. Lalu ia mengulurkan tangannya dan membantunya bangun. Jauh beberapa kaki darinya tampak seorang wanita yang melihatnya dan tersenyum. Entah apa maksud dari senyum itu.

“Well, what is your name?” tanya orang yang tadi membantunya bangun dalam suatu bahasa yang tidak dimengertinya.

“Apa? Apa maksudmu?” tanya pemuda itu. Ia tidak mengerti apa yang diucapkan oleh orang yang berada di hadapannya tersebut.

“I think he speaks with a local language here. Is there someone knows that language?” tanya orang itu kepada rekan-rekannya.

“I try with other language,” sahut seorang dari mereka. “Kumpel, verstehst du, was ich sage? Kannst du Deutsch sprechen?”

Kembali pemuda bertubuh subur dan besar itu menggeleng, menunjukkan bahwa ia tidak mengerti juga apa yang diucapkan oleh orang tersebut.

Sekarang giliran orang yang berkulit merah itu, “Watashi wa Misun desu. Anata wa donata desu ka?” Ia sambil berkata itu menunjuk pada dirinya sendiri dan kemudian pada pemuda itu.

Pemuda itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya lagi.

Lalu mereka bertiga memandang kepada orang keempat yang tampak sedang memperhatikan kejadian itu. Ia, sang wanita, lalu beranjak mendekati.

“Saya, Shia Siaw Liong. Dia Dhoruba, Misun dan Angus McLeod,” katanya sambil menunjuk pada dirinya sendiri, orang hitam berambut keriting, orang berkulit merah dan orang berkulit pucat tadi.

“Saya Gentong,” jawab pemuda itu. Kali ini ia mengerti apa yang diucapkan oleh wanita itu, walaupun bagi kupingnya masih kedengaran kaku untuk seorang pembicara menggunakan bahasa dari Tlatah Tengah ini.

Lalu dengan perlahan, gadis itu menjelaskan apa yang terjadi pada Gentong. Perlahan agar pemuda itu tidak kaget mengenai apa yang menantinya sekarang, setelah ia menjadi salah seorang dari mereka-yang-tak-bisa-mati. Penjelasan yang tenang dan pelan, serta dibawa oleh suara yang merdu itu, tak urung membuat warna wajah sang pemuda sempat berubah-ubah. Pucat, merah, lalu kembali pucat. Dan akhirnya tampak tegan.

“Sekarang, kami biarkan dulu engkau sendiri, perlahan-lahan untuk mencerna apa yang baru saja aku ceritakan,” ucap wanita itu. Lalu ia memberi isyarat kepada ketiga rekannya untuk sedikit menjauh, memberikan kesempatan kepada pemuda yang baru saja “hidup kembali” itu waktu untuk merenung dan berpikir.

Gentong, sang pemuda, tampak sekali ‘shock’ dengan berita yang didengarnya. Ia telah mati dan dikuburkan. Dan sekarang bangkit lagi sebagai seorang mereka-yang-tak-bisa-mati. Suatu hal yang baru kali ini didengarnya. Tanpa terasa ia meraba dadanya, mencari-cari lubang tempat sabit yang digunakan Sabit Kematian keluar membawa darah dan dagingnya setelah terlebih dahulu masuk dari punggungnya. Suatu bacokan yang mengantarnya ke liang kubur.


Kesibukan-kesibukan tampak terlihat di suatu bagian dari Kota Lembah Batu Langit, Kota Pinggiran Sungai Merah dan Kota Paparan Karang Utara, tepatnya di bagian di mana cabang-cabang perguruan Kapak Ganda berada. Perlengkapan dan bahan-bahan tampak dikumpulkan di atas kereta-kereta yang ditarik oleh kuda. Bahan-bahan berupa makanan dan senjata. Perlengkapan seperti untuk melakukan perang. Ya, perang! Memang demikian halnya. Ketiga cabang perguruan silat tersebut, yang pusatnya berada di Kota Paparan Karang Utara memang sedang mengadakan persiapan untuk melakukan penyerbuan ke perguruan silat lawan mereka, Perguruan Atas Angin. Terdapat dendam kesumat antara kedua perguruan silat tersebut. Suatu hutang lama yang disebabkan oleh pertikaian sepele antar keduanya.

Kali terakhir Perguruan Atas Angin telah membantai habis Perguruan Kapak Ganda, yang saat itu baru memiliki satu cabang, yaitu di Kota Paparan Karang Utara. Hal yang tidak diketahui oleh Perguruan Atas Angin pada saat itu adalah kawan-kawan atau saudara perguruan ketua yang lama baru saja datang, selepas pembantaian terjadi. Mereka-mereka ini kemudian membangun kembali perguruan tersebut. Membuka cabang di dua kota lainnya, mengumpulkan banyak anak dan murid untuk membalaskan dendam rekan mereka yang dibunuh. Rekan mereka itu bernama Naga Geni, ketua Perguruan Kapak Ganda, yang dibunuh oleh Ki Jagad Hitam, yang saat itu adalah ketua Perguruan Atas Angin.

Sebenarnya ketua Perguruan Atas Angin saat ini, yaitu Tapak Kelam, sudah mendengar akan adanya desas-desus penyerbuan ke perguruan silatnya oleh perguruan lawan, tapi seperti biasa, orang yang merasa kuat meremehkan apa-apa yang dianggapnya tidak memiliki kekuatan apa-apa.

Jadilah serangan Perguruan Kapak Ganda berhasil dengan baik. Mereka mengepung Perguruan Atas Angin dari tiga penjuru. Penjuru ke empat tidak perlu karena berbukit-bukit terjal dan tidak mungkin dilalui. Perguruan Atas Angin bagaikan mangsa yang tersudut di pinggir ruangan. Dari tiga arah telah datang penyerbu dan di belakangnya terdapat tembok tinggi yang menghalanginya untuk kabur. Tembok tinggi berupa bukit-bukit tinggi dihiasi air-air terjun. Air Jatuh.


“Jadi itu kisahmu, Gentong?” tanya Shia Siaw Liong pada pemuda subur dan besar itu, yang diiyakan dengan anggukan kepala oleh sang pemuda.

“Baiklah jika begitu, kami akan menolongmu membalaskan dendam guru dan saudara-saudaramu,” ucap gadis itu lagi, “dan setelah itu engkau membantu kami menuntaskan misi kami.”

Kembali pemuda mengangguk.

Sementara itu tiga orang yang lain tampak agak tegang. Ya, pertempuran. Mereka bukannya anti pertempuran. Pertempuran bisa dikatakan adalah sesuat yang telah ada dalam darah mereka. Mengalir bersama sari-sari makanan dan udara yang dibawa darah. Mengisi sela-sela kecil nadi dan urat dalam tubuh mereka. Menjadi mereka-yang-tak-bisa-mati adalah suatu keadaan yang senantiasa mendekatkan diri mereka pada pertentangan, bahkan pertempuran. Setidaknya pertentangan terhadap orang-orang yang menganggap mereka ini, orang-orang yang tak bisa mati, sebagai orang-orang yang tidak normal dan harus diajuhi. Harus disingkirkan.

Misun hanya menggumam pelan. Tandanya ia tidak keberatan. Dhoruba hanya tersenyum kecil. Sedangkan Angus McLeod tampak menghela napas, tapi tidak menyatakan keberatannya. Setelah melihat ini semua kemudian Shia Siaw Lion berkata, “Baiklah. Jika demikian telah diputuskan. Besok, pagi-pagi sekali, kita berangkat ke Kota Paparan Karang Utara. Kudengar-dengar di sanalah pusat Perguruan Kapak Ganda, tempat di mana orang yang membunuh guru dan saudara-saudara seperguruan Gentong berada.”

Setelah itu kelimanya kemudian bersiap-siap untuk beristirahat. Misun masih mendekati Gentong, menanyakan senjata apa yang akan digunakannnya nanti, saat menyerang Perguruan Kapak Ganda. Gentong hanya menggelengkan kepala, menyatakan bahwa ia tidak pernah sebelumnya menggunakan senjata. Hanya kepalan tangan dan kaki yang biasa digunakan.

“Tidak efektif untuk menghadapi banyak anak-murid perguruan itu, jika dengan tangan kosong. Lebih baik engkau kuajari menggunakan kapak dan panah,” usulnya.

“Baik, terima kasih!” ucap Gentong. Ya, ia sadar. Ia kemudian teringat pada pertempuran terakhir yang membawanya ‘mati’, bahwa dalam pertempuran, bukan pertandingan satu lawan satu, senjata memegang peranan penting. Dapat menghemat tenaga untuk mengurangi lawan dengan cepat.

“Dalam perjalanan ke sana, kira-kira kita butuh tiga hari, pasti engkau sudah bisa,” kata Misun meyakinkan.

Gentong mengangguk mengiyakan.

Atas isyarat dari Shia Siaw Liong, api pun dimatikan dan mereka pun mulai tidur, untuk besok pagi-pagi sekali bangun dan pergi ke Kota Paparan Karang Utara.


“Paman Wananggo.., sudah pagi!” ucap Lantang sambil menggugah-gugah bahu seorang tua yang sedang tertidur meringkuk dengan enaknya. Dengkurnya yang teratur menunjukkan betapa pulas orang tua itu tidur.

“Eh.., ah.., apa? Sudah pagi?” jawabnya gelagapan. Tampak sebagian ‘roh’-nya masih ada di alam mimpi.

“Iya, paman, lihat ke sana!” ucap Xyra sambil menunjuk ke arah timur. Langit sudah agak mulai terang di sana. Warna kuning keemasan dan sedikit merah agak mulai terlihat di ufuk tersebut.

“Cepat..!!” ucap orang tua itu. “Saat-saat ini biasanya penjagaan tidak ada. Orang-orang itu lengah pada saat-saat pagi seperti ini.” Langsung segar orang tua itu. Bangkit dan bergeras membereskan perlengkapan tidur mereka yang tidak seberapa. Ia lalu mengajak muda-mudi yang menyertainya itu pergi ke suatu arah. Ke arah di mana air menghilang di pandangan mata, jatuh menjadi air terjun.

Di pinggir sungai yang menghilang ke bawah itu Wananggo tampak berbaring melihat-lihat, ia tidak mau sosoknya terlihat dari bawah oleh para penjaga di sana. Matanya mncari-cari ke sana dan kemari, tapi tak dilihatnya seorang pun.

“Aneh!!” gumamnya. Dia mengharapkan melihat satu dua orang penjaga yang pergi meninggalkan tempatnya untuk sarapan, agar ia yakin bahwa mereka benar-benar pergi dan tidak sembunyi.

“Tapi apa boleh buat, kita coba saja turun sekarang,” ucapnya kepada kedua orang di belakangnya itu.

Dengan perlahan-lahan ketiganya mencari-cari pijakan di pinggir air terjun, di antara batu-batu yang menonjol, untuk turun ke bawah. Turun ke arah curahan air terjun itu diterima oleh sebuah danau kecil yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah pulau mungil.

“Hati-hati,” ucap orang tua itu kepada muda-mudi tersebut. Ia sendiri kadang-kadang kesulitan pula memperoleh pijakan. Namun tak lama biasanya, setelah biasa mudah mereka melanjutkan satu langkah, ke langkah berikutnya.

“Tong!! Tong!!! Tong!!!” tiba-tiba terdengar gaung tabung logam besar dan berat yang dipukul berulang-ulang.

“Wah, kita ketahuan…!!” ucap orang tua itu. Segera ia menggapai kedua muda-mudi itu untuk mengikutinya bergeser masuk ke dalam rongga di belakan air terjun. Di sana ternyata terdapat cukup ruang untuk berlindung. Tertutupi oleh tirai air yang mengalir turun, membuahkan pemandangan yang aneh dan indah.

Sambil sesekali Wananggo melihat dari sudut tirai air itu, di mana ia menyaksikan beberapa orang dari pulau di tengah danau itu muncul dan menyeberangi pulau melalui jembatan kecil yang ada. Mereka tampak dipanggil oleh adanya isyarat itu menuju pusat perguruan.

“Aneh?” ucap orang tua itu lagi, “tadi kupikir kita ketahuan menyusup. Ternyata mereka ada masalah rupanya. Hehehehe, ini malah untung buat kita.”

Kedua anak muda itu hanya memandangnya tanpa suara.

Setelah cukup memperhatikan dan tidak lagi terlihat orang, Wananggo pun mengisyaratkan agar mereka melanjutkan perjalanan menuruni tebing di pinggir air terjun itu. Keluar dari ruang di belakang tirai air dan kembali merambah ke bawah. Perlahan-lahan dan lebih tenang karena diyakini bahwa para penjaga telah pergi semua.

Perlahan-lahan melewati berbagai jenis dinding dan lapisan tanah yang kadang telah berlumut subur atas percikan air dari air terjun, akhirnya sampailah mereka di bawah, di suatu ruang sempit berbatu di kaki air terjun. Di depan mereka membentang danau kecil yang ditengahnya terdapat sebuah pulau. Pulau yang mungil dengan sebuah bangunan terbuat dari batu berwarna kelabu. Di sekitar bangunan tersebut tumbuh pohon-pohon buah dan bunga berwarna-warni.

Wananggo pun memberi isyarat agar mereka mengikutinya, menyelam dan berenang menuju pulau yang terlihat tersebut. Keduanya mengangguk mengiyakan. Ketiganya pun kemudian telah berada di dalam air yang jernih dan segar itu, berenang menyelam menghampiri pulau yang menjadi tujuan mereka.


Api tampak mengepul di belakang kelima orang yang berjalan dengan tenang tersebut. Di atas pintu gerbang suatu perguruan silat yang baru saja mereka tinggalkan itu terpampang sebuah nama, “Perguruan Kapak Ganda”, yang papannya sudah miring, bekas digempur. Di belakang mereka tampak belasan orang terkapar tanpa napas dan denyut nadi. Mati.

Dhoruba tampak senang dengan penyerbuan itu. Senjatanya berupa parang yang membentuk sudut tumpul, mirip bumerang, tampak merah oleh darah. Misun seperti biasa tampak tanpa ekspresi, akan tetapi kapaknya yang juga berwarna merah dalam genggamannya telah bicara. Angus tampak agak menyesalkan peristiwa itu. Shia Siaw Liong yang ternyata bersenjatan sepasang pedang, yang diletakkan di punggungnya, tampak dingin.

Jika ada yang sedih dan bersemangat, itulah Gentong. Pemuda itu merasa sedikit puas karena ia telah berhasil membalaskan sebagian kematian dari guru dan saudara-saudara perguruannya dari Rimba dan Gunung Hijau. Tapi itu belum semua. Dedengkot dari kejadian dulu belum mendapatkan hukumannya. Ada tiga orang yang dicarinya, Mayat Pucat, Cermin Maut dan Sabit Kematian. Ketiga orang inilah yang memimpin penyerbuat ke tempatnya, membunuh guru dan saudara-saudara seperguruannya.

Sayangnya mereka tidak ada di tempat. Dari informasi yang bisa diberikan anggot perguruan silat tersebut, pada saat-saat akhir hidupnya, bahwa ketiga guru utama mereka sedang memimpin penyerbuan ke Perguruan Atas Angin yang terletak di kota Air jatuh. Mendengar itu, kelima orang itu segera berangkat pergi. Menuju ke arah yang sama untuk mencari ketiga orang guru tersebut.

“Mereka sudah pergi kemarin,” ucap Misun, “kita tertinggal satu hari.”

“Belum tentu,” jawah Shia Siaw Liong, “perjalanan memang memakan waktu satu hari, tapi bisa saja penyerbuan itu tidak berhasil, sehingga mereka tidak langsung kembali. Menang atau kalah bisa berakibat lain. Masih ada kemungkinan kita bisa berjumpa dengan mereka di sana.”

“Ada berapa jalan menuju ke Kota Air Jatuh dari kota ini?” tanya Dhoruba kemudian.

“Tak banyak,” jawab Gentong, “hanya dua, yang satu adalah jalan yang juga tadi kita lewati yang berlanjut memutar dan yang lain yang langsung menuju ke sana.”

“Mana yang terdekat?” tanya Shia Siaw Liong.

“Yang kedua,” jawab Gentong.

“Baik, kita ambil yang kedua,” jawab Shia Siaw Liong memutuskan. “Semoga tidak berselisih jalan dengan mereka.”

Yang lain hanya mengangguk dan kemudian berbegas memacu langkah mereka, berjalan cepat.


“Mari.., mari, cepat-cepat,” ucap orang tua itu kepada dua muda-mudi di belakangnya. Ketiganya bergegas berjalan mengendap-endap. Mereka berjalan memutar melewati beberapa pohon yang tumbuh di tepi pulau yang baru saja mereka capai melalui air itu. Baju mereka masih basah, tapi tidak terlalu mereka perhatikan.

Bagi Xyra yang Undinen, basah tidak merupakan masalah. Ia adalah roh air, makhluk yang memang dalam hidupnya, jika tidak di dalam air, memanfaatkan sifat-sifat air. Dingin adalah temannya dan juga kelembaban. Bagi kedua orang yang lain, kebiasaan mereka hidup dalam lingkungan yang dekat dengan air membuat mereka memiliki ketahanan lebih terhadap keadaan baju yang basah.

Berhati-hati mereka melihat ke kiri dan ke kanan, menghindari bila ada penjaga yang mungkin ada di tempat itu. Setelah memutari bangunan yang terbuat dari batu berwarna kelabu itu, di belakangnya terlihat terdapat sebuah pulau lain, yang tidak terlihat dari arah mereka tadi datang. Sebuah pulau yang lebih kecil, yang dihubungkan dengan pulau mereka sekarang oleh sebuah jembatan kecil. Jembatan berukiran unik berwarna hitam yang melengkung cembung di atas air danau yang memisahkan kedua pulau itu.

“Hei, ada sebuah pula lagi di sana!” ucap Xyra heran. Ia heran karena dari atas sana, dari air terjun yang baru mereka turuni itu, tidak terlihat adanya pulau lain kecuali pulau tempat mereka berada sekarang. Bagaimana ini bisa dijelaskan, di sini ternyata terdapat pulau lain.

“Bukan hanya satu, masih ada dua lagi,” ucap Wananggo tersenyum. Ya, ia dulu juga begitu, takjub bahwa dari atas sana tidak terlihat jelas berapa jumlah pulau yang ada. Setelah di bawah, baru ditemuinya ternyata ada sampai tiga pulau lain di belakang pulau pertama yang paling besar. Pulau-pulau yang saling dihubungkan oleh jembatan unik cembung berwarna hitam tersebut.

“Pernah ada cerita, jauh sebelum tempat ini dikuasai oleh Perguruan Atas Angin, bahwa tempat ini dibangun oleh seorang yang amat ahli dalam bangunan, geometri dan ilusi. Dengan cara inilah ia membangun pulau-pulau di air jatuh ini sehingga dari jauh terlihat seperti satu. Setelah didekati ternyata ada dua. Semakin didekati ada tiga dan pada akhirnya empat. Mirip dengan prinsip satu bagian ilmu yang disebut fraktal,” jelas Wananggo.

“Fraktal?” tanya Lantang.

“Ya. Jika ada waktu, sehabis kita pergi dari sini, bisa aku bawa kalian ke seorang pengujar yang ahli akan hal itu. Dengar-dengar ia ada hubungannya dengan perancang pulau di tengah danau ini,” lanjutnya.

“Baik,” ucap kedua muda-mudi tersebut hampir bersamaan.

“Sekarang kita harus menyeberangi jembatan itu,” ucapnya.

Berbegas mereka menyeberangi jembatan tersebut setelah memeriksa bahwa tiada perangkap dan juga tiada penjaga yang menghalangi.

Sekarang mereka telah ada di pulau kedua. Pulau yang ukurannya lebih kecil dari pulau pertama, akan tetapi dengan susunan yang hampir sama. Bangunan batu dengan warna kelabu yang sama dan pohon-pohon buah serta tumbuhan bunga warna-warni yang mengelilinginya.

“Kita kitari seperti cara yang tadi,” bisik Wananggo.

Yang diajak bicara mengangguk dan mereka pun berjalan mengitari, melakukan hal yang sama dan tiba di bagian belakangnya. Menemukan pemandangan yang sama dengan sebelumnya, akan tetapi dengan skala yang lebih kecil dari sebelumnya.

“Masih ingat tempat tadi? Apa yang berbeda?” tanya Wananggo.

Kedua muda-mudi itu terdiam, lalu Lantang menjawab, “Sama persis, hanya…”

“Ukurannya lebih mungil!” selak Xyra.

“Ya, benar. Lebih mungil,” tegas Lantang.

“Betul, ini diatur sedemikian rupa, sehingga orang yang tidak waspada akan lupa dan tersesat. Padahal ada perbedaannya, yaitu ukuran yang mengecil,” jelas Wananggo.

“Sampai berapa kali kita harus menyeberang?” tanya Xyra kemudian.

“Jumlah pulau yang sebenarnya aku tidak tahu,” jawab Wananggo, “tapi kita butuhkan hanya empat. Maksudnya aku hanya pernah tiga kali menyeberang sampai pulau keempat. Dan di sanalah aku temukan pohon yang kita cari.”

“Mengapa ada hanya di pulau keempat? Bukannya bila benar teori fraktal itu, seharusnya ada di setiap pulau?” tanya Xyra kemudian.

“Bila orang dapat merancang semua tumbuhan dan makhluk hidupnya, ya jawabnya. Tapi orang hanya dapat merancang letak benda-benda dan bangunan, tapi tidak makhluk hidup yang ada di sana,” jawab Wananggo sambil tersenyum. Lalu lanjutnya, “dan kebetulan di pulau keempat inilah dulu kala tinggal seorang petapa yang ahli obat-obatan. Ia memiliki kebun tanaman-tanaman berkhasiat. Yang kita lakukan nanti adalah ‘meminjam’ salah satu buah tanamannya.”

“Mencuri..,” ucap Xyra agak tak senang.

“Ya, mencuri. Jika sang petapa itu masih hidup, kita bisa minta. Tapi ia sudah tiada dan meminta pada Perguruan Atas Angin…, lebih baik begini,” ucap Wananggo.

“Bagiku tidak apa-apa mencuri, asal tidak bilang bukan mencuri,” kata Xyra polos.

Lantang dan Wananggo tersenyum mendengar itu.

Akhirnya sampailah mereka di atas pulau keempat. Dan kali ini Wananggo tidak mengajak mereka untuk memutari bangunan batu berwarna kelabu itu, melainkan memutar ke arah yang berlawanan untuk mencari pintu masuk.


Tapak Kelam benar-benar marah dan putus asa. Empat pilar yang diharapkannya telah tersungkur bersimbah darah. Anak muridnya telah habis dibunuh. Tinggal dirinya yang masih berdiri dengan sedikit luka-luka dengan tenaga yang hampir habis. Musuh-musuh yang datang ternyata tidak bisa dianggap remeh. Mereka telah melakukan strategi sedemikian rupa, sehingga berhasil masuk dengan cepat dan mengalahkan penjagaan di setiap lapisan. Benar-benar hari akhir bagi perguruan ini.

Di hadapannya tampak tiga orang senyam-senyum. Tiga orang yang mengerikan, karena dari gayanya ia telah tahu siapa mereka. Tiga orang pimpinan dari Perguruan Kapak Ganda. Rekan-rekan seperguruan Naga Geni yang dulu dibunuh oleh gurunya Ki Jagad Hitam.

“Mengecewakan sekali!! Jauh-jauh diserang, ternyata Jagad Hitam sudah berkalang tanah,” ucap seorang perempuan dengan suara merdu yang melengking.

“Ya, betul!! Segitu takunya sampai mati lebih dulu, hehehehe,” tambah seorang dengan mukanya yang pucat, rambut kusut dan kuku-kuku tangan panjang kuning menghitam.

“Sudah, sudah.., tidak usah kecewa. Di sini masih ada muridnya yang bisa kita apa-apakan,” lanjut orang terakhir.

Merinding Tapak Kelam atas ucapan-ucapan mereka itu. Mungkin mati lebih baik bagi dirinya daripada terjatuh ke tangan ketiga orang itu. Ia tidak tahu apa rencana mereka selanjutnya terhadap dirinya. Berpikir itu ia segera mengayunkan tangannya membentuk pukulan untuk dihujamkan ke dalam lambungnya. Serangan bunuh diri dari Pukulan Perusak Perut, ilmu ampuh warisan gurunya.

“Eh, nanti dulu, cah bagus. Tidak segampang itu mati..,” ucap sang wanita lawannya yang dengan sejata cermin yang dibawanya memantulkan sesuatu yang diikat dengan selendang sutra halus yang lemas dan panjang, melesat melibat tangan Tapak Kelam, mencegahnya memuntahkan pukulan pada lambungnya untuk membunuh diri.

“Bagus, Cermin Maut!!” sahut rekannya yang segera melayang mendekat dan menotok Tapak Kelam di beberapa tempat sehingga orang itu tak dapat lagi bergerak dan hanya berdiri kaku di hadapan ketiga lawannya itu.

“Sudah, kalau mau bunuh, bunuh saja!!” ucap Tapak Kelam lemas. Lebih baik mati pikirnya daripada jadi mainan ketiga orang ini.

“Hehehe, tidak semudah itu,” ucap seorang yang dipanggil Mayat Pucat oleh rekannya. Dari tampangnya yang pucat dan kuku-kukunya yang panjang dan kuning kehitaman, sudah dapat dikaitkan mengapa ia menggunakan julukan itu.

“Sekarang katakan di mana kitab-kitab tersebut!” ucapnya kemudian.

“Kitab-kitab apa?” jawab Tapak Kelam bingung.

“Kitab-kitab yang ada di Air Jatuh, yang tersimpan di bawah prasasti!” serang Sabit Kematian tak sabar.

“Sudah dibawa oleh seseorang lama sekali dulu. Ki Makam namanya,” jawab Tapak Kelam. Lalu ia menceritakan jalannya peristiwa yang dulu kala itu terjadi, saat Ki Jagad Hitam masih hidup dan dirinya masih muda. Saat itu ia masih menjadi salah satu dari enam belas orang Lingkaran Dalam.

“Tak mungkin,” jawab Cermin Maut. “Kami sudah mengikuti petunjuk yang ada. Bahkan sampai ke Rimba dan Gunung Hijau,” tambahnya.

“Rimba dan Gunung Hijau di timur? Ada apa di sana?” tanya Tapak Kelam tidak mengerti.

“Begitulah petunjuk yang kami dapatkan dari prasasti yang kami curi?” jawab Sabit Kematian.

“Curi? Jangan bercanda. Prasasti itu masih ada di sana. Di Air Jatuh,” ucap Tapak Kelam semakin bingung.

“Itu palsu,” terkikik genit Cermin Maut. Senang ia melihat lawannya itu bingung.

Ketiganya kemudian terkekeh-kekeh, senang mereka melihat ketidaktahuan dari Tapak Kelam tentang apa yang sebenarnya terjadi. Lalu mereka menceritakan sedikit tentang penyerbuan mereka ke timur, ke Rimba dan Gunung Hijau. Juga tentang kitab-kitab yang sedikit ditemukan mereka, tapi tidak banyak berarti karena hanya berisikan cara-cara pengobatan dan latihan dasar kuda-kuda saja. Bidang-bidang yang tidak menarik bagi mereka. Ilmu-ilmu tinggi dan menggiriskan, itulah yang mereka cari.

“Kita bawa saja dia ke Air Jatuh, kita periksa sekali lagi di sana!” ucap Sabit Kematian.

Kedua rekannya mengangguk. Lalu Mayat Pucat menyambar Tapak Kelam dengan entengnya dan membawanya berlari cepat, menyusul kedua rekannya yang telah pergi terlebih dahulu. Sementara itu di luaran sana masih terdengar sisa-sisa murid-murid Perguruan Atas Angin yang meregang nyawa. Sisa-sisa terakhir yang dicabut kehidupannya oleh murid-murid Perguruan Kapak Ganda. Tak tersisa. Habis.

Sorak-sorai para pemenang tampak berkumandang di udara. Bergembira layaknya seorang pemenang. Kemenangan atas tumpahnya darah lawan. Kebuasan melebihi binatang liar. Memangsa tapi tidak untuk dimakan, hanya untuk kepuasan akan kekuasaan.


“Itu di sana!” ucap Misun sambil menunjuk asap kehitaman yang membumbung tinggi di udara. Kebakaran. Umumnya hanya kebakaran yang dapat menyebabkan asap demikian pekat dan gelap. Lima orang itu berbegas menuju ke suatu tempat di mana sumber asap itu berasal. Jauh sebelumnya, di kiri-kanan jalan, telah mereka lihat banyak sisa-sisa pertempuran. Rumah-rumah yang rusak, kereta kuda terbalik, mayat dan lain-lain. Hal-hal yang mungkin timbul akibat perang.

“Ya, benar. Kelihatannya sepenanak nasi lagi, sampailah kita di sana,” ucap Gentong.

Yang lain hanya mengangguk dan lalu mempercepat langkah masing-masing. Sebagai mereka-yang-tak-bisa mati, orang-orang tersebut perlu pula asupan tenaga dan juga istrihat. Jika tidak mereka akan menjadi terlalu lelah dan tidak dapat berbuat apa-apa, walaupun tidak dapat mati tentunya.

“Misun, benarkan kita itu tidak dapat mati? Bagaimanapun juga luka kita?” tanya Gentong suatu saat. Baginya keadaan dirinya yang baru ini masih diselimuti banyak misteri. Ia perlu mencari tahu.

Misun tidak langsung menjawab. Ia tampak berpikir apa yang sebaiknya dijelaskan. Lalu katanya, “sebenarnya tidak juga. Orang dapat dipastikan mati bila leher kepada terpisah dari tubuhnya. Dan itu yang biasanya dilakukan oleh sesama mereka-yang-tak-bisa-mati atau immortal.”

“Memenggal kepala?” berkata Gentong sambil tak terasa memegang lehernya, membayangkan apabila bagian tersebut dipotong oleh sebuah senjata.

“Ya, dan itu kadang menjadi tujuan beberapa orang atau kelompok, untuk memperoleh ilmu pengetahuan, kekuatan dan menjadi yang terutama, the one,” ucap Misun lagi.

“The one?” tanya Gentong kembali.

“Ya, the one. Itu hanya istilah, yang dituliskan dalam suatu ramalan, atau lebih tepatnya mirip peraturan bagi kita, kamum immortal, bahwa pada suatu saat lewat pertarungan di antara kita, akan tinggal satu orang. The one. Orang yang memiliki pengetahuan dari lawan-lawan yang dibunuhnya,” jelas Misun.

“Bingung aku..,” ucap Gentong perlahan. Jelas tampak dalam wajahnya kebingungan.

“Begini.., jika dua orang kaum immortal bertempur dan satu berhasi dipenggal kepalanya, maka yang hidup akan menerima ’nyawa’ yang kalah dan menjadi bagian dari dirinya, juga hal-hal yang telah dipelajarinya. Ilmu pengetahuan, bela diri, dan lain-lain yang ada dalam kepalanya. Beberapa orang memanfaatkan keadaan itu untuk mencari kekuatan. Dengan semakin banyak membunuh, mereka akan semakin kuat. Begitulah,” ucap Misun sambil menuliskan sesuatu di atas tanah di depannya.

“Aku ini sudah membunuh belasan orang dari kaum kita, Dhoruba sudah puluhan. Angus dan Shia Siaw Liong bahkan sudah ratusan. Bukan jumlah yang banyak apabila dalam rentang dua ribu tahun,” katanya pendek.

“Kita sudah sampai,” ucap Dhoruba yang segera mencabut golok bumerangnya. Golok melenkung patah, mirip bumerang dangan satu sisinya berupa pegangan dan sisi lainnya bagian yang tajam. Golok tersebut dapat dilempar untuk memenggal kepala musuh.

Kedatangan kelima orang ini, yang sudah jelas-jelas terlihat membawa senjata, membuat anak-murid Perguruan Kapak Ganda yang baru saja menang perang langsung siaga. Mereka mengira bahwa kelima orang ini adalah bala bantuan untuk Perguruan Atas Angin yang baru saja mereka bantai.

“Capp!! Heggg!!” alangkah terkejutnya mereka, yang sebenarnya disebabkan oleh kelengahan mereka sendiri yang jumawa sehabis menang dalam penyerbuan ini, sehingga tidak waspada saat Dhoruba menyerang tanpa ba-bi-bu lagi. Melompat dengan kaki-kakinya yang relatif panjang bagi orang-orang, merentangkan tangannya yang memang panjang dan menyabet-nyabetkan golok bumerangnya. Segera berjatuhan beberapa orang dengan luka di bagian leher, atau leher yang hampir putus.

“Musuh datang!!!” teriak salah seorang dari mereka, berusaha mengabari rekan-rekan mereka yang masih ada di bagian dalam dari lingkungan bangunan Perguruan Atas Angin.

Segera berlompatan keluar rekan-rekan mereka yang telah siaga dengan senjata di tangan. Tapi hal tersebut tidak berarti banyak bagi Dhoruba yang segera bergerak ke sana kemari. Membacok dan menendang sana-sini. Mengucurkan darah pada anak murid Perguruan Kapak Ganda, menemani musuh-musuh mereka yang telah terlebih dahulu hilang nyawan-nyawanya.

“Hei, kenapa kalian diam saja? Ayo bantu aku!!” ucap Dhoruba sambil terus bertempur. Bajunya yang tak begitu panjang menutupi tubuhnya, sudah basah oleh darah lawan-lawannya. Hal ini membuatnya makin mengerikan. Hitam dengan baju merah berdarah, tinggi dan kurus, dan dengan golok bumerang yang menari-nari di atas urat dan darah lawannya.

Angus pun mulai turun ke dalam arena. Ia mencabut pedangnya. Pedang yang cukup panjang dan berat. Khas pedang Tlatah Skotlandia. Ia mengayunkan pedangnya sekali dua kali. Sekali tetak tak ada lawan yang dapat menahan tenaganya. Remuk dan hancur. Tenaga yang besar ditambah dengan bobot pedang yang berat.

Shia Siaw Liong bergerak cepat, mencabut kedua pedagnya dan memainkannya bak kupu-kupu menari, berseliweran ke sana-ke mari yang diikuti oleh percikan darah yang mengambang di udara. Tarian Kupu-kupu Penjemput Maut.

Misun mengangsurkan Gentong panah dan beberapa tombak. “Pakai senjata lebih efektif. Lawanmu yang sebenarnya bukan keroco-keroco ini. Simpan tenagamu,” usulnya.

Gentong menangguk mengiyakan. Ia pun menerima senjata-senjata itu dan menggunakannya sebagaimana ia diajarkan oleh Misun.

Pertempuran itu tak berlangsung lama. Dua ratusan murid-murid Perguruan Kapak Ganda telah malang melintang di atas tanah. Putus napasnya. Kelima diam seribu bahasa. Masing-masing kemudian menyimpan kembali senjatanya.

“Mana dedengkotnya? Siapa namanya? Sabit Kematian?” ucap Dhoruba sambil matanya melihat ke sana-ke mari, melucu. Kali-kali saja yang namanya Sabit Kematian telah tak sengaja terbunuh.

“Di sini,” ucap Misun yang tadi meghilang dan sekarang muncul lagi. Ia menggapai rekan-rekannya untuk mengikuti.

Di dalam suatu ruang terbuka dekat dengan bagian tengah perguruan tersebut, tampak tubuh-tubuh malang melintang.

“Lihat ini,” tunjuk Misun, “cakaran beracun. Cocok dengan gambaran Gentong terhadap salah satu tokoh utama mereka, Mayat Pucat.”

Di sana tergeletak pula empat orang yang dari busananya tampak sedikit berbeda dengan murid-murid Perguruan Atas Angin yang lain. Ya, mereka adalah Empat Pilar. Bawahan langsung dari Tapak Kelam, pempimpin Perguruan Atas Angin saat itu.

“Ini mungkin murid-murid tingkat pertama,” kata Shia Siaw Liong sambil menunjuk ke arah mayat Empat Pilar. “Bajunya berbeda dan juga otot-ototnya. Mungkin wakil-wakil ketua.”

“Kelihatannya ketuanya belum mati dan dedengkok dari Perguruan Kapak Ganda pun tidak ada di sini. Di mana mereka?” celingak-celinguk Dhoruba sambil mengayun-ayunkan golok bumerangnya yang sudah mengering merah.

“Ini ada jejak darah yang seperti terseret,” kembali Misun kembali dari suatu ruang di sebelah, menunjukkan jelas garis-garis yang dibentuk oleh darah manusia yang terluka dan diseret-seret.

“Mari kita ikut,” usul Angus kemudian.

Mereka pun pergi ke bagian belakang dari bangunan Perguruan Atas Angin yang tampak sunyi itu. Sunyi karena hampir seluruh penghuninya telah berkalang tanah, begitupula dengan hampir seluruh musuh yang menyerbunya.


“Itu, di sana pintu masuknya,” tunjuk Wananggo pada suatu rongga pada bangunan batu berwarna kelabu itu.

Rongga itu tidak terlalu besar, sehingga orang dewasa harus agak membungkukkan dirinya untuk memasukinya, agar tidak tarantuk pada langit-langit rongga tersebut. Mereka kemudian satu per satu memasuki ruangan itu, Wananggo, Lantang dan kemudian akhirnya diikuti oleh Xyra.

Ruangan dalam, di mana ketiga orang itu berada sekarang, terlihat cukup luas, lebih luas dari yang dibayangkan saat orang melihatnya dari bangunan batu berwarna kelabu dari luar sana.

“Luas juga, tidak seperti yang aku pikir,” ucap Xyra.

“Benar,” berkata Lantang membenarkan.

“Itu juga salah satu kelebihan tempat ini. Dengan permainan warna, bentuk dan komposisi tumbuh-tumbuhan serta cahaya, perancang tempat ini membuat atau ingin menimbulkan kesan, bahwa bangunan-bangunan di setiap pulau tidaklah besar ruangan di dalamnya, tidak seperti keadaan sebenarnya,” jelas Wananggo kemudian. Ia mencari-cari dengan matanya sampai pada suatu tulisan di dinding.

“Mana tanaman yang dimaksud, kebunnya pun aku tidak lihat?” tanya Xyra, karena ia hanya melihat ruangan yang hampir kosong tersebut. Hanya beberapa rak terbuat dari batu, yang dipahat dalam dinding, yang tampak di sana-sini. Rak-rak yang di langit-langitnya tampak sinar kemerah-merahan, seperti dihiasi batuan atau jamur yang dapat berpendar dalam gelap.

“Inilah kebun itu!” ucap Wananggo puas. Ia senang melihat ketidakpercayaan pada mata kedua muda-mudi yang menyertainya itu. “Aku tidak pernah bilang bahwa kebun tersebut adalah kebun seperti kebun-kebun tanaman pada umumnya. Dan aku juga tidak pernah bilang seperti apa tanamannya atau bentuk pohonnya.”

Kedua muda-mudi itu masih saja bingung dengan apa yang sedang dibicarakan oleh Wananggo.

Melihat tanda tanya besar seolah-olah terpampang di benar mereka, Wananggo pun mengajak mereka ke sudut ruangan itu. Ke suatu tempat yang difungsikan sebagai meja dan kursi, walaupun kesemuanya itu terbuat dari batu. Batu yang dipotong sedemikian rupa, sehingga dapat digunakan sebagai meja dan kursi.

Keduanya pun menurut dan duduk berhadapan dengan Wananggo, yang seperti diduga, akan menceritakan apa-apa yang membingunkan mereka tadi itu.

“Pondok ini adalah milik seorang petapa yang ahli obat-obatan, sahabat dari pemiliki tempat ini. Ia ahli segama macam tumbuhan dan khasiat-khasiat yang terkandung di dalamnya,” jelas Wananggo.

“Paman pernah bertemu dengannya?” tanya Xyra menyela.

“Pernah, sekali waktu,” jawab Wananggo sambil berpikir sedikit, “waktu itu aku sedang mencari obat untuk anak dan istriku yang sakit. Suatu penyakit yang aneh. Saat itulah aku bertemu dengan petapa itu.”

“Siapa nama petapa itu, paman?” tanya Lantang ingin tahu. Ya, ingin tahu siapa orang yang kemungkinan bisa memiliki obat untuk kesembuhannya. Menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Suatu penyakit yang juga tidak jelas asal-usulnya.

“Nama petapa itu sendiri aku tidak tahu. Yang kutahu ia sering membawa-bawa sebuah buku tempat ia menuliskan obat-obatannya. Pernah aku diberitahu judul buku tulisannya itu. Seribu Ramuan namanya,” jawab Wananggo.

“Seribu Ramuan?” ujar Xyra.

Wananggo menangguk mengiyakan.

“Mungkin itu untuk menunjukkan betapa banyaknya ramuan obat-obatan yang tertulis dalam buku itu,” tebak Lantang.

“Mungkin,” ucap Wananggo pendek.

“Paman, tapi paman belum menceritakan mana kebun dan tanam-tanaman obat yang akan kita curi. Di sini tidak ada kebun apalagi tanam-tanaman,” tanya Xyra, yang mengingatkan kembali orang tua itu akan tujuannya semula mengajak muda-mudi itu ke tempat ini.

“Oh, itu!” jawabnya tersenyum. Alih-alih menjawab, ia malah mengajukan pertanyaan, “Xyra dan Lantang, apa sebenarnya tumbuhan dan hewan? Maksudnya, apa bedanya mereka berdua dan apa hubungannya dengan makhluk hidup lain seperti kita, manusia dan Undinen?”

Kedua orang tersebut, yang satu Undinen dan yang lain manusia, tampak kaget dengan pertanyaan yang tidak diduga-duga itu. Mereka tidak dapat langsung menjawab melainkan memikirkannya dulu.

“Tumbuhan tidak bertelur atau beranak?” tebak Lantang.

“Lalu apa yang namanya buah dan umbi? Bukan itu telur dan anaknya, yang mirip dengan yang dimiliki hewan?” tanya Wananggo, menanggapi jawaban tersebut.

Lantang hanya cengengesan mendengar pertanyaan balik itu. Lalu ia kembali terdiam. Berpikir sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

“Ini paman, aku tahu,” ucap Xyra, “tumbuhan tidak berpindah tempat. Hewan selalu berpindah tempat.”

“Hampir benar,” jawab Wananggo. “Tepatnya tumbuhan tidak berpindah tempat akibat kemauannya melainkan akibat rangsangan dari lingkugan. Lain dengan hewan dan juga kita manusia dan Undinen, yang berpindah tempat akibat kemauan kita sendiri.”

“Masak ada sih tumbuhan yang bisa berpindah tempat, paman?” tanya Lantang tidak percaya.

“Sebenarnya tidak terlalu tepat apabila dikatakan mereka berpindah tempat. Lebih tepat bila dikatakan keturunannya atau bagian dari tubuhnya, yang akan menjadi tumbuhan baru, berpindah tempat,” jelas Wananggo kemudian. Lalu ia menjelaskan bahwa ada tumbuhan-tumbuhan yang memanfaatkan angin dan air untuk menyebarkan bagian tubuhnya atau keturunannya. Ada pula yang tersebar akibat adanya bencana alam seperti tanah longsor, banjir dan sebagainya. Manusia dan hewan juga berperan dalam penyebaran itu, sengaja atau tidak sengaja. Yang sengaja misalnya dengan memindahkan tanaman dan ditanam di tempat lain, sedangkan yang tidak sengaja misalnya adalah biji-biji yang tersangkut di sepatu, baju atau tidak hancur dalam lambung sehingga kembali keluar saat mereka membuang hajat besar.

“Begitulah alam ini, suatu kreasi yang mengagumkan dari Sang Pencipta,” ujar Wananggo yang menutup jawaban dari pertanyaannya itu.

“Paman, paman kembali membuat bingung. Menjelaskan suatu hal tapi hal yang pertama belum jugaa terjelaskan,” ucap Xyra kembali. “Mana tumbuhan obat untuk Lantang, yang menjadi tujuan kita semua ke tempat ini?”

Tersenyum Wananggo melihat pertanyaan yang diajukan dengan semangat oleh Xyra. Terlihat jelas kekuatiran dan kasih sayang Undinen wanita tersebut kepada Lantang.

“Sebenarnya aku sudah menjawab secara tidak langsung hal itu,” ucap Wananggo, “hanya saja belum benar-benar menjelaskan apa yang kumaksud.”

Kedua anak muda itu diam, menantikan penjelasan yang akan muncul.

Lalu Wananggo pun menjelaskan, bahwa tumbuhan dan juga hewan, tidak saja apa-apa yang diketahui oleh kedua orang muda tersebut. Banyak hewan dan tumbuhan yang berukuran jauh lebih kecil dari mereka. Bahkan ada yang tidak bisa dilihat oleh mata. Organisme mikro namanya. Ukurannya sangat kecil. Mereka-mereka ini kadang dapat membuat hewan dan tumbuhan yang lebih besar menjadi sehat atau pun sakit.

Dengan tidak percaya kedua anak muda itu menunjukkan muka yang semakin bingung dan tertarik.

“Dulu kala ada seorang pengujar yang bernama Lui Pastur (Louis Pasteur) yang menemukan bahwa bahan makanan yang dipanaskan sampai suhu tertentu, kemudian dikenal sebagai pasturisasi, dapat membuat makanan tersebut tidak cepat membusuk dan lebih sehat untuk dimakan. Hal ini karena renik-renik dari tumbuhan dan hewan yang hidup dalam bahan makanan mati karena pemanasan tersebut. Inilah yang disebut sebagai organisme mikro. Amat kecil,” jelas Wananggo.

Kedua orang yang dijelaskan hal baru itu tampak mengangguk-angguk.

“Itu sebabnya kita perlu memasak makanan yang kita makan, selain lezat, juga lebih sehat,” ucap Wananggo.

“Tapi katanya, lalapan itu juga sehat, lho!” kata Lantang. Ia mendengar hal itu dari mendiang ibu dan ayahnya.

“Benar, benar begitu. Umumnya harus dimasak adalah makanan yang mengandung atau kemungkinan besar mengandung organisme mikro yang berbahaya bagi tubuh, atau disebut juga bibit penyakit. Dan itu terutama daging. Ikan laut masih baik dimakan mentah. Umbi-umbi yang keras sebaiknya dimasaka agar mudah dicerna oleh lambung,” jelas Wananggo.

Kedua muda-mudi yang diberi penjelasan itu kembali mengangguk-angguk.

“Tapi paman, itu semua belum menjelaskan letak kebun dan tanaman yang dimaksud?” protes Xyra kemudian.

Wananggo tersenyum masih, lalu katanya, “Tenang Xyra, kebingunganmu itu juga sama dengan kebingunganku dulu, saat bertemu dengan sang petapa penulis kitab Seribu Ramuan.” Lalu ia bangkit dari tempat duduknya dan mengajak keduanya menuju ke rak-rak yang terbuat dari batu, yang di dalam ceruknya terdapat langit-langit yang langit-langitnya berpendar kemerahan. “Ini kebun yang kumaksud!” katanya sambil menunjukk rak-rak tersebut.

Di bawah sinar berpendar merah dari setiap langit-langit dalam ceruk tersebut, terhampar semacam tempat yang di atasnya diberi tanah halus berwarna coklat kehitaman dan di atasnya tumbuh tanaman-tanaman kecil dan mungil, hanya setinggi beberapa jari saja. Beberapa tampak berkilauan perak. Yang lain tampak berwarna lembut dan buram.

“Ini kebun yang dimaksud?” tanya Lantang dan Xyra hampir bersamaan. Baru kali ini mereka melihat kebun yang berukuran “mini” tersebut.

“Ya!” jawab Wananggo sambil tersenyum. Senang ia melihat ketertarikan kedua muda-mudi itu, juga keheranannya. Sama seperti yang terjadi dulu pada dirinya saat petapa, sang penanam tumbuh-tumbuhan itu, menerangkan pada dirinya.

“Mari kita ambil dan kita gunakan untuk mengobatimu, Lantang,” ucap Xyra seraya tangannya mengapai ke salah satu tanaman mini tersebut.

“Hai, hati-hati!” cegah Wananggo. “Jangan sembarangan menyentuhnya. Ada beberapa yang amat beracun, sekali sentuh dapat seorang manusia mati. Aku tidak tahu efeknya terhadap Undinen.”

Mendengar itu segera Xyra menarik tangannya kembali dan tidak jadi memetik tanaman yang menarik, yang ada dihadapannya itu.

“Paman, lalu mana yang akan digunakan sebagai obat untuk mengobati Lantang? Bukan yang tadi?” tanya Xyra kemudian.

“Bukan,” jawab Wananggo pendek. Tampak ia berpikir-pikir agak keras. “Dulu petapa tersebut pernah bilang kepadaku bahwa saat malam bulan purnama tanaman itu akan berbunga dan tak lama, dalam hitungan menit akan berbuah. Saat itulah ia harus dipetik buahnya dan juga diambil akarnya. Tapi jangan sampai mati. Jika mati, khasiatnya akan berkurang.”

“Tapi kalau kita tidak tahu tanaman yang mana…?” ucap Lantang menambahkan.

“Nah, untuk itu kita butuh kemampuan Xyra sebagai seorang Undinen,” jawab Wananggo sambil tersenyum. “Dari cerita kalian, ingatkah bila Xyra pertama kali bertemu dan tertarik kepadamu?”

Kedua orang di hadapan Wananggo mengangguk.

“Nah, tumbuhan ini juga akan mengeluarkan semacam aura yang mirip seperti yang dikeluarkan Lantang pada saat itu, dan di antara kita bertiga, hanya engkau Xyra yang dapat merasakannya,” ucap Wananggo sambil memandang dara Undinen tersebut.

Xyra mengangguk, “akan aku coba, apapun, demi kesembuhan Lantang.” Ucapannya itu diakhiri dengan nada yang pasti. Menunjukkan niatan yang teguh.

Lantang menjadi terharu mendengar hal itu. Tak terasa jemarinya menggenggam erat jejari Xyra. Hal ini pun tak luput dari perhatian Wananggo sehingga membuat wajah keduanya merona merah. Malu.

“Kita masih ada sedikit waktu. Lebih baik kita mengheningkan cipta, meditasi, agar hawa kita murni, sehingga nanti dapat dengan mudah melakukan pengobatan kepadamu, Lantang. Setelah, tentu saja Xyra mencarikan tanaman yang tepat, yang hawanya mirip dengan hawa yang engkau pancarkan,” usul Wananggo.

Keduanya mengangguk mengiyakan. Segera mereka mencari tempat di salah satu ujung ruangan, di mana di sana tidak terdapat rak-rak berupa ceruk dalam dinding itu. Hening pun menggapai mereka bertiga yang tenggelam dalam pengaturan napas dan pikiran.


“Hehehehe, bagus juga tempat ini?” kekekeh Mayat Pucat saat mereka berempat tiba di Air Jatuh. “Boleh juga bila kita pindah kemari.” Ucapannya itu dibalas oleh dengusan marah, tapi tanda daya, dari Tapak Kelam yang sedang dibawa-bawanya. Lunglai bagaikan boneka saja.

“Bisa nanti itu kita bicarakan,” ucap Cermin Maut. Mau tak mau ia mengagumi hal itu pula. Belum pernah ia menemui tempat yang indah seperti ini.

Sabit Kematian hanya diam saja. Tapi matanya tampak juga mengiyakan. Kagum akan keindahan tempat tersebut.

“Sekarang tunjukkan di mana tempat prasasti tersebut berada,” ucap Mayat Pucat sambil menggoyang-goyangkan Tapak Kelam yang baru saja dipijit uratnya dan ditotok, sehingga tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya dapat berbicara.

“Di sana, di tengah pulau. Kita harus menyeberang,” ucap Tapak Kelam sambil menggerakan dagunya, mengoyang-goyangkan ke arah pulau di tengah danau tersebut. Tangannya telah luluh lemas dikerjai oleh Mayat Pucat.

“Ayo jika begitu,” ucap Cermin Maut yang segera melayang disusul oleh kedua saudara seperguruannya.

Segera mereka berada di atas pulau pertama, di hadapan bangunan berwarna kelabu yang terbuat dari batu. Lalu Tapak Kelam mengisyaratkan untuk memutari bangunan itu sehingga sampailah di belakangnya. Di tempat di mana terdapat pemandangan yang sama dengan pemandangan di tempat sebelum mereka tiba di pulau tersebut.

“Ha? Bukannya tadi…,” ucap Sabit Kematian sedikit bingung.

Cermin Maut yang paling cerdik dari mereka segera tahu apa yang dihadapinya. “Benar-benar seni tata bangunan yang tinggi,” ucapnya. Lalu ia segera memandang kepada Tapak Kelam, “ada berapa lipat bentuk yang sama ini?”

Tapak Kelam yang tadinya berhadap tipuan akibat kesamaan geometri ini dapat membingungkan ketiganya sehingga ia dapat mencari-cari kesempatan untuk melarikan diri, tampak lemas. Dengan lunglai ia berkata, “kira-kira sepuluh. Aku hanya pernah sepuluh kali lewat dan tidak melihat belakang dari yang kesepuluh itu.”

Mengangguk-angguk Cermin Maut mendengar hal itu. Keunikan ini menambah rasa sayangnya untuk memiliki tempat ini.

“Dan di pulau keberapa prasasti itu berada?” tanyanya kemudian.

“Kelima,” jawab Tapak Kelam pendek.

“Kalau begitu mari kita segera pergi!” ucap Sabit Kematian yang segera berlari cepat menyeberang jembatan melengkung cembung berwarna hitam yang ada di hadapan mereka itu. Yang lain segera menyusulnya. Begitulah mereka berlari cepat, sampai akhirnya tiba di pulau kelima. Tak sadar mereka saat melewati pulau keempat bahwa ada tiga orang dalam bangunan di tengah pulau itu.


“Tempat yang menarik,” ucap Shia Siaw Liong saat mereka berlima tiba di Air Jatuh. Di pinggir danau, di mana di hadapan mereka terdapat sebuah pulau yang dihubungkan dengan sebuah jembatan melengkung cembung berwarna hitam.

“Menyeberang kita?” tanya Gentong karena ia tidak melihat alternatif tempat lain yang mungkin menjadi tujuan mereka.

“Ya, ini sedikit tetetasan darah yang tadi,” jawab Misun sambil mencium-cium darah tersebut. Setelah ia bertarung dengan seorang Manusia Serigala yang juga seorang dari mereka-yang-tak-bisa-mati dan berhasil memenggal kepalanya, ia mendapatkan kemampuan untuk membaui seperti halnya serigala. Kemampuan yang dulunya dimiliki oleh lawannya tersebut.

“Jika demikian, mari kita menyeberang,” ucap Dhoruba yang segera meloncat dengan kaki-kakinya yang jenjang, mendahului keempat orang rekannya, menyeberang ke arah pulau menggunakan jembatan hitam melengkung cembung tersebut.

Sesampainya di seberang segera Misun mulai lagi mencari-cari jejak dan tanda-tanda orang-orang yang baru lewat. Setelah menemukannya ia segera menggapai teman-temannya untuk mengikuti. Begitulah mereka terus berpindah dari satu pulau ke pulau lain sampai ke pulau yang keempat.

“Aneh.., di sini ada dua jejak menuju arah yang berlawanan. Jejak yang dari tadi kita telusuri dan yang baru,” ucapnya sambil berjongkok mengamati percabangan dari jejak-jejak yang ada di hadapannya.

“Kita ikuti saja yang pertama, itu yang sedari dari ruang perguruan kita ikuti,” usul Shia Siaw Liong.

“Baik jika begitu,” lalu ia berdiri dan segera mengikuti rangkaian jejak-jejak pertama tadi. Rangkaian jejak-jejak yang membawa mereka menuju pulau berikutnya. Pulau kelima.


Malam pun menjelang tiba. Hampir tanpa awan dan diterangi oleh rembulan, yang hari itu membulat sempurna, menyajikan malam yang tidak segelap biasanya.

“Mari kita mulai,” ucap Wananggo hampir berbisik, menggugah Xyra dan Lantang dari duduk semadi mereka. “Sudah hampir tengah malam saat ini. Sekarang adalah waktu yang paling tepat untuk merasakan energi dari tumbuhan yang akan digunakan untuk menyembuhkan Lantang.”

Kedua muda-mudi itu pun mengangguk dan meninggalkan posisi duduk mereka, yang tadi dalam postur Duduk Teratai, dengan lima titik menghadap ke langit. Kedua telapak tangan dan kaki, ditambah dengan ubun-ubun kepala.

“Sekarang aku dan Lantang akan berdiri dekat pintu masuk, karena itu adalah posisi yang paling jauh dari rak-rak dalam ceruk batu itu. Kami harus agak jauh agar tidak hawa kami mengganggu konsentrasimu,” jelas Wananggo pada Xyra dan juga Lantang.

“Selanjutnya, bayangkan engkau hendak mencari Lantang. Rasakan hawa yang dikeluarkannya. Telusuri isyarat yang ada, yang datang kecuali dari arah pintu masuk. Mau tak mau engkau pasti akan merasakan hawa dari Lantang. Upayakan untuk mencari hawa lain yang mirip di antara tumbuhan-tumbuhan mini tersebut,” kata Wananggo kemudian menambahkan.

Xyra, sang Undinen, mengangguk mengiyakan petunjuk itu dan mulai berkonsentrasi dengan menutup matanya dan mulai hening.

Dalam ruangan yang sudah tentu lebih gelap dari keadaan di luar, di mana hanya seberkas sinar rembulan menerobos masuk dan miring menerangi lantai seluas dua tiga telapak tangan. Putih cemerlang. Sisa dalam ruangan itu boleh dikatakan hampir gelap. Hanya pendar kemerahan tampak dari langit-langit rak-rak dalam ceruk batu yang berjajar di sisi lain dari sisi tempat pintu masuk berada.

Perlawan-lahan mulai tampak kabut tipis dari kepala Xyra. Kabut yang bersinar kebiruan dalam gelap. Mirip kilauan kunang-kunang, halus dan bersambung-sambung. Bergerak liar ke sana-kemari seperti cabang-cabang percikan api yang kemudian berubah menjadi tenang dan mulai membentuk seperti suatu lidah masih berwarna biru temaram dan bependar. Jika suasana terang, mungkin kabut tersebut tidak akan jelas terlihat seperti saat ini dalam ruang yang gelap.

Perlahan-lahan lidah cahaya bependar itu bergerak-gerak memanjang dan memendek, terlihat seperti mencari-cari seuatu. Lalu ia menipis dan bergerak menuju ke arah pintu keluar. Tepatnya menuju ke arah di mana Lantang berada.

“Arahkan ke tempat lain, jangan ke sini,” bisik Wananggo perlahan. Ia lihat bahwa Xyra telah berhasil membangkitkan indera pencarinya, untuk mencari hawa dari Lantang, dengan membayangkan pemuda itu. “Bayangkan Lantang ada di sisi lain ruangan ini,” ucap Wananggo memberi petunjuk lebih lanjut.

Lidah cahaya itu berhenti memanjang, memutar dan mencari-cari dalam arah yang berlawanan. Ia bergerak perlahan, kembali memanjang dan seperti mencium-cium pada setiap isi dari rak-rak dalam ceruk-ceruk batu. Ceruk di mana langit-langitnya masih berpendar kemerahan. Pendaran yang bercampur dengan pendaran lidah cahaya Xyra, menghasilkan nuansa warna yang indah dan mempesona dalam kegelapan ruangan itu.

Dari satu rak batu lidah cahaya itu perpindah, kadang ke rak yang sebelah atas, kadang ke rak yang sebelah bawah. Berpindah perlahan seperti memindai satu per satu, sampai akhirnya tiba pada suatu rak yang berada cukup tinggi. Ketinggian yang mendekati langit-langit ruangan itu.

Di sana lidah cahaya itu tampak berhenti. Diam seperti mematung. Cahayanya bertambah terang dan cemerlang, yang kemudian disusul oleh lidah atau kabut cahaya lembut, juga berwarna biru tembus pandang, yang perlahan merebak dari rak dihadapan nya. Kedua lidah cahaya tersebut bergumul, melingkar, saling merengkuh. Menampilkan nuansa indah pancaran foton-foton dinamik, yang lalu tiba-tiba hilang, melebur dalam kegelapan semula ruangan itu.

“Hehhhh!” tampak Xyra menarik napas panjang. Peluh tampak berjatuhan dari pelipis dahinya. Tampak banyak energi telah dikeluarkannya untuk menentukan tumbuhan obat yang tepat untuk Lantang.

Kesemuanya itu disaksikan dengan hampir menahan napas oleh Lantang dan Wananggo. Keduanya segera menandai dekat mana peristiwa itu terjadi. Rak tersebutlah yang mereka cari.

“Atuh napasmu perlahan, kembalikan peredaran hawa dalammu,” ucap Wananggo perlahan. Ia mengisyaratkan agar Lantang tidak menyentuh Xyra, agar hawa yang kacau tidak menular pada pemuda itu.

Setelah beberapa saat hening, Xyra pun membuka matanya. Tampak ada sedikit perbedaan dalam sorot matanya. Lebih bercahaya dan kemilau. Mungkin akibat kontak dengan hawa tumbuhan obat tersebut tadi.

“Bagaimana keadaanmu sekarang,” tanya Wananggo.

“Baik…, sudah baik kembali,” jawab Xyra pendek. Masih terasa pautan hawa yang tadi dialaminya. Suatu perasaan nyaman luar biasa. Suatu perasaan nyaman yang dirasakannya dengan membayangkan sedang bersama Lantang. Pemuda yang dikasihinya.

“Apakah itu tadi?” tanya Lantang yang terlihat kuatir dengan keadaan sang Undinen.

“Pautan hawa, suatu hubungan hawa antara dua entitas,” jelas Wananggo. “kecocokan dua buah hawa akan membawa pada peningkatan energi dari kedua entitas yang berinteraksi. Itu pula yang aku harapkan, yang dapat membantu menyembuhkanmu.”

“Sayang engkau belum dapat menggunakan Tenaga Air yang engkau latih dan simpan selama ini,” ucap Wananggo, “jika tidak. Kita tidak perlu melakukan pengobatan dengan meminumkan ramuan dari tumbuhan tersebut pada dirimu, melainkan cukup dengan kontak hawa seperti yang dilakukan oleh Xyra tadi.”

Lalu Wananggo mencari dudukan untuk dinaiki, membantunya melihat dan mengambil tumbuhan yang tadi telah ditemukan oleh Xyra melalui kontak hawa. Saat di atas dekat dengan rak yang hampir menyentuh langit-langit ruangan itu, Wananggo melihat bahwa di samping tumbuhan-tumbuhan mini tersebut tergeletak juga sebuah kitab kecil. Entah apa. Dengan reflek diambilnya kitab itu dan juga beberapa jumput dari tumbuhan yang ada. Tidak semuanya. Ia ingin masih menyisakan beberapa agar dapat tumbuh kembali. Untuk orang lain, jika suatu saat ada yang membutuhkannya.

“Ini simpan beberapa pucuk dalam kantongmu dan juga kitab ini,” ucapnya kemudian. Ia mengambil dua pucuk kecil yang akan diolahnya untuk diberikan kepada lantang. Ia bergegas menuju meja terbuat dari batu yang ada dalam ruangan itu. Dibukanya suatu kertas berisi bubuk keabuan. Dicampurkannya tumbuhan tadi dan dilumatkan pelan-pelan dengan ujung jarinya.

Lantang yang tidak mengerti segera menyimpan pucuk-pucuk tumbuhan mini yang diberikan, berikut kitabnya tersebut. Ia masih ingin bertanya mengenai kitab apa itu, tapi mimik serius dari Wananggo menandakan ia tidak ingin diganggu dulu.


“Di sana, di dalam bangunan itu..,” ujar Tapak Kelam sambil menunjuk ke suatu bangunan berwarna kelabu yang terbuat dari batu.

Berbegas Sabit Kematian, Mayat Pucat dan Cermin Maut memasuki tempat tersebut. Tak lupa Mayat Pucat masih “menenteng” Tapak Kelam yang belum dilepaskannya dari totokannya.

Selepas mereka tiba dalam ruangan dalam bangunan tersebut, berdiri di hadapan mereke prasasti yang dicari-cari. Prasasti sebesar kerbau bunting, yang di atasnya menggambarkan keadaan kota atau desa pada saat itu, bagaimana perbedaannya sebelum dan sesudah ilmu-ilmu dari Petapa Seberang diamalkan. Seseorang mungkin dapat menafsirkan bahwa isi sebenarnya dari prasasti itu adalah untuk mengejek keberadaan Perguruan Atas Angin yang meruntuhkan Perguruan Embun dan Angin sebagai pewaris ilmu-ilmu Petapa Seberang serta memporak-porandakan tatanan yang telah dibentuk. Sayangnya, Ki Jagad hitam, pemimpin Perguruan Atas Angin pada saat itu, tidak tahu sejarah prasasti itu tetap membiarkan prasasti tersebut berada di sana.

Tak jauh dari sana terdapat prasasti lain yang menggambarkan tengan Ki Jagad Hitam sendiri dan enam belas murid utamanya, Lingkaran Dalam.

Demi melihat prasasti kedua, bertanya Cermin Maut dengan nada menyindir kepada Tapak Kelam, “Mana prasasti saat engkau menjabat jadi ketua?”

Tapak Kelam tidak menjawab. Ia hanya tersenyum getir saja. Ya, ia tidak mendapatkan waktu cukup lama untuk membuat suatu prasasti agar namanya dapat dikenang sebagai salah satu yang pernah memimpin perguruan ini. Perguruan yang hari ini hancur oleh ketiga orang yang berdiri di hadapannya itu.

Tanpa banyak berbicara, Mayat Pucat setelah terlebih dahulu meletakkan Tapak Kelam di suatu sudut ruangan, mulai mengamat-amati prasasti pertama. Prasasti Ki Jagad Hitam dan Lingkaran Dalam tidak menarik hatinya. Ia hanya tertarik pada prasasti warisan Petapa Seberang, walaupun ia tahu prasasti tersebut adalah palsu.

Dicobanya untuk menggeser-geser prasast tersebut. “Rrrrrrrgggghhh!” dengan suara berat bergumam, prasasti sebesar kerbau bunting itu tergeser dengan mudah. Hal ini menandakan betapa besarnya tenaga yang dapat dikeluarkan oleh Mayat Pucat.

Sebuah lubang sedalam dengkul tanpak menganga di atas lantai yang terbuat dari batu. Di dalam lubang tersebut tidak terdapat apa-apa kecuali empat buah liang yang juga kosong yang terpahat pada keempat sisinya.

“Kosong, guru Jagad Hitam dulu sudah menemukan tempat itu, dan tidak ada apa-apa di sana,” ucap Tapak Kelam. Entah bagaimana ia merasa sedikit puas karena ketiga orang musuhnya itu tidak memperoleh apa-apa.

“Belum tentu,” ucap Mayat Pucat yang masih memperhatikan lubang tersebut. Mengetuk-ketuk di sana sini dan juga di dasar lubang.

Bunyi agak memendam terdengar yang lain dengan ketukan pada permukaan batu di sekelilingnya.

“Kita coba saja, siapa tahu tipuan mirip yang digunakan Murid Rahasia digunakan pula di sini,” ucap Cermin Maut yang telah berada di sisi Mayat Pucat, yang juga memperhatikan dasar lubang tersebut.

“Biar sabitku yang bekerja,” kata Sabit Kematian sambil mengayunkan sabit panjangnya, untuk mencongkel lapisan di bawah lubang tersebut.

“Hati-hati, kakak Sabit Kematian,” ucap Cermin Maut memperingatkan, “kita tentu tidak ingin bila ada sesuatu di sana, rusak oleh sabitmu itu.”

“Huh!! Jangan kuatir, sabit ini bisa kukendalikan sehalus rambut atau sekeras batu karang,” ujarnya menanggapi ucapan adik seperguruannya tersebut.

Lalu dengan cara yang mengagumkan Sabit Kematian pun memainkan sabitnya itu. Mencongkel perlahan, bergaris-garis, sampai tercoak lapisan di bawah lubang itu sedalam satu kuku. Rata dan berbentuk kotak.

“Hati-hati, mungkin tidak lama lagi!” ucap Mayat Pucat yang melihat bahwa lapisan yang dicungkil tersebut tida terbuat dari bahan yang sama dengan lantai batu di sekelilingnya. Mungkin mereka mendapat kesempatan untuk mendapatkan sesuatu di sana.

Ketiga orang tersebut sedemikian berkonsentrasi sehingga tidak menyadari bahwa Tapak Kelam telah dapat membebaskan dirinya dari totokan Mayat Pucat. Dengan mengatur nafas dan mengalirkan hawa pada jalan darah-jalan darah yang macet, Tapak Kelam perlahan-lahan mulai dapat menggerakkan dirinya kembali. Setelah yakin bahwa ia dapat menggunakan tenaga dalamnya lagi, ia bersiap-siap untuk bergerak cepat dan keluar dari bangunan itu.

“Ya.., itu mungkin kain pembungkus sesuatu,” ujar Sabit Kematian saat sabitnya yang terlihat mengerikan tersebut menyentuh sesuatu. Dengan perasa ia menghentikan gerak sabitnya dan mempersilakan kedua saudara seperguruannya untuk melonggok. Setelah meletakkan sabit tersebut di sisi lubang, ia pun bergabung dengan dua saudara seperguruannya untuk mulai menggali-gali menggunakan tangan. Takut merusak apa-apa yang mungkin terkubur di sana.

Kesempatan ini tak lama disia-siakan oleh Tapak Kelam. Ia segera bangkit dan dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh yang masih tersisa, yang masih dapat dibangkitkan oleh tenaganya, ia bergegas menyelinap keluar.

Cermin Maut yang membelakanginya mendengar kesiuran angin menjauh. Segera ia bangkit dan melihat detik terakhir saat sosok Tapak Kelam telah hilang dari pintu ruangan tersebut. “Keparat, ia melarikan diri. Akan aku tangkap dia!” Segera Cermin Maut berkelebat melompat pergi mengejar.

Sementara itu Mayat Pucat dan Sabit Kematian yang masih sibuk menggali hanya sekali melirik untuk kemudian melanjutkan pengerjaan menggali dasar lubang tersebut, yang di dalamnya telah dijumpai sejumput kain penutup sesuatu. Mereka tidak terlalu mempedulikan Tapak Kelam yang kabur. Bagi mereka orang itu sudah tidak dibutuhkan lagi. Sudah selesai tugasnya, dan mereka pikir Cermin Maut dapat menyelesaikan persoalan itu sendiri.

Tapak Kelam yang sedang berpacu dalam langkah dan juga deguban jantungnya, dapat merasakan kesiuran angin di belakangnya. Suatu pukulan jarak jauh. Dengan sigap ia bergerak ke samping, membiarkan angin pukulan tersebut lewat di sisinya. Ia lalu mengambil arah lain untuk berlari. Tadinya ia ingin pergi ke pulau keenam dan seterusnya, karena di sana lebih banyak tempat untuk bersembunyi. Tapi mengingat Cermin Maut telah menghadang di jalan menuju ke tempat itu, Tapak Kelam akhirnya membatalkan niatnya itu. Sekarang ia menuju ke arah jembatang cembung melengkung yang lain, yang akan membawanya ke pulau keempat.

Langkahnya berhenti di tengah jalan melihat apa yang ada di hadapannya. Di depannya sekarang telah berdiri lima orang, yang terlihat dari cara berjalannya bukanlah orang-orang biasa. Seorang wanita dengan gagang pedang kembar menyembul di punggungnya. Seorang berkulit putih pucat dengan pedangnya yang besar dan telah kering oleh darah di tangannya. Seorang berkulit hitam dengan lengan dan kaki yang lebih panjang dari orang kebanyakan, yang di tangannya terdapat golok yang melengkung patah, golok bumerang. Dan masih terdapat dua orang lain yang warna kulitnya mirip dengan warna kulit orang-orang di tanah ini. Seorang bertubuh subur dan besar dan seorang berwajah dingin dengan kapak di tangannya.

“Siapa…. kalian…!!” ujarnya tersendat. Ia tidak mengharapkan muncul lebih banyak musuh dan terlebih di depan jalannya untuk melarikan diri.

“Kamu…, orang Perguruan Atas Angin-kan?” ujar wanita berpedang kembar tersebut dengan logat yang agak kaku.

“Ya, saya…,” tak jadi Tapak Kelam memperkenalkan dirinya sebagai ketua Perguruan Atas Angin. Ia belum tahu siapa kelima orang yang menghadangnya ini. Kawan atau lawan. Itu belum jelas.

“Mau lari kemana engkau, Tapak Kelam!!” sebuah suara merdu wanita segera sampai ke tempat itu, yang diikuti dengan tubuhnya. Ia juga tampak tertegun dengan munculnya kelima orang di hadapan Tapak Kelam tersebut.

“Jika engkau Tapak Kelam, dan orang ini hendak mengejarmu…, pastilah anda adalah Cermin Maut, bukan begitu?” ucap gadis itu sambil memandang wanita yang baru datang tersebut.

Cermin Maut tidak segera menjawab. Seperti halnya Tapak Kelam ia belum bisa memutuskan apakah kelima orang di hadapannya itu adalah lawan atau kawan. Dan mereka saat ini sedang dalam waktu yang genting, waktu di mana hampir saja memperoleh sesuatu di bawah prasasti batu di dalam bangunan batu berwarna kelabu di belakangnya. Ia segera memutar otak untuk mencari-cari akal.

“Ya, saya Cermin Maut, ada perlu apa dan siapa kalian?” katanya akhirnya sambil menanti respon dari kelima orang tersebut. Entah bagaimana Tapak Kelam tampak berdiri di sampingnya, seakan-akan mereka berdua berasal dari kelompok yang sama. Memang lucu, orang yang berseteru, apabila menghadapi kelompok lain yang dianggap musuh bersama, dapat saling mendekat. Tapak Kelam telah memutuskan untuk bergabung dengan Cermin Maut yang telah ia tahu misinya dan juga kawan-kawannya. Kelima orang ini belum.

“Kami mencari Sabit Kematian,” ucap wanita berpedang kembar tadi pendek.

“Untuk apa?” tanya Cermin Maut. Ia merasa tidak pernah bertemu dengan kelima orang tersebut, kecuali satu orang yang bertubuh subur dan besar paling pinggir. Orang tersebut rasa-rasanya pernah dilihatnya di suatu tempat, pada suatu saat yang lalu.

“Untuk dibunuh!! Untuk membalaskan kematianku!” ucap orang bertubuh besar dan subur yang tadi sempat dilirik oleh Cermin Maut. “Dan engkau juga, serta Mayat Pucat. Kalian telah membunuh kami, orang-orang Rimba dan Gunung Hijau!!”

“Eh.., kamu!!” ucap Cermin Maut kaget. Sekarang disadarinya di mana ia pernah melihat pemuda tersebut. Ya, itu adalah salah seorang murid-murid, dari empat murid Ki Tapa dari Rimba dan Gunung Hijau. “Engkau sudah mati!!” ucap Cermin Maut. Ia ingat bagaimana Sabit Kematian membunuh pemuda itu dengan menembuskan sabitnya dari belakangn ke depan.

“Dan sekarang giliran kalian,” kata pemuda tersebut yang segera menggunakan kepalan tangannya menyerang lurus. Deras dan keras.

Cermin Maut tidak mau meremehkan pukulan yang menimbulkan angin kesiuran tersebut. Dulu sewaktu di Rimba Hijau anak-anak muda itu telah menunjukkan kebolehan sebagai pendekar. Serangan mereka tidak boleh dipandang sebelah mata. Hanya saja mereka masih lugu dan miskin pengalaman sehingga tidak terlalu sulit untuk dijatuhkan dengan jurus-jurus yang penuh tipuan dan serangan kosong. Sekarang, setelah salah seorang dari mereka muncul kembali dari “kematian” Cermin Maut merasa perlu untuk lebih hati-hati. Orang yang dapat sembuh dari suatu luka atau bangkit dari kematian, yang kedua ini dia tidak yakin, umumnya memiliki ketahanan yang lebih berlipat.

Cermin Maut lebih memilih untuk menghindar dan memapaki pukulan pemuda tersebut dari samping ketimbang menghadapi langsung dari depan. Ia belum dapat mengukur seberapa keras laju pukulan yang dilepas tersebut.

Setelah beberapa gebrakan Cermin Maut merasa bahwa pemuda itu lebih tangguh dari pertemuan sebelumnya. Selain itu ia juga belum tahu bagaimana kekuatan dari keempat teman sang pemuda. Lebih baik ia segera kembali ke tempat kedua rekannya, di dalam sana. Sambil melirik ke arah Tapak Kelam ia berbalik. Tapak Kelam pun mengikuti.

“Hei…!!! Mau kemana kalian!!” ucap Gentong yang sedari tadi belum sempat menyentuh Cermin Maut karena kelincahannya bergerak di sela-sela hawa pukulan yang dilontarkannya.

“Mari kita kejar,” ucap Angus yang segera bergegas.

Misun menepuk pundak Gentong, “Mari, masih ada kesempatan engkau membalas pada mereka.”

Ternyata Mayat Pucat dan Sabit Kematian telah selesai menggali dasar lubang yang ditemukan di bawah prasasti. Tampak sebungkusan kain dikepit oleh Mayat Pucat yang sedang berdiri di pintu bangunan kelabu terbuat dari batu bersama dengan Sabit Kematian. Demi melihat Cermin Maut datang diikuti oleh Tapak Kelam, agak bingung mereka. Namun segera menjadi jelas saat telah melihat lima orang yang mengejar di belakangnya.

“Siapa mereka?” tanya Mayat Pucat.

“Tak tahu,” jawab Cermin Maut, “seorang dari yang pernah kita bunuh. Tepatnya oleh kakak Sabit Maut. Dan ia mencarimu. Orang dari Rimba dan Gunung Hijau….!!”

“Lalu kenapa kita lari?” tanya Sabit Kematian yang juga telah berlari mengikuti.

“Tadi aku pikir kalian belum sempat mengambil barang itu, jadi lebih baik jika kita mengulur waktu,” jawab Cermin Maut.

“Dan sekarang??” tanya Mayat Pucat kembali.

“Ikuti aku!” ucap Tapak Kelam yang sedari tadi hanya diam dan berlari bersama mereka.

“Eh, kamu. Kenapa membantu kami sekarang?” tanya Sabit Kematian heran.

“Aku bantu kalian lolos dari sini, tapi bagi aku tahu apa yang tersimpan dalam bungkusan itu,” ucapnya cerdik. Tapak Kelam telah berpikir bahwa bekerja sama dengan ketiga orang ini bukanlah suatu hal yang buruk, apalagi bila bisa mendapatkan ilmu silat tinggi, yang diduganya tertulis dalam kitab yang dibungkus oleh kain tersebut. Bungkusan yang dikepit oleh Mayat pucat.

“Belum tentuk kita kalah sama mereka,” ucap Sabit Kematian jengkel. Tidak biasanya mereka berlari-lari dikejar orang. Biasanya mereka yang dikejar orang. “Kita hadapi saja!”

Saat itu mereka telah tiba di pinggir suatu sumur yang terletak di belakang bangunan tadi. “Mari masuk,” ucap Tapak Kelam yang segera melompat turun. Ia segera menggunakan ilmu meringankan tubuhnya sehingga tidak mendarat di atas air melainkan bergeser beberapa telapak tangan ke pinggir. Di bawah sana ternyata terdapat rongga yang cukup besar. Sumur itu hanya terlihat kecil dari atas saja.

Berturut-turut Cermin Maut, Mayat Pucat dan disusul oleh Sabit Kematian meloncat turun dan sekarang telah berada dalam lorong yang terdapat di pinggir dinding sumur tersebut. Jauh di bawah sana terdapat air yang merupakan dasar sumur sesungguhnya.

“Eh, tempat apa ini?” ucap Cermin Maut takjub. Ia senang melihat banyaknya tempat-tempat rahasia di Air Jatuh. Membuatnya semakin jatuh hati.

“Ini jalan rahasia, dengan lewat di bawah tanah dan juga di bawah air, kita bisa ke pulau berikutnya. Pulau keempat. Dan dari sana melarikan diri keluar,” jawab Tapak Kelam menjelaskan.

Lalu bergegas mereka berlalu melewati lorong tesebut. Tampak Sabit Kematian masih menggerutu karena harus lewat lorong-lorong seperti itu. Ia lebih memilih untuk bertempur langsung saja.

“Mereka menghilang,” tunjuk Misun pada sumur yang ada di hadapannya.

“Jangan semua masuk,” ucap Shia Siaw Liong, “jika ada jalan rahasia, pastilah ini menuju ke tempat lain. Sebagian turun, sebagian cari jalan keluar lain dari jalan rahasia ini.” Berdasarkan pengalamannya setelah beberapa ratus tahun, Shia Siaw Lion dengan sekali melihat tahu bahwa di bawah sana pasti ada suatu jalan rahasia yang akan membawa orang-orang itu ke suatu tempat lain.

“Aku menduga menuju pulau sebelumnya, kembali menuju perguruan,” duga Dhoruba.

Rekan yang lain mengangguk. Akhirnya diputuskan bahwa Dhoruba dan Misun akan turun ke dalam sumur, sedangkan Gentong, Shia Siaw Liong dan Angus segera menuju ke pulau keempat untuk mencari jalan keluar orang-orang itu dan menunggu mereka di sana.


“Minumlah ini,” ucap Wananggo sambil mengangsurkan ramuan yang telah diraciknya itu, yang terbuat dari pucuk-pucuk tumbuhan mini dicampur dengan berbagai serbuk lain.

Lantang pun menenggak ramuan itu yang disusul dengan air yang telah diambilkan Xyra untuk membasuh kerongkongannya yang terasa pahit dan terbakar oleh ramuan yang lewat.

“Sekarang coba alirkan hawa, perlahan-lahan. Semoga ramuan itu bisa membuka simpul-simpul jalan darahmu yang tersumbat,” ucap Wananggo. Tampak dalam wajahnya harapan akan keberhasilan dari ramuan itu.

“Perlu dibantu dengan Tenaga Air-ku, Paman Wananggo?” usul Xyra kemudian.

“Aku belum tahu, sementara biarkan saja dulu ramuan tersebut bekerja dengan sendirinya. Kelak mungkin perlu dibantu untuk menjaga khasiatnya,” jawab Wananggo.

Setelah hening beberapa saat, Lantang yang tadi sedang berkonsentrasi mengendalikan hawanya, tampak membuka matanya. Wajahnya tampak lebih bersinar dan cerah. Dan katanya, “Aku merasa lebih sehat dan segar, paman. Ada hawa yang terasa bergerak-gerak di bawah sini,” sambil ia menunjuk titik dua jari di bawah pusarnya. “Tapi aku belum dapat mengalirkannnya ke mana-mana.”

“Aneh…!!” jawab Wananggo sambil menggaruk-garukkan kepalanya. “Padahal menurut petapa tersebut…”

“Paman, tak usahlah sedih begitu,” ucap Lantang yang merasa tak enak atas kekecewaan Wananggo, “yang penting kita sudah berusaha. Apa-apa yang akan terjadi dan tidak terjadi, semuanya kehendak Sang Pencipta.” Lantang sudah seringkali dihadapkan pada upaya penyembuhan aliran hawa dalam dirinya. Dulu oleh gurunya Rancana, si Bayangan Menangis dan Tertawa, juga oleh Ki Sura dan Nyi Sura. Saat ini oleh Wananggo. Ia amat berterima kasih atas upaya orang-orang yang ingin menyembuhkan dirinya.

“Sebabanya…, sebabnya hawamu tersumbat itu yang kita tidak tahu,” kata Wananggo sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Mari, paman! Mari kita pergi dari ini. Yang punya tempat pasti tidak suka kita terlalu lama di sini,” berkata Lantang setelah ia merasa tak ada lagi yang bisa mereka lakukan di sini.

Wananggo dan Xyra pun mengangguk setuju. Bergegas mereka keluar dari bangunan batu berwarna kelabu tersebut. Mencari jalan keluar menuju air terjun di Air Jatuh.

Tapi rupanya malam itu belum berakhir bagi mereka di Air Jatuh. Saat lewat di sebuah sumur yang tidak terlalu diperhatikan oleh ketiganya, tiba-tiba meloncat sesosok bayangan keluar. Akibat meloncat dengan tiba-tiba tersebut, hampir saja ia bertubrukan dengan Lantang.

Di bawah sinar rembulan tersebut tampak jelas wajah pemuda tersebut dan juga orang yang hampir menubruknya. “Engkau…!!” tiba-tiba kenangan lama Lantang menyeruak kembali jauh ke belakang, ke masa di mana kejadian tersebut terjadi. Kedua orang tuanya dan orang-orang yang dikenalnya semua dibunuh, dihancurkan.

Ia masih ingat bahwa orang itu, yang ada di hadapannya sekarang, memerintahkan agar ia dan teman-temannya mengenakan pakaian rombeng, dikotori dengan disuruh berguling-guling di atas tanah berdebu dan penuh kotoran hewan. Juga diingatnya bahwa ia dan teman-temannya satu per satu ditohok punggungnya oleh orang itu. Tidak terlalu sakit, tapi bagi anak kecil seusianya saat itu… Dan sekarang orang tersebut ada di hadapannya.

“Minggir!!” jawab orang tersebut, yang adalah Tapak Kelam. Ia tidak mempedulikan Lantang, tidak dalam keadaan segenting saat itu. Ia segera menanti kemunculan dari ketiga rekan barunya, Cermin Maut, Sabit Kematian dan Mayat Pucat. Ketiga orang yang ditunggunya tak lama segera meloncat keluar dari sumur tersebut.

Xyra yang secara alamiah dapat membedakan orang yang baik dan jahat dari pancaran hawa atau auranya, segera menampakkan wajah tidak bersahabat terhadap empat orang yang baru saja keluar dari sumur tersebut. Wananggo yang entah kenapa juga merasa tidak sreg dengan kehadiran mereka. Segera ia mengajak Lantang untu menjauh dari sumur tersebut dan mencari jalan untuk pulang.

“Itu di sana!!” tiba-tiba terdengar suara orang, yang dilanjutkan dengan datangnya tiga orang, seorang wanita dan dua orang laki-laki. Mereka setelah tiba segera berhadapan dengan empat orang yang baru saja keluar dari sumur tersebut.

Mereka segera berhadapan, siap untuk saling serang.

Wananggo segera menggapai Lantang dan Xyra, “Mari kita pergi! Ini bukan urusan kita.”

“Paman..,” ucap Lantang bergetar, “orang itu…, orang itu…!!”

Wananggo dan Xyra memandang lekat pada Lantang. Tidak biasanya pemuda itu tampak sedemikian gugup dan teganng. Mungkin efek samping dari ramuan yang baru saja dimakannya, begitu pikir mereka. Namun kata-kata selanjutnya yang membuat mereka mengerti.

“Orang itu yang membunuh kedua orang tuaku dan juga orang tua-orang tua teman-teman mainku,” katanya kemudian.

Keduanya terdiam. Wananggo tidak lagi berusaha membawa keduanya pergi dari situ. Tapi ia mengisyaratkan agar mereka tidak lebih dulu turut campur. Biarkan dulu apa yang akan terjadi di antara ketujuh orang tersebut.

Sembilan tepatnya sekarang. Dua orang lain nampak baru muncul dari sumur yang tadi. Sekarang empat orang yang pertama berhadapan dengan lima orang yang lain. Bersiap hendak saling serang.

“Siapakah kalian ini?” ucap Sabit Kematian jumawa. Ia tidak biasa bertemu lawan yang seimbang. Dan saat ini kelima orang di hadapannya pun bukan musuh yang cukup tangguh menurut penglihatannya.

Dengan logat yang kaku akan tetapi ucapannya jelas, berkata salah seorang dari mereka, yang wanita, “saya Shia Siaw Lion, ini Dhoruba, Angus, Misun dan Gentong. Anda sekalian adalah Sabit Kematian, Cermin Maut, Mayat Pucat dan Tapak Kelam, bukan?”

“Ya, ini kami. Jika sudah kenal, kenapa tidak cepat menggelinding dari sini?” ejek Sabit Kematian jumawa.

Amarah atau ejekan yang diharapkan oleh Sabit Kematian dapat dilihatnya dari kelima orang lawannya itu tak kunjung tiba, malah salah seorang dari mereka berkata, “orang sudah hampir mati kok ya, masih banyak cakap?”

“Siapa itu yang omong?” ucap Sabit Kematian yang malah terbakar emosinya.

“Aku! Masih ingat?” ucap seorang pemuda bertubuh besar dan subur yang segera berangsur maju. Memainkan kepalan tangannya sehingga jari-jarinya berbunyi “pletak-peletok” gesekan antar tulang-tulangnya.

“Siapa kamu?” katanya penuh selidik. Tak pernah ia rasanya bertemu dengan orang yang perawakannya seperti itu. Ya, Sabit Kematian telah terlalu banyak membunuh orang sehingga lupa orang-orang yang telah ia cabut nyawanya.

Dengan perlahan Gentong membuka bajunya, sehingga punggung dan dadanya terpampang lebar. “Sekarang ingat ini? Yang engkau tembusi dari belakang ke muka?” katanya sambi menunjukkan bekas luka di dadanya.

Perlahan berubah wajah Sabit Kematian, ya ia mulai ingat. Tidak banyak orang yang sempat bertarung jarak dekat dengannya sehingga ia harus menembusi tubuhnya. Umumnya dengan jarak jauh, menebas kepala sudahlah cukup. Dan satu yang belum lama ini memaksanya bertempur jarak dekat adalah seorang pemuda bertubuh besar di Rimba dan Gunung Hijau.

Pemuda itu adalah… pemuda yang berada di depannya sekarang.

“Tidak!!! Engkau sudah mati!” ucapnya cepat. Sama seperti keterkejutan Cermin Maut saat mengenali Gentong beberapa saat yang lalu.

Orang-orang sesat seperti Cermin Maut, Sabit Kematian dan Mayat Pucat bukanlah orang-orang yang takut pada yang lain. Tapi orang yang bisa hidup lagi setelah tubuhnya ditembusi sabit sedemikian rupa, mau tak mau membuat mereka merinding. Bukan hal yang normal.

Hening sesaat. Orang-orang dari mereka-yang-tak-bisa-mati tampak menikmati keheningan itu. Keheningan orang-orang yang gemetar akan keanehan kaum mereka.

Tiba-tiba hening itu dipecah oleh desis lirih Wananggo, “Kaum Abadi, mereka-yang-tak-bisa-mati…, mereka benar-benar nyata adanya…,” yang ucapannya hampir tak terdengar apabila keadaan tidak benar-benar sunyi.

“Omong kosong!! Engkau pasti saat belum mati dan sekarang sudah sembuh,” ucap Sabit Kematian sambil menenangkan dirinya. Ia lalu mulai mengambil sikap untuk menyerang. “Tak ada orang yang tak bisa mati!!”

“Sesukamulah, toh tak ada bedanya engaku percaya atau tidak,” ucap Gentong yang segera bergerak menyerang. Pukulan keras dan lurus.

Sabit Kematian dapat dengan segera mengubah gerakannya menghindar dan mengayunkan sabitnya yang dielakkan dengan indah oleh Gentong. Walau tubuhnya terlihat besar dan berat, lincah masih geraknya. Meloncat ke sana kemari sambil tak lupa melepaskan satu dua pukulan lurus dan keras.

“Duggg!!!” sekali waktu telat Sabit Kematian menghindar, akibatnya pinggiran pinggangnya sempat dilabuhi kepalan Gentong. Keras cukup sehingga menggetarkan sedikit isi perutnya. Untung saja hawa tenaganya cukup sehingga masih bisa mengusir hawa pukulan tersebut keluar. Jika saja tidak, sudah hancur mungkin organ-organ di dalamnya.

Tapak Kelam tampaknya tidak berapa minat untuk melangsungkan pertempuran itu. Ia malah celingak-celinguk mencari-cari jalan rahasia lain yang dapat membawanya lari dari sana. Sambil tak lupa diliriknya bungkusan yang masih dikepit oleh Mayat Pucat. Jika ia harus pergi dari sana, kitab tersebut harus ikut. Dengan atau tanpa ketiga orang tersebut.

Mayat Pucat dan Cermin Maut belum tampak mengambil tindakan. Mereka belum menemukan alasan untuk menyerang teman-teman Gentong. Jika bisa mereka tak perlu bertempur. Sudah cukup energi mereka habis dalam penyerbuan ini dan apa yang mereka cari sudah diperoleh, mungkin. Sekarang minat mereka lebih ke arah pergi dari tempat itu dan mempelajari kitab yang baru saja mereka peroleh.

“Bugg!!”" kembali Sabit Kematian terpukul tubuhnya, kali ini di bagian tengkuk. Pusing sesaat dirasakannya. Segera ia melompat mundur menjauh. Dalam jarak dekat, senjatana tidak begitu berfungsi baik. Itulah yang sedari tadi dilakukan Gentong, bertempur jarak dekat. Untung bagi kepalannya akan tetapi tidak bagi sabit sang lawan.

Dengan jarak yang sekarang agak jauh, Sabit Kematian lebih leluasa menggerak-gerakkan sabitnya. Mengayun dari atas ke bawah secara serong dan sebaliknya. Sekarang giliran gentong yang seperti tertutup ruang geraknya. Di mana-mana, di sekelilingnya tampak kesiuran sabit mengayun berkelebat sana-sini.

Lantang yang berada di pinggir arena pertarungan itu bersama dengan Wananggod dan Xyra tampak berusaha menahan emosinya. Campur baur antara sedih dan marah. Juga sekelebat ingatan yang tidak pernah dilupakannya, saat Tapak Kelam mengusir anak-anak yang telah dihinakannya untuk terlunta-lunta, mengemis dan kelaparan di jalan. Untung saja ia bertemu dengan gurunya, Rancana, jika tidak mungkin ia masih di jalanan sana. Bisa jadi telah menjadi makanan burung dan anjing liar, atau berkalang tanah.

Sabit Kematian tampak telah mendapatkan kembali kesigapannya. Setelah ia mengambil jarak tempur jauh, sekarang ia berani kembali mengambil jarak tempur dekat. Tapi kali ini cara menggunakan sabitnya lain, dipegang di tengah, pinggir berganti-ganti. Cara serang yang baru ini, walaupun dalam jangkauan tangan Gentong, membuatnya sedikit kewalahan. Ia belum terbiasa dengan cara serang baru Sabit Kematian.

Diantara kedua orang saudara seperguruannya, Sabit Kematian hampir tidak pernah bertempur tanpa menggunakan senjata. Baru saat ini ia menggunakan kepalannya juga. Kedua saudaranya tahu bahwa kepalan tangannya tidaklah terlalu berbahaya dibandingkan dengan sabitnya, tapi Gentong tidak tahu. Gentong menjadi kalang kabut saat Sabit Kematian mencengkeram sana-sini dan juga memukul di sela-sela sabitnya yang berayun-ayun serong ke atas ke bawah. Berkali-kali ia terpaksa mundur dan maju. Mundur kena sabit jangkauan panjang. Maju kena cengkeraman. Coba saja ia tahu bahwa lebih tidak berbahaya saat maju, mungkin dapat ia memasukkan satu dua pukulan ke tubuh Sabit Kematian.

Sementara dua orang tersebut bertarung mati-matian, rekan-rekan Gentong tampak duduk-duduk tenang, seakan-akan menikmati pertarungan tersebut. Lain dengan rekan-rekan Sabit Kematian yang tampak sedang memikirkan sesuatu cara untuk berlalu dari sana.

“Nak Lantang, baiknya kita segera berlalu dari sini,” ajak Wananggo. “Kaum Abadi, mereka itu, aku tidak tahu apa mereka ada urusan apa dengan mereka berempat. Kita sebaiknya tidak mencampuri.”

“Aku masih ingin mencari tahu apa alasan orang-orang itu melakukan kekejaman dulu, paman,” ucapnya sambil menggerakkan dagunya mengarah ke Tapak Kelam.

“Aku mengerti, Lantang,” jawab Wananggo. “Hal itu bisa kita bicarakan lain kali, sekarang yang penting adalah kesehatanmu dulu. Lain waktu kita cari lagi orang itu. Siapa namanya? Tapak Kelam?”

Lantang mengangguk. Lalu katanya, “baiklah paman. Memang untuk keselamatan kita juga. Kita tidak tahu apakah Kaum Abadi nanti setelah selesai urusannya dengan mereka berempat akan mencari masalah dengan kita. Memang sebaiknya kita pergi.”

Lalu dengan perlahan mereka bertiga bergegas berangsur meninggalkan tempat itu.

Adalah Misun yang menyadari kepergian ketiga orang tersebut. Ia pun tidak ada urusan dengan mereka bertiga. Keperluan ia dan saudara-saudaranya dari mereka-yang-tak-bisa-mati adalah hanya untuk membantu Gentong membalaskan kematiannya pada Sabit Kematian. Tapi ada sesuatu yang menarik baginya dari ketiga orang itu. Entah apa.

Misun pun bergegas menyusul ketiga orang tersebut yang telah berada di pulau lain, pulau ketiga. Saat ia berlari cepat, kedatangannya telah dinanti oleh ketiga orang tersebut di tepi pulau. Tampak ketegangan pada ketiga wajah mereka.

“Howgh! Aku Misun, tak perlu kalian takut. Aku tak ada maksud jahat,” katanya seraya mengangkat telapak tangannya, bagian dalam menghadap ketiga orang tersebut.

Wananggo yang segera menyadari bahwa itu mungkin sejenis salam dari Misun, segera mengangkat tangan pula, menirukan, “Aku Wananggo, dan ini Xyra dan Lantang, ada perlu apa anda mengejar kami?”

“Avanyu, Caiman!!” katanya sambil menunjuk pada Xyra.

Xyra tampak terkejut. Apa yang diucapkan oleh Misun adalah berarti roh air dalam bahasa Garifuna dan Montana. Suatu ucapan yang pernah diceritakan oleh ayahnya mengenai leluhur mereka yang berada di sana. Suatu tlatah jauh di balik planet ini, di tempat yang selalu berlawanan dengan di sini. Di sini siang di sana malam dan sebaliknya.

Misun lalu membuka baju luarnya, menampakkan segenap kalung yang digunakannya. Terdapat banyak untaian. Salah satunya berbentuk segitiga menghadap ke bawah dengan gambar riak-riak gelombang pada tengahnya, “Maya, air!!”

Xyra yang entah bagaiman begitu melihat simbol tersebut tampak tersentuh sehingga secara tak sadar air danau yang berada di sekitar mereka tampak merebak, berbulir-bulir mengambang di udara, yang kemilau diterangi sinar bulan purnama. Mengelilingi sekitar mereka dan kemudian pecah menjadi semacam uap dan kembali jatuh. Menjadikan udara tiba-tiba menjadi segar dan lembab.

“Avanyu!!” ucap Misun kembali yang segera berlutut hormat kepada Xyra. Lalu ia melepaskan untaian berbentuk lambang air itu dari kalungnya dan menyerahkannya kepada Xyra.

Lantang yang takut bila hal itu adalah tipu muslihat bergegas menghalangi. Tapi dengan lembut Xyra menghentikan tangannya. Tatapannya yang seakan mengatakan, “Tidak apa-apa!” menenangkan Lantang. Lalu Lantang membiarkan Misun menyerahkan untaian atau medali tersebut ke tangan Xyra.

“Howgh!! Tugasku telah selesai, terima kasih!!” lalu tanpa memberi penjelasan ia segera kembali menaiki jembatan cembung hitam melengkung untuk kembali ke pulau keempat, kembali menemui rekan-rekannya.

Selepas kepergian Misun tak ada yang berbicara sampai Wananggo menggugah lamunan mereka dan mengajak keduanya pergi dari sana.


“Untung ada engkau, Tapak Kelam,” ujar Mayat Pucat, “jika tidak mungkin kita sudah menemani Sabit Kematian di pulau itu.”

“Betul!!” ucap Cermin Maut kemudian, “Kaum Abadi itu tak bisa dianggap remeh. Lemparan senjata rahasiaku yang jelas-jelas melukai mereka tak terasa apa-apa. Bahkan kita lihat sendiri luka mereka berangsur mengering dan sembuh dalam waktu cepat. Betul-betul lawan yang tangguh.”

Tapak Kelam yang dipuji hanya tersenyum tipis. Ia juga beruntung masih ingat jalan-jalan liang tikus dari pulau keempat itu untuk keluar dari Air Jatuh. Jika harus lewat jalan biasa, pasti mereka dapat dikejar dan ditangkap oleh mereka-yang-tak-bisa-mati.

Bagi orang-orang seperti Cermin Maut, Mayat Pucat dan Tapak Kelam, kehilangan seorang rekannya, Sabit Kematian, adalah tidak terlalu berat. Selama keuntungan masih berada di pihat mereka, sah-sah saja. Dan saat itu kitab yang berada dalam bungkusan yang dikepit Mayat Pucatlah yang utama. Untuk dipelajari sehingga mereka bertiga bisa menjadi lebih tinggi ilmunya untuk malang-melintang dalam dunia persilatan.

Tanpa kata-kata, ketiganya seakan-akan merupakan tiga sekawan baru. Melupakan dengan mudah rekan mereka yang baru saja mangkat, yang mungkin belum dingin tubuhnya.


“So, our problem in this land is alreay finished, isn’t it?” ucap Angus.

“Yeah, right!” sambut Dhoruba.

“Sudah saatnya kita pergi,” sambung Shia Siaw Liong.

Gentong masih tampak termenung. Ia masih menatapi sosok Sabit Kematian yang telah hancur isi dadanya akibat pukulannya. Pada suatu gerakan tipuan, Sabit Kematian menjatuhkan sabitnya dan berharap Gentong segera masuk melancarkan pukulan. Ia telah mempersiapakn sebuah pisau kecil untuk menyerang dari belakang. Yang dilupakan oleh Sabit Kematian adalah bahwa tusukan pada mereka-yang-tak-bisa-mati tidaklah terlalu berpengaruh sejauh tidak melukai mereka secara parah. Tusukan kecil dekat jantung tidak mengurangi laju pukulan Gentong, yang terus tiba dan melumatkan tulang dada dan organ-organ di dalamnya. Sabit Kematian pun melepaskan napasnya dengan keadaan tak puas. Ia tak terima bahwa serangannya gagal dan nyawanya sebagai imbalan. Terlihat jelas hal ini dari wajahnya yang penasaran.

“Gentong, mari!” ucap Misun yang saat itu berada di sampingnya. Menepuk bahunya, mengajaknya berlalu dari situ.

Gentong masih terdiam sesaat untuk kemudian bangkit, sejenak dipikirnya sesuatu. Akhirnya dipungutnya sabit milik Sabit Kematian. Ditimang-timangnya dan akhirnya diputuskannya bahwa itu akan menjadi senjatanya. Juga untuk menjadi peringatan dari kematiannya sendiri dan kematian sang pembunuhnya.

Melihat itu, Dhoruba terkekeh-kekeh, “Pilihan yang bagus. Senjata yang sudah ’tua’. Banyak sudah darah yang dimininumnya. Bagus, bagus!!”

Misun, Angus dan Shia Siaw Liong tidak berkomentar. Mereka segera berlalu dari sana. Meninggalkan Air Jatuh dan kemudian pula Perguruan Atas Angin. Melangkah menuju ke suatu tempat untuk menunaikan misi mereka sendiri, terutama bagi kaum mereka, – mereka-yang-tak-bisa-mati.


Seseorang tampak berdiri mengitari batu-batu yang ditumpuk rapi, persegi, membentuk semakam bekas candi atau kuil. Undakan batu. Berbentuk bujur sangkar dengan ketinggian sedengkul dari rerumputan yang mengelilinya yang tumbuh di tanah lapang itu. Panjang dan lebarnya seukuran dua tombak lebih.

“Ini harusnya tempatnya, portal!” ucap orang itu. “Aku harus memberi tanda di sni, dan mereka akan datang..!”

Telah dicoba-cobanya membaca apa-apa yang ada di sana-sini, di keempat sisi dari undakan batu atau pelataran batu tersebut, tapi ia tidak mengerti.

“Bahasa apa ini? Tak bisa kau pahami!” ujarnya jengkel.

Ia juga jengkel karena petunjuk yang pernah diterimanya telah ia lupakan. Tahu begitu dicatatnya saat itu sehingga bisa digunakannya kembali pada saat ini.

Setelah seharian dan kemudian dilanjutkan dengan malam ia tak berhasil pula memecahkan kode-kode itu. Ia, orang tua itu, akhirnya memutuskan untuk tidur dulu. Siapa tahu orang atau pihak yang ingin ditemuinya ada singgah di tempat itu sehingga ia bisa bersua tanpa harus memberi tanda-tanda, yang umumnya harus lebih dahulu dilakukan.

Malam itu ia tidur dengan nyenyaknya sehingga tak tahu apa yang akan dihadapinya esok pagi.

Saat orang itu bangun, hal pertama yang membingungkannya adalah ia tidak lagi berada di lapangan rumput yang di tengahnya ada pelataran batu. Melainkan ia telah tidur di atas sebuah alas tidur terbuat dari daun-daun dianyam dan berada dalam sebuah rumah bambu.

“Hahh!! Di mana aku?” tanyanya pada dirinya sendiri.

Bergegas ia bangun dan menjadi semakin terkejut setelah merasa bahwa lantai ruangan yang di mana ia berada tidaklah terlalu keras, melainkan agak lentur dan mengayun sejalan dengan langkahnya. Perlahan dengan agak takut-takut orang tua itu menghampiri jendela yang ada dan mencoba melihat keluar.

“Ini…., di atas pohon!!” ucapnya kagum. Ya, ia telah berada di dalam sebuah rumah bambu yang dibangun di atas sebuah pohon yang tinggi.

“Kriettt!!” tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka dan masuklah sesosok makhluk mirip manusia. Yang membedakan mereka adalah tingginya. Tinggi makhluk itu tidak sampai ke pinggang orang dewasa. Manusia Tiga Kaki. Tiga kaki tingginya.

“Selamat datang di tempat kami!” ucap makhluk itu ramah.

Orang itu membalas dengan senyum walau agak sedikit bingung.

“Maafkan bila tadi malam, kami ‘menculik’ anda dari portal, pelataran batu tempat anda tidur,” ucapnya perlahan. “Kami lihat anda tidak mengenal cara berkomunikasi, jadi kami menunggu sampai anda terlelap dan melihat apa maksud anda. Setelah kami yakin anda tidak bermaksud jahat, kami kemudian membawa anda ke sini.”

Mengangguk-angguk orang tua itu mendengar penjelasan sang Makhluk Tiga Kaki.

“Eh, saya Rancana…. Anda siapa?” tanya orang itu kemudian.

“Saya Coreng..,” jawab makhluk itu.

“Eh, saya bermaksud untuk bertemu dengan Ki Tapa,” jawab orang yang mengaku bernama Rancana itu.

Sejurus tak ada jawaban. Makhluk itu tampak sedih dan muram. Lalu katanya, “Ya, kami tahu. Nanti, biar ketua kami Hitam-Putih yang menjelaskan. Sekarang makanlah dulu!” Ia kemudian menunjuk pada bungkusan yang sejak tadi telah ada di sudut ruangan. Rupanya itu adalah makanan yang telah disiapkan untuk disantap Rancana.

Setelah berkata demikian, Coreng pun berlalu dengan terlebih dahulu meminta diri, membiarkan Rancana menikmati makan paginya dengan tenang.

Masih penuh pertanyaan di benak Rancana. Dari mimik wajah Coreng yang berubah saat ia mengungkapkan ingin bertemu dengan Ki Tapa dan juga perihal Manusia Tiga Kaki.

Dunia ini luas rupanya. Di Pulau Tengah Danau di puncak Gunung Berdanau Berpulau ia telah pernah bertemu dengan Undinen. Dan di sini, di Rimba Hijau, ia bertemu dengan Manusia Tiga Kaki. Makhluk-makhluk yang dulunya hanya pernah ia dengar ada dalam cerita, telah ditemuinya. Entah jenis makhluk apa lagi yang kelak akan dihadapinya.

Rancana sejenak terkenang akan muridnya, Lantang. Juga karena Lantang ia berkunjung ke Rimba dan Gunung Hijau ini, untuk mencari tahu dari Ki Tapa, kemungkinan untuk mengobati tersumbatnya aliran hawa dari muridnya.

“Aku telah tiba di sini, itu yang penting. Berikutnya minta pertolongan mereka,” gumamnya.

Ia kemudian beranjak menghampiri penganan yang tadi ditunjuk Coreng, membuka bungkusnya dan mulai menyantapnya.


“Engkau yakin, Moreng?” tanya Coreng.

“Benar, Coreng! Aku lihat sendiri mereka membongkar kuburan Gentong dan mengambil mayatnya,” ucap Moreng meyakinkan.

“Untuk apa ya?” tanya rekannya kemudian.

“Entah!” yang dijawab sang kawan dengan mengangkat bahunya.

“Baiknya kita beritahu saja ketua Hitam-Putih. Pasti ada apa-apanya!” usul kawannya kemudian.

Yang diajak berbicara menangguk setuju atas usul itu. Bergegas kemudian keduanya bergerak lincah, menyelinap di antara dedaunan dan pohon-pohon yang tumbuh rapat.


“Ceng Siang, lihat ini! Hanya manusia yang dapat melakukan kekejaman seperti ini..,” ucap seorang tua kepada dara muda yang ada di sampingnya.

“Iya, ayah. Hanya manusia,” jawab sang dara. Ia merasa merinding demi melihat mayat di mana-mana. Sebagian telah membusuk dan dimakan binatang buas. Sebagian masih utuh akan tetapi telah ditutupi ulat dan lalat.

“Perguruan Atas Angin” begitu yang tertulis di pintu gerbang perguruan silat itu. Akan tetapi lebih cocok dibilang suatu kuburan, karena selain orang mati, tidak ada manusia yang masih bernafas di dalam sana.

Ceng Liok dan anaknya Ceng Siang kebetulan saja lewat dan tertarik atas lolongan anjing-anjing liar yang jarang didengar siang hari. Lolongan yang seakan-akan menceritakan bahwa mereka sedang berpesta-pora. Berpesta santap daging manusia.

“Mari kita bersihkan! Manusia sebagaimana jahatnya pun, jika juga sudah menjadi mayat, berhak atas persemayaman yang layak,” ujar ayahnya.

Dara tersebut hanya menangguk, tampak agak bingung demi menghadapi demikian banyak mayat yang harus dikuburkan.

“Hati-hati, jangan dipegang!!” ucap ayahnya. “Ini gunakan penutup hidung dan balut tanganmu dengan kain dan lumuri dengan ramuan ini dulu.” Lalu dijelaskannya bahwa mayat yang sudah lama dapat melepaskan racun dan bibit penyakit bagi yang menyentuhkan. Oleh karena itu harus segera dikuburkan. Pekerjaan mereka menjadi lebih sulit karena tak boleh langsung menyentuh mayat-mayat tersebut.

“Cukup engkau dorong dengan tonkat ke sudut sana, nanti aku gali sebuah lubang besar. Hati-hati dengan bagian tubuh yang lepas dan cairan yang berceceran!” pesan ayahnya.

Dara itu kembali mengangguk. Sambil menutup hidung, menghindari bau mayat yang membusuk dan juga jerih melihat pemandangan yang kejam dan mengerikan itu, sang dara mulai melakukan apa-apa yang diperintahkan oleh ayahnya.

Dengan perlahan-lahan mereka mulai menguburkan mayat-mayat dalam perguruan tersebut. Perguruan Atas Angin. Perguruan yang telah tumbang dan tidak menyisakan seorang pun hidup-hidup di tempat itu.

Dalam dua tiga hari akhirnya pekerjaan itu pun selesai. Keduanya tampak puas. Di beberapa ruang halaman, tampak di ujung-ujungnya gundukan-gundukan besar. Suatu kuburan masal dari orang-orang yang terbunuh. Entah dari pihak mana. Yang penting semuanya telah dikuburkan.

“Bagus juga tempat ini. Bagaimana jika kita tinggal di sini saja?” ucap ayahnya.

“Bekas orang mati itu?” jawab anaknya sambil masih membayangkan puluhan mayat yang telah mereka kuburkan.

“Mereka toh telah mati,” balas ayahnya, “dan tempat ini, terutama air terjun di belakang amatlah indah. Sayang untuk ditinggalkan.”

“Ya, di belakang itu amatlah indah. Lalu apa yang kita lakukan untuk hidup?” tanya anaknya kemudian.

“Bercocok tanam, membuka perguruan silat, berdagang… Atau apa usulmu?” tanya ayahnya kemudian.

“Membuka kedai saja, aku ada banyak pengalaman,” usul anaknya.

“Ya, benar, tapi dari tanam-tanaman kita sendiri, bagaimana?” ucap ayahnya kemudian.

“Setuju! Jadi bumbu-bumu kita tidak mudah ditebak orang. Pintar!!” kata anaknya antusias.

“Tapi omong-omong apa ada yang mau datang ya? Di sekitar sini terlihat sepi-sepi saja,” tanya anaknya kemudian.

“Buat apa dipikirkan, yang penting kita coba. Toh tanpa ada yang beli kita juga dapat hidup,” jawab ayahnya.

Keduanya kemudian tertawa berbarengan. Begitulah pandangan hidup orang yang sederhana, tidak terlalu takut tidak dapat hidup. Selama berusaha, pastilah ada jalan dari Sang Pencipta.


“Masih jauh, paman Walinggih?” tanya seorang dara kepada orang tua di sampingnya.

“Kita masih harus mendaki gunung ini, Sarini!” ucap orang tua itu sambil menunjuk gunung tinggi dan megah di hadapannya. Di belakang mereka tampak hutan batu-batu membentang. Padang Batu-batu.

“Apakah kedua orang tua Telaga masih ada di tempatnya?” tanya Sarini kemudian. Dari Telaga ia mendengar bahwa mereka juga suka berkelana ke sana ke mari.

“Kita tidak tahu itu, semoga saja. Bila tidak, kita berdiam diri saja beberapa waktu menunggu mereka. Atau kemungkinan paling jelek kita tinggalkan pesan,” ucap Walinggih sambi memandang dengan sayang Sarini, dara yang akan ditunangkan dengan muridnya Telaga. Telaga adalah anak dari Ki dan Nyi Sura, kedua orang yang akan mereka kunjungi saat ini di atas sana, di gunung. Gunung Berdanau Berpulau.

“Mari kita mulai mendaki, supaya tidak keburu malam sudah sampai kita di tengah danau di atas sana. Masih dapat engkau berlari cepat?” tanyanya kemudian.

“Masih, paman. Masih ada tenaga sejak pertempuran terakhir itu,” jawab sang dara ceria.

Walinggih tampak geleng-geleng kepala atas sikap itu. Dalam hatinya ia berkata, “Anak wanita kok senangnya bertempur..!”

“Kencangkan perbekalan dan kainmu, kita akan berlari cepat sekarang. Jangan sampai ada barang-barang yang tercecer atau lepas,” sarannya kemudian.

Dara itu mengangguk. Walinggih sendiri juga memeriksa perbekalannya dan mengencangkan sana-sini dari kain dan jubahnya.

Lalu keduanya mulai beranjak dari situ, mengeluarkan ilmu berlari cepat dan mulai menaiki gunung tinggi itu. Berlari melalui jalan-jalan menanjak dan curam. Meloncat di sana-sini. Terus semakin tinggi dan menuju ke atas. Menuju suatu tempat di atas sana. Tempat di mana terdapat dua orang tua berdiam diri menanti waktu mereka tiba.

Di hadapan kedua orang tua tersebut tampak sesosok makhluk berdiri tanpa senyum. Sedih bahkan. Memandangi kedua orang tua yang berada dalam posisi duduk bersila di hadapannya, yang mengangguk perlahan kepadanya. Lalu ia pun menggerakkan tangannya perlahan dan kemudian bertambah cepat, cepat hampir tak terlihat. Lalu udara di sekitarnya berubah menjadi dingin, kering. Dan es pun mulai bermunculan menutupi kedua orang tersebut. Memutih dan mengeras. Membeku. Sekujur tubuh keduanya tampak tertutup lapisan es, bagai dua buah patung pualam putih.


Tags: