nou

tato

Nein Arimasen
84 mins read ·

elemen kekosongan 6/9

url https://elemen-kekosongan.blogspot.com/2007/01/tato.html

“Deru pun perlahan melembut.
Menghilang.
Sunyi dan sepi.
Dan jiwa pun tenteram kembali.

Menghela napas.
Menghirup keheningan.
Mengekang nafsu.
Senyap.
Lepas.
Lega.

Setelah semuanya berakhir.
Secarik kulit dicabik halus.
Darah menetes lembut.
Menegaskan guratan-guratan mistis.
Guratan di atas kulit nan indah.
Tato.”

Sajak di atas berjudul “Pembicaraan Angin” hasil karya seorang Eremit (petapa) tak dikenal, Unbekanteeremit. Bergetar hati seorang pemuda saat membaca sajak dalam kitab itu, salah satu kitab yang harus dicari keturunan dari pemiliknya semula. Kitab yang dicuri oleh guru pemuda itu dan disembunyikannya, untuk disalin dan dikumpulkan. Sekarang jauh masa setelah kematian sang pencuri, ia menugaskan muridnya, sang pemuda melalui para saudaranya para Troll, agar sang murid mengembalikan kitab tersebut kepada yang berhak. Keturunan orang dari mana kitab tersebut semua diambil.

Ia sekarang bernama Gu Yo, keponakan jauh dari Gu Ming, seorang kakek yang menyelamatkan nyawanya dan membawanya ke rumah nenek Po untuk diobati. Dari perkenalannya yang singkat dengan kakek Gu dan nenek Po, pemuda itu mendapat banyak cerita mengenai situasi dunia persilatan dalam puluhan tahun terakhir ini dan juga orang-orang yang muncul dan menghilang.

“Jadi engkau mencari keturunan seseorang yang senang mengumpulkan koleksi tato dari tubuh manusia?” tanya kakek Gu saat itu hampir tidak percaya. Kakek Gu tidak percaya bahwa ada orang yang punya kegemaran mengumpulkan bagian tubuh manusia. Kulit yang bertato, yang disayat dari tubuh empunya.

“Ya, kekek Gu. Saya mencari keturunan dari orang itu,” jawab pemuda itu hormat.

“Untuk apa mencari orang atau keturunan orang gila seperti itu?” tanya nenek Po menyelak. Penasaran juga ia mendengar keperluan pemuda yang baru disembuhkannya itu untuk mencari seseorang yang dalam pandangannya cukup sesat.

Terdiam sebentar pemuda itu. Ia bimbang apakah ia harus menceritakan apa sebenarnya tujuan ia mencari keturunan dari orang yang dimaksud atau tidak. Kedua orang tua dihadapannya nampak memperhatikannya saat ia berpikir.

“Bila ada rahasia yang enggan engkau ceritakan, tak usalah,” ujar nenek Po ramah. Ia dapat melihat kebimbangan pada wajah pemuda itu.

“Sebenarnya…,” bingung pula pemuda itu. Ia merasa tak enak hati dengan pertolongan kedua orang yang telah menyelamatkannya itu. Tapi apabila ia menceritakan hal yang sebenarnya, bisa pula mendatangkan masalah baru bagi misinya.

“Begini saja,” ucap kakek Gu kemudian menengahi, “cukup kamu katakan bahwa tidak ada sama sekali niat untuk berseteru dengan keturunan orang ini, dan kamipun akan merasa lega.”

Pemuda itu pun mengangguk, “Tidak sama sekali. Saya tidak berpikir untuk berseteru dengan keturunan orang ini.”

Kedua orang tua yang berada di hadapannya pun menggangguk lega.

“Dulu, ada seorang berjulukan Ceng-Liong Hui-To (Naga Hijau Pisau Terbang) yang memiliki kegemaran untuk mengeletek kulit tubuh musuh-musuhnya meniru legenda tradisi suatu suku bangsa yang mengambil kulit kepala musuh yang dikalahkannya. Akan tetapi ia tidak sembarangan mencari musuh. Musuh yang dicari umumnya adalah para golongan orang-orang jahat yang memiliki tato pada bagian tubuhnya,” cerita kakek Gu.

“Benar..,” lanjut nenek Po, “orang-orang jahat pada masa itu berkumpul dan membentuk suatu kumpulan yang dicirikan dengan adanya tato pada tubuh mereka. Semacam kejahatan yang diatur oleh para pemimpinnya. Jika suatu suku bangsa di suatu tempat dicirikan oleh corak sarung yang dipakainya (Skotlandia), maka para begal ini dicirikan oleh tato yang dikenakannya. Beda kelompok, beda ciri khas tato yang digunakan.”

“Dan corak yang semakin rumit menunjukkan ketinggian kedudukan atau pengalaman yang telah dimiliki seorang anggota kelompok kejahatan ini,” tambah kakek Gu.

“Bagaimana kakek Gu dan nenek Po bisa tahu banyak tentang soal ini?” tanya pemuda itu ingin tahu.

Keduanya saling berpandangan satu sama lain dan kemudian meledaklah tawa di antara mereka. Pemuda itu hanya dapat menatap bingung pada kelakukan dua orang tua dihadapannya, yang dianggapnya benar-benar membingungkan.

Setelah tawa berderai keduanya usai, kakek Gu dengan masih mengapus air mata yang meleleh pada matanya berkata, “Sebenarnya, kami berdua pernah juga ikut pada kelompok semacam itu…”

“Eh..!,” pemuda itu tampak kaget mendengar jawaban kakek Gu, “tapi berarti, kakek dan nenek…” tak diselesaikannya ucapan itu. Sungkan ia melanjutkannya. Apalagi terhadap orang yang baru saja beberapa hari ini menolongnya.

“Bukan, kami bukan menjadi begal atau mungkin belum,” ucap nenek Po. “Pada jaman itu, sebelum orang-orang bertato itu dipandang sebagai penjahat, budaya tato itu sebenarnya telah ada jauh sebelumnya. Dan budaya itu dianggap sebagai suatu tanda kematangan. Orang yang sudah dewasa, dianggap lengkap bila telah memiliki tato.”

Sambil berkata demikian nenek Gu menggulung salah satu lengannya ke atas. Di atas lengan yang kepucatan itu tampak dua ekor naga yang saling berbelit. Satu berwarna merah dan satu berwarna biru. “Ini kelompok Naga Merah Naga Biru,” jelasnya. “Kelompok yang hanya terdiri dari para wanita.”

“Oh, begitu!” jawab pemuda itu. Lalu sambungnya, “Dan kakek Gu punya..”

Kakek Gu tertawa kecil mendengar pertanyaan itu. Dibukanya bajunya sambil berbalik membelakangi. Tampak di punggungnya gambar sebuah naga hitam dan lingkaran di tengah yang dicengkeramnya. “Itu kelompok Naga Hitam Penjaga Mutiara,” jelas nenek Po, “bagian yang bulat ini adalah mutiara yang dijaga.”

“Itulah sebabnya kakek dan nenek bertanya apa saya bermaksud berseteru dengan keturunan Ceng-Liong Hui-To?” tanya pemuda itu kemudian.

“Ceng-Liong Hui-To, boleh dikatakan adalah pahlawan pada saat itu. Ialah yang membantu penduduk menghalau para begal bertato.” kali ini kakek Gu yang menjawab, “dan pertanyaanmu itu sama sekali salah. Jika Ceng-Liong Hui-To adalah musuh dari penjahat bertato, maka kami yang juga bertato bisa saja salah sasaran dan menjadi musuhnya.”

“Untunglah Ceng-Liong Hui-To bukan seorang gelap mata yang main bunuh saja seorang yang bertato tanpa tahu terlebih dahulu asal-usul dan kesalahannya,” lanjut nenek Po, “malah ia adalah orang yang yang amat terpelajar, dan boleh dikatakan menawan.” Dari tekanannya pada kata terakhir yang diucapkannya, nenek Po terlihat bahwa ia amat mengagumi sosok Ceng-Liong Hui-To tersebut.

Lalu mereka berdua menceritakan bahwa Ceng-Liong Hui-To menasehati para pemuda dan pemudi tidak lagi menato dirinya, karena hal itu dianggapnya tidak baik. Merusak tubuh yang telah diberikan oleh Sang Pencipta dengan gambar-gambar yang kadang tak jelas artinya.

Sebagian orang menuruti anjuran tersebut, akan tetapi sebagian lain tidak. Bagian yang tidak ini yang kemudian menjadi lepas kendali. Mereka malah menuduh Ceng-Liong Hui-To mengekang kebebasan berekspresi orang-orang, padahal itu adalah tubuhnya sendiri.

Atas bumbu-bumbu hasutan para begal, orang-orang yang mendukung ‘kebebasan bertato’ ini kemudian membentuk kelompok yang anti keteraturan, anti kemapanan. Mereka melakukan apa-apa yang dilarang. Apa-apa yang tidak dianjurkan.

Rasa kebersamaan yang tumbuh di antar orang-orang yang tidak mempunyai tujuan hidup yang jelas, membuat orang-orang tersebut benar-benar merasa di rumah, di antara orang-orang senasib. Mereka tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka hanyalah dimanfaatkan oleh sedikit begal demi keuntungan mereka.

Akibat pesatnya pertumbuhan orang-orang yang mendukung kebebasan bertato ini, pemerintah menjadi kalang-kabut. Kerusuhan-kerusuhan pun terjadi di mana-mana. Dengan dalih kebebasan mereka menyiarkan ketakukan dan rasa tidak aman di antara orang-orang yang berseberangan dengan mereka. Merampas ‘kebebebasan’ orang yang tidak sepaham.

Ceng-Liong Hui-To pernah suatu kali menyatakan pendapatnya kepada beberapa rekannya yang duduk di pemerintah bahwa budaya tato yang telah turun-temurun dilakukan orang di kota itu, agar dihapuskan. Ia pernah mendengar bahwa budaya itu cenderung membuat orang-orang menjadi kasar dan tak tentu arah.

Alih-alih mendengarkan, para rekannya itu malah menenangkan dirinya, dan berujar bahwa ketakutannya yang masih saja terbawa dari jaman perang dulu, dan selalu saja berlebihan.

Ucapan Ceng-Liong Hui-To terbukti tidak sampai setahun kemudian. Kelompok pemuda dan pemudi bertato tumbuh dengan pesat. Bersamaan dengan itu terjadi pula perampokkan, pencurian dan lain-lain oleh orang-orang bertopeng dan bertato. Sengaja mereja menggunakan topeng, akan tetapi memperlihatkan tato di tangan dan punggung mereka.

Akibatnya jelas, pemerintah yang tidak memiliki bukti keterlibatan begal-begal yang seakan-akan merupakan kelompok pemuda anti kemapanan itu, main tangkap saja orang-orang yang bertato. Dengan jumlah yang banyak mulai timbullah perlawanan. Suatu pertentangan yang bukan disebabkan oleh mereka.

Pada saat itulah Ceng-Liong Hui-To turun tangan. Dengan hati-hati ia menyelediki kelompok-kelompok bertato, menyelinan sana dan sini dan mendengarkan percakapan-percakapan. Akhirnya ia bisa menemukan orang-orang atau begal-begal yang bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan yang menyebabkan pemerintah bersiteru dengan para pemuda bertato secara umum.

Dengan membawa beberapa saksi dan bukti, para pemuda dan juga pemerintah disadarkan. Organisasi-organisasi kepemudaan bertato pun dibubarkan oleh para massanya sendiri. Mereka merasa telah diperalat oleh para begal. Walaupun telah salah tangkap, tapi pemerintah masih berdalih bahwa itu untuk kepentingan umum. Sebuah luka yang kelak akan kembali bernanah. Luka antara penguasa dan rakyat yang seharusnya diayominya.

Pendek kata kerusuhan dan ketegangan akibat tato pun menghilang. Suasana kembali seperti semula. Tenang dan damai. Roda perekonomian kembali bergulir normal.

Akan tetapi ada yang hilang di akhir pergolakkan itu, yaitu Ceng-Liong Hui-To sendiri. Tidak ada seorang pun yang mengetahui keberadaannya. Pemerintah sebenarnya ingin mengangkatnya sebagai perwira kerajaan untuk menangani masalah-masalah kerusuhan, informasi rahasia dan keamanan. Akan tetapi dengan hilangnya, tidaklah jadi hal itu dilakukan. Untuk mengenangnya, kantor polisi di kota itu dinamakan Rumah Jaga Ceng-Liong Hui-To.


“Kota Siaw Tionggoan” begitulah yang tertulis di atas sebuah gerbang batu setinggi pohon kelapa dan selebar empat kalinya. Gerbang yang menandakan awal kota tersebut. Kota Siaw Tionggoan terletak di tepi suatu sungai kecil pecahan dari sungai Merah yang mengarah jauh ke timur laut meninggalkan pantai selatan dan padang Batu-batu. Kota yang banyak dihuni oleh perantau dari Tlatah Tiongkok.

Berseri wajah pemuda itu melihat gerbang batu yang megah itu. Walaupun terlihat sederhana dengan sedikit ukir-ukiran, akan tetapi komposisinya yang bernuansakan warna yang teduh keabuan, mendatangkan kesan masif dan keren. Besar dan gagah.

Ia tidak tahu bahwa gerbang sebelah timur itu memang dibuat sedemikian rupa dengan warna keabuan. Warna udara dan asap. Oleh karena memang gerbang tersebut bernama Gerbang Udara atau Angin. Terdapat lambang besar segitiga dengan puncaknya menghadap ke atas, dan tengahnya dicoret garis mendatar, terpahat pada tengah batang melintang. Kepala dari gerbang itu. Lambang elemen kuno udara. Sesuatu yang diapungkan atau diresapi oleh api, yang dilambangkan dengan segitiga puncak ke atas.

Setelah kekagumannya atas gerbang sebelah timur itu, Gerbang Udara, terpenuhi mulailah ia melihat-lihat hal-hal lain. Di sepanjang jalan yang lurus dan panjang itu, yang ujungnya hampir-hampir tak bisa diperkirakan, ia melihat berbagai aneka toko-toko. Belum pernah ia melihat kota yang seramai ini. Tidak juga kota tempat asalnya, kota Luar Rimba Hijau.

Jalan-jalan yang sudah dipadatkan dan dilapisi batu-batu persegi di atasnya, membuat jalan orang dan juga pedati yang lewat menjadi lebih mudah. Saat hari hujan, tidak ada lagi lumpur atau genangan air yang mengganggu. Jalan batu.

Kebingungan pemuda itu akhirnya berdiri pada suatu persimpangan jalan. Jalan di depannya masih lurus jauh, bagai tanpa akhir. Jalan di belakangnya mengarah kembali ke Gerbang Udara. Kedua jalan kiri dan kanan sama-sama menarik, tapi tidak ada yang memberatkannya, sehingga ia tak dapat dengan segera memilih salah satunya.

Tiba-tiba matanya tertarik pada gerakan seseorang yang membelok pada suatu jalan kecil di sisi kanan jalan yang berarah ke kiri. Suatu sosok yang menghentakkan kenangan lama, Citra Wangi. Bergegas pemuda itu mengikuti nalurinya membuntuti sosok bayangan yang memincut rasanya itu.

Dia merasa yakin bahwa sosok itu adalah orang yang ada dalam kenangannya. Sosok tubuhnya yang langsing dan cukup tinggi. Gerakan langkahnya yang mengalir dan mantap. Lenggak-lenggoknya yang secukupnya dan tidak berlebihan. Pastilah itu dia. Tak terpikirkan lagi oleh Gu Yo bagaimana sosok yang disangkanya sang kekasih bisa berada di kota Siaw Tionggoan dan bukan di Kota Pinggiran Sungai Merah seperti diberitakan oleh Nyi Antini, istri mendiang Ki Baja dari Kota Luar Rimba Hijau. Nalarnya telah ditundukkan oleh kenangan yang menggelora.

Bergegas dipacu langkahnya. Tak dihiraukannya saat ia tak sengaja berpapasan dengan beberap orang yang hampir saja ditabraknya. Beberapa dari mereka sempat mengumpat-umpat dengan bahasa yang kurang dimengertinya, karena dialek mereka yang cukup kental.

Sesampainya ia di jalan kecil di sebelah kanan dari jalan besar yang mengarah ke kiri, dilihatnya sosok gadis yang diikutinya tersebut berada pada jarak belasan tombak di depannya. Bergegas ia kembali menaikkan laju langkahnya, agar dapat cepat dicapainya orang yang diharapkan sebagai kekasihnya itu.

Entah kebetulan atau memang sang gadis memang sedang juga dalam kegergesaan, ia pun memacu langkahnya. Cepat. Akibatnya jarak ia dan Gu Yo masih tetap belasan tombak lebarnya. Tak lama ia membelok ke kiri satu dua gang kecil dan akhirnya kembali mengambil jalan kecil di kanan, yang kemudian membawa sang penguntit dan yang dikuntit kembali ke suatu jalan besar. Jalan yang sejajar dengan jalan besar sebelah kiri yang pertama-tama diambil Gu Yo sejak di persimpangan, saat ia bingung tadi.

Sekarang dengan banyak berlalu-lalangnya kereta kuda, pedati dan juga kereta tanpa kuda, yang digerakkan oleh orang atau mesin bersuara ribut, jarak antara Gu Yo dan sang gadis semakin lebar. Gu Yo yang tidak terbiasa berjalan di suatu tempat dengan banyak kendaraan dan orang, berkali-kali hampir tertabrat, dan sudah tentu kaya dengan umpatan dan makian, seperti “Pake matamu!”, atau “Matamu kemana?” dan sejenisnya.

Akhirnya perburuan itu pun berakhir, dengan sampainya sang gadis di suatu rumah atau toko yang cukup besar. Besar dan mewah menurut Gu Yo, dilihat dari papan namanya yang lebar dan berwarna cerah di atas wuwungan depannya. “Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To”.

“Lagi-lagi Ceng-Liong Hui-To..,” bergumam Gu Yo dan teringat pada cerita kakek Gu dan nenek Po. Tapi rasanya bukan ini, pikirnya. Lamunannya pun terhenti saat seorang penjaga menegurnya. Seorang pemuda berbadan tegap yang terlihat ramah.

“Tahan dulu, anak muda!” katanya bersahabat, “Apa keperluanmu? Apa sudah ada janji?”

“Janji?” bengong Gu Yo mendapati pertanyaan itu diajukan padanya. Ia tidak tahu bahwa di kota-kota besar seperti kota Siaw Tionggoan ini, orang sedemikian sibuknya, sehingga untuk bertemu, mereka terlebih dahulu harus membuat janji.

“Eh, itu.., anu..!” katanya gagap sambil menunjuk kepada bayangan gadis yang diikutinya tadi. Bayangan yang sudah lenyap di balik pintu bangunan itu. Bayangan yang tadi sempat bertegur sapa dengan penjaga yang menyapanya, dan disapa balik dengan, “Nona Lin!”

“Hah? Apa maksudmu dengan eh, itu.., anu..?” tanya sang penjaga kembali, yang merasa tak mengerti dengan ucapan yang dikeluarkan oleh sang pemuda.

“Maaf, maksud saya, saya ingin bertemu dengan nona tadi. Nona yang baru saja masuk itu!” jawabnya kemudian setelah dapat menenangkan dirinya.

“Ah, maksudmu nona Lin?” tanya penjaga itu kembali untuk menegaskan. Lalu lanjutnya, “dan apa urusannya? Sudah ada janji atau belum?”

“Eh, harus sudah ada janji ya?” tanya Gu Yo kembali. Janji, sesuatu yang tidak ia temui di kotanya. Orang-orang di sana bila ingin berkunjung, dapat langsung datang kapan saja. Tak perlu ada janji-janjian segala. Mungkin lain kota, lain tata cara-nya. Demikian pikirannya menyimpulkan.

Penjaga itu melihat kebingungan sang pemuda, akhirnya menggapainya untuk ikut. Lalu ditunjukkannya seorang gadis yang sedang duduk di meja dekat tempat penjaga tadi berdiri. Seorang gadis yang juga terlihat manis seperti sang nona Lin. Posisi gadis yang tersembunyi di balik tembok setinggi dada orang dewasa berdiri itu, sempat tidak terlihat dari luar apabila tidak benar-benar diperhatikan dan diketahui keberadaannya.

Rupanya itu tempat untuk membuat perjanjian untuk bertemu dengan penghuni gedung itu, entah toko atau apalah, Gu Yo tidak tahu.

Setelah dijelaskan oleh sang penjaga bahwa pemuda itu ingin bertemu dengan nona Lin akan tetapi belum membuat janji, lalu sang gadis membuka bukunya dan melirik pada kolom-kolom yang di atasnya tertuliskan “Swee Sian Lin”, nama sebenarnya dari nona Lin. Akhirnya sampailah ia pada suatu kolom, dan bertanyalah ia pada Gu Yo, “nanti sore, antara pukul empat dan setengah lima nona Lin belum ada janji, anda bisa berkunjung pada saat itu? Apakah anda bisa dan mau?”

Mengangguk saja Gu Yo atas usulan itu. Persoalan membuat janji masih asing baginya. Kemudia saat ditanya namanya, ia menyebutkan “Gu Yo”, yang kemudian dituliskan oleh gadis itu. Untuk keperluannya, ia hanya membubuhkan “ingin bertemu” tanpa bertanya dulu kembali kepada Gu Yo, sebagaimana disampaikan oleh penjaga tadi.

“Anda bisa berjalan-jalan dulu, melihat-lihat kota Siaw Tionggoan untuk membunuh waktu. Masih sekitar empat jam untuk bertemu dengan nona Lin,” saran sang gadis tersebut.

Gu Yo pun mengangguk mengiyakan. Saat itu dilihatnya beberapa orang masuk, memberi salam kepada penjaga dan menuju tempat sang gadis, gadis yang mencatatkan janji-janji untuk bertemu dengan para penghui gedung itu. Beberapa di antaranya menyebutkan nama yang akan dikunjungi, keperluannya dan waktunya. Dua orang dari mereka rupanya telah membuat janjinya kemarin. Setelah diakurkan dengan apa yang tertera dalam buku janji tersebut mereka dipersilakan untuk masuk. Seorang pelayan mengantarkan mereka, menunjukkan jalan ke bagian ke mana mereka akan menuju. Sedangkan sisanya baru akan membuat janji untuk bertemu dengan penghuni gedung itu sore ini atau keesokan harinya.

Mengangguk-angguk Gu Yo melihat hal yang baru itu. Rupanya ia harus membuat janji dulu untuk bertemu orang-orang yang tinggal dalam rumah itu. Suatu pengalaman yang baru dialaminya di sini, di kota Siaw Tionggoan.

Setelah cukup memperhatikan dan merasa mengerti, Gu Yo pun keluar untuk menghabiskan waktu, sebelum bertemu dengan nona Lin. Sosok gadis yang dipikirnya adalah Citra Wangi, kekasihnya dulu. Orang yang telah ditunangkan dengan dirinya.

Di tepi jalan besar di muka Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To tampak Gu Yo celingak-celinguk kebingungan. Ia tidak tahu harus kemana untuk membunuh waktu sebelum jam empat nanti. Saat ia sedang memandang ke kiri dan ke kanan, suatu suara dalam lambungnya merekah, membujuknya untuk pergi ke suatu arah di mana aroma lezat hidangan mengambang di udara.

Setelah berjalan beberapa saat, ditemukannya sumber kelezatan yang seakan-akan mengundangnya ke tempat itu. Sebuah kedai yang menyajikan berbagai masakan yang dipanggang atau dibakar. Kedai Daging Bakar namanya. Berbagai jenis daging dapat ditemui di sana, dari ayam, sapi, kerbau, kambing sampai ular dan kelinci. Berbagai jenis-jenis daging yang telah kering dan diasap, dipajang di suatu bagian depan kedai dan diberi nama. Takjub juga Gu Yo melihat model iklan dari kedai tersebut.

Saat ia sedang melihat-lihat “hiasan” berupa daging yang sudah dikeringkan itu, berwarna merah dan masih menyajikan bau sedap khasnya masing-masing, seorang tua menyapanya, “Ayo jangan malu-malu, mari masuk mencicipi!” ajaknya.

“Eh, tapi..,” Gu Yo tak bisa melanjutkan ucapannya. Ia tak tahu harus berucap bagaimana. Sebagaimana diketahui tidak banyak Tigaan yang dibekalinya sedari keluar dari Rimba Hijau dan juga sehabis bertemu kakek Gu dan nenek Po. Dan ia memang telah berniat untuk mencari pekerjaan di kota ini, sembari menunaikan misinya mencari keturunan dari Ceng-Liong Hui-To.

“Ah, pasti kau tidak cukup punya uang, ‘kan? Ayo anak muda, masuk saja. Aku pemilik kedai ini. Kamu boleh makan sepuasmu, tapi setelah itu bantu-bantu, bagaimana?” jawabnya ramah. Yok Seng, orang tua itu memang pemilik kedai itu. Ia baru saja berjalan ke bagian lain kota untuk mencari tenaga tambahan. Rencananya beberapa hari lagi akan ada perayaan menyambut tamu dari pemerintah pusat. Biasanya pada hari-hari “besar” seperti itu pengunjung akam membeludak. Untuk itu ia perlu tenaga segar agar bisnisnya dapat tetap berjalan dengan baik. Sukur-sukur pemasukannya bisa berlipat-lipat pada saat-saat itu.

Ia telah berusaha menuju ke suatu bagian kota di mana di sana terdapat suatu semacam agen yang menyalurkan tenaga-tenaga kerja paruh waktu. Tapi berhubung suatu peristiwa kunjungan oleh pemerintah pusat ke kota Siaw Tionggoan adalah suatu peristiwa yang jarang terjadi, toko-toko dan kedai-kedai lain pun sudah memborong tenaga kerja. Habis. Tiada yang tersisia. Bahkan ia hanya menemui tulisan “tutup” di sana. Mungkin sang penyalur tenaga kerja bahkan ikut “bekerja” sebagai tenaga paruh waktu, mengingat permintaan yang banyak, sudah bisa dipastikan gajinya pun akan lumayan.

Demi melihat seorang pemuda di depan kedainya yang sedang termangu menatap daging-daging keringnya, langsung saja Yok Seng menawarkannya pekerjaan. Dari perawakannya yang tegap dan berisi, sudah pasti pemuda itu kuat untuk bekerja keras. Sosok yang dibutuhkannya untuk saat itu.

“Eh, benar paman? Saya boleh bekerja di sini?” tanya Gu Yo tak percaya. Ini adalah betul-betul suatu kesempatan yang tidak disangka-sangkanya. Ia tidak harus sulit-sulit mencari pekerjaan, akan tetapi dapat dengan mudah memperolehnya. Orang bilang itu memang sudah rejekinya atau suratan langit.

Yok Seng yang ditanya hanya mengangguk. Ia melihat bahwa pemuda itu, Gu Yo, masih baru dan belum ada pengalaman sama sekali. Kejujuran pun tampak dari wajahnya. Jujur itu adalah sifat yang dibutuhkan untuk dapat bekerja dengan langgeng. Yok Seng yang telah berpuluh tahun mengelola kedai itu dapat dengan segera melihat sifat seseorang dari percakapan singkat saja, hasil asahan pengalaman yang menahun.

“Eh, tapi.. saya..,” ucap Gu Yo bingung dan ia pun lalu menceritakan keperluannya ke kota itu yang memang ingin mencari kerja, tapi telah membuat janji dengan nona Lin, Swee Sian Lin di Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To.

“Engkau tidak akan bekerja di sana, bukan?” tanya Yok Seng penuh selidik. Entah bagaimana ia tak rela calon tenaga kerjanya akan diambil oleh orang lain. Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To adalah suatu galeri seni tato yang cukup beken di kota itu. Suatu saingan dalam mempekerjakan orang pada saat hari-hari “besar”.

“Tidak, paman! Saya hanya ingin bertemu dengan nona Lin saja. Tidak ingin bekerja di sana,” jawabnya.

“Bagus kalau begitu! Ayo kita makan dulu, sudah terdengar ususmu itu belingsatan,” kelakar Yok Seng.

Memerah wajah Gu Yo itu. Malu ia akan ususnya yang tidak sungkan-sungkan untuk menyuarakan isi hatinya. Lapar.

Yok Seng tidak menyuruhnya duduk di depan, tempat orang-orang yang sedang menjadi pelanggan kedai itu makan, melainkan mengajaknya terus ke belakang, ke suatu ruangan besar yang berfungsi sebagai dapur dan juga tempat orang-orang pekerja kedai itu berkumpul. Di sana ada sebuah meja besar dan panjang yang dipenuhi berbagai macam benda. Di keempat sisi meja tersebut terdapat kursi panjang tanpa sandaran. Entah berapa jumlahnya. Satu kursi bisa muat empat sampai lima orang kiranya.

“Ini Ma She,” ucap Yok Seng kepada Gu Yo, “kepala koki di sini. Dan juga yang bertanggung jawab jika aku tidak ada.”

“Ma She, pemuda ini akan kerja sini mulai hari ini. Kasih dia makan terus atur tugasnya. Oh, ya untuk hari ini kasih dia waktu nanti jam empat untuk keluar sampai jam lima. Ada keperluan dia di Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To,” sambil tak lupa Yok Seng memberi tahu.

Ma She hanya mengangguk. Orangnya tak banyak senyum. Tapi wajahnya ramah. Mukanya lebar dan besar. Tubuhnya tak terlalu tinggi. Tulang tangan dan kakinya lebar-lebar, sehingga tampak gemuk padahal tidak.

“Siapa namamu?” tanyanya singkat kepada Gu Yo setelah Yok Seng meninggalkan mereka untuk memeriksa pekerjaan lain-lain yang dilakukan lain orang.

“Gu Yo!” jawab pemuda itu pendek.

“Duduk di sini dan makan semampumu,” katanya kemudian sambil mengangsurkan piring kosong lebar. Piring paling lebar yang pernah dilihat Gu Yo. Hampir sebesar nampan bundar.

Saat Gu Yo terlihat agak ragu-ragu mengisikan lauk dan juga nasi ke dalam piringnya, Ma She dengan cekatan mengambil sejumput besar nasi dengan sendok besar dan dua kerat daging seukuran dua kepalan tangan dan meletakkan di piring Gu Yo. Tak lupa diambilnya dengan sumpit sejumput sayur-sayuran dan terkahir dituangkannya saus merah harum di atas dua kerat daging tersebut.

Takjub Gu Yo melihat hidangan yang harus disantapnya itu. Dan semakin takjud saat masih Ma She berkata, “kalau kurang, tambah lagi!” Ia juga tak lupa meletakkan sendok, garpu, pisau, sumpit. Ia tidak menanyakan alat makan apa yang biasa digunakan oleh Gu Yo, hanya meletakkan semua yang biasa digunakan.

Setelah Ma She berlalu dari sana, mulailah Gu Yo menyantap hidangan yang ada dalam piring jumbonya itu. Mula-mula dicobanya daging keratan pertama yang berwarna lebih gelap dari keratan kedua. Dengan sumpit gumpalan daging keras itu tak bisa diceraikan. Lalu dicobanya dengan menggunakan sendok. Juga tidak bisa.

Saat itu lewatlah seorang gadis. Melihat kesulitan Gu Yo dalam menyantap penganannya, ia pun berkata, “Bisa? Perlu dibantu?”

Gu Yo hanya menggangguk.

Tanpa dipersilakan gadis itu dengan duduk di samping Gu Yo. Begitu dekat sehingga hidungnya bisa mencium keharuman keringatnya yang tercampur dengan semerbak masakan-masakan. Suatu sensasi yang belum pernah ditemuinya. Lain dengan semerbak wangi tunangannya dulu.

Ucapan sang gadis membuyarkan lamunan sesaat itu, “Begini caranya: tangan kanan memegang pisau, tangan kiri memegang garpu.” Lalu diperagakannya cara memantapkan daging agar tidak bergulir untuk kemudian dipotong dengan pisau. Satu bagian Potongan telah lepas dan sisanya masih tertancap pada garpu. Dipotongnya lagi potongan yang masih tertancap berulang kali sehingga tersisa seukuran setengah telur ayam. Lalu dengan jenaka gadis itu mengucapkan, “jika sudah cukup kecil, langsung dimakan.” Dan “Hap!!” daging tersebut lenyap di mulut mungilnya yang menawan. Gu Yo hanya dapat melongo melihat hal itu.

“Eh, terus nasi ini gimana?” masih bingung dirinya bagaimana bisa makan nasi menggunakan garpu dan pisau tersebut.

Alih-alih menjawab, si gadis menyisir nasi dalam piring besar itu ke arah garpunya menggunakan pisau, memadatkan sedikit di atasnya dan menggerakkan garpu yang sudah berisi nasi itu ke arah mulutnya. Dan kembali “happ!” lenyap di balik mulutnya.

“Ah, begitu!” sahut Gu Yo menggangguk-angguk. “Bisa juga iisau digunakan seperti itu.” Suatu pengalaman baru lagi yang didapatnya di tempat ini.

“Ma Siang!” tiba-tiba terdengar suara mengguntur di belakang mereka. Si gadis dengan cepat bangkit dan bergegas pergi. Sambil tak lupa berucap, “selamat makan!!”

Ma She yang tiba-tiba berada di sana, tampak menggeleng-gelengkan kepala. Ia kebetulan saja melihat gadis itu bersama dengan Gu Yo. Dan seperti yang diduganya, sedang mengerjai Gu Yo.

“Sudah habis makanmu?” tanyanya setelah sampai di samping pemuda itu.

“Eh, belum, paman!” jawabnya. “Masih belum bisa pakai garpu dan pisau ini. Untung ada gadis itu tadi yang mengajari.”

“Ma Siang? Mengajari?” tersenyum Ma She mendengar itu, walaupun ia tahu bahwa gadis itu mungkin memang mengajari Gu Yo, tapi pasti ada sesuatu yang dinakalinya.

“Iya, paman!” jawab Gu Yo sambil memperagakan cara makan yang diajari oleh Ma Siang. Bagaimana ia memotong daging, menyuapnya dengan garpu di tangan kiri dan memadatkan nasi pada garpu dengan pisau di tangan kanan dan menyantapnya.

“Bagus kalau begitu. Ayo, habiskan makananmu! Kerjaan sudah menunggu,” ucapnya kemudian. Ma She masih berpikir-pikir apa yang telah dikerjakan oleh Ma Siang. Masak cuma itu, benar-benar mengajari. Tapi saat ini bukan waktunya. Ia pun kembali membiarkan pemuda itu menyantap makan siangnya.

Setelah diajari oleh Ma Siang, Gu Yo dapat dengan mudah menyantap hidangannya. Kuah atau saus merah harum yang tergenang pun dapat dengan mudah disisirnya, atau sayur yang harus dipotong dulu, ke atas daging atau nasi yang telah siap untuk untuk diangkat oleh garpu. Gu Yo pun mulai dapat menikmati makan siangnya dengan cara itu. Cara makan yang baru, menggunakan alat makan yang belum pernah dialaminya. Biasanya ia hanya makan menggunakan tangan kosong saja.

Setelah habis ia pun sedikit mengelus perutnya yang telah terisikan. Kenyang dan tenang. Dibawanya piring bekas santapannya itu ke suatu sudut, di mana ia melihat beberapa orang sedang mencuci alat-alat makan. Saat seorang menunjukkan padanya tempat untuk meletakkan piring kotor beserta garpu, sendok, sumpit dan pisaunya, Gu Yo pun mengikuti dan meletakkannya di sana. Terpisah, masing-masing ada wadahnya sendiri-sendiri.

Saat ia bingung tentang apa yang harus dikerjakannya, seorang menggapai bahunya. “Ikut aku!” katanya.


Dua orang tua tampak sedang duduk-duduk di depan sebuah gubuk di tengah hutan. Seorang wanita tua dan lainnya lelakit tua. Nenek Po dan kakek Gu, kedua orang yang sebelumnya telah merawat luka Gu Yo atau Paras Tampan akibat merapal ilmu Jarum Terbang Debu Pasir yang belum dikuasainya dengan benar.

“Heh, kakek Gu! Apa yang kamu pikirkan? Sedari Gu Yo pergi ke kota Siaw Tiong Goan, kau banyak sekali berdiam,” ucap nenek Po terhadap orang sedang duduk tak jauh darinya itu.

“Hmmm…,” jawap kakek Gu pendek. Ucapan yang kiranya menandakan bahwa pikirannya masih mengembara ke sana kemari dalam alam khayalannya sendiri.

“Ya, sudah! Aku mau masak dulu, sebentar lagi kita makan bareng,” ucap nenek Po kembali sambil bangkit dan berbalik masuk ke dalam pondoknya. Sibuk ia kemudian mengaduk-aduk kuali besar yang menebarkan di udara suatu keharuman menggoda lambung. Keharuman akan kelezatan yang tidak akan didiamkan begitu saja oleh cacing-cacing penghuni perut. Segera mereka akan berontak minta diasup.

Kakek Gu, sepeninggal nenek Po, masih saja tenggelam dalam lamunannya. Dan benar seperti perkataan nenek tersebut, bahwa ia terlamun-lamun ada kaitannya dengan pemuda yang disebut-sebut itu. Gu Yo. Ia terpikir akan pemuda itu. Entah bagaimana, ada hal yang menarik dari pemuda itu, sehingga tetap lekat pada ingatannya.

Ia masih teringat bagaimana ia yang saat itu sedang bertarung sengit dengan Su-Mo ditolong oleh pemuda itu. Tetapi akibat ilmu mujijat yang dirapalnya yaitu Jarum Terbang Debu Pasir, suatu ilmu dasyat yang dapat mengubah butir-butir debu di sekeliling perapalnya menjadi padat dan berbentuk jarum untuk diterbangkan menyerang sang lawan, yang melukai sang pemuda sendiri karena belum benar-benar menguasainya. Di situlah perkenalan antar keduanya dimulai.

Dengan dibantu nenek Po, kakek Gu mencarikan daun-daun obat untuk ramuan kesembuhan pemuda itu, yang kerap dipanggil “anak Yo” oleh kakek Gu. Sampai akhirnya ia diberi nama dengan she kakek Gu, menjadi Gu Yo. Nama yang juga memudahkan perjalanan anak tersebut di kota Siaw Tiong Goan, suatu kota di mana penduduknya kerap berasal dari Tlatah Tengah (Tionggoan) yang kadang sulit untuk melafalkan nama dari tempat lain, dalam rangka mencari keturunan dari Ceng-Liong Hui-To.

Lamunan kakek Gu terhenti saat beberapa orang memasuki halaman rumah nenek Po. Orang-orang dengan tubuh-tubuh kekar dan kasar. Diantara mereka terdapat empat orang yang sekilas terlihat berbeda karena langkahnya yang lebih ringan dan berisi. Orang berilmu.

“Zahnloserbauer (Petani Ompong), saatnya kita putuskan perhitungan kita! Utangmu padaku harus lunas hari ini,” ucap seorang dari mereka, yang berwajah agak gelap. Hek-Mo, salah seorang dari Su-Mo (Empat Setan).

Kakek Gu yang saat itu sedang menerawang pada sosok Gu Yo, sontak terkoyak, ia pun menoleh, memperhatikan benar-benar kedelapan orang yang ada di hadapannya sekarang. Empat orang Su-Mo dan empat orang baru yang belum pernah ditemuinya. Akan tetapi melihat dari tongkrongan dan busana yang dikenakan, ilmu keempat orang yang baru dilihatnya ini tidak lebih tinggi dari Su-Mo. Meskipun demikian jumlah yang berlipat dua ini pasti akan menjadi masalah baginya, karena dulu dengan hanya berempat, jika tidak dibantu oleh Gu Yo, ia tidak mungkin memang. Apalagi sekarang.

Kakek Gu bukanlah takut untuk mati. Konsekuensi perbuatannya yang membela para petani yang diharuskan membayar “pajak” kepada Su-Mo dan kaki-tangannya, akan dihadapinya dengan jantan. Tapi adanya suatu rahasia yang mesti disampaikannya kepada Gu Yo, yang merisaukan hatinya. Ia menyesal kenapa tidak dulu-dulu hari ia ceritakan hal tersebut kepada pemuda itu.

“Su-Mo, bagaimana keadaan kalian? Sudah baikan?” tanyanya menggoda sambil mengulur-ulur waktu untuk memikirkan suatu siasat agar dapat meninggalkan pesan pada Gu Yo.

Orang yang ditanya sudah tentu memerah wajahnya. Itu bukan pertanyaan yang menandakan keingintahuan mencari kabar, tetapi lebih merupakan ejekan karena dilontarkan oleh orang yang menjadi lawan dan penyebab keadaan mereka “tidak baik” yang ditekankan dengan “sudah baikan”.

Hek-Mo, seorang dari Su-Mo yang terkenal dengan keberangasannya, tidak biasanya berdiam diri. Rupanya hampir remuknya telapak kakinya akibat tendangan cangkul kakek Gu, si Petani Ompong, membuatnya lebih mawas diri akan siapa yang dihadapinya saat ini. Hanya napasnya saja yang berderu-deru, menunjukkan emosi yang telah meningkat.

Alih-alih Su-Mo yang menjawab, keempat orang yang baru hari itu dilihat kakek Gu yang mengambil pembicaraan, kata seorang dari mereka, “Salam, orang tua yang bergelar Petani Ompong. Kami Empat Begal Hutan datang untuk mencoba-coba kemampuanmu.”

“Hmm,” jawab kakek Gu pendek, “apa hubungan kalian dengan Su-Mo?”

“Su-Mo menjanjikan pekerjaan penarikan pajak di daerah ini bagi kami, bila kami bisa menundukkan dirimu, wahai orang tua!” jawab yang ditanya.

Mengangguk-angguk kakek Gu mendengar penjelasan itu, “baiklah, sudah jelas kedudukan kita masing-masing. Aku berada pada pihat petani yang keberatan akan pajak yang berlebihan besarnya, dan kalian berada pada pihak Su-Mo yang berlaku sebagai penarik pajak.”

Tiba-tiba percakapan itu terhenti oleh terbukanya pintu pondok dan keluarnya nenek Po. “Ah, banyak tamu ternyata! Mari-mari, sebelum ‘berdiskusi’, kita isikan dulu perut yang meronta-ronta!” Entah bagaimana, nenek Po seakan-akan tahu akan kedatangan kedelapan orang itu, sehingga ia telah membawa sebuah nampan besar berisikan sepuluh buah mangkok besar. Setengah semangka ukurannya. Bisa dibayangkan adanya suatu “keahlian” karena ia membawa nampan yang panjangnya seukuran peti mati dan di atasnya terdapat sepuluh mangkok besar-besar berisi sup.

Tamu-tamu tak diundang yang datang untuk menagih “utang” dengan kakek Gu, entah bagaimana hanya bisa menurut dan bersama-sama menuju sebuah meja panjang yang terletak di depan pondok nenek Po. Semuah meja kayu besar bundar yang dilengkapi dengan enam belas kursi.

Setelah nenek Po selesai melempar-lemparkan mangkok-mangkok yang “terbang” dan mendarat dengan sunyi di kesepuluh tempat dari enambelas tempat yang ada, orang-orang itu duduk pada tempatnya masing-masing. Delapan buah tempat duduk pada sebelah sisi telah terisi. Dua buah pada sisi yang berlawanan ditempati oleh nenek Po dan kakek Gu.

Dan mereka pun mulailah makan. Sunyi. Hanya suara-suara menyeruput yang terdengar sesekali dan juga kunyahan ringan serta telanan sepi bahan-bahan dalam sup nenek Po.

Setelah makan semuanya duduk lemas, kenyang dengan apa-apa yang ada dalam sup nenek Po. Setelah semua perabotan makan dibereskan dan meja kembali kosong seperti semula, kakek Gu mulai angkat bicara, “Ah, enaknya perut telah kenyang, Su-Mo dan kalian Empat Begal Hutan, mari kita bicarakan ‘urusan kita’ sekarang.”

Kelompok lawan bicaranya yang duduk di separuh meja sana mengangguk-angguk. Hek-Mo yang biasanya berangasan tampak agak terkantuk-kantuk. Puas rupanya ia telah terisi perutnya, sehingga napsu membalas dendamnya agak berkurang.

Seorang dari Empat Begal Hutan berkata, “Wahai orang tua, terima kasih atas jamuanmu. Benar seperti yang diberitakan di tanah Alemania, bahwa Zahnloserbauer tidak membeda-bedakan kalangan. Semua dijamu baik, dengan makanan maupun dengan pedang dan tendangan serta pukulan. Kami merasa tersanjung atas kehormatan ini.”

“Tidak, tidak..,” kata kakek Gu sambil menggoyang-goyangkan telapak tangannya, “tidak perlu sungkan-sungkan. ‘Jamuan’ selalu siap tersedia bagi tamu-tamu kami. Mari kita langsung pada permasalahannya.”

Setelah itu, keempat orang Empat Begal Hutan diikuti oleh Su-Mo berdiri dan mengambil tempat di suatu tempat terbuka tidak jauh dari sana. Mengikuti dari belakang kakek Gu dan nenek Po. Keduanya tampak senyam-senyum di antara mereka, menganggap ‘urusan’ seperti ini adalah suatu yang ‘biasa’.

Keempat orang Empat Begal Hutan lalu mengambil posisi mengepung kakek Gu saat ia berdiri di tengah tempat terbuka tersebut. Su-Mo hanya tampak memperhatikan dari pinggir. Ya, Su-Mo ingin terlebih dahulu melihat kemampuan orang-orang yang menawarkan diri untuk menjadi penarik pajak bagi mereka. Jika tidak mampu menundukkan kakek Gu, apalah gunanya Empat Begal Hutan ini, pikir mereka.

“Wahai orang tua, bukannya kami tidak sopan, tapi kami biasa bertempur berempat. Bila engkau keberatan, katakan saja,” ucap seorang dari Empat Begal Hutan tersebut pada kakek Gu.

Kakek Gu hanya menggeleng ramah, lalu ia pun menggerakkan tangannya sedikit, seperti mengucapkan, “silakan mulai!”

Kelimanya pun mulai berlaga. Pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan mulai dilemparkan oleh yang punya. Tulang beradu tulang. Empat Begal Hutan, sebagaimana kakek Gu adalah orang-orang yang ahli menyerang dengan tangan kosong. Tenaga kasar dan otot. Walaupun demikian, gerakan-gerakan mereka cukup bagus dan kompak. Mengejar setiap ruan kosong yang akan dimasuki oleh kakek Gu. Dalam sepeminum teh, terlihat bahwa kakek Gu hampir-hampir tidak memperoleh ruang untuk bernapas.

Su-Mo tampak senyam-senyum melihat ketangguhan Empat Begal Hutan yang akan menjadi penarik pajak bagi mereka. Serangan keempatnya cukup bagus, bahkan cenderung bagus. Dengan hanya pukulan dan tendangan mereka dapat mendesak kakek Gu sedemikian rupa apalagi bila menggunakan senjata. Sebenarnya tingkatan Su-Mo dan Empat Begal Hutan tidaklah berbeda jauh. Perbedaan ini hanyalah karena Su-Mo seringkali menggunakan senjata tajam golok, sedangkan Empat Begal Hutan hanya kepalan dan tendangan. Kelebihan tipis yang tidak terlalu berarti bagi orang-orang yang telah tinggi ilmu silatnya. Selain itu Empat Begal Hutan masih terhitung belia, baru belasan tahun apabila dibandingkan dengan Su-Mo yang telah tiga puluhan tahun.

Su-Mo sebenarnya sudah agak gatal pula untuk turun tangan melihat pertarungan yang seimbang itu, tapi mereka masih menanti-nanti kemunculan pemuda yang dulu melukai Hek-Mo dan Pek-Mo. Mereka perlu berhati-hati bila orang yang diwaspadai itu terlihat batang hidungnya.


Pukul empat kurang sepuluh menit saat itu. Gu Yo telah berada kembali di jalan raya. Ia telah meminta ijin kepada Ma She yang telah diberitahu sebelumnya oleh Yok Seng, sang pemilik Kedai Daging Bakar, bahwa ia diberikan waktu luang antara jam empat dan jam lima untuk keperluan memenuhi janjinya. Janji untuk menemui nona Sian Lin di Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To.

Kedai Daging Bakar dan Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To terletak pada jalan besar yang sama. Akan tetapi tidak terlalu berdekatan. Ada persimpangan jalan yang memisahkan keduanya. Selain itu keduanya berada pada sisi jalan yang berseberangan.

Karena ia telah cukup memperhatikan jalan yang dilalui tadi dari Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To sampai tiba ke Kedai Daing Bakar, Gu Yo dapat dengan mudah menemukan tempat itu kembali, tanpa perlu bertanya-tanya kepada orang-orang yang berpapasannya di jalan.

Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To tampak lebih sepi dari pada tadi siang saat ia pertama kali dalam hidupnya membuat janji. Penjaga yang tadi menyapanya pun sudah tidak kelihatan juga gadis yang tadi menuliskan janjinya. Sekarang seorang pemuda juga berbadan tegap dan gadis lain yang juga manis untuk dilihat tampak menggantikan tempat mereka bertugas.

Dengan meniru pada cara satu dua orang yang datang, menegur sapa terlebih dahulu sang penjaga untuk kemudian mencocokkan janji, nama pengunjung dan nama yang dikunjungi atau membuat janji baru, Gu Yo pun melakukannya. Karena sikapnya yang baik dan mirip orang-orang tersebut, kedua petugas itu, sang penjaga dan gadis pencatat janji, tidak menyadari bahwa Gu Yo tadi pagi adalah orang yang sama sekali belum mengetahui tata cara mengunjungi penghuni Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To.

Ruangan itu lebar dan terang. Di sana-sini tampak sekat-sekat ruangan sehingga ruangan yang berlangit-langit lebar itu menjadi bersegmen-segmen terkotak-kotakkan secara acak oleh sekat-sekat tadi. “Mungkin ini yang disebut labyrinth,” pikir Gu Yo. Ia tadi dibawa ke ruang ini oleh seorang gadis penunjuk jalan, selepas janjinya untuk bertemu nona Sian Lin dicocokkan.

Pada masing-masing panel baik langsung pada dinding maupun sekat tampak semacam obyek mirip lukisan atau ukiran pada alas dua dimensi yang berlatar belakang warna kecoklatan, kadang kekuningan atau agak gelap. Gambar yang terlihat kadang berupa naga, tulisan kaligrafi ataupun obyek-obyek lain. Kadang sederhana berwarna satu atau pun berwarna banyak. Di bawah benda-benda tersebut selalu diawali dengan kata “Tato”.

“Bagaimana, apakah anda menyukainya?” ucap sebuah suara merdu yang memecahkan lamunan Gu Yo yang sedang menikmati atau sekedar melihat-lihat obyek-obyek pada panel-panel tersebut.

“Eh, anu..,” jawab Gu Yo gugup. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ini merupakan pengalaman pertamanya berada dalam suatu ruang dengan dihiasi banyak benda-benda yang memberikan nuansa tersendiri. Benda seni menurut beberapa orang.

“Halo, saya Swee Sian Lin, ada urusan apa anda ingin bertemu dengan saya?” tanyanya sambil mengangsurkan tangannya. Gu Yo yang bingung hanya menjura. Ia tidak tahu bahwa di beberapa tempat, orang kadang bersalaman saat pertama kali berkenalan.

Melihat itu sang gadis hanya tersenyum. Lalu katanya, “Ah, anda pasti dari kalangan pesilat, melihat cara anda memberi salam.”

Gu Yo hanya mengangguk saja. Bingung.

“Mari silakan melihat-lihat!” ucap gadis itu kemudian saat melihat bahwa Gu Yo masih kikuk dengan pertemuan mereka.

Lalu dengan lugas dan menawan gadis itu menerangkan bahwa obyek-obyek yang dilihat Gu Yo adalah tato atau rajah. Lukisan yang digambarkan di atas tubuh orang. Digambar dengan menggunakan jarum yang dibubuhi ramuan dan ditorehkan di atas kulit sang pemiliki. Suatu proses yang menyakitkan tapi menurut mereka tak sebanding dengan keindahan serta kepuasan yang diperoleh kemudian.

Saat Gu Yo memastikan bahwa apa yang disajikan sebagai obyek seni tersebut adalah benar-benar kulit manusia, dengan ringan gadis itu mengiyakan dan menambahkan bahwa dulu lukisan-lukisan ini merupakan koleksi seorang penjahat yang gemar mengoleksi tato. Tato dari seorang korban yang hidup. Bisa dibayangkan bagaimana menderitanya sang korban saat kulitnya dilepas atau dikletek untuk diambil tatonya. Tapi itu masa lalu. Saat ini sudah tidak ada lagi hal-hal semacam itu. Dilarang oleh hukum.

Manggut-manggut Gu Yo mendengarkan penjelasan tersebut. Baginya seni bukan merupakan sesuatu yang benar-benar penting. Keindahan yang terpancar dari sang gadis lebih menarik untuk dinikmati. Tapi ia tahu diri dan tidak memandang terus-menerus terlalu lekat.

“Jadi, apa sebenarnya maksud kedatangan anda ke mari, menemui saya?” tanya gadis itu lagi setelah ia menjelaskan panjang lebar mengenai apa-apa yang umumnya diceritakan oleh seorang pemandu dalam suatu galeri atau musium.

“Itu, sebenarnya.., agak memalukan untuk diceritakan,” jawab Gu Yo sambil tak bisa ditahan wajahnya pun sedikit memerah.

Swee Sian Lin benar-benar baru menemui seorang seperti Gu Yo hari ini. Sopan, sederhana dan kikuk akan tetapi tampan dengan perawakan yang bagus. Biasanya orang-orang yang datang menemuinya adalah tipe-tipe pesolek dan manis mulut. Memuji-muji akan tetapi tidak tahu apa yang dipuji, karena sebenarnya tujuannya adalah mencari nona Swee Sian Lin sendiri. Pemuda ini lain, walaupun ia tidak mengerti mengenai tato, tapi ia menyimak dan tidak berpura-pura mengerti.

Gadis itu pun menyadari bahwa Gu Yo juga memandang kagum pada kecantikannya. Sebagai seorang gadis yang sudah sering dipuji orang, ia bisa mengerti dari cara pandangannya. Walaupun demikian ia menyukai cara pemuda itu memandangnya, hanya kagum tetapi tidak kurang ajar. Pandangan kurang ajar adalah pendangan menjelajah yang seakan-akan mengerayangi seluruh tubuhnya, memandanginya seakan-akan membayangkan dirinya tanpa busana. Berdasarkan pengalaman Sian Lin dapat membedakan cara pandang seorang pemuda kepadanya.

“Eh, anu.., saya saat tadi pagi menjelang siang melihat orang yang sosoknya mengingatkan saya pada seseorang sehingga saya pun kemudian mengikutinya. Akan tetapi ternyata sosok itu bukan orang yang saya perkirakan, melainkan nona Sian Lin,” jelas Gu Yo dengan wajah yang agak kemerahan. Jengah ia mengatakan hal yang sebenarnya itu.

“Siapa orang yang anda maksud itu?” tanya gadis itu ingin tahu.

“Tunangan saya,” jawab Gu Yo pendek.

“Ah, saya mengerti sekarang. Jadi anda salah lihat orang,” mengangguk-angguk gadis itu mendengar penjelasan sang pemuda. Rupanya hanya masalah salah lihat saja, sehingga pemuda itu sampai membuat janji untuk bertemu dengannya. Hanya untuk memastikan apakah dirinya adalah tunangan sang pemuda.

“Karena anda telah di sini, dan saya juga telah meluangkan waktu bagi anda, marilah kita tuntaskan melihat-lihat Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To ini,” usul sang gadis. Baginya tak jadi soal bahwa ternyata pemuda itu tidak memiliki keperluan sebenar-benarnya dengan dirinya.

Gu Yo hanya mengangguk mengiyakan. Ia sengan bahwa gadis itu tidak marah karena waktunya terbuang percuma.

Kemudian mereka pun berkeliling lagi dalam galeri itu, meninjau ruangan-ruangan yang terbentuk oleh panel-panel sekat yang tadi belum dirampungkan. Saat ini Gu Yo benar-benar menyimak apa-apa yang dijelaskan oleh gadis itu. Entah bagaimana, mungkin karena suara yang merdu dan juga caranya menjelaskan, dirinya menjadi lebih tertarik pada kisah-kisah di balik tato-tato tersebut.

“Ini tato seorang gadis panggilan, Bunga Merah. Ia dipesan oleh sang penjahat pengumpul tato. Kemudian ia dibunuh di ruangan tempat seyogyanya orang pelesir dalam rumah bordil dan ditinggalkan di sana mayatnya.. dan juga bayarannya plus bonus..,” begitu salah satu dari cerita-cerita seram di balik pengumpulan bagian tubuh manusia yang berlukiskan macam-macam itu.

Tiba-tiba terdengar teriakan histeris seorang wanita, “Ahhhhhh!!! Ada darahhh!!”

Bergegas Sian Lin diikuti oleh Gu Yo menuju sumber suara tersebut. Berbelok ke kiri dan ke kanan di antara panel-panel yang ada sampai mereka tiba di suatu lorong panjang yang tidak lagi menjadi bagian ruangan besar tadi, melainkan suatu bagian lain ruangan yang merupakan koridor dari dua ruang besar. Salah satunya ruangan tempat ia dan Sian Lin tadi berada.

Di tengah-tengah koridor itu tampak seorang gadis yang terduduk di salah satu dinding dan memandang dinding lain dihadapannya. Di sininya telah ada seorang pemuda, pemuda yang tadi pagi bertugas menjaga dan membantu Gu Yo membuat janji. Di hadapan gadis itu tampak sehelai tato segar, baru dan berdarah-darah pada panel diding. Ditempelkan sedemikian rupa sehingga melengkapi tato yang telah ada sebelumnya. Keduanya saat itu menjadi tato pasangan burung merak hitam dan putih.

“Nona Sian Lin, itu…!” tunjuknya dengan muka pucat. Dan tidak hanya ia, sang pemuda yang berusaha membantunya bangkit juga terlihat pasi saat melihat tato tersebut.

Tak luput dari pengamatan Gu Yo bahwa wajah Swee Sian Lin pun berubah, akan tetapi tidak sepucat kedua karyawannya itu.

“Dia datang kembali…!” ucap sang pemuda tak selesai karena lirikan mata Swee Sian Lin.


“Hidup membujang ada enak dan tidaknya, memang…,” guman seorang pemuda yang tampaknya sedang memasak sesuatu di atas kompor. Badannya tegap, perawakannya tidak terlalu tinggi, dengan wajah bulat dan selalu diselipi senyum yang ramah, membuatnya menarik untuk dilihat. San Cek Kong nama pemuda itu.

Ruangan tempat San Cek Kong berada tidak terlalu besar, hanya dua tombak kali dua tombak ukurannya. Di salah satu sudut ada tempat tidurnya yang ditemani dengan sebuah lemari kayu besar. Di sudut lain ada kotak kecil yang berfungsi sebagai jamban dan juga tempat mandi menggunakan pancuran. Tak jauh dari kotak mandi tersebut adalah tempat ia berdiri sekarang, dapur kecil. Tempat ia memasak masakan sehari-harinya. Ia biasa pulang saat waktu makan dan masak serta makan sendiri di rumah. Tidak seperti teman-temannya yang biasanya diberi bekal oleh istri-istrinya dan memakan bekalnya di tempat mereka bekerja.

Saat ia sedang menjerang sayur-sayuran untuk ditumis. Tiba-tiba berdering dan berderu selang besi yang ada di depan meja kerjanya. Atau tepatnya meja serba-serbi. Ia makan, bekerja dan juga membaca-baca di atas meja tersebut.

Selang besi yang dikenal orang sebagai Selang Surat. Suatu selang atau pipa tepatnya yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lain, yang di dalamnya dengan menggunakan tekanan udara dari suatu mesin, dapat mengantarkan surat yang terlebih dahulu dimasukkan dalam suatu tabung dari kayu. Tabung ringan dan kuat, yang akan terhembus dengan cepat oleh udara bertekanan tinggi, dan dialirkan ke tempat tujuan. Sebuah teknologi surat mekanik.

Bergegas ia beranjak ke meja tersebut, dicari-carinya di mana ujung selang atau pipa besi yang berada di atas meja, yang telah tertutup oleh timbunan kertas-kertas dan buku-buku itu. Akhirnya berhasil didapatkannya. Di ujung selang tersebut tersembul sebuah gulungan kecil surat. Lubang gulungan surat itu pas dengan ukuran ibu jari orang dewasa.

Warna penanda gulungan surat itu hitam. Kematian. Warna yang dilukiskan pada sisi gulungan sehingga berlaku seolah-olah pita pengikat gulungan itu. Pengikatnya sendiri adalah seutas benang berwarna sembarang.

“Pembunuhan atau bunuh diri, ya?” gumam San Cek Kong, sambil ia menggigit sendok pencicip makanan yang saat itu sedang dipegangnya dan membuka surat itu dengan tangannya yang lain. Berubah matanya saat membaca isi dari surat itu. Bukan karena kasus itu sendiri melainkan lokasi tempat kasus itu terjadi. Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To.

Jarang-jarang terjadi kasus pada suatu tempat seterkenal Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To. Di sana umumnya hanya dipamerkan lukisan berupa tato-tato pada kulit manusia yang langka dan mahal. Suatu koleksi yang saat ini telah dilarang karena berkaitan dengan rasa kemanusiaan. Ya, siapa orang yang rela kulitnya ditato untuk kemudian dikletek dan dijadikan pajanganan. Sudah tentu dulunya koleksi-koleksi itu didapatkan dengan cara yang tidak manusiawi dan legal.

Dan dalam surat itu tertera bahwa suatu “koleksi baru” telah dipasang orang di dekat sebuah tato. Sebuah kulit yang masih segar dan mengeluarkan darah. Suatu cara yang tak lazim untuk menandakan adanya suatu kasus pembunuhan. Dengan kata lain, belum tentu terjadi pembunuhan, bisa saja korbannya, sang pemilik tato masih hidup, walau dalam keadaan kritis. Untuk itu kasus ini memang memerlukan penanganan sesegera mungkin.

Dengan tatapan sedik San Cek Kong memandang sayuran yang baru dimasaknya. Makan siang yang sudah jauh telat dari waktu seharusnya pun tak bisa dinikmatinya. Tak ada lagi waktu untuk makan sekarang. Ia hanya mengambil sepotong daging setengah kepal dari sayur telah masak itu, menjejalkannya ke dalam mulut dan bergegas memakai seragam dinasnya. Seragam seorang Paturan (penegak aturan atau polisi).

Dengan langkah ringan karena rapalan gerak Terbang Menyentuh Ujung Rumput, San Cek Kong segera sampai pada tempat kejadian. Ia tidak terlebih dahulu ke kantornya, Rumah Jaga Ceng-Liong Hui-To, melainkan langsung ke tempat kejadian. Dari surat yang diterimanya, dikatakan bahwa para rekannya telah dalam perjalanan ke tempat peristiwa tersebut terjadi. Jadi tidak ada gunanya ia pergi terlebih dahulu kembali ke kantor, meskipun buku catatan yang biasa digunakannya ada di sana.


“Hai Inspektur San Cek Kong, cepat sekali anda datang!” sapa seorang pegawai Paturan kota Siaw Tionggoan, Ang Tiong namanya. “Rasanya baru saja saya kirimkan anda surat mekanik. Saya perkirakan anda seharunya masih dalam perjalanan,” lanjutnya kemudian.

San Cek Kong atau tepatnya Inspektur San Cek Kong tidak terlalu menghiraukan ucapan itu melainkan langsung meminta catatan situasi di lapangan yang telah dirangkum oleh Ang Tiong. Dengan sigap pegawai Paturan tersebut menyerahkan sebundel kertas-kertas bertuliskan tangan berbeda-beda. Hasil catatan beberapa orang mengenai peristiwa yang terjadi. Orang-orang yang bekerja dalam tim forensik pimpinan Ang Tiong.

Dari catatan para rekannya yang bertugas pertama-tama mengumpulkan bukti-bukti forensik di lapangan, tidak banyak informasi yang bisa diserap San Cek Kong, kecuali posisi tempat terdapatnya tato segar yang masih berdarah, saksi-saksi dan waktu kejadian. Korbannya sendiri, bila memang ada, belum ditemukan atau bisa diindikasikan. Pada jaman itu, tato tidak lagi menjadi tren, sehingga sulit untuk mencari keterangan mengenai hal itu secara cepat.

Selain itu ada hal lain pula yang membuat San Cek Kong tertarik untuk menuntaskan masalah ini, yaitu siapa lagi jika bukan nona Swee Sian Lin, pemilik Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To, tempat kejadian itu berlangsung. Antara keduanya tidak terdapat hubungan khusus kecuali bahwa keduanya dulu pernah bersekolah bersama-sama di suatu perguruan silat yang kebetulan juga tempat seorang yang namanya digunakan pada kedua tempat mereka bekerja sekarang, Ceng-Liong Hui-To. Perguruan silat tanpa nama itu terletak di sebuah bukit di luaran kota Siaw Tionggoan. Agak desa suasananya, jauh di arah barat dari kota.

“Cek Kong-koko!” sapa Sian Lin saat melihat San Cek Kong masuk ke dalam ruangan tempat ia sedang menenangkan pegawainya yang menjadi saksi ditemukannya tato burung merak hitam yang masih segar, yang melengkapi tato burung merak putih yang telah ada sebelumnya. Gu Yo saat itu telah kembali ke Kedai Daging Bakar karena waktunya untuk rehat di sela-sela pekerjaannya telah habis. Tapi ia telah dipesankan oleh seorang paturan bahwa sekali-kali ia akan dipanggil untuk diminta keterangan, karena ia pada saat tersebut berada di tempat kejadian.

“Sian Lin-moymoy, engkau baik-baik saja?” tanya Cek Kong kepada gadis itu. Gadis itu mengangguk mengiyakan sambil menunjuk pada pegawainya yang kelihatannya masih dalam keadaan stres akibat penemuan tato segar tersebut. Ya, tidak setiap orang siap dengan keadaan tersebut, apalagi bila yang ditemui dalah mayat korbannya dan bukan hanya kletekan kulitnya yang bertato.

Tak banyak informasi tambahan yang diperoleh San Cek Kong, tim forensik pimpinan Ang Tiong telah bekerja sangat baik. Semua pihak, kecuali gadis yang sedang stres dan masih sesengukan itu, telah ditanyai. Dan saat ditanya ulang oleh San Cek Kong, keterangan mereka tidak banyak berbeda.

“Eh, katamu tadi engkau mendapat tamu?” tanya Cek Kong kemudian pada Sian Lin.

“Ya, ada seorang pemuda, Gu Yo namanya. Ia bekerja di Kedai Daging Bakar paman Yok Seng di seberang simpang jalan sana, masih jalan yang sama,” jelas gadis itu.

“Tentu saja aku kenal Kedai Daging Bakar paman Yok Seng, sering kami makan-makan di sana. Selain lezat, harganya juga agak terjangkau bagi kantung kami-kami ini, pegawai paturan,” senyum Cek Kong. “Bagaimana bila kita makan malam di sana, kebetulan aku belum sempat makan siang, dan eh – sekalian berbicara dengan pemuda itu, Gu Yo ‘kan namanya?” usul pemuda itu kemudian.

Gadis itu menggangguk mengiyakan.

Setelah sedikit melihat-lihat tempat kejadian tersebut, mencatat hal-hal yang dipikirkan agak janggal di tempat kejadian, Cek Kong pun pamit pada rekannya sesama paturan. Ia kemudian berjalan bersama nona Sian Lin menuju Kedai Daging Bakar, tempat di mana Gu Yo bekerja.


Perbedaan usia dalam suatu pertempuran akan menampakkan hasilnya apabila telah berjalan cukup lama. Dulu waktu kakek Gu bertarung dengan Su-Mo setelah lama berlangsung, mulailah kakek Gu terlihat terdesak karena perbedaan usia. Tapi saat itu perlu beberapa saat mengingat usia Su-Mo yang kira-kira telah setengah usia kakek Gu. Saat ini dengan Empat Begal Hutan yang usianya baru kira-kira seperempat usia kakek Gu, lebih cepat kakek Gu mengalami kelelahan. Ia mencoba untuk tidak terlalu menggunakan kecepatan dan tenaga. Bergerak hanya saat-saat diperlukan saja. Untung keempat orang lawannya itu hanya menggunakan tendangan dan pukulan, sehingga ia tidak terlalu terancam bahaya seperti saat dulu bertarung langsung dengan Su-Mo.

“Bukkk!” sebuah tendangan mendarat pada punggunggnya, yang membuat kakek Gu terdorong maju selangkah. Akibat ketidakwasapadaannya itu ia harus kehilangan beberapa saat yang menguntungkan. Dalam pertempuran dengan banyak lawan, satu langkah yang salah, harus dibayar dengan tiga sampai empat pukulan. Dan benar saja, “Desss!!” sebuah pukulan pun masuk ke dalam perutnya, ini akibat langkah maju yang seharusnya tidak dilakukannya tadi. Dan kemudian masih, “plakk!!” sebuah tamparan mengenai pinggang kanannya.

Untuk mengakhiri kedudukannya yang tidak menguntungkan itu kakek Gu pun merendahkan dirinya, memasang kuda-kuda dengan kaki lebar terpentang. Ia akan menyerang kaki-kaki para lawannya itu dengan tumitnya, seperti dulu saat ia gunakan jurus itu untuk menyerang Hek-Mo, yang hampir meretakkan tulang atas telapak kaki dari Hek-Mo tersebut.

“Hati-hati tendangan pacul rendahnya!” tiba-tiba Hek-Mo berucap. Ia yang pernah mengalami sendiri keampuhan jurus itu tanpa sadar berucap.

Mendengar kata-kata tersebut keempat orang Empat Begal Hutan melambatkan geraknya, berhati-hati terhadap serangan mendadak kakek Gu. Akan tetapi sayang ucapan itu telat, belum sempat mereka berempat sadar apa yang akan dikeluarkan oleh kakek Gu, sang penyerang telah bergerak. Cepat. Kiranya dengan sisa-sisa tenaganya kakek Gu mengharapkan setidaknya ada satu dua kaki yang bisa remuk oleh tumitnya. Tumit si Zahnloserbauer.

“Hiaatt!!” serangan kakek Gu ke arah kepala dan pundak beberapa orang dielakkan dengan mudah dan tipis dengan hanya menarik kepala ke belakang dan memindahkan sedikit titik berat tubuh. Setelah dua orang lolos, kakek Gu masih berusaha untuk menyerang orang ketiga dan keempat. Kedua orang terakhir inilah yang sebenarnya merupakan tujuan kakek Gu. Seketika mereka melihat bahwa rekannya dengan cara sebegitu saja dapat mengelak, mereka menjadi tidak berwaspada, dan hal itu yang diharapkan oleh kakek Gu.

Dengan hanya memindahkan sedikit titik berat dan menarik kepala, membiarkan kaki depan mereka tidak berpindah, membiarkannya dalam jangkauan tumit cankul kakek Gu, si Zahnloserbauer. Dan “takk!!” serta “krakkk!!” dua buah kaki dari dua orang yang berbeda terkena tendangan cankul bergantian kanan dan kiri dan kakek Gu. Tendangan yang awalnya ditipukan untuk menyerang kepala dan pudak kedua orang tersebut, suatu tipuan yang telah dipertontonkan sebelumnya kepada kedua orang rekan mereka. Tipuan manis yang menghanyutkan. Tipuan yang meraih korbannya dengen telak.

Seruan Hek-Mo pun datang terlambat, “itu kaki.., awas….!!”

Kedua orang yang menjadi korban tampak sesegera mungkin bersalto ke belakang, menghindari adanya kemungkinan mendapat serangan dadakan susulan. Kedua rekan yang masih sehat pun tampak terkejut. Suatu serangan di luar perkiraan mereka. Serangan seorang pakar pertempuran, yang telah banyak mengalami pertarungan.

Napas memburu tampak pada wajah kakek Gu. Empat serangan dengan delapan variasi telah dilakukannya untuk menyerang Empat Begal Hutan. Dua untuk mengelabui dan dua untuk benar-benar menyerang.

Terpaku pada sesuatu yang telah “lazim” berlangsung merupakan salah satu kelemahan manusia. Dan hal-hal ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang mengetahui dan mengerti untuk menciptkan dinamika. Menghidari kebosanan. Dari sini bisa banyak yang dituai atau ditarik keuntungan. Dalam pertarungan juga demikian. Apabila musuh terus-menerus mengeluarkan jurus-jurus yang sama, kita akan terlena dan menjadi yakin bahwa musuh hanya memiliki gerakan-gerakan ini dan tidak lainnya. Demikian pula dengan Empat Begal Hutan yang dari segi umur masih belia apabila dibandingkan dengan kakek Gu atau pun dengan Su-Mo. Keterlenaan mereka harus dibayar dengan remuknya dua telapak kaki dari dua orang dari mereka.

“Bagaimana, Empat Begal Hutan? Masih ingin dilanjutkan?” tanya kakek Gu keren, tanpa ada nada sombong di suaranya yang sudah kembang-kempis. Ia tidak berusaha menutup-nutupi keuzuran usianya yang berarti staminanya juga telah turun jauh, terutama untuk pertarungan jangka panjang.

Keempat Begal Hutan tidak menjawab. Sebenarnya di dasar hati mereka, telah tumbuhi rasa malu bahwa mereka yang masih muda dan berempat tidak bisa menghadapi seorang yang telah tua. Seorang yang kelihatannya rapuh, bagai akan terbang ditiup angin belaka.

Sebelum satu dari empat orang itu menjawab, telah turun kata dari seorang Su-Mo, Hek-Mo, “Kakek Gu, cepat suruh pemuda itu keluar. Kami masih ingin menjajal ilmu iblisnya itu.” Saat berkata masih bergidik Hek-Mo sesaat membayangkan saat Gu Yo atau Paras Tampan merapalkan ilmu “Jarum Terbang Debu Pasir” yang menyerangnya dan juga Pek-Mo. Keduanya mengalami luka yang cukup parah. Bagian tubuh pinggang ke bawah diterjang jarum-jarum halus yang terbuat dari debu dan pasir yang direkatkan oleh Tenaga Tanah dan dikirimkan dengan pukulan atau hempasan. Masih untung pemuda itu belum begitu berpengalaman, sehingga bagian tubuh mereka yang luka bukannlah bagian-bagian penting dari jalan darah yang ada. Jika tidak, sudah berada satu dua meter mereka di dalam tanah, bersemayam di sana selamanya.

Pertanyaan inilah yang tidak diharapkan oleh kakek Gu. Ia tahu atau dapat memperkirakan mengapa sedari tadi Su-Mo belum turun tangan. Mereka masih jerih akan adanya Gu Yo, dan menunggu terlebih dahulu sampai pemuda itu muncul. Mendengar pertanyaan itu, berputar keras otak kakek Gu. Ia harus mencari siasat untuk itu. Bukan hanya untuk menyelamatkan dirinya, tapi juga menyampaikan pesan yang tadinya masih ragu untuk dikatakan kepada Gu Yo. Tapi setelah lama berdiskusi dengan nenek Po, akhirnya diputuskan bahwa hal itu haruslah disampaikan. Untuk kebaikan Gu Yo sendiri, dalam rangka misinya.

Untuk itu kakek Gu berniat untuk mengadu jiwa, sementara ia melihat bahwa nenek Po tampak telah siap sedari tadi berkemak-kemik merapalkan sesuatu. Kakek Gu pun memantapkan niatnya. Ia menegakkan tubuhnya dan mengatur nafas lambat sampai tak terdengar. Lalu katanya keren, “Bagaimana jika kalian semua berdelapan sekarang maju serentak? Biar tak habis waktu kita.”


Pemuda dan pemudi itu tampak lahap menyantap daging bakar yang disajikan dengan saus kacang dan kecap manis pekat. Sesekali terdengar suara dari dalam perut melalui leher sang pemuda. Menandakan bahwa makanan yang disantapnya membuat sang perut kenyang. Si pemudi tampak lebih santai dalam menyantap, tidak sepesat dan segarang sang pemuda.

Akhirnya makan malam itu pun usai. Keduanya tampak terduduk agak lemas. Lemas setelah perut diisi penuh. Juga lemas akibat hal-hal yang baru saja berlangsung.

“Kedai Daging Bakar pamam Yok Seng ini memang tiada tandingannya di kota Siaw Tionggoan,” ucap pemuda itu sambil menyeka mulutnya dengan semacam kertas atau kain yang disediakan untuk itu.

“Iya, memang benar,” sahut si gadis pendek mengiyakan.

Keduanya kemudian terdiam, masih terbayang peristiwa yang baru-baru saja terjadi di suatu tempat. Tempat kerja si gadis.

“Bagaimana bila pemuda itu kita tanyai sekarang?” usul sang pemuda.

“Boleh juga, tapi apa tidak mengganggu kerjanya?” balik tanya si gadis atas usul rekannya itu.

“Seharusnya sih jam-jam segini mereka telah beristirahat, akan tetapi lebih baik bila kutanyakan saja pada kepala pelayan di sana,” katanya sambil bangkit dan menuju kepada seorang pelayan yang sedang bertugas mengawasi jalannya kegiatan di Kedai Daging Bakar pada hari itu.

Sebelum pemuda itu bertanya, sang pelayan kepala yang sedang duduk itu segera berdiri saat melihat pemuda itu menghampirinya, lalu sapanya, “Selamat malam, Inspektur San Cek Kong! Apa anda ingin memesan lagi?”

“Ah, tidak paman. Tadi sudah cukup. Lebih dari cukup. Sudah penuh lambung kami berdua,” jawabnya ramah. “Saya hanya ingin bertanya, apa kami – saya dan nona Sian Lin, boleh berbicang-bicang sedikit dengan Gu Yo, seorang yang bekerja di sini?”

“Maksud inspektur, Gu Yo yang baru mulai bekerja hari ini?” tanyanya. Gu Yo mendadak hari itu menjadi terkenal karena ia membawa suatu cerita menghebohkan saat ia kembali ke Kedang Daging Bakar, selepas kunjungannya ke Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To tadi sore.

Pemuda itu, yang dipanggil inspektur San Cek Kong mengangguk. Tapi kemudian ia menambahkan, “bila tidak mengganggu kerjanya, tentu saja. Atau perlu saya membawa surat resmi?”

“Ah, tidak perlu inspektur. Gu Yo dan yang lainnya pasti sedang beristirahat saat ini. Jam-jam segini sudah tidak ada lagi kegiatan yang kerap di dapur,” jawab sang pelayan kepada sambil menggerak-gerakkan tangannya. “Sebentar akan saya panggilkan.”

Tak lama kemudian pemuda yang ingin ditanyai oleh San Cek Kong dan Swee Sian Lin pun tiba di meja tempat kedua orang itu duduk.

“Ji-wi berdua memanggil saya?” tanyanya sopan. Ia telah mengenap nona Sian Lin, akan tetapi pemuda yang bersamanya baru dilihat saat itu. Ia tidak tahu bahwa ia dan San Cek Kong tadi berselisih jalan di dekat Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To. Karena keduanya tidak saling mengenal, maka saling tidak memperhatikan bahwa masing-masing sempat hampir bertubrukan tadi.

“Duduklah, Gu Yo!” sahut Sian Lin ramah.

Sementara San Cek Kong hanya menggangguk sambil tersenyum. Sebagai seorang paturan yang telah lama bertugas, ia memanfaatkan saat pertama bertemu dengan orang baru untuk menilainya. Membiarkan naluri alamiah seorang manusia untuk merasakan apa-apa yang bisa ditangkap. Hal ini perlu. Berdasarkan pengalamannya, bila orang telah kenal lama, naluri ini kadang-kadang menjadi tumpul karena teralihkan oleh kesan-kesan yang timbul dari cerita atau perkataan orang. Dan juga dari kesan yang ingin ditampilkan oleh orang itu sendiri. Atas dasar ini banyak kejahatan yang muncul dari teman dekat, saudara atau lainnya. Naluri mereka telah tertindas oleh kebiasaan bahwa orang-orang yang dekat dengan mereka adalah orang-orang “baik” yang tidak mungkin melakukan kejahatan. Padahal kadang sebaliknya. Orang yang paling baik, kadangkala memiliki kesempatan untuk melakukan kejahatan juga yang paling sempurna.

Setelah puas menilai dan mengira-ngira San Cek Kong pun kemudian memperkenalkan dirinya sebagai inspektur yang ingin berbincang-bincang dengan Gu Yo perihat peristiwa tadi siang yang terjadi di Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To.

Gu Yu pun hanya mengangguk dan ia berdiam menunggu pertanyaan yang akan diajukan oleh inspektur San Cek Kong.


“Hek-Mo, engkau baik-baik saja?” tanya Huang-Mo atau si Setan Kuning kepada rekannya si Setan Hitam, yang baru saja dipeluk erat kepalanya dengan kedua telapak tangan kakek Gu yang meregang nyawa atas bacokan Hek-Mo.

“Tidak, aku… tidak apa-apa..!” katanya agak tak yakin. Dicarinya dengan padangan mata di mana rekan kakek Gu, nenek Po, berada. Tampak bahwa yang dicari lagi terduduk tenang akan tetapi tanpa tanda-tanda kehidupan. Melepas nyawa bersamaan dengan terbangnya nyawa kakek Gu.

Ucapan kakek Gu yang bagaikan menyiramkan minyak tanah kepada api kecil itu membuat Su-Mo bak kebakaran jenggot jadinya. Tanpa dikomando keempatnya turunkan tangan dan kakinya melengkapi barisan empat pengeroyok kakek Gu sebelumnya, Empat Begal Hutan.

Runyam jadinya. Melawan empat orang saja dari mereka kedudukan sudah seri bagi kakek Gu. Apalagi sekarang melawan delapan orang sekaligus. Akan tetapi niatan untuk menyampaikan pesan kepada Gu Yo membuatnya tenang. Alih-alih cemas, malah wajah kakek Gu menjadi lebih sumringah. Tersenyum-senyum dan tampak seakan-akan siap menerima apa-apa yang akan terjadi pada dirinya kelak, bahkan yang terburuk sekalipun.

Pertempuran mati-matian mempertahankan nyawa tak dapat dihindari. Kakek Gu harus bergerak ke sana dan kemari untuk menyelamatkan nyawanya yang tinggal selembar itu. Belum saatnya terbacok golok atau terpukul kepalan Su-Mo, atapun kena gebug pukulan dan tendangan Empat Begal Hutan. Ia masih perlu waktu untuk sesuatu.

Waktu. Satu hal itu yang kiranya agak sulit diharapnya sekarang, demi melihat kelebatan pukulan dan bacokan silih berganti di sekelilingnya. Hampir membuatnya tak bisa bernapas sebelum bergerak ke sana-ke sini, di antara hujan serangan.

Tiba-tiba tampak sekelebat bayangan nenek Po. Samar seperti asap. Ia menunjuk-nunjuk kepada Hek-Mo, anggota Su-Mo yang paling berangasan dan beremosi. Kakek Gu pun mengangguk. Ia mengerti bahwa pesan itu harus dialamatkan pada orang itu. Orang yang paling membencinya. Paling kesal padanya, sehingga paling mudah dirasuki.

Tanpe membuang waktu, kakek Gu mengempos tenaganya. Ia berusaha menghalau hujan pedang dan pukulan ke sana kemari, sehingga jalannya ke arah Hek-Mo terbuka. Lalu sebagai siasatnya agar Hek-Mo emosi, ia harus berkata-kata yang pedas. Untuk membuat lawannya itu tidak lagi waspada memelihara batinnya.

“Hei, Hek-Mo! Hanya sampai sini saja kepandaianmu?” ucap kakek Gu merendahkan. Walau ia sendiri sadar, berbicara sambil bertempur itu akan membahayakan dirinya sendiri. Tapi misinya harus dituntaskan, dan kelihatannya harus ditebus dengan nyawanya. Dan mungkin pula dengan nyawa nenek Po.

Mendengar itu, sontak Hek-Mo mendelikkan matanya dan mulutnya menggereng-gereng. Sudah tidak tahan lagi ia untuk berkata-kata. Gerengannya itu sudah melambangkan kekesalan hatinya akan kakek Gu. Dulu sekali dikalahkan dan saat ini pula kakek Gu masih tampak berdiri dengan gagah di tengah-tengah kepungan kedelapan orang itu. Hek-Mo menjadi marah. Adanya ketujuh rekannya membuat nyalinya sedikit berkembang. Ia pun maju mendekat sambil membantu rekan-rekannya menyerang kakek Gu semakin gencar.

“Hehehe, bagus datanglah Hek-Mo, biar kakiku bisa mampir lagi ditubuhmu!” ejek kakek Gu yang sudah kepayahan terpukul beberapa kali. Untuk saja belum ada bacokan golok yang bersarang di tubuhnya.

“Grrrrggghh!!” mengerang Hek-Mo sambil melompat membacok dua kali dengan dua goloknya. Umumnya ia tidak menggunakan dua golok, tapi hari ini entah kenapa ia mencoba menggunakan ilmu baru yang menggunakan satu golok di tangan kanan dan satu di tangan kiri dengan arah pegang yang berbeda. Satu ke atas satu ke bawah.

Suatu serangan yang berbahaya, tapi kakek Gu seakan-akan tidak memperhatikannya. Matanya tampak tertuju pada sebuah titik di antara kedua mata Hek-Mo. Dan ia pun melihat bahwa bayangan samar nenek Po juga telah siap di belakang Hek-Mo. Sekali lagi mengangguk kakek Gu pun bagai menyongsong sabetan atas ke bawah dan bawah ke atas dari Hek-Mo. Matanya tetap lekat ke titik yang tadi diperhatikannya.

“Cakkk!!! Crakkk!!” kedua golok itu mendarat dengan ganas di tubuh kakek Gu. Satu di pundah menuju dada dan satu di bawah ketiak menuju leher. Sabetan menyilang. Sabetan Serong Atas Bawah Dua Golok. Suatu jurus dari Hek-Mo, anggota paling berangasan dari Empat Setan (Su-Mo).

Saat Hek-Mo berpuas diri melihat darah yang mengalir pelan dari kedua tempat di mana kedua senjatanya bersarang, tiba-tiba ia menjerit ngeri. Bukan saja karena ternyata kakek Gu belum mati, selain kedua goloknya yang seakan-akan terjebit oleh dagingn dan tulang yang dibelahnya, tapi juga kedua tangan kakek Gu yang memegang kepalanya. Menyentuhkan kedua ibu jarinya pada titik di atas hidungnya. Suatu titik di atanara kedua mata. Serunpun energi hangat terasa mengalir masuk menggelapkan pandangannya. Telinganya bagai mendengar kakek Gu dan juga nenek Po bercakap-cakap kepadanya. Menceritakan banyak hal dari suatu jaman ke jaman lain. Dan bukan hanya itu, ia juga seakan-akan dapat melihat semua yang diceritakan kedua orang itu. Bermacam-macam keterangan masuk ke dalam kepalanya.

Lama semua itu dirasakan oleh Hek-Mo berlangsung, walaupun rekan-rekannya hanya melihat kurang dari sejurus dua, bahwa ia tampak termangu-mangu atas tekanan kedua jari jempol kakek Gu yang sudah bersimbah darah pada tengah-tengah kedua matanya, yang kemudian disusul dengan runtuhnya tubuh kakek Gu ke atas tanah setelah tak bernyawa lagi.

Bersamaan dengan itu kembalilah kesadaran Hek-Mo, sehingga ia bisa menjawab pertanyaan Huang-Mo.

“Mari kita pergi!” ajak Huang-Mo kepada rekan-rekannya. Ia sendiri tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Tapi ia gembira bahwa Hek-Mo tidak tinggal nyawa di tangan kakek Gu. Walaupun berangasan Hek-Mo adalah sosok seorang yang setia. Dan itu amat disayangkan oleh Huang-Mo apabila rekannya itu sampai tewas dalam pertempuran yang baru saja berlangsung.

Dengan tak berkata-kata kedelapan orang itu pun pergi meninggalkan tempat itu. Membiarkan saja kedua orang tua yang telah menjadi jenasah tergeletak di sana. Satu tersungkur bersimbah darah dan satu terduduk damai.

Setelah sunyi dan tiada orang lagi di sana, tampak sekelebat bayangan putih tiba di sana. Seorang tua dengan pakaian berwarna putih yang sederhana, yang dihiasi dengan ramput putih panjang yang dibiarkannya tergerai. Setelah memandang sebentar dengan sorot mata yang sedih akan tetapi tenang, ia bergerak ringan bagaikan tak menapak, menggapai kedua sosok yang telah tiada bernyawa itu. Menentengnya dengan ringan dan membawanya pergi dari sana.


Tak terasa sudah seminggu Gu Yo bekerja di Kedai Daging Bakar milik Yok Seng. Kerjanya yang ulet dan rajin membuatnya disukai banyak orang. Ma She yang biasanya jarang berbicara, tampak banyak berbicara dan sering menyuruh-nyuruh Gu Yo serta juga mengajari berbagai hal. Ini mungkin karena pemuda itu mudah mudah diajari dan langsung bertanya apabila penjelasan yang diberikan Ma She tidak dimengertinya. Pada kebanyakan orang, biasanya hanya mengangguk-angguk walaupun sebenarnya tidak seratus persen mengerti. Barulah umumnya belakangan diketahui dari hasil kerjanya, bahwa sang pelaku tidak benar-benar mengerti apa yang ditugaskan. Tidak dengan Gu Yo, ia tidak mau melakukan pekerjaannya sebelum benar-benar mengerti. Dan sikap ini cocok dengan Ma She, sang kepala koki di tempat itu.

“Gu Yo…! Dimana kamu…?” tiba-tiba terdengar panggilan orang. Orang yang dicari tampak sedang menimba air dari sumur yang berada di belakang bangunan utama Kedai Dagin Bakar.

“Eh, engkau Ma Siang… Ada apa?” sapa Gu Yo saat melihat bahwa pemilik suara yang mencari-cari dirinya adalah Ma Siang, keponakan dari Ma She.

“Kamu tahu tidak, bahwa ada kasus baru lagi?” tanya Ma Siang dengan jenaka. Bukan buru-buru memberikan penjelasan, ia malah ingin membuat Gu Yo semakin penasaran.

“Tidak. Eh, kasus apa maksudmu?” tanya Gu Yo balik. Ia sebenarnya tidak terlalu berminat dengan gosip-gosip yang sering beredar di tengah-tengah para pegawai di tempatnya bekerja. Gosip-gosip yang kadang tidak jelas sumbernya. Tapi untuk sama sekali tidak tertarik, juga sulit. Paling tidak, cukuplah mendengar dan tidak menyebarkan lebih lanjut. Itung-itung sebagai hiburan.

“Itu kasus yang mirip kasus yang terjadi di Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To..,” jawab Ma Siang pendek sambil senyum-senyum saat melihat Gu Yo telah tumbuh minatnya untuk tahu lebih lanjut.

“Ada apa memangnya? Ceritakanlah Ma Siang..!” pinta Gu Yo. Tidak biasanya ia tertarik pada cerita-cerita yang beredar. Untuk kasus yang satu ini, tak dapat disangkal bahwa ia amat tertarik. Selain karena ada urusannya dengan nona Swee Sian Lin dan inspektur San Cek Kong, juga karena ada kaitannya dengan tujuannya datang ke kota Siaw Tionggoan ini. Tugas titipan mendiang gurunya.

Gembira Ma Siang melihat bahwa Gu Yo tertarik dengan kisahnya. Biasanya pemuda itu tampak tak acuh dan mendengar ceritanya sambil lalu saja. Kala ini berbunga-bunga hati dara itu, bahwa orang yang dikaguminya ingin mendengar ceritanya dengan antusias. Dengan gayanya yang khas kemudian Ma Siang pun menceritakan peristiwa yang terjadi di bagian lain kota Siaw Tionggoan itu, di mana orang menemukan tato segar lain yang masih meneteskan darah. Dan sama dengan keadaan sebelumnya, bahwa tidak diketahui apakah terdapat korban ataukah tidak, orang dari mana tato segar itu dikeletek.

Usai mendengar cerita Ma Siang, Gu Yo pun bergegas pergi. Ia merasa ada hal yang harus ditanyakannya kepada nona Siaw Sian Lin. Hal yang berkaitan dengan misinya dan juga kemunculan kembali tato-tato segar tersebut. Entah apa ada hubungan antara keduanya. Panggilan Ma Siang tidak dihiraukannya, yang tampak jengkel dan menjejak-jejakkan kakinya karena ditinggal begitu saja sehabis bercerita panjang lebar.


“Manusia, sampai akhir pun tidak dapat melepaskan ketergantungannya. Jika tidak terhadap dua masalah utama: harta dan kekuasaan, pastilah pada janji-janji dan rahasia masa lalu,” ucap seorang tua berambut panjang putih yang tampak baru saja membuat dua buah kuburan baru. Dua buah gundukan tanah baru tampak di hadapannya.

Dengan bagai tanpa tenaga ia mengambil dua buah batu sebesar kerbau dewasa, yang dicungkilnya dengan tongkat yang baru saja digunakannya untuk menggali dua buah kuburan itu. Dua buah batu besar tersebut terungkit dan kemudian terlempar, mendarat dengan debam berat pada suatu tempat di ujung masing-masing makam.

Lalu ia dengan masih menggunakan tongkat yang sama menggerak-gerakkan tongkatnya, dan angin bercuitan terdengar bersamaan dengan debu yang mengepul di sekitar salah satu batu penanda makam. Sederetan huruf yang membentuk kalimat telah dipahatkan di sana. Dari jarak dua tombak lebih. Tak menunggu lama kemudian ia “menulis” lagi untuk batu penanda makam satunya. Setelah selesai, bagaikan memang telah datang waktunya, tongkat yang digunakan itu pun meluruh menjadi serbuk-serbuk halus dari tangan orang itu. Menyebar ditiup angin.

“Gu Ming, Po Ting Hwa, semoga Sang Pencipta menerima jiwa kalian berdua dan tenteram di alam sana. Aku bakal menyusul tak lama lagi,” ucapnya kepada kedua makam tersebut. Usai perkataan itu, orang tua berbusana putih berambut putih tergerai itu bergerak dengan ringan dan hilang menuju barat, ke arah di mana kota Siaw Tionggoan berada.


“Nona Sian Lin, ada seorang pemuda bernama Gu Yo yang mendesak ingin bertemu. Saya sudah bilang bahwa ia harus buat janji terlebih dahulu. Tapi katanya penting,” ucap seorang pelayan wanita kepada seorang dara yang sedang bekerja di mejanya. Membalik-balik beberapa buah buku dan menuliskan sesuatu pada kertas-kertas di atas meja.

“Gu Yo? Baiklah, suruh saja ia masuk. Aku akan menemuinya. Antar ia ke Ruang Hijau!” ucap gadis itu saat mengenali nama yang disebutkan oleh pelayannya.

“Baik, nona!” ucap sang pelayan yang segera mohon diri untuk menjemput sang tamu dan mengantarkannya ke Ruang Hijau.

Ruang Hijau adalah ruang yang berada tidak di tengah-tengah Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To melainkan jauh di balakang. Sebuah ruang yang diperuntukkan bagi karya-karya yang berkaitan dengan orang yang namanya digunakan bagi rumah tato itu. Siapa lagi jika bukan Ceng-Liong Hui-To sendiri.

Ceng-Liong Hui-To sempat juga menjadi kejam dengan mengumpulkan tato-tato dari musuh-musuhnya para penjahat. Tato-tato itu disimpannya karena ia merasa sayang karya seni yang indah harus hilang dengan terbunuhnya sang penjahat. Akan tetapi lama kelamaan ia menyadari bahwa sesuatu yang indah akan tetapi bersumber dari hal atau orang yang tidak baik, tidaklah dapat dikatakan indah. Ketidakbaikan sumber suatu benda yang dikumpulkan kadang dapat menular kepada sang pengumpul. Dalam hal ini Ceng-Liong Hui-To menjadi tertulari untuk kerap mengumpulkan tato, membuatnya ketagihan untuk membunuh penjahat bertato. Baik yang kesalahannya sudah banyak dan menjadi buronan paturan, ataupun penjahat-penjahat muda, yang baru mulai meniti karir.

Kebiasaannya ini pun berlanjut, sampai suatu waktu seorang Eremit (petapa) menasehatinya, dan menyarankan untuk menghentikan hobinya itu. Jika ingin menegakkan keadilan, tegakkan saja tanpa ada embel-embel sesuatu yang akan diterima. Suatu tato dari sang penjahat dalam kasus ini. Di saat itulah Ceng-Liong Hui-To memutuskan untuk menghilang. Menyepi dan menyucikan hati dan pikirannya.

Di rumahnya itulah koleksi tato-tatonya ditemukan, yang kemudian oleh penjabat kota Siaw Tionggoan dijadikan Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To. Untuk mengenang sang pahlawan. Sang pahlawan yang gundah hatinya karena dinodai oleh napsu mengumpulkan sesuatu. Sang pahlawan yang kemudian menghilang tak diketahui rimbanya.

Entah mengapa hari itu Sian Lin ingin melihat lagi koleksi-koleksi tato-tato kumpulan atau tepatnya kletekan Ceng-Liong Hui-To. Koleksi langka yang oleh sebagian orang dianggap bersejarah dan berharga. Koleksi yang yang salah satunya merupakan pasangan tato segar yang ditemukan di rumah itu beberapa hari yang lalu.

Lamunan gadis itu terhenti saat sebuah ketukan lembut terdengar pada pintu Ruang Hijau. Di sana tampak seorang pemuda. Gu Yo. Orang yang ingin menemuinya.

“Masuklah!” ucap sang dara pendek. Lalu ia kembali mengalihkan pandangannya kepada dua buah tato yang tampak terbingkai dengan indah di dinding di hadapannya. Tato sepadang burung merak, putih dan hitam. Disusun sedemikian rupa sehingga kedua burung tampak saling berhadapan satu sama lain. Dari kulit yang melatar belakangi kedua tato tersebut dapat disimpulkan bahwa keduanya berasal dari dua orang yang berbeda. Suatu kontras telah direncanakan. Tato burung merak berwarna hitam digoreskan di atas kulit manusia berwarna cerah, putih atau kuning. Sedang tato burung merak berwarna putih digoreskan di atas kulit manusia berwarna gelap, hitam atau coklat tua. Suatu estetika berdarah yang padu.

“Bukankah saat itu tato burung merak hitamnya berbeda?” tanya Gu Yo saat melihat kedua tato yang sedang dipandangi oleh gadis itu.

“Betul, saat itu kami hanya menampilkan separuh saja, agar cocok dengan tema di kanan dan kiri tato burung merak putih. Tak disangka bahwa ada orang yang menempelkan pasangannya yang masih berdarah,” ucap gadis itu menghela napas. Menyesalkan insiden yang terjadi di tempat kerjanya itu.

“Oh, begitu!” sahut pemuda itu.

“Tahukah kamu, Gu Yo, bahwa syair mengenai kedua tato ini?” tanya sang gadis tiba-tiba, setelah kesunyian lama mengisi jeda antara perkataan keduanya.

“Syair untuk kedua tato ini?” tanya sang pemuda.

Sang gadis tidak menjawab melainkan melantunkan sebuah syair.

“Deru pun perlahan melembut. Menghilang. Sunyi dan sepi. Dan jiwa pun tenteram kembali.

Menghela napas. Menghirup keheningan. Mengekang nafsu. Senyap. Lepas. Lega.”

Yang dilanjutkan oleh sang pemuda.

“Setelah semuanya berakhir. Secarik kulit dicabik halus. Darah menetes lembut. Menegaskan guratan-guratan mistis. Guratan di atas kulit nan indah. Tato.”

“Hei, dari mana engkau tahu syair itu?” tanya Sian Lin kaget, melihat bahwa Gu Yo telah mengetahui akhir dari syair yang dilantunkannya itu.

“Dari buku-buku,” jawab Gu Yo sederhana. “Di sana disebut memiliki judul ‘Pembicaraan Angin’.”

Sang gadis mengangguk membenarkan. “Betul, memang itu judulnya. Ternyata engkau memiliki juga pengetahuan di bidang ini.”

Tampak rona malu merekah di wajah sang pemuda begitu mendengar pujian sang dara. “Tidak…, aku hanya senang membaca saja.”

“Begitulah orang berilmu, merendahkan diri selalu,” ucap gadis itu kemudian.

Suasana hening pun mengisi ruang di antara mereka.

“Tok-tok-tok!!” tiba-tiba suara ketukan cukup keras mengagetkan keduanya yang sedang dalam alam pikirannya masing-masing.

Pintu yang tidak tertutup menampilkan sosok inspektur San Cek Kong di tengah-tengahnya. Ia tampak tersenyum saat melihat Gu Yo dan Swee Sian Lin berada di tempat itu. Ucapnya lugas, “kebetulan Gu Yo juga ada di sini. Tak perlu aku repot-repot mengajak Sian Lin mencarimu di kedai paman Yok Seng di sana.”

“Eh, ada apakah Cek Kong-koko? Ada perlu apa kita dengan Gu Yo sampai mencarinya?” tanya dara itu seusai mendengar ucapan inspektur Sang Cek Kong.

“Nanti kujelaskan, pertama-tama aku ingin dulu bertanya pada Gu Yo,” ucapnya. “Apakah maksud kedatanganmu di sini adalah untuk menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan peristiwa yang baru saja terjadi di bagian lain kota?”

Gu Yo hanya mengangguk mengiyakan, yang sudah tentu membuat wajah bingung Sian Lin semakin kentara terlihat.

San Cek Kong tampak puas mendengar jawaban itu. Lalu katanya, “jika demikian, marilah kalian ikut aku ke bagian selatan kota. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan.”

Dengan penuh tanda tanya, terutama Sian Lin, keduanya pun mengikuti inspektur San Cek Kong ke suatu tempat di bagian selatan kota Siaw Tionggoan. Ke suatu tempat di mana suatu peristiwa baru saja terjadi hari itu.


“Cepat gali!” seru seseorang pada rekannya yang tampak sedang mencangkul-cangkul sesuatu dengan tangannya di dalam lubang di mana mereka berdua berada.

“Sabar!! Ini sudah cukup dalam, kita toh tidak mau merusah barang yang kita cari bukan?” jawab rekannya. Ia sedang meraba-raba apakah lubang yang mereka buat itu sudah cukup dalam sehingga hampir menyentuh barang yang terkuburkan di sana.

“Aha!!” seru orang kedua kemudian setelah hening beberapa saat dan hanya terdengar garukan-garukan pada tanah.

“Dapat?” tanya orang pertama.

“Ya, agak liat. Pasti kain pembungkusnya..,” jawab rekannya itu.

“Kita congkel saja.., atau potong…,” usul temannya.

Lalu keduanya mulai membersihkan tanah di bawah lubang di mana mereka berada dan mulai mencongkel-congkel kain liat yang melandasinya. Tak lama kemudian setelah mendapatkan pijakan, tongkat kayu yang mereka bawa diungkit sehingga lipatan-lipatan kain di bawahnya dapat terangkat. Bau busuk pun segera menyerbak memenuhi udara malam itu. Malam yang diterangi bulan purnama.

Setelah dibuka peti yang berada di bawah kaki mereka, sebuah peti mati yang belum lama ditanam, tampak di dalamnya sesosok tubuh seorang perempuan tua. Ia tampak tertidur dengan damai. Kedua tangannya dilipatkan di depan dadanya. Wajah seorang yang seakan-akan telah siap menerima hari kematiannya.

“Cepat cari bagian itu..!! Kita tak punya banyak waktu..,” ucap salah seorang dari mereka.

Setalah memeriksa di bagian kedua tangan jasad itu, akhirnya mereka menemukan di salah satu lengan bagian atasnya sebuah tato. Tato dua buah naga yang sedang saling berbelit. Satu berwarna meran dan satu berwarna biru. Keduanya tampak jelas diukirkan di atas kulit pucat sang empunya.

“Tato kelompok Naga Merah dan Naga Biru…,” terdengar ucapan salah seorang dari mereka.

Rekannya hanya mengiyakan mengangguk. Lalu tanpa menunggu perkataan, ia mengeluarkan pisau dari sakunya. Suatu pisau yang tajam. Sinar bulan yang memantul dari padanya mengisyaratkan kira-kira sudah berapa banyak darah atau sosok manusia yang disentuhnya. Dengan santai, seperti telah biasa, orang itu menyayat kulit di mana terdapat tato tersebut.

Tak ada darah tertumpah karena sang empunya tato telah lama bepulang. Tak lama selesailah pekerjaan itu. Sang penyayat mengangsurkan hasil kerjanya kepada rekannya, yang segera menyimpannya dalam lipatan sebuah kain yang telah dibubuhi bubuk dan cairan tertentu, agar kulit bertato itu awet dan tahan tidak membusuk. Untuk dioleh lebih lanjut tentunya.

“Cepat, masih ada satu lagi yang harus diselesaikan..,” ucap rekannya sambil menyelipkan bungkusan kain tato tadi ke dalam tas di punggungnya.

Rekannya mengangguk. Tanpa menimbun kembali kubur yang telah dibuka itu, keduanya pun kembali sibuk bekerja menggali lubang lain di sebelahnya. Suatu makam baru pula, yang di dalamnya terdapat seseorang. Seseorang dengan tato sebuah naga hitam yang sedang menjaga mutiara. Tato dari kelompok Naga Hitam Penjaga Mutiara. Suatu tato yang umumnya diukirkan di punggung yang empunya.


“Inspektur San Cek Kong, ada laporan mengenai makam tanpa nama yang dibongkar!” ucap seorang paturan kepada paturan lain yang sedang tampak bekerja di mejanya.

“Hmm, di mana dan mengapa engkau beritakan kepadaku? Bukankah itu kerja dari bagian lain? Bagian ketertiban fasilitas umum?” tanya sang inspektur yang sedang menuliskan sesuatu pada buku di depannya.

“Betul, inspektur! Tapi bagian ketertiban fasilitas umum meminta saya untuk menyampaikan salinan dari kejadian itu kepada anda. Berkaitan dengan dugaan bahwa bagian jasad yang dirusak kemungkinan besar merupakan tato,” jelas sang paturan pembawa berita.

Mendengar kata “tato”, sontak San Cek Kong menjadi tertarik karena hal itulah yang sedang menjadi pikirannya sekarang. Kasus yang sedang ditanganinya.

“Terima kasih!” katanya sambil menerima salinan laporan tersebut. Dibolak-baliknya kumpulan kertas-kertas yang baru diperolehnya itu. Dibacanya dari depan ke belakang dan diulangnya lagi. Sambil tak lupa membuat di sana-sini catatan-catatan kecil.

“Hmmm, perlu ketemu Sian Lin lagi kiranya.., dia adalah pakar dalam bidang ini,” gumamnya hampir tak terdengar.


“Ma Siang, kemarilah!” ucap seorang pada seorang dara yang tampak sedang mencuci sesuatu pada pancuran dekat sungai kecil di belakang bangunan itu.

“Ah, Gu Yo! Ada apa?” jawab gadis itu sambil segera meninggalkan pekerjaannya dan menghampiri pemuda yang memanggilnya.

“Eh, temani aku ya ke Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To! Tapi engkau yang mintakan ijin ke pada paman Ma She..,” ucap pemuda itu.

“Lho, kalau apa urusannya sama aku?” tanya Ma Siang pura-pura tak tahu.

“Tolong ya…!” mohon Gu Yo. Ia tahu jika ia minta ijin langsung, kemungkinan besar tidak diberikan tanpa alasan yang jelas. Lain halnya jika Ma Siang. Ini disebabkan Ma Siang adalah keponakan dari Ma She, yang bahkan telah dianggap anak karena Ma She sendiri tidak berketurunan. Selain itu juga karena orang tua Ma Siang telah tiada. Begitu yang diceritakan orang-orang kepada Gu Yo.

“Tapi apa untungnya buatku? Kalau kamu pastilah, karena ingin melihat nona Sian Lin, kan?” ucap dara itu. Ada sedikit nada tersaingi dalam suaranya. Tersaingin dengan nama yang baru disebutnya itu.

“Huss! Tidak ada apa-apa, aku hanya ada urusan sedikit,” ucap Gu Yo cepat. “Tolong ya?” mohonnya lagi.

“Baik, tapi artinya engkau hutang satu kali padaku. Dan suatu saat harus dibalas, gimana?” ucap gadis itu nakal. Kelihatannya ada sesuatu yang direncanakannya untuk “pembayaran” dari pertolongannya ini.

“Eh, baiklah. Tapi jangan aneh-aneh ya?” pinta Gu Yo. Ia sempat berpikir panjang karena terdesak dengan keinginannya untuk mencari tahu sesuatu. Biarlah nanti saja, toh Ma Siang kelihatannya tidak akan minta yang macam-macam. Apa sih yang dapat dimintanya dari seorang pemuda sepertinya yang tidak punya apa-apa.

Setelah tuntutannya diiyakan oleh Gu Yo lalu dengan segera Ma Siang berlalu dari sana sembari membawa pekerjaannya yang memang sudah hampir selesai saat pemuda itu memanggilnya. Tak lama kemudian tampak Ma Siang kembali dari bangunan itu. Wajahnya tampak cerita, menandakan bahwa ia telah memperoleh ijin dari pamannya.

“Ayo kita pergi!” ucapnya gembira. Ya, siapa yang tidak gembira mendapatkan kesempatan untuk berjalan-jalan di hari yang cerah ini. Apalagi apabila kesempatan itu akan dihabiskannya dengan pemuda yang dikaguminya, Gu Yo.

Lalu keduanya pun berlalu dari halaman belakang Kedai Daging Bakar. Dengan menggunakan beberapa jalan tikus yang terdapat di antara rumah-rumah bertingkat dua atau tiga, yang lebarnya hanya kira-kira dua meteran dan umumnya becek dan gelap, keduanya dapat dengan cepat tiba di jalan raya, di mana tak jauh dari sana terdapat Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To. Tempat yang ingin dituju oleh Gu Yo.

“Eh, tau dari mana engkau jalan-jalan seperti itu, Ma Siang?” tanya Gu Yo ingin tahu. Jika saja dulu ia tahu, pastilah ia menggunakan jalan-jalan itu. Lebih cepat ketimbang menggunakan jalan besar yang penuh orang dan kendaraan. Harus hati-hati dalam menyeberang dan menyusurinya.

“Aku tahu dari paman Ma She,” jawab dara itu pendek. Terlihat ada yang tidak ingin diceritakannya, berkaitan dengan pengetahuannya mengenai jalan-jalan tikus itu.

Gu Yo tidak bertanya lagi, karena pertanyaan basa-basinya malah membuat suasana di antara mereka menjadi tidak enak. Ia pun kemudian lebih memilih diam sampai mereka tiba di depan Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To.


Seorang berbusana putih dan ramput putih panjang digerai tampak memasuki Kedai Daging Bakar. Setelah duduk di suatu sudut ruangan, ia pun didatangi oleh seorang pelayan untuk ditanyai apa pesanannya.

“Gurame Bakar dan nasi, itu saja pesanan makanannya,” ucapnya pendek.

“Minumnya teh?” tanya sang pelayan lagi.

Orang itu hanya mengangguk. Dan kemudian terdiam. Sang pelayan kemudian meninggalkannya untuk meneruskan pesanan itu ke dapur.

Di dapur dengan kesibukan yang biasa, tampak orang-orang berseliweran. Memasak, memindahkan bahan-bahan makanan. Dan juga meneriakkan pesanan-pesanan.

“Gurame Bakar satu porsi!” teriak seseorang.

Seorang koki yang sedang kebagian untuk memasak makanan itu agak terdiam. Tidak biasanya ada pesanan ikan di Kedai Dagin Bakar. Terutama pada musim-musim ini. Di mana ikan-ikan agak sulit untuk didapat sehingga mahal harganya. Oleh karena itu tidak semua orang bisa dengan mudah memasak ikan gurame bakar. Hanya koki-koki yang sudah cukup senior yang bisa. Termasuk Ma She sang koki kepala. Sang koki yang mendapat giliran pun menjadi ragu-ragu. Lebih baik ia menanyakan hal itu kepada atasannya, Ma She.

Tak lama kemudian ia kembali. Wajahnya cerah. Ma She memperbolehkannya memasak ikan gurame. Untuk itu ia harus terlebih dahulu membaca cara memasaknya. Diambilnya sebuah buku berwarna hitam dan kertas yang sudah dikotori bumbu masak di sana-sini. Tertulis di judulnya, “Bakaran Ikan”. Dicarinya sehingga sampai pada suatu halaman dengan judul “Gurame Bakar”.

Bahan: 1 ekor ikan gurame ukuran sedang-besar, 8 butir kemiri, 1 batang (2 sampai tiga ujung kuku) kunyit, 6 butir bawang merah, 3 siung bawang putih, 4 buah cabai rawit merah, garam secukupnya, merica secukupnya, 1 buah tomat kecil (diiris), dan akhirnya 2 buah jeruk nipis (lemon).

Cara Membuat: * Bersihkan ikan terlebih dahulu. Buang sisik dan isi perutnya tetapi hati-hati, sehingga ikan tetap utuh. Buat 2-3 guratan di setiap sisi badan ikan agar bumbu dapat masuk dan panas dapat masuk; * Lumuri ikan dengan garam dan merica secukupnya dan biarkan sekitar sepeminum teh agar bumbu dapat terlebih dahulu meresap; * Bakar ikan tersebut di atas bara api yang kecil sampai setengah matang. Jangan lupa untuk dibolak-balik lalu angkat; * Buat bumbu dengan menghaluskan bawang merah, bawang putih, cabai rawit, kemiri, kunyit, garam dan merica. Campur irisan tomat dan aduk sampai merata; * Lumuri bumbu ini sampai merata pada dua belah sisi ikan gurame yang setengah matang tadi. Kemudian bakar lagi ikan tersebut di atas bara api, sedang sampai matang dan sesekali oleskan dengan bumbu yang masih tersisa; * Hidangkan dengan menaburkan irisan cabai merah, irisan tomat dan jeruk nipis.

“Hmmm, tidak terlalu sulit rupanya..,” gumamnya. Ia kemudian mengikuti petunjuk yang tertera dalam buku resep itu. Langkah per langkap diikutinya dengan teliti.

Tak lama kemudian harum semerbak ikan gurame bakar pun mengembang di udara. Menandakan bahwa ikan tersebut telah siap untuk dihidangkan.

Tiba-tiba datang Ma She menghampiri koki yang baru saja selesai membuat hidangan itu. Ia memeriksa dengan teliti apa-apa yang telah siap disajikan itu. Ia pun mengangguk puas. “Bagus!” pujinya.

Mengembang hidung sang koki mendengar pujian atasannya. “Terima kasih!” jawabnya pendek dan bangga.

Tapi sayangnya kebanggaanya itu tak berlangsung lama. Pelayan yang menyajikan pesanan itu kembali lagi dengan ikan gurame bakar itu. Pucat wajahnya. Tampaknya ia mendapat teguran dari pelanggan yang memesan masakan itu.

“Kata sang pemesan, Gurame Bakar tidak seperti ini,” jelasnya.

Ma She sebagai seorang koki kepala, bertanggung jawab terhadap pekerjaan bawahannya. Dengan tenang ia memberi syarat agar koki yang memasak masakan itu untuk tenang. Sedangkan ia sendiri segera beranjak ke luar untuk menerima keluhan dari sang tamu.

Oleh pelayan tadi ia ditunjukkan meja tempat orang tua berambut putih dengan busana putih itu sedang duduk. Orang itu tampak sedang melamun sambil memandang keluar, melihat-lihat pemandangan di hadapannya.

“Maaf, tuan! Tuan tadi mengeluhkan cara memasak Gurame Bakar kami?” tanyanya sopan.

Orang itu tampak sedikit kaget karena terganggu lamunannya, “ah.., betul! Dan anda? Anda orang yang memasaknya?”

“Bukan, saya adalah koki kepala. Saya bertanggung jawab kepada pekerjaan anak buah saya,” jelas Ma She sederhana.

Bagai berbicara sendiri orang itu kemudian menyerocos, menyebutkan bumbu-bumbu yang digunakan untuk memasask Gurame Bakar yang dikeluhkannya tadi. Juga cara memasaknya dan bagaimana seharusnya dibolak-balik dan api yang digunakan. Tidak boleh dikipasi tapi harus diputar-putarkan. Ma She yang adalah ahli memasak sampe melongo mendenger perkataan orang itu, yang menunjukkan bahwa orang itu adalah juga seorang ahli masak.

“Eh, anda…,” katanya bingung.

“Ma She, Ma She…! Sudah begitu cepatkah ingatanmu memudar?” kata orang itu sambil tersenyum.

“Ceng…” kata-kata yang tidak sempat diselesaikannya karena orang itu mencegahnya menyebutkan nama aslinya.

“Panggil saja saya, Ceng Liok,” ujar orang itu sambil mengedipkan sebelah matanya.

“Tuan Ceng Liok!” jawab Ma She sambil sedikit menahan tawa, setelah tahu bahwa orang tersebut adalah kawannya dulu. Ceng-Liong Hui-To. Bisa gempar kota ini bila tahu bahwa orang yang dulu pernah dianggap pahlawan tiba-tiba ada lagi di sana.

“Maafkan kelakarku. Semoga yang tadi memasak tidak merasa tersinggung,” ucapnya sungguh-sungguh.

“Ah, tidak perlu dipikirkan. Aku akan bilang, bahwa anda tuan Ceng Liok adalah guru masakku dulu. Biar ia tidak terlalu sedih,” ucap Ma She sambil masih beusaha menahan tawa.

“Eh, Ma Siang apa kabarnya? Mana dia?” tanyanya sambil melirik ke kiri dan kanan, berharap dapat melihat sosok dara itu.

“Ia tidak ada. Sedang pergi bersama seorang pemuda. Kalau tidak salah ke Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To,” kata Ma She sambil menekankan kata-kata terakhir dari ucapannya itu.

Orang itu hanya tersenyum sambil kemudian meminta agar ikan gurame bakar yang tadi ditolaknya disajikan kembali, sambil mengajak Ma She untuk menemani. Sekaligus berbincang-bincang. Ma She kembali ke dalam sebentar untuk memberitahukan hal itu kepada koki yang memasak tadi sambil juga menghiburnya, bahwa apa yang terjadi hanyalah kelakar saja. Kelakar dari guru masaknya.

Tak lama kemudian masakan yang tadi kembali dihidangkan. Lengkap dengan sayur-mayur tertentu. Kegemaran tuan Ceng Liok, yang sudah tentu telah amat dikenal baik oleh Ma She sebagai rekannya.


“Benar, itu adalah tato milik mereka..,” sahut pemuda itu dengan tangan mengepalkan tinju dengan erat. Ma Siang yang berada di dekatnya tampak pula tegang dengan apa yang sedang mereka saksikan.

Di sana di dalam ruang tengah Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To, tampak sebuah bungkusan yang baru saja diantar oleh orang tidak dikenal. Diletakkan sedemikian rupa di dalam ruang itu tanpa sepengetahuan orang lain. Baru pada siang itu seorang mengatakan kepada nona Sian Lin bahwa ia menemukan ada paket untuk nona tersebut. Paket yang berisikan tato. Kali ini tidak lagi berdarah. Sudah diolah dengan bahan pengawet.

Dua buah tato. Satu menggambarkan dua buah naga sedang berbelit. Satu berwarna merah dan satu berwarna biru. Sebuah tato yang dulu dikenal sebagai ciri dari kelompok Naga Merah dan Naga biru. Sedangkan tato satunya lagi adalah sebuah naga berwarna hitam yang sedang tampak menjaga suatu bulatan putih di tengah. Suatu mutiara. Tato yang merupakan ciri kelompok Naga Hitam Penjaga Mutiara.

Usai kaget saat mendapati paket yang ditujukan pada dirinya itu, segera nona Swee Sian Lin menghubungi inspektur San Cek Kong yang langsung bagai terbang tiba di tempat itu. Bersamaan pula datang Gu Yo dan Ma Siang ke sana. Orang kedua terakhir ini datang kebetulan pada saat yang tepat. Atau boleh dikatakan kebetulan sekali.

Pertanyaan inspektur San Cek Kong yang diajukan kepada Gu Yo sebenarnya tidak terlalu sungguh-sungguh, karena ia ragu apa pemuda itu mengenal tato yang ada di dalam kotak itu. Tapi siapa nyana bahwa pemuda itu mengenalinya dan bahkan tahu atau pernah bersama dengan kedua orang pemilik tato itu. Diketahui bahwa kedua tato itu berasal dari orang yang berbeda, dari warna kulit yang tidak sama, yang mendasari kedua karya seni itu.

“Keduanya pernah merawatku saat luka parah,” jelas Gu Yo. “Dan entah dari pembicaraan apa, tahu-tahu mereka menunjukkan tato yang mereka miliki.” Dalam kalimat terkakhir ini, Gu Yo sedikit berbohong. Ia belum tahu apakah ada kaitan antara misinya dengan kejadian ini. Sebaiknya ia rahasiakan dulu apa-apa yang kelihatannya belum terkait. Begitu pikirnya.

“Baiklah, Gu Yo bilakah kau ada waktu?” tanya inspektur San Cek Kong. Ia tiba-tiba teringat akan jasad dua orang yang dirusak sebagian tubuhnya. Kulitnya dikletek. Ada kemungkinan bahwa tato ini berasal dari kedua orang tersebut. Untuk itu ada baiknya bila Gu Yo yang mengenal kedua tato itu bisa membuktikan bahwa kedua jasad itu adalah pemiliknya. Paling tidak bisa mengetahui siapa kedua jasad tanpa nama itu.

Gu Yo lalu menyatakan bahwa saat ini juga. Ia dan Ma Siang sudah diberi ijin untuk berwaktu luang sampai malam nanti. Mendengar itu, inspektur San Cek Kong kemudian mengajak keduanya untuk membantunya melakukan identifikasi dari jasad tanpa nama yang dirusak orang tersebut. Saat itu nona Sian Lin yang juga tertarik tidak bisa turut disebabkan beberapa janji dan kesibukannya.

Lalu pergilah mereka bertiga dituruti beberapa paturan ke lokasi tempat makam tanpa nama itu berada.


Perayaan Musim Angin dan Air pun tiba. Semua orang bergembira dan menghiasi rumah-rumah mereka dengan lampion-lampion warna-warni. Dominannya adalah warna biru dan kelabu. Warna yang diyakini menjadi warna yang terdapat dalam angin dan air dan benda-benda yang bergerak akibat angin dan air, dan juga yang menyebabkan angin dan air bergerak. Suatu keyakinan kuno kota Siaw Tionggoan.

Sebenarnya perayaan Musim Angin dan Air adalah suatu perayaan musiman yang biasa dilakukan empat tahun sekali di kota tersebut. Tahun ini, setelah genap empat tahun dari perayaan terakhir, menjadi lebih semarak karena bersamaan dengan itu akan datang kunjungan dari pemerintah pusat. Suatu rombongan orang-orang penting yang ingin melihat-lihat perkembangan dan kemajuan kota Siaw Tionggoan.

Yok Seng, sang pemilik Kedai Daging Bakar tampak tersenyum puas. Tidak salah ia mempekerjakan Gu Yo. Pemuda itu benar-benar dapat diandalkan. Atas usul pemuda itu pula ia mengubah sana-sini dari kedainya agar tampak lebih menarik dan terlihat luas. Dengan harapan agar lebih banyak tamu yang berkunjung pada perayaan Musim Angin dan Air. Mendengar kabar bahwa akan datang kunjungan dari pemerintah pusat, satu rombongan besar, orang-orang dari kota dan desa sekitar kota Siaw Tionggoan pun jadi merasa tertarik. Jarang-jarang ada orang dari pusat tlatah Nusantara yang berkunjung ke kota tersebut. Akibatnya hampir semua penginapan telah dipesan atau didiami. Yang masih ingin melancong-lancong ke daerah-daerah lain telah memesan terlebih dahulu. Yang sudah ingin berada di kota tersebut, telah datang dan mendiami penginapan-penginapan yang ada. Benar-benar suasana yang meriah.

Di suatu lapangan agak ke tengah kota, telah dibangun suatu panggung megah. Luas dan indah. Di kiri-kanannya juga telah disiapkan tempat duduk, baik untuk tamu terhormat atau pun undangan biasa. Orang-orang yang tidak diundang dapat pula datang sebagai penontong. Hanya saja mereka harus berada pada jarak yang cukup jauh dari panggung. Pembatas berupa tombak yang ditancapkan dan dihubungkan satu sama lain dengan tali berhias warna biru dan kelabu telah dipasang mengelilingi area itu, sebagai batas terjauh penonton dapat mendekati panggung.

Seorang yang tidak kepalang gembiranya adalah Ma Siang. Ia benar-benar antusias dan gembira dalam menyambut perayaan Musim Angin dan Air kali itu. Ia pun mengharap-harap dapat melihat tamu-tamu yang berasal dari pusat. Orang-orang yang didengung-dengungkan dekat atau menjadi bagian dari penguasa negeri itu. Orang-orang yang “berbeda” dengan penduduk kota Siaw Tionggoan.

Hari itu Kedai Daging Bakar benar-benar panen rejeki. Tamu-tamu datang selalu silih berganti memenuhi tempat-tempat duduk yang ada, sampai bahkan ada yang harus terlebih dahulu menanti di pintu agar dapat mendapatkan meja. Agar yang menunggu ini sabar, umumnya mereka juga dihidangkan minum-minuman dan makanan kecil berupa abon kering. Suatu produk samping dari bakaran daging dan ikan. Jenis kemilan yang gurih dan lezat.

Siangnya Yok Seng mendapat laporan bahwa kios Kedai Daging Bakar yang dibuka di sekitar panggung di lapangan agak ke tengah kota telah habis terjual barang-barangnya. Dan salah seorang pegawainya kembali ke Kedai Daging Bakar untuk mengambil bahan-bahan baru. Hal ini sudah tentu tidak disia-siakan oleh Ma Siang. Dengan sedikit memohon pada pamannya Ma She agar ia dimintakan ijin kepada Yok Seng, akhirnya dapatlah ia pergi. Sudah tentu Gu Yo pun turut. Karena tanpa Gu Yo, tidaklah Ma Siang merasa hari itu cukup baginya. Ia benar-benar ingin menikmati hari itu bersama orang yang dikaguminya itu. Dengan berbekal gerobak penuh barang-barang dagangan berupa daging-daging bakar yang siap dijual, keduanya beranjak berangkat dari Kedai Daging Bakar menuju kois kedai yang terdapat di sekitar lapangan tersebut.

Panggung telah dibuka. Gemerlap warna-warni menghiasi sana dan sini. Tamu-tamu yang tampak anggun dan mewah tampak duduk di tempat-tempat khusus bagi kalangan mereka. Tamu-tamu biasa berdesak-desakkan di pinggir lapangan. Mepet sampai batasan berupa tombak-tombak dihiasi tali biru dan kelabu.

Untung bagi Gu Yo dan Ma Siang. Dikarenakan hubungan baik antara Yok Seng dan salah seorang pejabat kota itu, mereka mendapat kios yang dekat dengan tempat duduk khusus para tamu, orang-orang yang berasal dari pemerintah pusat. Walaupun situasi sedikit tidak nyaman dengan banyaknya penjaga, akan tetapi pandangan yang jelas ke arah panggung dan para penonton terhormat itu dimiliki oleh kedua muda-mudi ini.

Berbagai acara pun mengalir bagai tak henti-hentinya untuk menghibur para tamu dari pusat tersebut. Berbagai suguhan dan juga penganan berdatangan diantar oleh pelayan-pelayan yang menawan. Benar-benar suatu penghormatan yang diberikan oleh kota Siaw Tionggoan kepada para tamu-tamu khusus tersebut.

Untungnya tidak semua tamu dan tamu khusus diberi pelayanan istimewa atau senang dengan pelayanan tersebut. Sebagian dari mereka ada pula yang jemu dengan tata cara yang bertele-tele tersebut. Orang-orang ini lebih senang “berpetualang” sendiri. Menelusuri keramaian, membeli apa-apa yang mereka lihat menarik dan sudah tentu cicip sana dan sini. Dari golongan inilah para pedangan yang telah memiliki kios di sekitar panggung memperoleh keuntungan. Dan untung saja ada orang-orang yang seperti itu. Jika tidak ada dan hanya datang tamu-tamu yang maunya disuhugi saja, rugi besar para pedangan yang telah menyemut itu. Dan untungnya lagi, tamu-tamu “petualang” ini adalah dari golongan yang berkantong lebih tebal ketimbang rekan mereka yang “mengemis” hidangan-hidangan serta hadiah-hadiah. Mereka ini merasa bahwa uang mereka lebih berarti bila dibelanjakan untuk apa yang mereka inginkan dan tidak suka dipilihkan atau diberi begitu saja. Bisa jadi bila disuguhkan terus-menerus mereka merasa agak terhina karena tidak dibebaskan. Ya, aneh-aneh saja kelakukan orang-orang yang berkantong tebal.

Seorang pemuda tampan, agak tinggi dan kurus tampak berjalan dengan lagak yang sok dianggun-anggunkan. Dari pakaiannya yang mewah dan berwarna cerah menyolok serta beberapa rekannya yang bertubuh kekar-kekar dan tampak hormat kepadanya, dapat dipastikan bahwa ia adalah anak seorang dari romobongan dari pemerintah pusat. Dan kumpulan orang-orang kekar dan sangar yang menyertainya, pastilah dari rombongan para tukang pukul atau pengawalnya.

Ia tampak melihat-lihat dari satu kios ke kios yang lain. Mengamat-amati dan membanding-bandingkan barang yang satu dengan yang lain. Bila ia suka, langsung ia memberikan isyarat kepada seorang pembantunya agar barang itu dibeli. Pembantu tersebut bukan termasuk dalam barisan pengawal. Ia adalah seorang tua dengan kumis licin dan tipis. Tampang seorang yang cerdik dan juga licik.

Sudah tiga-empat kios yang diborongnya. Umumnya berupa hiasan-hiasan warna-warni yang khas dibuat untuk menyambut perayaan Musim Angin dan Air. Hiasan yang tidak ada di waktu lain, dan mungkin juga di tempat lain. Mungkin buat oleh-oleh bagi sanak saudaranya di kota nanti, agar ia juga bisa sedikit-sedikit pamer apa-apa yang ditemuinya di kota Siaw Tionggoan ini.

Gu Yo dan Ma Siang yang sedari tadi asik memperhatikan apa-apa yang sedang berlangsung tidak memperhatikan kedatangan pemuda “pemborong” tersebut dan gerombolannya. Mereka masih terpesona dengan pertunjukkan yang sedang dipertontonkan di panggung. Pertunjukkan ketangkasan dan sulap.

Tanpa terlebih dahulu memberi salam, seperti kebiasaan orang di kota Siaw Tionggoan, pemuda itu langsung saja masuk ke kios Kedai Daging Bakar untuk melihat-lihat. Para pengawalnya langsung mengambil posisi di sekeliling kios untuk melindunginya. Pembantu berkumis tipis dan licin tampak sudah setia di sisinya.

Sebetulnya pemuda tersebut tidak terlalu tertarik dengan kios tersebut, sampai ia melihat beberapa hiasan atau tepatnya daging bakar kering yang dibuat menyerupai berbagai hiasan. Suatu hiasan yang dapat dimakan. Hiasa yang dapat berupa ular dan berasal dari daging ular kering. Hiasan berbentuk ikan yang berasal dari kulit ikan yang alot dan telah kering. Hiasa berupa kepala kambing yang berasal dari dendeng kambing dan sebagainya. Kagum pemuda itu pada barang-barang yang belum pernah ditemuinya itu.

“Hai, penjual! Berapa harganya ini?” tanyanya sambil menunju pada sebua hiasan berbentuk kera yang sedang memegang pisang. Kera tersebut bukan berasal dari daging kera, tapi daging sapi yang dikeringkan. Dan pisangnya berupa benar-benar pisang asli yang telah dibakar dan dihias.

Gu Yo yang lebih dulu tersadar dari Ma Siang, segera menghampiri pemuda itu, “Kongcu, hiasan kera itu harganya dua puluh tigaan.” Ucapan kongcu atau ’tuan muda’ digunakannya setelah sekilas melihat gelagat kepongahan pemuda itu dan juga cara orang yang didekatnya membungkuk-bungkukan diri sambil memuji-muji hiasan pilihan pemuda itu.

“Harga yang bagus.., tak terlalu mahal, dan juga tidak terlalu muran! Pas!” katanya, seakan-akan ia mengetahui kapan harga suatu barang terlalu mahal atau murah dibandingkan dengan kualitasnya. “Ada bentuk lain selain yang ditampilkan di sini?”

Sebelum Gu Yo sempat menjawab, Ma Siang yang telah tersadar akan adanya tamu, segera ikut membantu, “Ada kongcu. Ada kepiting, kelelawar, kura-kura, laba-laba dan masih banyak lainnya. Ada bentuk khusus yang diminta?”

Tampak kagum yang tidak ditutup-tutupi dari pemuda itu terlihat jelas. Ia kagum bahwa ternyata daging kering dapat dibentuk macam-macam. Menjadikan hiasan-hiasan tersebut indah dan juga tetap layak untuk dimakan, walaupun mungkin menjadikannya sayang untuk disantap.

“Saya suka kuda.., ada bentuk kuda?” tanyanya kemudian. Pemuda itu, walaupun dari kalangan orang kaya, akan tetapi ia memiliki suatu kegemaran menunggang kuda. Ia lebih suka menunggang kudanya sendiri ketimbang duduk ke kereta yang dikemudikan oleh pembantu-pembantunya.

Gu Yo dan Ma Siang saling berpandangan. Ya, mereka punya, tapi hiasan berbentuk kuda itu agak besar dan sudah lama sekali menjadi simpanan di Kedai Daging Bakar. Hiasan pesanan seseorang tapi telah lima tahun tidak diambil-ambil. Untuk membuatnya saja perlu waktu hampir setahun, karena menirukan ukuran anak kuda yang sebesar kambing. Bisa dibayangkan berapa banyak daging kering yang dibutuhkan untuk itu. Sayangnya setelah beberapa lama waktu berlalu, pemesannya tak pernah terdengar lagi kabarnya. Dan untuk itu belum ada uang yang diberikan. Dengan berbekal rasa percaya saja Yok Seng sang pemilik Kedai Daging Bakar menerima dan membuat pesanan itu.

“Sebenarnya ada..,” ujar Ma Siang pelan. Lalu diceritakannya perlihat hiasan kuda yang mereka punya. Ia telah dipesan oleh Yok Seng agar bila ada pembeli yang tertarik, dapat ditawarkan benda tersebut. Akan tetapi hanya untuk yang benar-benar tertarik dan tampak mampu saja. Hal ini dikarenakan harganya yang sudah pasti mahal, seribu lima ratus tigaan.

Mendengar hal itu tertariklah sang pemuda. Hiasan yang tersusun atas daging kering dan dibentuk menyerupai anak kuda dengan ukuran sebenarnya, benar-benar memukaunya. Walaupun demikian, harganya juga menjadikannya agak ragu-ragu. Ya, seribu lima ratus tigaan adalah hampir 7 bagian dari 10 bagian uang yang dimilikinya. Saat itu ia telah menghabiskannya 2 bagian. Masih cukup 8 bagiannya. Akan tetapi hal ini berarti ia tidak dapat membeli apa-apa lagi selain itu.

“Tidak bisa kurang harga itu?” tanyanya. Sambil menunggu jawaban ia tampak berbisik-bisik dengan pembantunya yang berkumis licin dan tipis. Sang pembantu tampak menggeleng-gelengkan kepalanya. Rupanya harga tersebut dirasanya tidak bijaksana untuk dihabiskan hanya untuk satu benda saja.

Ma Siang yang saat itu juga bercakap dengan Gu Yo, akhirnya memutuskan bahwa urusan harga lebih baik diputuskan oleh Yok Seng sendiri. Mereka tahu bahwa waktu yang telah lewat untuk hiasan dagin kering akan membuat harganya agak turun. Jadi mereka tidak bisa memutuskan sendiri berapa harga yang patut untuk barang tersebut. Akhirnya disepakati bahwa seorang dari pembantu kios Kedai Daging Bakar, bersama dengan seorang pengawal sang pemuda, pergi ke Kedai Daging Bakar untuk menjemput Yok Seng. Sementara itu Ma Siang dan Gu Yo melayani pemuda itu dan gerombolannya yang akhirnya juga menjadi lapar. Mereka pun memesan makanan, dan bukan hiasan daging kering, untuk mengisi lambung mereka yang sudah tak tahan tergoda aroma daging yang menari-nari di udara.


Seorang pemuda tampak berada di suatu ketinggian bukit. Jauh di selatan tempatnya berdiri tampak kota yang beru saja ditinggalkannya. Kota Siaw Tionggoan. Kota yang sedikit banyak memberikan kenangan kepadanya. Banyak peristiwa dalam dua minggu ia berada di sana. Dari peristiwa yang menyedihkan seperti harus membantu polisi untuk mengidentifikasi jenasah Gu Ming dan Po Ting Hwa, atau yang dikenalnya sebagai kakek Gu dan nenek Po, kedua orang yang telah menolongnya; sampai yang menggembirakan, seperti lakunya kuda daging kering Yok Seng sang pemilik Kedai Daging Bakar senilai seribu lima ratus tigaan. Selain itu terdapat pula peristiwa haru, yaitu bertemunya seorang ayah dengan anaknya yang telah lama dititipkan pada temannya. Siapa lagi kalau bukan Ceng-Liong Hui-To dengan Ma Siang. Ma Siang ternyata adalah anak sang Naga Hijau Pisau Terbang, yang memang dititipkannya pada sahabatnya Ma She. Ia merasa kegundahannya dalam hidup tidak baik bila ia membesarkan anaknya sendiri.

Setelah menghilang beberapa tahun, Ceng-Lion Hui-To atau yang sekarang minta dipanggil Ceng Liok, telah dapat menemukan dirinya sendiri dan bersemangat untuk hidup kembali. Oleh karena itu ia kembali ke kota Siaw Tionggoan untuk menjemput anaknya. Orang yang akan diajari ilmu-ilmunya. Orang yang akan menjadi satu-satunya pewarisnya.

Sebuah kejelasan itu muncul setelah terjadi pertarungan di panggung saat puncak perayaan Musim Angin dan Air digelar, yaitu adu ilmu silat. Saat seorang dari perwira dari pemerintah pusat berlaga dan telah banyak menang, naiklah delapan orang pengacau. Su-Mo dan Empat Begal Hutan. Mereka ingin memenangkan pertarungan itu, menawan para tamu dan secara politis menyatakan bahwa kota Siaw Tionggoan mulai saat itu adalah daerah kekuasaan mereka. Suatu keberanian yang muncul akibat kedekatan mereka dengan salah seorang pejabat kota itu dan juga di kota lain. Untung saja hal itu tidak terjadi. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya nasib kota Siaw Tionggoan apabila tamu-tamu dari pemerintah pusat ditawan dan diminta tebusan. Bisa hancur nama kota itu di depan mata pemimpin tlatah tersebut.

Atas kesigapan paturan yang dipimpin oleh inspektur San Cek Kong dan juga munculnya kembali Ceng-Liong Hui-To, kedelapan orang tersebut dapat ditanggulangi dan bahkan terluka parah. Gu Yo juga sempat berhadapan kembali dengan Hek-Mo dan menggunakan kembali jurus ampuhnya Jarum Terbang Debu Pasir yang membuat lawannya kali ini hampir putus napasnya. Untung saja masih ada satu dua napas dari Hek-Mo, jika tidak pesan yang disampaikan oleh kakek Gu dan nenek Po lewat hipnotis pada saat-saat akhir hidup mereka tidak bisa sampai kepada Gu Yo. Entah apa yang dibuat mereka berdua, saat tubuhnya terluka parah oleh jurus Jarum Terbang Debu Pasir, Hek-Mo bicara seperti orang melantur, menceritakan hal-hal yang hanya dapat dimengerti oleh Gu Yo yang sedang berdiri di hadapannya. Setelah bercerita Hek-Mo pun kemudian tumbang, yang disambut dengan sorak-sorai pada penonton dan juga pandangan kagum dari Ceng-Liong Hui-To, inspektur San Cek Kong dan juga Swee Sian Lin.

Berdasarkan keterangan dari mulut Hek-Mo, dapatlah Gu Yo mengetahui kepada siapa kitab yang diawali sajak “Pembicaraan Angin” itu harus diserahkan. Dan orang itu bukanlah orang yang perlu susah-susah dicarinya. Orang itu adalah Ma Siang, anak dari Ceng-Liong Hui-To dengan seorang wanita. Wanita inilah yang sebenarnya merupakan keturunan pemilik kitab tersebut. Akan tetapi dari hasil pengamatan guru Gu Yo, wanita ini telah memiliki keturunan dari Ceng-Lion Hui-To. Oleh karena itu cukuplah bila ia mencari keturunan dari orang itu, dan bukan dari wanita tersebut. Salah satu sebabnya adalah karena Ceng-Liong Hui-To lebih dikenal orang ketimbang wanita tersebut, sehingga diharapkan lebih mudah untuk ditemukan anak keturunannya.

Jadi apa sebenarnya isi dari kitab tersebut? Kitab yang dibawa Gu Yo dan akhirnya diserahkan kepada Ma Siang tersebut berisi suatu ilmu pemindahan tenaga dengan menggunakan tato yang dibuat khusus. Dengan cara ini apabila tato seseorang yang juga menunjukkan hawa apa yang dimilikinya dapat dipindahkan, maka hawa tersebut juga akan ikut berpindah. Ilmu ini kemudian disalahgunakan oleh beberapa orang yang tidak membaca kitab tersebut secara keseluruhan. Mereka mengira bahwa pemindahan tato dapat dilakukan dengan mengambil tatonya secara paksa, mengeleteknya. Sebenarnya tidak. Dalam bagian akhir dari kitab tersebut dijelaskan bahwa tato hawa yang sebenarnya muncul akibat hawa tenaga dalam telah sampai pada puncaknya dan bukan dibuat dengan merajahnya. Tidak seperti tato-tato pada umumnya. Dan tato inilah yang ampuh untuk dipindahkan. Sedangkan tato hasil rajahan, bila dipindahkan hanya akan memindahkan kulit belaka tanpa ada kelebihan apa-apa.

Kesesatan ini yang kemudian dipahami secara salah oleh dua orang dari Empat Begal Hutan. Dua orang yang menggali kuburan nenek Po dan kakek Gu dan mengganggu jenasah mereka dengan mengeletek tato-tatonya. Mereka berdua telah mencoba mengeletek tato-tato orang-orang yang ditemui dan tidak dapat memanfaatkannya. Untuk memancing keturunan dari Ceng-Liong Hui-To, yang mereka yakini tahu akan pemanfaatan tato-tato tersebut, mereka pun mengirimkan tato tersebut ke Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To dan juga ke kantor polisi. Hanya saja yang belum jelas karena keduanya sudah keburu tewas, adalah siapa dua orang yang telah juga dikletek tatonya. Kedua tato segar yang ditemukan oleh para paturan.

Perpisahannya dengan Ma Siang atau lebih tepatnya Ceng Siang, lebih berat dari sisi dara itu. Ia benar-benar merasa telah dekat dengan Gu Yo sehingga tidak ingin pemuda itu jauh darinya. Bagi dirinya sendiri, ia masih harus mencari tunangannya Citra Wangi. Menanyakan kepastian hubungan mereka. Bila ternyata tidak seperti dulu yang telah diikrarkan, ada kemungkinan ia akan mencari kembali Ceng Siang. Mungkin.

Selain Ceng Siang, adalah Yok Seng yang merasa berat berpisah dengan Gu Yo. Ia bahkan akan menggaji pemuda itu lebih tinggi, bila ia masih mau bekerja padanya. Gu Yo hanya dapat tersenyum. Dan dijelaskannya kemudian bahwa kota Siaw Tionggoan hanya persinggahannya. Masih banyak tugas yang harus diselesaikannya. Menuntaskan utang-utang lama dari gurunya, si Maling Kitab.

Inspektur San Cek Kong dan Swee Sian Lin ternyata telah lama memendam rasa di antara mereka. Berhubung mereka telah sama-sama tidak memiliki orang tua, munculnya Ceng Liok yang bisa dianggap sebagai pengganti orang tua, karena ia adalah saudara tua perguruan, sekalian mereka berdua meminta restunya. Karena tidak tahu setelah Ceng Liok kembali menghilang, kali ini dengan anaknya Ceng Siang, bisa jadi entah kapan ia akan muncul kembali.

“Syukurlah, satu tugas sudal selesai,” kata pemuda itu sambil tersenyum. “Tugas baru kembali menjelang..,” sambil berkata demikian ia melongok sedikit ke dalam tas yang ada disampirkan di pinggangnya. Di dalamnya terdapat suatu kitab lain. Kitab yang juga harus dicari pemiliknya atau tepatnya keturunan dari pemiliknya dan mengembalikannya. Agar tidak terlalu berat Gu Yo selalu menyembunyikan kitab-kitab tugasnya di beberapa tempat, sisanya masih di Gunung Hijau dan dijaga oleh para Troll. Satu per satu kitab-kitab itu akan dicoba untuk dikembalikannya kepada orang-orang yang berhak. Suatu pekerjaan yang entah sampai kapan baru selesai. Tapi yang penting ia mencoba untuk melaksanakan wasiat dari gurunya tersebut. Guru yang tidak pernah ditemuinya langsung, melainkan hanya melalui berita para Troll.

Setelah digenapkan tekad dan ditinggalkan kenangannya akan kota Siaw Tionggoan, pemuda itu pun membalikkan tubuhnya. Mengarah ke utara. Melaksanakan tugas berikutnya. Entah apa yang akan ditemuinya dalam perjalanan berikutnya ini.

Sang surya yang sudah agak condong ke barat pun kemudian tampak malu-malu ditutupi awan-awan yang bergerak-gerak cepat ditiup angin perbukitan di tempat itu, memandangi punggung pemuda yang berjalan menuju arah utara. Pemuda yang mengemban tugas yang berat. Tugas yang mungkin tidak bisa dituntaskannya seorang diri.

Tags: