nou

yang kembali dan yang tumbuh

Nein Arimasen
81 mins read ·

elemen kekosongan 5/9

url https://elemen-kekosongan.blogspot.com/2006/12/yang-kembali-dan-yang-tumbuh.html

Siang itu Walinggih berencana untuk pergi ke Danau Genangan Batu dan daerah sekitarnya untuk menangkap Keuyeup dan ikan Julung-julung untuk dibuat Peyek. Jika beruntung ikan Beunteur pun mungkin dapat diperolehnya. Ikan yang terakhir ini sering juga disebut sebagai ikan kepala timah karena di kepalanya ada bagian yang berwarna kelabu seperti warna timah pada umumnya.

Setelah berpesan agar Telaga kembali mengingat-ingat gerakan yang baru saja diajarkannya Walinggih pun berlalu dari situ. Telaga masih tampak berpikir keras untuk menuangkan ingatannya pada gerakan-gerakan yang baru saja ditunjukkan gurunya itu.


“Sudah cukup kelihatannya Tenaga Air yang engkau pelajari, nak Lantang,” ucap Ki Sura, “sudah hampir tiga tahun engkau bersama kami di sini. Sudah waktunya pula kita berpisah.”

Menghela napas Nyi Sura mendengar perkataan suaminya, teringat ia pada anaknya Telaga yang sedang merantau ke selatan. Entah kapan mereka dapat bersua kembali. Dan anak ini, Lantang yang seolah-olah sebagai pengganti Telaga, haruslah pula berpisah. Dan ini memang kehendak suaminya, agar ia dapat meluaskan pengalamannya dan juga sebagai pelaksanaan tugas dari gurunya, Rancana si Bayangan Menangis Tertawa agar mencari dirinya setelah tamat belajar di Pulau Tengah Danau di Gunung Berdanau Berpulau.

“Tapi guru berdua..,” tak sanggup Lantang melanjutkan kata-katanya. Rasa sayang kedua orang tua itu yang ditunjukkan saat mereka mengajarkannya Tenaga Air benar-benar telah menorehkan hubungan yang lebih dari murid dan guru dalam hatinya. Berat rasanya apabila ia harus berpisah dengan mereka.

“Kami akan baik-baik saja, tak perlu engkau kuatir, nak Lantang,” Ki Sura berusaha berkata arif, menekan rasa harunya yang muncul melihat keenganan sang anak untuk berpisah dari mereka. Mereka berdua telah menganggap Lantang sebagai anaknya sendiri. Adik dari Telaga.

“Kamu tahu ‘kan, bahwa gurumu Rancana masih berupaya agar jalan darahmu dapat berjalan lancar kembali. Ia mencari orang yang dapat menyembuhkannya. Konon kabarnya berdiam seorang keturunan Petapa Seberang di timur sana. Rimba Hijau. Kemungkinan gurumu bertandang ke sana..,” jelas Ki Sura.

“Siapa nama orang yang tinggal di Rimba Hijau itu, ki?” tanya Lantang. Ia belum pernah diceritakan gurunya bahwa ada tempat seperti Rimba Hijau itu di timur.

“Orang-orang menyebutnya Ki Tapa,” Nyi Sura yang menyahut. “Kami dulu sekali pernah bertemu dengannya. Ia pernah menyembuhkan kami saat kami salah melatih Tenaga Air. Ilmu yang dikuasainya bersumber dari kitab Jalan Selaras dengan Alam Semesta. Sebetulnya tidak ada hubungan langsung dengan Tenaga Air selain pemanfaatan gerakan-gerakannya yang luwes seperti air mengalir. Selain itu ia juga memiliki Jurus Air. Jurus yang berisikan gerakan-gerakan yang memanfaatkan sifat-sifat air dalam gerakannya.”

“Apakah Ki Tapa adalah saudara perguruan Ki dan Nyi Sura?” tanya Telaga, “melihat bahwa nama ilmunya sama-sama menggunakan kata ‘Air’. Atau ada hubungan dengan guru Rancana, melihat ilmunya bersumber dari kitab yang sama.”

“Engkau memang cerdas, nak Lantang,” jawab Ki Sura gembira, “akan tetapi walaupun namanya sama-sama air, akan tetapi keduanya, Jurus Air dan Tenaga Air tidak berhubungan secara langsung. Entah di awal-awalnya. Kami berguru pada orang yang berbeda dan masing-masing diwujudkan pada praktek yang berbeda. Jurus air adalah suatu ilmu beladiri, sedangkan Tenaga Air hanyalah ilmu hawa atau tenaga dalam. Mengenai hubungan dengan gurumu, kami tidak tahu. Lebih baik engkau tanyakan sendiri padanya nanti bila bertemu.”

Mereka kemudian terdiam sejenak.

“Saat itu kami bertiga, kami pernah mencoba apakah Tenaga Air dapat digunakan dalam Jurus Air, ternyata bisa. Tapi tidak untuk semua gerakan. Entah gerakannya yang tidak murnni ataupun tenagannya yang tidak murni. Karena buntu akhirnya kami pun tidak melanjutkannya,” lanjut Nyi Sura saat melihat bahwa pandangan Lantang masih mengisyaratkan kelanjutan dari kisah itu.

“Lalu bagaimana Ki Tapa itu dapat menyembuhkan guru berdua, apabila ia tidak bisa Tenaga air?” tanya Lantang bingung.

“Memang ia tidak bisa Tenaga Air, akan tetapi dari gurunya ia memperoleh ilmu pengobatan yang pada dasarnya diambil dari pemanfaatan energi dari empat elemen, yaitu air, tanah, udara dan api. Dengan berbekal pengetahuan ini ia dapat mengobati luka dalam yang kami derita,” terang Ki Sura.

Lantang mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan itu. Suatu hal yang menarik bahwa ada ilmu Tenaga Air dan juga Jurus Air. Akan tetapi keduanya tidak berkaitan secara langsung.

“Jadi bagaimana rencanamu, nak Telaga? Apa akan langsung menyusul gurumu ke Rimba Hijau atau hendak berputar dahulu menambah ilmu?” goda Nyi Sura. Di masa mudanya Ki dan Nyi Sura ini juga senang berpetualan merantau ke sana ke mari. Baru setelah seorang berilmu tinggi meminta mereka menjadi pewaris Tenaga Air, mereka berdiam diri di Gunung Berdanau Berpulau. Menunggu saat yang tepat untuk mewariskan ilmu-ilmu mereka. Dengan adanya Telaga anak mereka dan juga Lantang, sudah genap janji mereka bahwa ilmu Tenaga Air harus diwariskan kepada dua orang. Untuk menjaga apabila satu diantaranya meninggal terlebih dahulu, yang lain dapat menjaga dan mewariskannya pada orang yang bertulang dan berperangai baik.

“Janganlah kau goda nak Lantang ini,” senyum suaminya, “biarlah ia berputar-putar dulu baru ke timur. Anak muda harus menimba ilmu dari menjalani kehidupan ini sendiri. Jangan kenyang hanya dengan petuah-petuah teoritis akan tetapi miskin pengalaman dan praktek.”

Kedua orang tua itu pun kemudian tertawa hampir bersamaan. Lantang hanya tersenyum saja menyaksikan kelakuan kedua gurunya. Meskipun mereka telah sama-sama berusia lanjut, tapi gaya dan cara mereka bicara masih seperti orang-orang muda. Tidak terlalu terikat akan adat sopan-santun kebanyakan orang.

Ki dan Nyi Sura pun kemudian berpesan apa-apa yang harus diperhatikan telaga di rantau nanti. Jangan mencari-cari masalah, karena hal itu tidak baik. Selain itu pula ia belum dapat menggunakan tenaga dalamnya. Walaupun telah dilatih Tenaga Air oleh Ki dan Nyi Sura, dan juga Jalan Selaras dengan Alam Semesta oleh Rancana, Lantang hanya dapat menggunakan tenaga kasarnya dan tidak tenaga yang terhimpun di pusarnya. Ada suatu sebab, yang belum diketahui yang menghambat aliran hawa dalam tubuhnya. Selain itu Ki dan Nyi Sura, kedua gurunya pun berpesan agar jika bertemu dengan Telaga, menyampaikan rasa kangen dan sayang dari mereka.

Lantang mengangguk-angguk mengiyakan apa-apa yang dipesankan kepadanya. Ia akan pergi dari pulau itu keesokan paginya. Pagi-pagi sekali. Kepada kedua gurunya ia pamit saat itu juga karena mereka biasanya pada saat pagi-pagi seperti itu sedang tenggelam dalam samadinya, dan baru beranjat menjelang tiga perempat siang.

Hanya satu ganjalan yang masih ada ada di hati Lantang, yaitu Xyra. Xyra adalah seorang atau sesosok Undinen yang telah akrab dengan dirinya sejak semula ia datang ke tempat ini, Pulau Tengah Danau. Dengan bantuan Xyra Lantang dapat lebih cepat memahami Tenaga Air. Xyra sebagai makhluk yang termasuk dalam Roh-roh Air memiliki Tenaga Air dalam dirinya secara alamiah. Ia dapat dengan mudah membangkitkannya dan menunjukkannya pada Lantang, sehingga pemuda itu dapat merasakan dan mencoba untuk menirukannya, walau di dalam bawah sadar, mengingat ia tak mampu untuk mewujudkannya karena aliran darahnya masih tersumbat.

Ki dan Nyi Sura telah dapat menemukan suatu cara agar Lantang yang jalan darahnya tersumbat dapat masih mempelajari Tenaga Air, yaitu melalui mimpi. Dalam mimpi dapat dibangun jalan darah-jalan darah khayalan yang lancar dan dapat diatur sesuka hati. Dengan cara ini pengetahuan Lantang mengenai Tenaga Air dapat dilatih. Dewasa ini mungkin mirip dengan apa yang dikenal orang sebagai simulator.

Xyra pun berdasarkan kemampuan alamiahnya dapat berhubungan dengan Lantang melalui mimpi. Ia dapat menunjukkan bagaimana corak-corak aura dari Tenaga Air pada berbagai keadaan dan posisi. Dengan kerja sama ini, Lantang memperoleh kemajuan pesat akan pemahaman terhadap Tenaga Air. Lebih alami dibandingkan Ki dan Nyi Sura.

Dan sekarang Lantang hendak meninggalkan tempat ini. Sudah terasa berat untuk berpisah dengan kedua gurunya, Ki dan Nyi Sura. Terasa pula berat untuk berpisah dengan Xyra, sesosok yang boleh dikatakan teman main seumurnya di tempat itu. Ia tidak tahu bagaimana harus mengatakan hal ini kepadanya.

Perlahan ia berjalan mencoba untuk mencari-cari kata-kata yang bisa diucapkan pada Xyra bahwa kepergiannya ini bukanlah selamanya. Suatu saat ia mungkin kembali. Dan mereka dapat kembali bersua. Tapi sampai di ceruk di bawah Sungai Batu Hitam, tak satu pun kata-kata untuk perpisahan itu yang dapat ditemuinya. Lantang tak tahu apa yang harus dikatakannya pada Xyra, Undinen temannya mengenai kepergiannya itu.

Sesampainya di sana tak dijumpainya kawannya itu. Aneh. Biasanya pada waktu-waktu seperti ini Xyra pasti menantinya di sana. Untuk kemudian berlatih bersama-sama Tenaga Air sampai menjelang dini hari. Berlatih dalam mimpi Lantang.

Lantang pun berusaha memanggil-manggil, dikerahkannya suaranya. Tapi tidak ada sahutan. Akhirnya ia pun duduk terpekur. Biarlah pikirnya, ini pun lebih baik. Ia tidak harus menjelaskan hal yang sulit itu kepada Xyra. Mungkin nanti Ki dan Nyi Sura yang dapat menjelaskannya.

Setelah mantap dengan apa yang dipikirkannya Lantang pun mulai berkemas. Barang-barang miliknya tidak banyak, sehingga tidak dibutuhkan banyak waktu untuk mengumpulkannya. Setelah selesai hari pun telah menjelang senja. Ia pun beranjak kembali menemui Ki dan Nyi Sura untuk makan malam. Setelah itu ia akan menghabiskan waktunya untuk Mengheningkan Cipta dan tidur sampai besok pagi. Mempersiapkan fisik dan juga batinnya untuk perjalanan nanti.


“Anakku Nah, perhatikan apa yang bisa aku lakukan dengan benda-benda di atas meja ini!” ucap Seh Pratahu pada anaknya Nah Pratahu. Ia berkonsentrasi sebentar untuk kemudian menunjuk pada sebuah batu yang ada di hadapannya. Batu itu tambak bergerak sedikit, berputar. Lalu naik ke udara dan kemudian kembali menyentuh meja.

Setelah itu Seh Pratahu menunjukkan jarinya ke pada sebuah kertas yang terletak di atas meja itu, kertas itu bergerak-gerak seakan-akan tertiup angin, dan mendadak “wwwwrrrrt!” kertas itu pun terbakar. Terlonjak Nah Pratahu menyaksikan hal itu. Tak percaya dihampirinya kertas yang telah menjadi hitam itu. Remah-remah gosong tampak menghiasi tangannya.

Belum selesai dengan demonstrasinya, Seh Pratahu kemudian kembali menunjukkan jarinya kepada sebuah gelas yang berisi air, lama ia berupaya berkonsentrasi, sampai akhirnya dimintanya anaknya untuk menuangkan air dari dalam gelas itu keluar. Tidak berhasil. Alih-alih mengalir, air dalam gelas itu telah membeku semuanya. Menjadi es.

Kekaguman terpancar dari wajah Nah Pratahu menyaksikan kebisaan ayahnya dalam memanipulasi keadaan dari obyek-obyek di sekitarnya yang berkaitan dengan sifat empat elemen.

“Ini namanya Hawa Pikiran (telekinetik), dengan hanya berpikir engkau dapau melakukan sesuatu. Membuat api, membekukan air, mengangkat benda-benda dan bahkan bergerak cepat atau menghilang.” Seh Pratahu kemudian menjelaskan hal-hal lain yang bisa dilakukan dengan menggunakan kekuatan otak atau pikiran.

“Tapi ayah.., apa bedanya dengan Hawa Tenaga Dalam – yang juga bisa membuat orang berlari cepat dan memukulkan hawa dingin dan panas?” tanya anaknya ingin tahu. Dari buku-buku yang dibacanya, Nah Pratahu telah mengenal ilmu-ilmu yang dituliskan oleh para Pengujar Tua, ilmu-ilmu tenaga dalam dan bela diri yang amat ajaib bagi telinganya.

“Pada prinsipnya sama. Keduanya memanfaatkan energi dari empat unsur yang ada di alam, yaitu Unsur Air, Unsur Api, Unsur Angin dan Unsur Tanah,” jelas sang Ayah, “hanya saja Hawa Pikiran tidak melatih otot-otot untuk mengerakkan energi-energi tersebut melainkan hanya pikiran. Lain dengan ilmu beladiri yang membangkitkan energi dari empat elemen dengan perantaraan hawa dari pusat. Suatu tandon sumber tenaga, kira-kira empat jari di bawah pusar.”

Mengangguk-anguk Nah mendengarkan petuah dari Seh mengenai perbedaan dari Hawa Pikiran dan Hawa Tenaga Dalam. Dikatakan pula bawa Hawa Tenaga Dalam digerakkan pula oleh pikiran tapi hanya dalam perputarannya di dalam tubuh tidak diluarnya. Untuk mengeluarkannya dibutuhkan gerakan-gerakan tertentu. Lain dengan Hawa Pikiran yang tidak membutuhkan gerakan-gerakan tertentu untuk memanifestasikan energinya di luar tubuh.

Seh pun kemudian mengajari bagaimana Nah dapat mempelajari pengolahan Hawa Pikiran sehingga ia dapat memanfaatkan energi-energi dari empat elemen untuk memanipulasi benda-benda di sekitarnya.

Selain itu Seh mengajarkan pula apa yang disebut melihat Hawa Getaran (aura) yang ada atau dimiliki oleh setiap benda mati ataupun hidup. Hawa Getaran ini merupakan sifat alamiah dari benda-benda. Dengan mengetahui Hawa Getaran dari sesuatu kita bisa mengetahui sifat-sifatnya, tanpa perlu mendekati atau menyentuhnya. Informasi mengenai sifat-sifat ini telah dipancarkan melalui Hawa Getaran. Untuk manusia sifat-sifat ini meliputi pribadi dan keadaan emosinya. Dengan cara ini misalnya kita bisa tahu keadaan hati sesorang walaupun ia tidak mengetahuinya dari Hawa Getaran yang dipancarkannya.

Seh kemudian menceritakan bahwa manusia pada lahirnya memiliki kemampuan untuk melihat Hawa Getaran secara alamiah, akan tetapi semakin dewasa dengan semakin bergantungnya orang pada penglihatan akan benda-benda disekitarnya, semakin berkurang kemampuan mereka untuk melihat Hawa Getaran itu. Anak kecil adalah tingkatan awal di mana ia dapat melihat Hawa Getaran ini. Kadang orang tidak mengerti mengapa ada orang yang disukai oleh anak kecil akan tetapi ada orang yang dijauhi atau bila ia mendekat, maka anak kecil tersebut akan menangis. Hal ini dikarenakan anak kecil yang masih dapat melihat Hawa Getaran dari orang itu, tidak menyukai warnanya. Atau dengan kata lain Hawa Getaran orang tersebut tidak cocok atau menyakiti Hawa Getaran si anak, entah dengan sengaja atau tanpa sepengetahuan orang itu sendiri.

Pengujar-pengujar Tua yang dikenal sebagai orang-orang suci umumnya mempunyai Hawa Getaran yang gemilang dan berwarna emas. Sedangkan orang-orang yang kurang baik atau mengikuti hawa nafsunya umumnya memiliki Hawa Getaran yang kelam dan dingin menakutkan. Dengan melatih Hawa Getaran seseorang dapat menggunakannya untuk mengintimidasi orang lain. Ini biasa digunakan oleh petarung-petarung wahid yang bisa menang sebelum bertanding, karena lawannya telah keder duluan. Secara sadar atau tidak mereka telah menggunakan Hawa Getaran, walaupun mereka ataupun lawannya tidak bisa melihatnya sendiri melainkan hanya merasakan.

Dengan melatih mata untuk melihat warna-warna dari Hawa Getaran, pukulan-pukulan Hawa Tenaga Dalam dapat dilihat dan juga rambatan energi Hawa Pikiran. Kemampuan ini dapat dimanfaatkan sebagai suatu bentuk ilmu pertahanan diri.

“Lalu bagaima cara kita melatihnya, ayah?” tanya Nah amat tertarik. Ia baru kali ini mendengar apa yang disebut sebagai Hawa Getaran dan bagaimana cara melihatnya.

“Caranya tidak terlalu sulit, akan ayah ajarkan. Akan tetapi diperlukan kesabaran dan ketekunan untuk melatihnya,” jawab Seh sambil tersenyum. Ia senang bahwa anaknya antusias terhadap apa-apa yang diajarkannya. Lalu lanjutnya, “Melihat Hawa Getaran bersama-sama dengan Hawa Pikiran merupakan ilmu wajib bagi keluarga Pratahu. Selain itu ada pula Hawa Berbicara dan Mendengar Terbalik. Akan tetapi untuk yang terakhir ayah tidak terlalu memahaminya. Pamanmu yang lebih banyak tahu. Hal ini akan ayah ceritakan belakangan.”

Selanjutnya Seh pun menerangkan bagaimana cara untuk melatih Melihat Hawa Getaran. Ia menjelaskan mengapa anak kecil masih peka sehingga memiliki ilmu Melihat Hawa Getaran secara alamiah. Hal ini dikarenakan mereka belum manfaatkan matanya secara paksa sehingga ada bagian-bagiannya yang rusak. Berangsur-angsur dengan bertambahnya umur, merek mulai merusak matanya dengan memusatkan pandangan hanya pada hal-hal yang umumnya dapat dilihat. Hal-hal lain di luar itu, umumnya diabaikan oleh pikiran sehingga lambat-laun apabila terlihatpun tidak akan dilaporkan oleh otak.

“Orang yang telah dewasa sebenarnya lebih sulit untuk belajar Melihat Hawa Getaran dibandingkan anak kecil karena telah rusaknya lembaran halus (selaput retina) pada depan matanya,” jelas Seh pada Nah. “Ada suatu cara yaitu dengan menggunanan Pandangan Samping (peripheral vision) di mana kita berusaha melihat Hawa Getaran dengan sudut mata kita.”

Dijelaskan oleh Seh bahwa bagian lembaran halus pada pinggir mata umumnya tidak banyak dimanfaatkan, dengan demikian masih bisa dimanfaatkan untuk melatih Melihat Hawa Getaran. Ditunjukkan pula beberapa cara, antara lain dengan melihat dua buah lingkaran belah berbeda warna yang di antaranya terdapat titik di mana harus dilihat pada jarak tertentu. Apabila cukup berkonsentrasi maka akan terlihat bahwa kedua lingkaran belah tersebut seakan-akan bercahaya atau berpendar dengan warna-warna yang berbeda.

“Selain itu terdapat pula kelengkapan dari warna-warna yang ada,” jelas Seh pada Nah, “artinya warna yang kita lihat biasa akan membangkitkan Hawa Getaran yang berbeda, boleh dikatakan pelangkapnya.”

Lalu ditunjukkan oleh Seh suatu kitab yang ditulis oleh Pengujar Chalko (Tom Chalko) yang berasal dari pulau yang jauh di sana, yang “kamu tidak lihat” – ose tra lia (Australia), nama yang dipetuturkan oleh pelaut-pelaut suatu bangsa pelaut. Dalam kitab tersebut dijelaskan padanan warna-warna, atau benda berwarna apa memberikan Hawa Getaran apa. Dituliskan di sana bahwa benda berwarna merah memberikan Hawa Getaran berwarna hijau-biru telur asin (turquoise atau cyan gelap), dan sebaliknya. Jingga (orange) memberikan Hawa Getaran biru dan sebaliknya. Kuning memerikan ungu (violet) dan sebaliknya serta hijau memberikan merah muda (pink) dan sebaliknya. Dituliskan pula bahwa warna-warna terang menunjukkan hal yang positif sedangkan gelap yang negatif, serta ditekankan bahwa warna putih menunjukkan gangguan kesehatan. Warna ini merupakan warna pilihan yang diyakini dilihat orang-orang pada seorang yang menjelang ajal pada jaman dahulu seperti tertuliskan dalam kitab-kitab lama.

“Nah sekarang latihlah, konsentrasi pada benda ini untuk melihat hawa getarannya. Juga ingat-ingat akan warna padanannya, ini penting untuk memisahkan apakah yang engkau lihat nanti adalah Hawa Getaran dari seseorang atau sesuatu atau hanya Hawa Getaran dari pakaian yang dipakai seseorang atau warna bendanya saja.” Setelah berkata demikian Seh pun meninggalkan Nah dalam heningnya, yang mana masih berusaha untuk melatih ilmu Melihat Hawa Getaran. Suatu ilmu yang wajib dilatih oleh anggota keluarga Pratahu.


Di suatu pagi tampak seorang anak muda berbadan tegap tanpa baju dan hanya mengenakan celana coklat berlatih ilmu pedang. Pedang yang digunakan tak lazim panjangnya. Umumnya pedang memiliki panjang yang maksimal selengan penggunanya sehingga setiap saat bila dibutuhkan dapat ditarik dari sarungnya. Lain dengan pedang yang digunakan anak ini, jauh lebih panjang. Mungkin bisa sampai dua kali panjang pedang biasa. Dan tidak disarungkan, melainkan dibungkus begitu saja oleh kain sebagai sarungnya.

Anak muda tersebut tampak bergerak pelan, terlihat bahwa ia sedang mengingat-ingat gerakan yang sedang dilatihnya. Kadang ia hanya terdiam terlena dalam pembayangan gerakan yang pernah ditunjukkan gurunya. Bila dirasa cukup pembayangannya, ia pun melakukannya. Kadang ia bergerak cepat kadang lambat. Kadang teratur kadang liar. Gerakan-gerakan dari ilmu Pedang Panjang.

Telaga si anak muda tersebut sudah tampak berkeringat. Peluhnya berbutir-butir meluruh di sekujur tubuhnya saat ia berlatih. Napasnya pun mulai terengah-engah. Diaturnya kembali pernapasan sambil beristirahat. Ia masih gemas karena jurus terakhi yang diajarkan gurunya belum dapat dikuasai sepenuhnya. Akan dicobanya lagi gerakan itu setelah pulih tenaganya.

Selagi ia membayangkan gerakan-gerakan gurunya dan juga Kadal-kadal Pelangi yang sedang menari-narikan gerakannya saat memangsa serangga, terdengar suara batu kerikil yang dilangkahi orang di belakangnya. Belum sempat ia berputar untuk mencari tahu siapa gerangan sosok tersebut, sebuah batu telah melaju terbang ke arah dirinya. Menuju jalan darah penting ditubuhnya. Dengan indah alih-alih mengelak, Telaga pun menggerakan pedang panjangnya sehingga berfungsi sebagai tameng terhadap batu tersebut, dan “tingg!!” batu tersebut pun terpental. Tak jadi mencapai jalan darah di tubuhnya.

“Hei, siapa…!” belum selesai Telaga bertanya tentang apa maksud dan siap orang itu, sesosok bayangan telah menyerangnya gencar. Bertangan kosong. Tapi walaupun bertangan kosong jangan dikira serangan-serangannya lembek dan tidak berbahaya dibandingkan dengan serangan menggunakan senjata tajam. Sabetan tangan dan kakinya yang dilengkapi dengan Hawa Tenaga Dalam membuat serangan tersebut sama bahayanya dengan sabetan pisau atau golok.

Terpaksa Telaga pun mengelak, berkelit di sana-sini di antara ruang kosong yang tercipta dari serangan-serangan itu. Mundur dan mundur. Ia belum tahu siapa yang menyerangnya dan bukan sifatnya untuk langsung membalas menyerang, apalagi menggunakan pedang panjangnya. Untuk sementara ia akan bertahan dulu sambil mencari tahu maksud dari penyerangnya juga sekaligus melatih ilmu yang sedang dipelajarinya.

Dicobanya menyabetkan pedangnya secara mendatar untuk mengincar pinggang sang penyerang. Dalam gerakan ini pedang akan dilengkungkan ke atas untuk ditarik balik dalam rangka mengantisipasi lawan yang akan mengelakkan serangan pertama dengan melompat tinggi. Telaga telah gembira bahwa sang lawan tampak tidak waspada akan serangan yang dilakukan dirinya, dan ia pun telah memberi jarak agar pada saat yang tepat dapat menahan pedangnya agar tidak sampai melukai.

Tapi Telaga kecele, alih-alih melompat sosok tersebut malah bergerak maju dan menyerang leher dan kepalanya dengan telapak kakinya, beputar seakan-akan tidak mengindahkan serangan pada pinggangnya. Sebelum Telaga menyadari bahwa serangan itu hanyalah tipuan, sosok tersebut telah menarik balik kakinya sehingga ia jatuh ke atas tanah dan menyusup di bawah pedang panjang telaga yang lewat tipis di atas rambutnya.

“Deggg!!” sebuah serangan ringan menyambar pinggang Telaga. Pada jarak seperti itu, pedang panjang tidak ada gunanya. Lawan telah masuk ke dalam lingkaran yang lebih kecil dari ruang pedangnya. Tidak banyak gerakan yang dapat dilakukan sehingga Telaga pun mengalihkan tenaga ke pinggangnya untuk menahan serangan itu.

Dengan cepat sosok itu lalu menempel pada Telaga memegang pedangnya sedemian rupa sehingga Telaga tak mampu untuk memindahkan arah geraknya. Dengan tenaga penuh sosok tersebut menambah tenaga pada arah dorongan pedang semula sehingga gerakan Telaga menjadi berlipat ganda, sudah dihentikan. Akibatnya ia kehilangan nyaris keseimbangan. Hanya ada dua pilihan tetap mempertahankan pedang panjangnya yang tiba-tiba menjadi berat akibat dorongan lawan atau melepaskannya dan menyerang balik dengan menangkap lawan menggunakan ilmu Sabetan dan Tangkapan Lawan yang diajarkan oleh gurunya Arasan.

Telaga akhirnya memutuskan untuk melepaskan pedang panjangnya. Pedang tersebut melesat dengan kuat, masih menyimpan tenaga dorongan telaga dan lawannya. Dan “capp!!” menancap pada bebatuan tak tahu dari sana. Untung saja tidak ada manusia atau hewan yang berada di tempat tersebut.

Sekarang Telaga lebih leluasa menghadapi lawan yang selalu berusaha menyerangnya dari jarak dekat. Jarak yang hanya dapat dicapai dengan bertangan kosong. Perlahan Telaga telah dapat mengimbangi permainan dari lawannya itu.

Setelah lama-lama memperhatikan terlihat bahwa sosok itu agak kecil dibandingkan dengan dirinya. Berperawakan ramping dengan rambut yang digelung. Mungkin panjang rambutnya. Langkahnya ringan dengan muka yang disembunyikan oleh selendang yang dikenakannya. Lamat-lamat Telaga serasa mengenal sosok itu. Seperti pernah dilihat entah kapan dan di mana.

Saat ia sedang dalam lamunannya untuk menebak-nebak siapa gerangan sosok yang sedang menyerangnya itu, tak diduga sosok tersebut menggunakan salah satu gerakan yang agak sulit yaitu agak berjongkok kemudian menyerang kepala Telaga dengan jurus Menebang Kelapa yang diikuti satu tipu berkelit untuk mengunci kedua tangan Telaga dan diakhiri dengan jurus Berkelit Membanting Padi. Akibatnya sudah dapat diduga. Telaga terkunci, terseret arah gerakan lawannya dan terlempar ke atas tanah. Terbanting. “Deggg!!”

Terengah-engah sedikit sosok itu saat bergerak mundur. Rupanya cukup banyak tenaga yang dikeluarkannya untuk mengatasi Telaga. Lawan yang lebih besar tenaganya dari dirinya.

Saat itu tersadarlah Telaga, kecuali gurunya yang dapat melakukan gerakan itu di daerah ini hanya tinggal satu orang, Sarini putrinya. Lalu katanya, “Sarini, janganlah permainkan aku. Dalam ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan, tidaklah aku bisa menang melawanmu!”

Sosok itu tertawa geli mendengar ucapan Telaga. Senang rupanya ia dipuji sedemikian rupa. Tapi kemudian katanya, “Telaga jika sudah tahu siapa aku ayo coba kalahkan aku! Aku dengar dari paman Walinggih bahwa engkau baru diajari jurus Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi. Ayo tunjukkan padaku!”

Mendongkol juga sedikit hati Telaga mendengar ucapan itu, rupanya Sarini ini memang hendak menggodanya. Gerakan yang baru saja dipelajarinya itu sudah hendak dicobanya pula. Darah mudanya pun sedikit bergolak, ia ingin melihat apakah gerakan itu dapat mengatai ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan dari Sarini.

Beranjaklah Telaga ke batu tempat di mana pedang panjangnya tadi tertancap. Ditariknya pelan sambil diingat-ingat lagi jurus Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi yang diajarkan gurunya dan telah sedikit dipahami olehnya. Untuk menghadapi Sarini yang mengambil jarak tempur pendek, mungkin perlu perubahan-perubahan sedikit dalam pemanfaatan jurus itu.

Pertama-tama ia harus membuat gadis itu kalang kabut baru bisa mengeluarkan Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi yang tidak terduga dari atas untuk kembali menyerang posisi awal ia melompat. Jika langsung dikeluarkan Sarini mungkin dapat menebaknya.

Setelah memutuskan gerakan yang akan dilakukannya Telaga pun mulai menyerang Sarini. Awalnya hanya gerakan-gerakan sapuan mendatar dan miring. Ia ingin lebih dulu melihat bagaimana Sarini menanggapinya.

Sarini ternyata memiliki perasaan dan perhitungan yang tajam. Ia tidak banyak bergerak. Ia hanya membiarkan pedang panjang Telaga lewat satu dua jari dari tubuhnya. Tidak banyak ia bergerak, cukup mengelak tipis. Kagum juga Telaga melihat keberanian dan perhitungan yang tepat dari Sarini. Gadis ini benar-benar berhati harimau.

Karena lama tak membuahkan hasil, akhinya Telaga mulai meningkatkan kadar serangannya. Sekarang serangannya mulai gencar dan dibalas pula oleh Sarini dengan elakan-elakan yang lebih cepat. Masih belum menyerang. Kelihatannya Sarini masih mencari-cari celah untuk bertarung jarak dekat, agar ia bisa menangkap atau memukul bagian-bagian tubuh dari Telaga.

“Ayo keluarkan jurus Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi!” pancing Sarini.

Mendengar ini Telaga pun tergerak untuk mengeluarkan jurus itu. Bukan hanya karena emosi juga karena ia tertarik bagaimana gadis itu bisa menangani serangannya. Setelah sedikit bergerak liar menyabet ke sana ke mari membuat hampir tidak ada ruang kosong di kiri-kanan Sarini, Telaga pun meloncat terbalik dan menyabetkan pedangnya ke arah Sarini. Sarini pun melompat mundur untuk mengelak. Tipis akan tetapi mengenai selendangnya sehingga wajahnya pun terbuka.

Saat Telaga tersenyum atas hasil yang didapatkannya dan ia menyentak balik untuk kembali ke posisi semula di mana ia melompat tadi, seperti gerakan-gerakan Kadal Pelangi, Sarini bergerak cepat. Sarini telah mengambil posisi rapat, di mana Telaga akan mendarat. Sedemikian rapat sehingga jarak itu tidak dapat dimasuki lagi oleh pedang panjang.

Kaget tersurat pada wajah Telaga melihat posisinya tidak lagi menguntungkan. Belum habis gaya tarikan pedang panjangnya, kembali Sarini telah menggapai kedua tangganya, menambah dorongan sehingga Telaga kembali terikut arus putaran tenaga Sarini. Dan dalam sekejap kembali jurus Berkelit Membanting Padi digunakan. Hasil yang mirip diperoleh, yaitu Telaga dan pedangnya terlempar mendatar di atas tanah. Terlentang.

“Hehehehe..!!” tiba-tiba terdengar kekeh seseorang dari sisi kedua orang yang sedang bertarung itu. “Nak Telaga, kena engkau diperdaya Sarini.”

Orang itu ternyata adalah Arasan. Ia telah lama berada di sana. Ia dapat dengan jelas melihat bagaimana anaknya Sarini memberi pancingan pada Telaga sehingga pemuda itu mengeluarkan jurus Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi yang langsung direbut posisi awalnya untuk dihancurkan.

“Guru..!” sahut Telaga sambil cepat bangun dan menjura.

“Ayah!!” suara Sarini dengan manja. Tampak merah mukanya. Entah malu entah agak tak suka bahwa ayahnya tiba-tiba muncul di sana. “Aku pergi dulu!” sahut Sarini yang segera hilang dari sana. Meninggalkan Telaga yang masih agak-agak bingung atas kekalahannya.

Setelah mereka berdua berdiam agak lama, bertanyalah Arasan pada Telaga, “tahukah kamu mengapa engkau bisa kalah dari Sarini?”

Telaga menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia masih agak bingung mengapa jurus yang dirasakannya ampuh itu tidak terlalu berguna dalam menghadapi Sarini.

“Tahukan pula, bila itu tadi adalah Walinggih, apa yang akan dilakukannya menghadapai lawan yang bertangan kosong?” tanya Arasan kembali alih-alih menjelaskan jawaban dari pertanyaan pertamanya tadi.

Kembali Telaga menggelengkan kepalanya, “tak tahu guru. Mohon petunjuk!”

“Ilmu bela diri itu harus dipahami inti dan maksud gerakannya. Jurus-jurus tidak hanya digunakan karena dirasakan indah atau ampuh saja. Melainkan digunakan pada situasi yang cocok untuk memanfaatkannya,” jelas Arasan.

“Maksud guru?” tanya Telaga menyakinkan ketidahtahuannya.

“Memang jurus yang diajarkan oleh Walinggih itu teramat ampuh, tapi hanya untuk jarak menengah dan jauh, tidak untuk jarak dekat. Perhatikan waktu gurumu dulu menghadapi keroyokan orang-orang itu. Ia selalu mengambil cukup jarak bagi pedangnya untuk bergerak. Jika ruang terlalu sempit engkau harus mundur atau pergi sehingga tetap cukup ruang untuk pedangmu.” begitu jelas Arasan.

Mengangguk-angguk Telaga mendengarkan pendapat gurunya mengenai ilmu yang diturukan oleh gurunya yang lain.

“Sebenarnya, ada rahasia lain mengenai kemenangan Sarini..,” kata Arasan kemudian, agak tidak enak kelihatannya ia hendak menyampaikan.

“Maksud paman?” tanya Telaga ingin tahu. Ia tidak mengerti apa yang dimaksud dengan rahasia itu.

“Tapi engkau harus berjanji dulu tidak menceritakannya kepada Sarini. Bisa kecewa ia nantinya,” jawab Arasan.

Telaga mengiyakan. Ada apa pula ini sampai tidak boleh menceritakan pada Sarini mengenai hal ini.

“Sarini sebenarnya telah belajar pula belajar pada Walinggih,” ucap Arasan sambil tersenyum saat melihat Telaga terkejut, “bahkan ia telah pula diajarkan tipu-tipu gerakan untuk memunahkan Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi. Itu sebabnya ia dapat dengan mudah mengalahkan mu, nak Telaga.”

Telaga terngaga mendengar hal itu, perlahan-lahan wajahnya pun memerah. Lalu katanya, “tapi itu bukan alasan bahwa Sarini dapat mengalahkan saya, ia memang lebih jeli dalam menggunakan gerakan-gerakan dalam ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan.” Tak bangga pula ia bahwa kekalahannya diakibatkan Sarini telah mempelajari ilmunya dan juga diajari oleh gurunya, Walinggih.

“Menurut saya, guru, tak peduli orang telah mengenal ilmu kita atau tidak, kalah ya kalah!” begitu jawab Telaga.

“Bagus bila engkau berpendapat begitu. Dan memang demikianlah. Semakin engkau sering bertarung dengan lawanmu, semakain kenal lawanmu akan gerakan-gerakan yang akan engkau lakukan. Istilahnya ilmumu semakin telanjang atau transparan. Jadi sebaiknya seorang pendekar memperkuat ilmu dan gerakan yang disertai efesiensi pemanfaatannya ketimbang ragam dan gerakan-gerakannya yang tak terduga,” jelas Arasan.

Telaga pun mengangguk-angguk. Setuju atau pendapat gurunya.

Tak lama kemudian mereka pun berlalu. Kembali ke rumah di mana ternyata telah menanti Walinggih dan Sarini. Yang terakhir ini sedang menyiapkan makan malam bagi mereka berempat.

Di hadapan mereka tersaji apa yang disebut orang-orang di ujung suatu pulau besar Le Bu Peudah atau Bubur Pedas. Suatu makanan khas yang umumnya disajikan hanya pada menjelang matahari terbenam. Jenis makanan itu merupakan campuran dari bahan-bahan beras, kelapa parut dan rempah-rempah seperti kunyit, merica dan tunas pohon kala. Cara memasaknya adalah dengan memasukkannya semua dalam satu kuali dan mengaduknya cukup lama. Dimasak kira-kira hingga tiga jam.

Setelah membersihkan kaki dan tangan untuk mulai makan, Telaga dan Arasan pun duduk di sekitar semangkok besar Le Bu Peudah. Di samping mangkok tersebut masih pula ada buah-buahan dan umbi yang telah dibakar.

Arasan duduk di samping Telaga, yang kemudian diikuti oleh Walinggih dan Sarini. Jadi boleh dikatakan berhadap-hadapan Walinggih dan Arasan, juga Telaga dan Sarini yang masing-masing dipisahkan oleh perabot makan yang berisikan santapan makan malam mereka.

Setelah sebentar mengucap syukur kepada Sang Pencipta, mereka pun kemudian mulai makan. Dan tidak biasanya bahwa malam itu tidak terdengar celoteh renyah dari Sarini yang biasanya ditimpali oleh Telaga. Kedua orang tua yang sedang makan, Arasan dan Walinggih hanya saling bertukar pandang melihat kekakuan yang muncul di antara kedua anak muda yang duduk saling berseberangan itu.

Tiba-tiba Walinggih memberikan sedikit isyarat pada Arasan melalui kedipan matanya. Isyarat ini dilontarkan saat kedua anak muda sendang menunduk menyupa Le Bu Peudah-nya. Alih-alih melakukan apa yang diisyaratkan Walinggih, Arasan malah memberi isyarat balik agar Walinggih saja yang memberitahu kedua anak muda tersebut mengenai hal yang mereka telah bicarakan sebelumnya.

Karena berulang-ulang keduannya saling mengedip-kedipkan mata dan juga menggerak-gerakkan dagu menunjuk-nunjuk pada kedua muda-mudi itu, akhirnya gerakan ini pun dilihat keduanya. Keduanya pun tak dapat menahan tawa melihat kelakukan guru-guru mereka. Telaga hanya tersenyum, sedangkan Sarini sampai terkekeh kecil dan kemudian menutupi mulutnya agar makanan yang sedang dikunyahnya tidak tersembur keluar.

Menyadari bahwa isyarat-isyarat mereka telah dilihat kedua anak muda tersebut, Walinggih dan Arasan pun menghentikan aksi mereka. Terdiam, terlihat salah tingkah. Mirip-mirip orang yang sedang tertangkap basah sedang melakukan sesuatu yang salah.

“Ayah, ada apa sih?” tanya Sarini pada Arasan. Tak tahan dia menahan geli melihat ayah dan Walinggih saling bergerak aneh-aneh dengan memainkan dagu dan juga sebelah mata mereka.

“Eh.., itu tanya saja sama pamanmu Walinggih..,” jawab Arasan sekenanya. Juga sekalian melemparkan tangguna jawab agar Walinggih yang menjelaskan tingkah laku aneh mereka.

“Lebih baik ayahmu saja yang menjelaskan, Sarini. Dia lebih pakar dari paman,” jawab Walinggih merendah sambil kembali lempar tanggung jawab. Sekalian ia menambahkan Le Bu Peudah dalam mangkoknya. Sudah empat kali ia tambah. Seanak-akan perutnya tak berbatas dalam mengasup makanan kegemarannya itu.

Melihat kejenakaan yang muncul dari tingkah polah kedua orang itu, pecahlah tawa antara orang muda itu. Telaga tak lagi dapat menahan tawanya, dipegangnya perutnya yang sakit. Sedangkan Sarini masih berusaha menyembunyikan suara tawa yang barusan terceplos keluar. Diupayakan untuk menutup mulutnya. Sementara air mata geli tampak telah mengalir sedikit di sudut kedua matanya.

“Arasan, lihat..! Kita malah jadi bahan tertawaan mereka, tuh! Ini gara-gara kamu sih, tidak mau menjelaskan..,” tuduh Walinggih jenaka. Setelah mempunyai murid Telaga dan berhubungan dengan keluarga Arasan dan Sarini, Walinggih keluar sifat aslinya yang ramah dan jenaka. Tidak lagi serang dan dingin saat masih menjadi Hakim Haus Darah.

“Eh, bukannya engkau Walinggih yang mulai. Seharusnya engkau saja yang bilang. Kan dari pihak yang pemuda!” jawab Arasan tak mau kalah.

Kata “pihak pemuda” tiba-tiba saja menghentikan tawa yang ditahan dari kedua muda-mudi itu. Tiba-tiba saja keduanya tertunduk malu dengan semburat merah di wajahnya. Jelaslah sudah apa yang ada di benak kedua orang tua itu dengan kata tersebut. Dan hanya satu yang mungkin. Perjodohan!!

Masih dalam rangka menggoda keduanya, Walinggih pun berubah gaya bicaranya. Menjadi keren dan serius. Lalu katanya, “Adik Arasan, saya Walinggih dengan rendah hati ingin menjodohkan murid saya yang bodoh ini, Telaga, sebagai pasangan dari anakmu yang cantik dan pandai memasak, Sarini. Semoga usul ini dipertimbangkan dan diterima…!”

Arasan pun tak mau kalah. Ia pun lalu membalas dengan merendah, “Kakak Walinggih, saya Arasan merasa amat beruntung bahwa putriku yang bodoh ini bisa mendapatkan perhatian dari muridmu yang gagah, rendah hati dan bersemangat itu. Akan tetapi perjodohan adalah urusan yang akan dijodohkan, sebaiknya engkau tanyakan saja langsung pada yang bersangkutan!”

Kedua muda-mudi itu benar-benar mati kutu. Mereka tidak bisa bicara apa-apa. Jika tadi semburat merah telah ada di wajah, saat ini telah menjalar ke leher dan telingah. Keduanya tampak mirip-mirip kepiting atau udang rebus.

Setelah hening sebentar diberikan oleh kedua orang tua itu kepada Sarini dan Telaga agar mereka dapat menguasai diri mereka kembali, berkatalah Arasan, “Nah, putriku Sarini. Bagaimana jawabanmu atas lamaran paman Walinggih?”

Memang suatu kebiasaan yang tidak lazim di jaman itu bahwa anak yang akan dijodohkan ditanyakan langsung pendapatnya. Umumnya kedua orang tua yang menerima pinangan perjodohan yang menentukan, dengan si anak tidak memiliki kemampuan untuk mengubah keputusan orang tuanya. Akan tetapi lain dengan keluarga Arasan. Mungkin dikarenakan mereka hanya tinggal berdua dan tidak memiliki saudara lain di sekitar situ dan juga Arasan memberikan kebebasan kepada anaknya untuk mengambil keputusannya sendiri. Karena ia sendiri yang akan nanti menjalani konsekuensi dari keputusannya itu.

Dengan wajah yang masih memerah dan tertunduk malu Sarini berkata, “ayah.., terserah ayah saja..! Saya masih harus membereskan perabot makan ini..!” Lalu dengan cepat ia berdiri dan membereskan perabot-perabot bekas mereka berempat makan malam itu dan berlalu dari ruang tengah itu, menuju ruangan di balik yang dipisahkan oleh sekat terbuat dari daun kelapa untuk mulai mencuci perabot-perabot makan malam.

Arasan tertawa melihat tindak-tanduk putrinya. Ia merasa bahwa putrinya menerima pinangan dari Walinggih untuk dijodohkan dengan Telaga. Sebagai seorang ayah yang dekat dengan anaknya, dapat ia merasakan itu. Biasanya Sarini akan menyatakan dengan tegas apabila ia tidak setuju akan sesuatu yang dikemukakan ayahnya.

“Hahahaha..!” berderai tawa Arasan yang kemudian diikuti oleh Walinggih. Mereke sama-sama senang bahwa urusan ini menjadi beres sesuai dengan hasil yang mereka perkirakan. Tak lupa mereka menepuk-nepuk punggung Telaga yang duduk di antara mereka, yang sedari tadi hanya tertunduk diam dan malu.

Setelah berhasil menenteramkan hatinya, berkatalah Telaga, “Maafkan perkataan saya ini, akan tetapi guru berdua ini sedari tadi sama sekali belum menanyakan pendapat saya…”

Kedua orang itu terdiam. Mereka teringat bahwa mereka sama sekali belum menanyakan pendapat murid mereka Telaga apakah mau dijodohkan dengan Sarini. Mereka sudah saja merasa yakin, karena siapa sih yang tidak mau dijodohkan dengan gadis semanis Sarini. Pandai masak pula.

Yang paling terkejut adalah Sarini, sampai terhenti kegiatannya mencuci mangkok yang digunakan itu mendengar perkataan Telaga. Ia di dalam hatinya telah lama menyukai Telaga, bahkan ayahnya pun mengetahui itu dari sikapnya yang kadang melamun saat Telaga tidak datang ke rumah mereka untuk berlatih ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan. Karena dipergoki oleh ayahnya, mengakulah ia akan hal itu.

Atas dasar pengakuan itu dan juga rasa sukanya pada muridnya, Arasan pun menghubungi Walinggih. Yang dihubungi merasa gembira pula. Kehilangan keluarga, anak dan istri, yang membuatnya sedih tiba-tiba terlupa. Tanpa pikir panjang Walinggih mengatakan bahwa pastilah muridnya bersedia dijodohkan dengan Sarini.

“Eh, apa maksudmu Telaga?” tanya Walinggih. “Kamu tidak suka dengan Sarini? Bodoh kamu!”

Bersemu merah wajah Telaga. Lalu ujarnya, “Saya.. suka guru.., tapi saya harus memberitahu kedua orang tua saya dulu..”

“Ah, kamu benar sekali! Sudah pikun orang tua ini..!” kata Walinggih sambil menepuk jidantnya sendiri. “Engkau masih ada orang tua di utara sana.”

Sarini yang mendengarkan itu dari tempat mencuci piring merasa lega. Tadinya sempat perasaannya bergolak. Ia takut bila Telaga menolak atau bisa saja telah dijodohkan. Tak terasa bersemu merah kembali wajahnya mengingat bergolaknya perasaannya tadi.

“Hmm, gimana ini..? Padahal engkau ingin aku suruh pergi jauh ke selatan mencari orang-orang yang tinggal di perahu, di tengah laut. Mereka adalah orang-orang yang hidupnya benar-benar di atas air. Salah satu kemampuan mereka adalah bela diri dalam air. Bagus untuk engkau pelajari untuk melengkapi ilmu-ilmumu,” begitu ujar Walinggih.

“Begini saja, kakak Walinggih, bila kakak tidak berkeberatan bagaimana bila kakak yang mengatakan kepada kedua orang tua Telaga di Gunung Berdanau Berpulau soal perjodohan ini. Saya tidak pada tempatnya karena saya adalah orang tua yang perempuan,” usul Arasan.

“Hmm, boleh juga itu! Sudah lama aku tidak berjalan jauh ke mana-mana. Baiklah, aku akan ke utara mencari kedua orang tua Telaga untuk memberitahukan perjodohan ini. Moga-moga mereka setuju. Lalu kemudian kita bicarakan lagi kapan hari baiknya,” jawab Walinggih.

Kedua orang tua itu akhinrya sepakat. Telaga yang berada di antara mereka tidak lagi menyanggah. Ia hanya bisa pasrah. Pasrah untuk dijodohkan pada Sarini, gadis yang diam-diam juga ia sukai.

Hari pun berlalu dengan cepat. Walinggih kembali berulang-ulang mengajarkan Telaga bagaimana jurus-jurus dalam ilmu Pedang Panjang-nya digunakan. Ia juga menyuruh Telaga untuk melatih kembali ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan dari Arasan. Kedua ilmu itu harus dipadukan agar pertahanan dan serangan menjadi mantap. Baik untuk jarak pendek ataupun menengah dan jauh. Dengan atau tanpa pedang panjang.

Dan anehnya setelah pembicaraan perjodohan itu, kedua muda-mudi malah menjadi agak asing satu sama lain. Tidak lagi bebas dan akrab seperti semula. Urusan perjodohan itu membuat mereka merasa sungkan satu sama lain. Kedua orang tua yang melihat hal itu membiarkannya saja. Nanti mereka juga akan kembali seperti semua, begitu pikir keduanya.

Akhirnya tibalah hari perpisahan itu. Telaga disuruh gurunya untuk menimba ilmu di selatan, jauh di lepas pantai. Di antara orang-orang yang tinggal di laut, Suku Pelaut. Orang-orang yang hanya sesekali ke darat untuk menukarkan kebutuhan hidup mereka. Sisa hidupnya benar-benar dihabiskan di atas air.

Telaga diberikan waktu sekitar tiga tahun untuk kembali ke Padang Batu-batu untuk melanjutkan perjodohannya. Sementar itu Walinggih akan pergi ke utara, ke Gunung Berdanau Berpulau untuk menceritakan soal perjodohan itu kepada kedua orang tua Telaga, Ki dan Nyi Sura. Atas usul Arasan, Sarini pun dibawa serta untuk sekaligus diperkenalkan. Baik sekali apabila ia bisa menjadi murid dari kedua Pelestari Tenaga Air. Sekalian mengenal calon mantu mereka. Sarini hanya dapat menunduk mengiyakan mendengar keputusan ayahnya. Terasa kuatir pula bila kedua orang tua Telaga tidak menyukai dirinya.

Kedua rombongan itu pun berpisah. Telaga ke arah selatan, sedangkan Sarini dan Walinggih ke arah utara. Berganti-ganti Arasan melihat kedua rombongan itu sampai hilang dari pandangan. Terasa sepi dunianya tanpa kehadiran orang-orang yang dekat dengannya. Tiba-tiba saja dirasakan umurnya bertambah beberapa tahun.

“Ada waktu berkumpul, ada pula waktu berpisah..,” gumamnya, “tak ada yang kekal di dunia…,” sambil melangkahkan kakinya kembali ke rumahnya.


Seorang pemuda tampak sedang berjalan seenaknya. Wajahnya bersih dan selalu dihiasi senyum. Badannya cukup berisi dengan perawakan tidak terlalu tinggi tapi proporsional sehingga membuatnya terlihat enak untuk diajak bicara. Perangainya yang riang menambah daya tariknya.

Pemuda itu tampak sedang melakukan perjalan seorang diri. Tak terlihat ada orang yang berjalan bersama atau mengikutinya. Untuk menghilangkan rasa sepi, ia pun bernyanyi-nyanyi kecil.

“Burung bersiul bersahut-sahutan, matahari bersinar cerah, kera-kera bermain di hutan, bunga semerbak merekah.

Buat apa susah, susah itu tak ada gunanya, buat apa resah, resah itu juga tiada gunanya.

Tralala.., trilili.., haha.., hihi.. Nanana…, ninini…, dada.., didi..”

Lagu yang sering dinyanyikan gurunya saat sama-sama bepergian. Sudah bisa ditebak bahwa pemuda itu adalah Lantang. Ia baru saja turun dari Gunung Berdanau Berpulau. Seyogyanya ia harus mencari gurunya ke timur. Akan tetapi dari cerita-cerita orang yang didengarnya sambil lalu ia tertarik untuk sedikit berjalan ke selatan baru ke timur. Melewati kota-kota yang dibicarakan oleh orang-orang itu.

Ada kota Düsseldorf (kota Pinggir Sungai Menggelegar) yang dikatakan memiliki dua belas Ständischen (Yang Berdiri) di Nordpark (Taman Utara) yang pada suatu waktu hilang sama sekali digondol entah oleh siapa. Selain itu ada pula Kota Batu-batu yang terletak di tepi Padang Batu-batu. Padang Batu-batu merupakan suatu hutan yang bukan ditumbuhi pepohonan akan tetapi batu-batu dari ukuran kecil sampai sebesar rumah.

Hal-hal tersebut menarik hatinya. Selama berdiam di Gunung Berdanau Berpulau, Lantang tidak pernah sekalipun turun gunung. Ini barulah pertama kalinya ia turun gunung saat mulai remaja. Suasana sudah banyak berubah dibandingkan dengan keadaan dulu saat ia ditemukan oleh gurunya dan diajak berdiam di gunung.

Tiba-tiba saja terdengar bunyi-bunyi lucu dari perutnya. Mirip kukuruyuk seekor ayam jadi. Bunyi itu ternyata tanda-tanda bahwa perut yang punya telah minta untuk diisi. Diasupi penganan agar dapat menenteramkan lambung yang ada di dalamnya.

Lantang, pemuda itu, pun celingak-celinguk. Ia mencari-cari dengan matanya tempat yang enak untuk digunakan untuk makan siang. Samar-samar didengarnya gemericik air yang khas saat melewati batu-batu. Suatu bunyi yang sudah menjadi temannya sehari-hari saat menimba ilmu Tenaga Air di Gunung Berdanau Berpulau. Bergegas ia menuju pada sumber gemericik air itu. Sudah dibayangkan betapa enaknya melangsungkan makan siang di tepi sungai yang jernih dan segar dan ditemani dengan angin yang sepoi-sepoi menyejukkan pada siang yang panas ini.

Berjarak satu-dua tombak dari sungai jernih yang ditemukannya, dibentangkannya kain yang tadi dibawanya di pundak, yang berfungsi sebagai kantung perbekalan yang dibawanya. Dipilihnya suatu batu besar sebagai senderen untuk duduk. Saat baru turun gunung, ia telah dibekali oleh kedua gurunya sedikit uang dan juga makanan kering yang dapat tahan hingga seminggu. Di antaranya terdapat dendeng, manis-manisan dan bumbu-bumbu. Sebagai makanan utama masih ada ketan dan juga ubi kering yang siap disantap.

Tak perlu terlalu lama perut Lantang menunggu untuk diasup. Segera setelah kunyahan-kunyahan di mulut berlangsung, lambung pun mendapat giliran untuk disua oleh penganan itu. Nikmat rasanya. Sekujur tubuh serasa mendapatkan energi baru.

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh kehadiran seorang di depannya. Agak jauh di hadapannya, di bawah sebuah pohon yang rindang, tampak seorang tua sedang duduk memandangnya. Lantang yakin bahwa tadi tiada seorang pun di sana. Orang tua tersebut tampak sedang dalam posisi berjongkok. Memandangnya dengan tertarik, teruma terhadap penganan yang sedang disantapnya.

Ada sesuatu yang aneh dari orang tua itu, yaitu suasana warna kehijauan yang tampak. Agak kontras dengan batang pohon tempat ia menyandar yang jelas-jelas berwarna coklat tua. Lantang tidak bisa begitu melihat raut wajah orang itu, hanya dari warna rambut dan kerut-kerutan di wajahnya, diduganya bahwa itu adalah seorang yang sudah agak tua. Mungkin lebih tua dari kedua gurunya, Ki dan Nyi Sura. Juga guru pertamanya, Rancana si Bayangan Menangis Tertawa.

Terdengar tiba-tiba bunyi yang barusan membuat Lantang memutuskan untuk berhenti makan siang. Bunyi kukuruyuk. Kalau tadi bersumber dari perutnya, saat ini kelihatannya tidak lagi. Pasti dari orang itu. Mendengar ini mau tak mau Lantang pun tersenyum. Lalu ditawarkannya makanannya sambil mengangsurkan sekerat dendeng dan sepoton ubi.

“Ki sanak yang di sana, mau makan sama-sama saya?” tanyanya sopan, “hanya makanan sederhana…”

Belum habis Lantang mengucapkan kata-kata untuk menjelaskan apa yang bisa ia tawarkan, orang itu telah bergerak ke arahnya. Halus akan tetapi cepat. Amat cepat, sehingga dalam beberapa kejapan mata ia telah berada di hadapan Lantang. Mengambil makanan yang ditawarkan dan langsung menguyahnya perlahan-lahan. Serius, seakan-akan benar-benar menikmati rasa lezat yang muncul saat bagian-bagian yang dikunyahnya dibasahi oleh air liur.

Dalam jarak sedekat ini tampak lebih jelaslah raut wajah orang tua itu. Sebenarnya belumlah ia terlalu tua, melainkan wajah khas orang muda yang banyak dirundung masalah. Tua sebelum waktunya. Tua dikarbit permasalahan atau pikiran. Baju yang dikenakannya juga aneh. Bukan karena bahannya yang kasar, melainkan karena warnanya yang berbeda pada bagian kiri dan kanan. Sebelah hijau muda, mirip warna kulitnya dan sisanya biru muda. Suatu paduan busana yang belum pernah dilihat Lantang sebelumnya.

Tak berapa lama habislah sepotong ubi dan sekerat dendeng itu. Orang itu langsung beranjak ke arah sungai yang terdapat tak jauh dari sana. Setibanya di dekat air, alih-alih menjangkau air dengan telapak tangannya untuk diminum, orang itu malah menurunkan kepalanya untuk langsung meminum air sungai itu dengan mulutnya. Mirip dengan kelakukan hewan-hewan mamalia yang hidup di hutan. Setelah itu ia kembali memandang Lantang. Ada ungkapan terima kasih di matanya. Seakan-akan mengangguk, orang itu kemudian menghilang. Cepat. Tak bisa dirasakan. Mirip dengan cara ia datang tadi yang secara tiba-tiba.

Lantang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakukan orang tua itu. Tiba-tiba teringat ia pada Xyra, sahabatnya yang seorang Undinen. Warna-warna Undinenlah yang dilihatnya pada busana dan kulit orang tua itu. Lantang pun berniat untuk bertanya pada orang tua itu, apabila mereka bersua kembali.

Angin sepoi-sepoi dan juga perut yang telah terisi benar-benar paduan yang cocok untuk membuat mengantuk. Ditambah lagi dengan rasa letih yang telah menumpuk sejak perjalannya tadi pagi sedari turun dari gunung. Direbahkan badannya di samping batu yang dijadikannya tadi sebagai sandaran, setelah terlebih dahulu membereskan perbekalannya kembali ke dalam buntalan. Sebagai alas kepala digunakannya buntalan bekalnya tadi. Tak lama Lantang pun terlelap.

Dalam tidurnya, ia pun bermimpi.

Ia berdiri di pinggir sebuah pantai di mana di salah satu bagian di hadapannya tampak air sungai bersua dengan air laut. Sebuah muara. Di bagian muara yang melebar itu terdapat sebuah pulau. Khas pulau-pulau delta pada umumnya. Di sana di kejauhan Lantang melihat dua sosok orang sedang berhadapan. Keduanya berdiri setombak dua tombak lebih. Tidak terlihat dengan jelas dari tempatnya berdiri. Dari caranya mereka berdiri terlihat bahwa bukan suatu pembicaraan ramah-tamah.

Keduanya tiba-tiba bergerak cepat. Saling mengitari dan melemparkan pukulan dan tendangan. Tidak jelas alasannya. Setelah mereka bergerak terlihat bahwa salah satu sosok adalah seorang wanita. Hal ini terlihat dari bentuk tubuh dan juga rambutnya yang panjang. Sosok yang lain seperti seorang laki-laki tua. Selain itu terdapat persamaan di antara keduanya. Keduanya memancarkan seperti cahaya hijau muda. Bukan dari busana mereka, melainkan cenderung dari bagian-bagian tubuhnya.

“Happ! Deggg!!” tiba-tiba lelaki tua itu memasukkan tendangannya dan juga pukulannya pada sang wanita. Wanita itu terlempar mundur beberapa langkah. Tetapi tidak terjatuh. Melainkan melayang ringan bagai bulu yang tertiup angin. Melayang dan turun dengan halusnya di atas kedua kakinya. Kembali dalam posisi siap menyerang.

Lelaki itu setelah melepaskan serangannya terlihat seperti terhuyung. Membuang tenaganya dalam satu serangan. Akan tetapi alih-alih ia terhuyung gerakannya malah tambah kuat. Mengendap ke bumi. Mengalir seperti air.

Keduanya kembali berhadapan. Berdiri satu di depan lainnya. Menimbang-nimbang serangan apa yang akan dikeluarkan. Menilik dari serangan tadi, keduanya bersumber pada elemen alam yang sama. Air. Suatu cara pengaturan tenaga yang mengalir. Luwes. Menuju ke pusat bumi akan tetapi tidak kaku. Keras tetapi tidak getas. Lentur dan membaur. Air.

Lantang yang tadi melihat dari jauh, begitu tertariknya ia sehingga tak sadar ia telah berada di atas pulau delta itu. Entah bagaimana caranya. Sekarang ia hanya berada dua tiga tombak jauhnya dari kedua orang yang masih berdiri berhadapan itu.

Sekarang lebih jelas dilihatnya bagaimana sosok dan perawakan kedua orang itu. Kedua orang itu ternyata orang-orang yang telah dikenal dan pernah ditemuinya. Xyra sang Undinen dan pak tua yang tadi siang menerima pemberian bekalnya yang sederhana.

Tapi apa maksudny ini? Mengapa keduanya berseteru? Belum habis Lantang berpikir tentang apa-apa yang bisa menjadi sebab, keduanya telah kembali berlaga. Bergerak dengan halus dan cepat. Mencari-cari posisi yang lowong untuk melemparkan sekepal dua kepal pukulan.

Lantang yang dapat merasakan himpitan aura dingin dari keduanya menyadari bahwa pertarungan ini sungguh-sungguh. Keduanya ingin mengalahkan yang lain. Ia merasa bahwa ia harus mencegahnya. Mencegah pertarungan ini berlanjut, sebelum salah seorang dari mereka tersungkur di atas tanah.

Tanpa lebih jauh mempedulikan apakah tindakannya itu berbahaya atau tidak bagi keselamatan dirinya, Lantang langsung bergerka ke tengah. Maksud ingin menengahi. Hanya saja saatnya tidak tepat. Ia menyelak masuk saat kedua orang yang sedang bertempur itu sedang melepaskan masing-masing pukulan mereka.

“Deggg! Dess!!” keduanya pun terkejut melihat ada seorang di tengah-tengah mereka. Seorang yang malah menjadi sasaran pukulan keduanya. Selanjutnya gelap pandangan Lantang. Kesadarannya pun mulai perlahan-lahan menghilang.

Dirasakannya tubuhnya sakit-sakit saat ia mulai tersadar kembali. Keningnya pula dirasa berdenyut-denyut pusing. Secarik kain yang dibasahi meringankan sedikit rasa sakitnya. Terlihat seorang tampak meletakkan kain basah itu di keningnya. Sementara seorang lain tampak sedang memasak sesuatu. Sesuatu yang tercium lezat dari aromanya yang mengambang di udara.

Xyra. Pak Tua. Kedua orang yang ada di dalam mimpinya tadi tampak di hadapannya. Xyra tampak menguatirkan dirinya dengan sesekali menyeka keningnya. Sementara Pak Tua masih sibuk mengaduk-aduk kuali yang sedang dijerangnya di atas air.

Lantang berusaha untuk bangun. Tapi tak ada tenaga. Rasa sakit ditambah dengan kehilangan tenaga membuatnya tak dapat bangkit. Selain itu dengan isyarat tangannya Xyra mengatakan bahwa sebaiknya ia tetap dalam posisi berbaring. Akhirnya Lantang pun mengiyakan. Lagi pula tak ada yang dapat ia lakukan. Masih bingung dirinya mengenai apa yang baru terjadi. Apakah tadi itu benar-benar terjadi atau hanya mimpinya saja. Seingatnya ia tadi tertidur sehabis makan siang. Sehabis Pak Tua itu meninggalkan dirinya.


Paras Tampan hanya bisa menghela nafas menyaksikan desa tempat ia dilahirkan yang sekarang telah menjadi sebuah kota, Kota Luar Rimba Hijau, menjadi puing-puing. Hancur tak tersisa.

Saat ia tiba di sana asap dan api telah lama berlalu. Sebagian mayat-mayat telah dikuburkan, tapi belum semuanya. Sebagian besar penduduk entah mati atau mengungsi. Hanya yang tersisa berupaya untuk menguburkan. Semampunya, agar bau busuk mayat tidak mengudara dan menjadi sebab penyakit bagi yang masih hidup.

Paras Tampan tanpa banyak berucap langsung saja membantu para penduduk yang tersisa membenahi kota mereka. Beberapa orang tua yang ada masih mengenalinya. Para muda-muda merasakan wajahnya yang asing. Beberapa tahun di Rimba Hijau dan juga perkembangan kota yang pesat melahirkan penduduk-penduduk baru yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Tidak terkecuali Kota Luar Rimba Hijau. Jadi masuk akal banyak orang-orang baru yang tidak mengenal dirinya. Hanya tua-tua yang tahu dan dulu hadir saat mereka mulai belajar ke Rimba Hijaulah tahu dan masih mengenal dirinya.

Setengah hari telah dihabiskan Paras Tampan untuk membongkar bagian-bagian rumah yang dibakar untuk mencari-cari apa ada mayat yang tersembunyi di bawahnya. Tak terasa ia akhirnya mencapai suatu bangunan yang cukup luas. pekarangan di dalamnya. Walaupun telah terbakar habis akan tetapi masih memperlihatkan bentuknya yang kokoh dan kaku. Suatu perguruan beladiri. Di dalamnya ia melihat tiruan dari portal Rimba Hijau lengkap dengan ukiran-ukiran di keempat sisinya. Juga lubang-lubang bendera atau panji-panji di atas keempat pinggirnya.

Siapa gerangan yang membangun tempat ini? Apakah..?

Pertanyaanya terjawab tak lama kemudian saat ia memasuki bangunan kayu yang sudah rusak sebagian dimakan api dan terbasahkan hujan itu.

Di salah satu dinding yang masih tersisa dari amukan api, ia melihat sebuah papan yang berisikan tulisan-tulisan nama-nama orang-orang yang terdaftar di perguruan beladiri itu. Dibacanya perlahan-lahan dari bawah ke atas.

Tiba-tiba perasaannya seperti tercekat. Ya, nama-nama yang tertulis di sana dikenalnya. Para pengajar di sana adalah rekan-rekannya yang tidak beruntung karena tidak diijinkan untuk mengikuti ujian akhir di Gunung Hijau. Mereka adalah orang-orang yang telah pulang ke Kota Luar Rimba Hijau.

Dan di sebelah kanan dari nama-nama itu tertulis pula nama-nama seperti Rintah, Misbaya, Gentong, dan lainnya. Orang-orang yang telah berhasil mengikuti ujian akhir di Gunung Hijau, akan tetapi telah menghadap kepada Sang Pencipta akibat ulah Perguruan Kapak Ganda. Tak terasa menetes sedikit air mata di ujung-ujung pelupuk mata Paras Tampan.

Sedih dan sunyi.

Saat ini hanya tinggal ia satu-satunya yang telah masih hidup dari turun gunung. Sebenarnya masih terdapat dua orang rekan putrinya, yaitu Kirani dan Rantih. Akan tetapi ia tidak tahu di mana keduanya berada. Coreng dan Moreng, kedua Manusia Tiga Kaki pun tidak tahu perihal mereka. Semoga saja mereka berdua masih hidup dan sehat.

Setelah cukup lama termenung, Paras Tampan pun mengambil papan daftar nama-nama murid-murid perguruan itu. Di bagian paling atas tertulis pula Ki Tapa. Guru mereka semua. Walaupun Ki Tapa tidak memperbolehkan Rimba Hijau dinamakan sebagai suatu perguruan beladiri, akan tetapi murid-muridnya yang tidak lulus ujian akhir dan membuka perguruan ini masih mempergunakan namanya sebagai guru besar. Sebagai suatu penghormatan saja.

Dengan menyematkan tali pada kedua ujung papan yang panjangnya sekitar tiga perempat tombak dengan lebar dua telapak tangan dirapatkan itu, Paras Tampan kemudian menggantungkan papan daftar nama itu di punggungnya. Ia akan membawa-bawa papan itu sebagai kenangan atas teman-temannya dan juga gurunya. Mereka yang telah menjadi korban pembantaian oleh Perguruan Kapak Ganda.

Saat keluar dari reruntuhan dan puing-puing perguruan itu, sesosok orang tua menyapanya.

“Nak.., nak Paras Tampan kan?” tanyanya sambil menyebutkan nama orang tua dan adiknya.

Paras Tampan hanya dapat mengangguk. Ia tadi telah terlebih dahulu mengunjungi makam kedua orang tua dan juga adiknya. Beruntung bahwa mereka telah dimakamkan dengan baik oleh orang-orang kota yang tersisa. Masih banyak korban yang belum ditemukan dan dimakamkan dengan baik.

“Bibi Antini.., bagaimana kabar Paman Baja..?” tanya Paras Tampan sekenanya. Ia tidah tahu harus berkata apa. Apapun yang ditanyakan pastilah akan membangkitkan kesedihan orang-orang di sekitar sini. Tak terkecuali sosok perempuan tua itu, Nyi Antini.

Nyi Antini hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya saja. “Aku tidak tahu bagaimana kabarnya, nak Paras Tampan.. Saat terjadi pembumihangusan itu, ia dipaksa ikut oleh mereka, untuk membuka jalan di Rimba Hijau. Bibi masih selamat karena sempat disuruh olehnya untuk bersembunyi di dalam kolam ikan. Berendam semalaman.”

Lalu diceritakannya bagaimana peristiwa yang dialami oleh Ki Baja dan Nyi Antini itu. Pada mulanya orang-orang Perguruan Kapak Ganda datang dengan baik-baik dan mencari orang-orang yang tahu mengenai penguni Rimba Hijau. Sudah pasti mereka adalah Ki Tampar dan Ki Gisang. Dengan alasan bahwa mereka membutuhkan pertemuan itu dikarenakan adanya suatu keperluan. Akan tetapi keperluan itu tidak mau mereka ungkapkan. Biar saja nanti dikatakan langsung pada para penghuni Rimba Hijau, begitu kata mereka seperti ditirukan Nyi Antini.

Ki Baja yang pernah mendengar mengenai Perguruan Kapak Ganda, menjadi curiga karena sepengetahuannya perguruan bela diri itu bukanlah suatu perguruan baik-baik. Mereka sering berbuat semena-mena hanya untuk mencapai tujuan mereka. Ia pun kuatir apabila terjadi sesuai dengan kota mereka. Langsung diceritakan hal itu kepada kepala desa Ki Surya. Akan tetapi hal itu tidak digubris. Melainkan mereka menyambut dengan ramah rombongan yang datang itu. Padahal mereka telah datang dengan persenjataan lengkap.

Masih merasa kuatir Ki Baja pun langsung pulang ke rumahnya. Disuruhnya istrinya, Nyi Antini untuk bersembunyi. Dan dikarenakan rumah mereka memang keci dan tidak ada tempat untuk bersembunyi, dimintannya istrinya untuk bersembunyi di kolam ikan. Berendam dengan menggunakan batang-batang rumput yang cukup besar agar dapat bernafas. Diperintahkannya untuk diam di sana sampai keesokan harinya. Patuh pada perintah suaminya, Nyi Antini pun melaksanakan hal itu. Akibatnya ia selamat, sedangkan suaminya hilang entah ke mana. Dari orang-orang yang hidup ia memperoleh keterangan bahwa Ki Baja termasuk orang-orang yang dibawa hidup-hidup oleh rombongan itu ke Rimba Hijau, untuk “dimintakan bantuan” membuka jalan.

Berendam semalaman bukanlah hal yang mudah, apalagi dengan seluruh tubuh barada di dalam air. Dingin dan basah. Belum lagi ia mendengar teriakan-teriakan yang menyayat hati dari orang-orang yang dibantai oleh Perguruan Kapak Ganda. Suara-suara minta ampun yang tidak digubris oleh sang eksekutor. Tangis dan rintihan pun membumbung langit meninggalkan kepedihan bagi yang masih hidup, yang luput dari peristiwa itu karena bisa bersembunyi atau tidak dianggap oleh para penyerang.

Tiba-tiba “byurr!!!”, hampir menjerit Nyi Antini karena terdengar jeburan air dan sebuah benda terlempar dekat dengan dirinya. Sesosok mayat dengan luka di mana-mana. Memerah. Membuat air di kolam tersebut mulai berwarna. Menyebarkan amis darah. Hampir pingsan Nyi Antini menyaksikan itu. Hanya dengan menguatkan diri ia bisa bertahan hidup dengan tidak berteriak atau keluar dari tempat persembunyiannya.

Wajah Paras Tampan tampak membeku. Mengeras. Tangannya mengepal keras. Ia benar-benar tergores hatinya mendengar kekejaman dari para pembantai itu. Apalagi yang menceritakannya adalah orang yang cukup dengan dengannya. Nyi Antini. Sisa orang-orang yang terselamatkan dari peristiwa itu.

Sebentar Paras Tampan menunggu Nyi Antini yang melepaskan bebannya dengan bercerita. Terlihat akibat peristiwa yang mengerikan itu, Nyi Antini tampak bertahun-tahun menjadi lebih tua. Lebih tua dari umur sebenarnya. Sudah tentu diakibatkan oleh himpitan perasaannya yang timbul dari peristiwa itu.

“Maaf nak Paras Tampan, bukan maksud bibi untuk berkeluh kesah terhadapmu. Bibi kebetulan saja mendengar dari orang-orang tentang adanya seseorang yang datang membantu mencari dan juga menguburkan para korban di kota ini. Bibi pikir itu pastilah seorang dari kami yang kebetulan saat itu tidak berada di sini. Harap-harap itu Ki Baja…,” tak dapat Nyi Antini meneruskan ucapannya.

Sedih Paras Tampan mendengar ucapan itu. Ia pun berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari keterangan mengenai bagaimana nasib Ki Baja untuk disampaikan pada Nyi Antini. Bertambah satu pula tugasnya, yang tadinya adalah hanya mengembalikan kitab-kitab yang dikumpulkan oleh Maling Kitab, dan juga mencari kabar Kirani dan Rantih.

“Ada satu hal lagi, nak Paras Tampan,” Nyi Antini berhenti sebelum melanjutkan, “bibi tidak tahu apakah ini menggembirakanmu atau sebaliknya…”

“Katakanlah, bibi..! Tak ada lagi kiranya yang lebih buruk dari kenyataan saat ini di Kota Luar Rimba Hijau,” ucap Paras Tampan sendu.

“Tunanganmu, Citra Wangi.., ia dan kedua orang tuanya telah lama pindah dari sini. Ke Kota Pinggiran Sungai Merah. Ki Rapih, Nyi Apik dan Citra Wangi tunanganmu selamat karena telah tidak tinggal di kota ini lagi. Sudah kira-kira dua tahun yang lalu mereka pindah..,” jelas Nyi Antini.

Bergelora dada Paras Tampan mendengar hal itu. Ia sedari memasuki kota ini belum mencari keterangan mengenai Citra Wangi dan keluarganya. Kabar kedua orangtua dan adiknyalah yang pertama-tama ia cari. Setelah itu membantu penduduk untuk menguburkan orang-orang yang menjadi korban. Gembira ia mendengar kabar ini. Tapi terselip pula rasa yang aneh. Rasa bertanya-tanya atas kepindahan keluarga Citra Wangi ke Kota Pinggiran Sungai Merah.

Pikiran-pikiran berkecamuk dalam benaknya. Apakah mereka telah melupakan pertunangan antara putri mereka dengannya? Atau mereka tidak lupa, hanya saja pindah. Ia dan Citra Wangi yang telah berjanji untuk bertemu, memang tidak melaksanakan janji mereka saat ia menimba ilmu di dalam Rimba dan Gunung Hijau. Tidak mudah untuk melangsungkan pertemuan saat itu.

Melihat ekspresi Paras Tampan yang berubah-ubah, akhirnya Nyi Antini pun menambahkan, “Dari cerita para pedagang yang sering mampir ke kediaman Ki Rapih di Kota Pinggiran Sungai Merah, Citra Wangi masih sendiri. Belum menikah. Janganlah nak Paras Tampan kuatir..”

Sedikit merona wajah Paras Tampan mendengar komentar Nyi Antini. Tidak seharusnya ia berpikir hal itu di tengah musibah yang menimpa kotanya. Untuk menghilangkan jengahnya, ia pun berkata, “Bibi, apa yang bisa saya bantu? Apakah rumah bibi masih baik?”

Nyi Antini hanya menggeleng. Lalu diajaknya Paras Tampan untuk berjalan ke arah rumahnya yang tidak jauh dari sana.


Dua orang tampak sedang dalam perjalanan di antara batu-batu yang menjulang menghutan di Padang Batu-batu. Seorang dari pada mereka adalah laki-laki yang sudah terlihat tua dengan perawakan yang kekar dan busana sederhana. Sedangkan yang lain adalah seorang gadis muda dengan wajah yang manis. Rambutnya yang panjang diikatnya dengan rapih dan diselempangkan di samping dada kanannya. Pakaiannya ringkas tidak seperti kebanyakan pakaian mudi-mudi yang penuh dengan pernak-pernik dan warna-warna. Busananya berwarna cerah dengan hanya sebuah corak sulaman di dada kirinya. Gambar bunga berkelopak lima berwarna merah tua.

Kedua orang itu tampak gembira dalam melakukan perjalanan. Mereka berarah ke utara. Dari arah tengah Padang Batu-batu menuju ke Gunung Berdanau Berpulau. Langkah keduanya ringan dan mantap, menandakan bahwa mereka adalah orang-orang yang cukup mempunyai ilmu.

Entah mereka sadari atau tidak, tampak beberapa pasang mata sedang mengintai mereka sejak memasuki suatu kawasan. Kawasan di mana batu-batu yang menjulang tidak lagi berwarna abu-abu melainkan hijau kehitaman. Gelap ditumbuhi oleh jamur-jamur dan lumut yang tumbuh subur akibat diberi sesuatu. Racun.

Orang tua itu pun berkata kepada rekannya yang gadis muda, “Hati-hati. Kelihatannya kita memasuki daerah yang ada pemiliknya. Batu-batu ini terlihat tidak wajar.” Sambil berkata demikian orang tua itu mencium-cium batu-batu yang berwarna hijau kehitaman dalam jarak sejengkal dari hidungnya.

“Hmmm…, racun hijau. Racun untuk menghitamkan batu-batuan dengan menggunakan lumut dan jamur. Juga menumbuhkan lumut khusus yang bisa menebarkan spora-sporanya ke udara,” terang orang tua itu.

“Tapi apa bahayanya, guru? Kita toh sering menghirup spora dan serbuk sari tumbuh-tumbuhan saat bernafas. Begitu halnya pula sering meminum sperma ikan-ikan saat kita minum air dari sungai..,” jawab sang gadis jenaka. Rupanya ia murid sang orang tua.

Tersenyum gurunya mendengar komentar muridnya. “Engkau benar, muridku. Tapi spora ini lain. Jenis ini bisa menyebabkan halusinasi sehingga engkau dapat bermimipi. Biasanya digunakan oleh rampok-rampok atau jagal yang akan menghadang rombongan. Dengan cara ini mereka tak perlu bekerja keras, karena yang akan dirampok sudah takut lebih dahulu. Berhalusinasi betapa sangar dan mengerikannya sang perampok.”

Muridnya menggangguk-angguk mendengarkan penjelasan itu. “Ada penawarnya, guru?”

“Hehehe, tentu saja ada. Dan amat mudah. Dibalik lumut itu sendiri terdapat penawarnya.” Lalu ia mengambil sejumlah lumut yang disebutnya akan menyebarkan spora ke udara, yang dapat membuat orang berhalusinasi apabila menghirupnya. Dibaliknya lembaran lumut itu sambil ditunjukkan butir-butir berwarna meran. “Ini, ambil dan remas-remas dengan jarimu. Borehkan sedikit di dekat lubang hidungmu. Ini akan menetralkan pengaruh spora-spora yang memabukkan tadi.”

Muridnya pun melakukan hal yang dianjurkan oleh gurunya. Keduanya sekarang tampak agak lucu karena di bawah hidung mereka, di bagian di atas bibir yang terlihat cekung, terdapat warna-warna merah. Borehan dari butir-butir kemerahan dari bawah lembaran lumut tadi.

“Kalau penawarnya sedemikian mudah, buat apa ditanam di sini guru?” tanya gadis itu ingin tahu.

“Tidak semudah itu, muridku. Tidak semua orang tahu bahwa penawarnya berada dekat dengan sumber racunnya. Ada pengujar tua yang pernah berkata. Jangan cari jauh-jauh lawan suatu hal. Lihatlah di sekitarnya. Jika ada yang positif pasti ada yang negatif di sekitarnya. Itulah alam. Amat indah dan seimbang.” Ia pun berhenti sebentar untuk kemudian melanjutkan lagi, “aku saja jika tidak diberitahu guruku tidak akan mengerti..”

Kata-katanya tidak diteruskan. Tangannya diletakkan di depan bibirnya, mengisyaratkan agar muridnya diam dan mendengarkan. Pendengaran mereka yang terlatih menangkap adanya gerakan-gerakan di balik batu-batu yang hijau menghitam ditumbuhi jamur-jamur itu.

Tiba-tiba di hadapan muncul tiga orang berpedang dan bertombak. Ketiganya langsung menghadang perjalan kedua orang itu. Mengisyaratkan niat yang terasa tidak baik. Saat kedua orang itu memutar badan hendak mundur ke arah semua mereka datang, tiga orang lain tampak muncul dari arah yang berlawanan. Sekarang semuanya enam orang. Mengepung dari kedua arah. Arah yang tersisa hanya diisi oleh batu-batu menjulang. Rupanya mereka telah memilih tempat yang strategis untuk melakukan pengepungan.

“Guru, bagaimana ini?” tanya sang murid.

Orang tua itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berusaha untuk menahan sabarnya. Jika kejadian ini terjadi dulu sekali sebelum ia bertemu dengan seseorang. Sudah pasti terjadi hal yang amat akan disayangkannya. Tetapi tidak saat ini. Ia telah berubah.

“Maaf, ki sanak sekalian, boleh saya tahu kenapa kalian menghalangi perjalan kami guru dan murid ini?” tanyanya sopan kepada orang-orang yang menghadangnya.

“Hehehe, kalian telah melalui wilayah kami. Batu Lumut Hitam. Maka sudah sepantasnya kalian tinggalkan bekal kalian,” ucap salah seorang brewok dari mereka. Perawakannya yang besar menunjukkan kemampuan fisiknya dalam bertarung. Setidaknya mengayunkan golok besar yang disandangnya.

“Tapi kami tidak punya apa-apa yang bisa ditinggalkan. Hanya bekal makanan dan baju pengganti,” ucap orang tua itu masih sabar.

“Jangan pura-pura orang tua! Siapa yang tidak bisa melihat bungkusan panjang yang ada di belakangmu itu. Pasti itu suatu yang berharga,” bentak teman si brewok.

“Dan yang cantik ini, boleh juga ditinggal,” ucap temannya yang berada di belakang yang disambut dengan haha-hihi teman-temannya.

Merah padam gadis muda itu mendengar ucapan yang ditujukan pada dirinya. Hanya isyarat gurunya saja yang masih membuatnya sabar. Akan tetapi hawa tenaga telah dialirkannya dari pusar menuju ke anggota-anggota tubuhnya. Siap untuk melontarkan sepukul dua pukul tendangan dan pukulan.

Gurunya pun tak ada melihat ada pilihan lain, lalu katanya lirih, “Engkau ambil tiga yang di depan, biar aku yang di belakang. Sisakan satu untuk penunjuk jalan.”

Mengangguk muridnya mendengar usul gurunya. Memang orang-orang seperti ini tidak boleh diberi ampun.

Untuk sedikih memecah perhatian gurunya tampak membuka bungkusan panjang yang tadi disebut salah seorang dari mereka. Jika saja mereka tahu apa isi bungkusan itu, pasti mereka tidak akan memintanya. Dua buah pedang panjang. Sebuah untuk sang guru dan sebuah untuk sang murid.

Tak sabar melihat orang tua yang membuka bungkus itu perlahan-lahan, seakan-akan ia memiliki seluruh waktu di bumi itu, salah seorang penghadang menghardiknya, “Pak tua, cepat serahkan bungkusan itu. Jangan lama-lama. Tidak sabar diriku ini!”

“Meregang nyawa kok terburu-buru sekali sih?” ucap orang tua itu.

“Heh, apa maksudmu, orang tua?” tanya balik orang itu.

Dengan gerakan cepat orang tua itu membuka bungkus dari benda panjang yang ada di tangannya. Kain penutupnya ternyata memiliki mekanisme sedemikian rupa, jika talinya ditarik, kainnya langsung terbuk. Dengan lemas orang tua itu langsung mengambil salah satu isi dari bungkusan kain itu dan melemparkannya pada muridnya, yang langsung dengan sigap menangkapnya.

“Hey.., apa maksud kalian…?” belum selesai perkataan orang yang bertanya tersebut, kedua orang itu langsung dengan cepat bergerak. Menyerang. Mengayunkan barang yang tadinya terbungkus rapi tadi. Dua buah pedang panjang. Pedang yang lebih panjang dari pedang kebanyakan. Hampir dua kali panjang pedang biasa.

“Singg! Takkk!” pedang sang murid menghantam golok seorang penghadang. Bergetar tangan yang memegang golok tersebut. Tak disangkanya bahwa dara yang terlihat halus itu memiliki tenaga serangan yang sedemikian kuat. Sementara lawan si orang tua dikarenakan pengalamannya yang banyak dalam perampokan-perampokan sempat menghindar mundur atas dasar naluri belaka. Salah seorang dari mereka bertiga hampir saja kehilangan tangannya.

Melihat ini sadarlah orang-orang itu bahwa yang mereka hadang bukanlah mangsa yang biasa. Ini adalah orang-orang yang punya sedikit kepandaian. “Bagus! Ini bisa menjadi hiburan sebelum makan malam,” kata seorang dari mereka. “Bunuh!! Jangan biarkan seorang pun hidup!”

Mendengar aba-aba itu kelima rekannya langsung mengambil posisi mengepung. Mengayun-ayunkan golok dan tombak mereka untuk menghabisi kedua orang itu. Sang guru dan muridnya.

Guru dan murid itu tampak beradu pungguh melihat ke arah lawan-lawannya. Lalu kata si orang tua, “Nah Sarini, ini kesempatanmu untuk mencoba ilmu pedang panjangmu.” Tersenyum murid yang bernama Sarini itu. Ia telah melatih ilmu pedang panjang yang diturunkan dari gurunya, Walinggih. Biasanya ia hanya berlatih dengan gurunya atau batu-batu yang tidak bisa balas menyerang. Hari ini ia mendapatkan kesempatan untuk bertarung dengan sesama manusia. Bukan hanya itu, melainkan para perampok jahat, yang untuk membasminya tidak perlu sungkan-sungkan.

Kedua orang itu, Walinggih dan Sarini tampak bergerak hati-hati. Mereka menyadari bahwa orang-orang yang mereka hadapi ini tidak terlalu tinggi ilmu silatnya, akan tetapi mereka adalah orang-orang kasar yang sering merampok dan berbuat keji. Naluri mereka kadang lebih baik dari keahlian seoran ahli silat. Seperti seekor binatang buas yang memiliki kemampuan untuk menaklukkan mangsanya. Kemampuan alamiah seorang pemangsa. Bangsa Penghadang. Orang-orang penguasa dari daerah Batu Lumut Hitam.


Orang tua itu setelah menyendokkan sesuatu dari dalam panci yang sedang dijerangnya di atas air, mendatangi Lantang yang masih terbaring ditemani oleh Xyra. Lalu katanya, “Minumlah! Air rebusan akar-akaran ini akan membersihkan darahmu dan menyegarkan pikiranmu kembali. Sekarang jangan banyak pikiran dulu. Tenangkan dirimu. Biarkan sahabatmu yang Undinen itu merawatmu. Ia telah kupesankan caranya.”

Mengangguk lemah Lantang mengiyakan. Xyra dengan cepat menerima mangkuk yang diangsurkan oleh orang tua itu. Ditiupnya sedikit. Dengan Tenaga Air ia bahkan dapat membekukan ramuan dalam mangkuk itu, tetapi tidak. Lantang membutuhkan ramuan yang suam-suam kuku. Tidak terlalu panas dan juga tidak dingin. Setelah yakin akan panasnya, perlahan ia menuangkan ramuan itu ke dalam mulut sang pemuda. Tampak kasih sayangnya dalam melakukan itu. Penuh dengan kelembutan.

Di seberang sana si orang tua tampak menghela napas menyaksikan itu. Teringat ia akan nasibnya yang tidak lama bersama dengan orang yang dicintainya. Dan ini dihadapannya tampak kasih sayang sesosok Undinen kepada seorang manusia. Ia tidak tahu apakah bentuk kasih itu dapat berlanjut. Bila tidak amat disayangkan, karena nasib anak muda itu dapat mengikuti perjalanan hidup dirinya yang tidak menyenangkan. Selain itu ditemui pula adanya keanehan pada diri pemuda itu. Keanehan yang berkaitan dengan peredaran hawa dalam tubuhnya.

Kelainan itu pula yang menyebabkan sang pemuda mengalami ketidaksadaran sehingga perlu untuk diberi ramuan. Akan tetapi ramuan itu belum untuk menyembuhkan, melainkan untuk menyadarkan saja. Sebelum tahu sebabnya, suatu penyakit sulit untuk disembuhkan.

Setelah diberi obat dan dibelai-belai dengan syang oleh Xyra, Lantang pun merasa nyaman dan dapat tidur. Tak lupa Xyra menyelimuti dirinya dan menunggu di sisinya. Tak dihiraukan orang tua yang meletakkan makanan di hadapannya. Sebelum Lantang sehat, tak ingin Xyra bersantap. Undinen memilik tubuh yang berbeda dengan manusia. Mereka dapat bertahan lama dalam air dan bahkan tanpa makanan. Oleh sebab itu ia lebih berkonsentrasi pada kesembuhan Lantang ketimbang dirinya sendiri.

Pagi pun datang menjelang. Lantang telah merasa sehat kembali. Ia bangun dan melihat Xyra tampak tertidur di sisinya dengan masih memegang kain yang digunakan kemarin untuk menyeka keringat di dahinya. Ia tampak tertidur dengan nyenyak. Entah sampai kapan Undinen itu berjaga untuk Lantang. Diambilnya selimutnya untuk ditutupkan pada tubuh Xyra, walapun mereka lebih tahan dingin ketimbang dirinya.

Tak dilihatnya orang tua yang memberinya obat. Akan tetapi ditemuinya sebuah mangkok besar berisi rempah-rempah dan ubi dan pesan agar ia memakan makanan itu. Makanan yang telah dibubuhi obat-obatan untuk kesembuhannya.


Bertarungan pun berjalan dengan seru. Keenam orang perampok itu tidak bisa berbuat banyak terhadap kedua orang guru dan murid itu. Pertahanan mereka rapat dan saling melindungi. Bahkan kadang-kadang pedang panjang keduanya colak-colek tubuh mereka sehingga lepasnya nyawa tinggal berbeda beberapa jari saja.

Ada hal yang masih meragukan Walinggih untuk turun tangan menamatkan riwayat orang-orang jahat itu. Entah apa.

“Kamu ingat gerakan yang pernah engkau coba untuk mengalahkan Telaga?” tanya Walinggih pada muridnya Sarini.

Sarini hanya mengangguk.

“Cobalah pada mereka, jatuhkan pedangmu! Mereka pasti berpikir bahwa lebih mudah mengalahkanmu tanpa pedang…,” usul gurunya. Ia ingin melihat hasil latihan muridnya dalam situasi sebenarnya. Menghadapi Telaga, Sarini telah berhasil memanfaatkan hasil latihannya. Akan tetapi sekarang lain. Dulu Telaga boleh dikatakan orang yang tidak akan menjatuhkan tangan jahat kepada orang yang tidak dikenalnya. Tidak demikian dengan orang-orang ini. Orang-orang yang memang kegiatan sehari-harinya adalah berbuat jahat. Menjatuhkan tangan kejam bukan pantangan bagi mereka.

Menghadapi suatu pertempuran yang menentukan hidup atau mati memerlukan ketenangan. Walinggih ingin melihat sejauh mana muridnya dapat mengendalikan ketenangannya. Semakin baik orang dapat mengotrol dirinya, semakin besar kemungkinannya untuk menang. Bahkan dalam berbagai situasi.

Setelah gurunya memberikan sedikit petunjuk mengenai kekuatan dan kelemahan lawan-lawannya, Sarini pun maju sambil berkata dengan lantang, “Saudara-saudara perampok, bagaimana bila kita main-main tanpa senjata? Dan satu lawan satu?”

Tercengang juga beberapa orang perampok yang mendengar usul yang diutarakan oleh dara itu. Sudah ada senjata di tangan malah ingin dilepaskan. Akibatnya beberapa di antara mereka saling menoleh seakan-akan minta pendapat.

Seorang dari mereka akhirnya berkata, “Hehehe, mungkin ia ingin berlama-lama bermain dengan kita. Ikuti saja maunya, toh enak juga colak-colek sedikit” Ia mengatakan itu sambil menyeringai, membuat wajahnya yang sudah mengerikan sebagai perampok menjadi bertambah mengerikan.

Terbahak-bahak rekan-rekannya mendengar komentar yang miring itu. Segera mereka menyarungkan kembali senjatanya dan sebagian dari mereka mengambil tempat untuk melihat pertarungan yang akan berlangsung.

Seorang dari para perampok tersebut, Rakrakrak, bertubuh gembul dan berkulit agak gelap. Tingginya kira-kira sama dengan Sarini. Rambutnya yang kaku menghiasi berdiri kepalanya. Mirip durian. Ia menyeringai saat mengajukan dirinya sebagai orang pertama yang akan menghadapi Sarini. Ia sudah membayangkan akan memegang-megang dara cantik yang menjadi lawannya itu. Wajahnya memerah dan napasnya memburu. Nafsu telah menguasainya. Kelembutan tubuh Sarini dan lekuk-lekuk tubunya telah memenuhi ruang otaknya. Kelembutan yang akan segera mengisi kedua tangannya yang besar-besar.

Sarini sedikit mengernyitkan hidungnya melihat orang yang menjadi lawannya. Orang dengan tenaga kasar yang besar. Repot juga pikirnya. Orang seperti ini harus ditemukan dulu jarak serangnya dan juga sudut mati serangannya, sehingga ia bisa membuatnya tak mampu mengeluarkan gerakan yang mematikan.


“Petani ompong she Gu, jangan petantang-petenteng di depan kami!” bentak seorang dari empat orang yang berhadapan dengan seorang tua yang sedang senyam-senyum itu.

Keempat orang tersebut terlihat berwajah garang, bertubuh kekar tinggi dan beperawakan kasar. Sebilah golok tampak tergantung pada pinggang masing-masing dari mereka. Sedangkan si kakek sendiri tampak lemah dan kurus. Bajunya sederhana tapi bersih. Sedikit tambalan tampak di sana-sini.

“Kalian Su-Mo (Empat Setan), apa maunya menghadangku di sini?” alih-alih takut seperti kebanyakan orang bila bertemu denga Su-Mo, si Petani Ompong she Gu tampak tenang-tenang saja. Malah senyumnya semakin berkembang dengan melihat semakin gelapnya wajah keempat Su-Mo yang berusaha menahan marah.

“Orang she Gu, jangan banyak omong! Engkau tau sudah apa kesalahanmu. Engkau sudah mengasut para petani di desa sebelah timur sehingga tak mau lagi menurut dan membayar pajak kepada kami,” ucap seorang lain dari mereka. Kali ini yang berbicara adalah seorang yang berwajah paling putih dari Su-Mo. Mereka, Su-Mo terdiri dari empat orang yang dinamai dengan warna wajah masing-masing, Pek-Mo, Hek-Mo, Huang-Mo dan Ceng-Mo.

“Engkau tentu Pek-Mo,” ucap kakek Gu itu, “wabis wajahmu putih pucat mirip mayat!”

“Grrrhhg!” terdengar dengus marah Hek-Mo. Ia adalah seorang dari Su-Mo yang paling tidak sabaran. Mendengar saudaranya dihina, ia pun mendengus marah dan membuka serangan. Dibacoknya kakek Gu itu dengan golok yang tadi bertengger dipinggangnya. “Wuttt!”

Saat ia melakukan serangan itu ketiga saudaranya tertawa-tawa membayangkan tubuh kakek Gu yang akan terbelah dua terbabat oleh golok Hek-Mo. Tapi sayangnya perkiraan mereka keliru. Bukannya kakek Gu yang terbelah, malah Hek-Mo yang tampak terpincang-pincang memegangi telapak kakinya yg tampak biru legam.

Rupanya saat dengan yakinnya Hek-Mo membacok kakek Gu tadi, ia tidak memperhatikan pertahanan tubuhnya. Kakek Gu dengan santainya mengelak dari serangan golok tersebut, memutar tubuhnya dan mejatuhkan tumitnya dengan tenaga penuh ke atas telapak kaki Hek-Mo. Walaupun memakai alas kaki, akan tetapi dengan kuatnya putaran tubuh dan juga tenaga yang disalurkan, tendangan cangkul kakek Gu memberikan hasil yang telak.

“Bangsat, orang she Gu! Kubunuh engkau sekarang!!” erang garang Hek-Mo. Tampak ia masih berusaha menahan rasa sakit dari telapak kakinya yang dirasakan hampir remuk tersebut. Senut-senut rasanya.

Huang-Mo sebagai orang paling tua dari Su-Mo segera tangap bahwa si kakek Gu bukanlah orang sembarangan. “Zahnloserbauer (Petani Ompong) mari kita main-main sebentar!” Ia pun mengisyaratkan pada ketiga saudaranya untuk segera mengepung Zahnloserbauer dari keempat penjuru.

“Hehehe, baru sekarang kudengar lagi orang menyebut Zahnloserbauer,” ucap kakek Gu, tapi sekarang nada suaranya berubah keren. Tidak lagi cengangas-cengeges seperti tadi. Tampak bahwa sikap tadi bukanlah sikap kebanyakan dari pembawaannya.

“Su-Mo, bukanlah pembawaanku mencampuri urusan orang, tapi kejadian kemarin dulu di desa sebelah timur sudah mengusik rasa geramku.” Tampak bahwa kali ini kakek Gu atau yang dikenal sebagai Zahnloserbauer agak menahan amarahnya. Lalu lanjutnya, “orang-orang yang sudah susah itu masih kalian haruskan untuk membayar pajak tinggi kepada kalian, dengan alasan keamanan.”

“Zahnloserbauer, apa urusanmu? Memang ada di antara orang-orang di desa sebelah timur itu adalah sanak saudaramu? Jika ada tunjuk yang mana, tidak akan kami tarik pajak dari mereka,” ucap Huang-Mo agak mengalah. Ia pernah mendengar kehebatan Zahnloserbauer di suatu wilayah Alemania (Jerman), di mana ia mengalahkan beberapa orang Ritter (Ksatria Berbaju Besi) di sana. Giginya yang ompong itu juga akibat ulahnya yang menantang orang-orang untuk mengadu kekuatan mengangkat beban berat dengan gigi. Walaupun berhasil, akan tetapi tak lama setelah itu beberapa gigi mukanya tanggal. Meskipun demikian para Ritter tak berani lagi berlaku sembarangn dengannya. Di sana julukannya adalah Ritter Zahnloserbauer.

Gu Ming adalah nama kakek Gu sebenarnya. Keluarganya berasal dari Jiangxi. Ia yang tidak suka keadaan pada saat itu kemudian merantau ke mana-mana dan beguru pada banyak orang. Kemampuan silatnya yang campur-campur menjadi ciri khasnya. Selain itu banyak pula pengetahuan tentang luasnya dunia ini, yang memicunya untuk merantau, diperoleh dari saudara tuanya, Gu Long, seorang pengujar terkenal pada jaman itu.

Panjang ceritanya sampai ia tiba di Tlatah Antara (Nusantara). Berasal dari daerah sekitar Tlatat Tengah (Tiongkok) merantau sampai ke Tlatah Langit (Himalaya), melampui Tlatah Barat (Alemania) dan sekitarnya, akhirnya sampai ke Tlatah Antara. Tadinya ia pernah mendengar jauh di selatan terdapat Tlatah Gurun (Osetralia) dan Tlatah Kebekuan (Artika). Tapi melihat kehidupan di Tlatah Antara, kakek Gu pun jatuh cinta dan memutuskan untuk menetap.

Selagi mencari-cari tempat yang akan didiaminya untuk menghabiskan hari tua, kakek Gu tiba desa sebelah timur yang menjadi pokok pembicaraan mereka itu. Di sana kakek Gu melihat bahwa orang-orang hidup dengan sangat sederhana bahkan cenderung miskin. Padahal alam sekitarnya kaya akan keanekaragaman hayati. Karena ingin tahu ia pun mulai berdiam di sana. Baru seminggu di sana ia mulai mengenal bahwa kesederhanaan dan kemiskinan para penghuni desa adalah akibat adanya tekanan, bahwa mereka harus menyetor pajak kepada para penjaga keamanan di sana.

Namanya saja penjaga keamanan, sebenarnya mereka itu adalah pemeras. Orang-orang yang memeras para penduduk desa sebelah timur dan juga desa-desa lain di sekitar tempat itu, dipimpin oleh Su-Mo. Akan tetapi penduduk desa hampir tidak pernah melihat Su-Mo, mereka hanya bisa merasakan pukulan dan tendangan para kaki-tangannya saja, apabila telat membayar.

Naluri kependekaran kakek Gu pun bangkit, ia mendatangi para petani dan menganjurkan agar mereka tak usah lagi membayar pajak kepada Su-Mo. Tapi seperti kebanyakan rakyat yang berada dalam tekanan, mereka takut. Mereka tidak mau mengikuti anjuran kakek Gu, walaupun itu untuk kebaikan mereka sendiri.

Akhirnya karena jengkel kakek Gu pun merampok pajak yang seyogyanya diberikan kepada kaki-tangan Su-Mo dan menunggu seorang diri kedatangan mereka. Sementara semua penduduk desa bersembunyi dengan ketakukan dalam rumahnya masing-masing.

Kaki tangan Su-Mo bukanlah sesuatu kekuatan yang berarti bagi kakek Gu. Mereka semua tunggang-langgang dibuatnya. Terkencing-kencing dalam celana selagi berlari pulang.

Walaupun telah diselamatkan uangnya, para penduduk masih was-was akan pembalasan yang akan tiba dari Su-Mo dan tukang pukul-tukang pukul lainnya. Kakek Gu akhirnya menyanggupi untuk melindungi mereka untuk berhadapan dengan Su-Mo. Dengan jaminan itu para penduduk berani untuk dua masa penarikan pajak berikutnya tidak memberikan bayaran, melainkan mereka simpan untuk diri mereka sendiri.

Su-Mo yang saat itu sedang berada di Tlatah Tengah tidak tahu-menahu mengenai kejadian itu. Saat mereka kembali ke Tlatah Antara, berang wajah mereka mendengar ada ketidak-beresan pada daerah kekuasaan mereka. Sebenarnya masalahnya tidak sesederhana itu. Su-Mo sendiri memiliki hak menarik pajak karena dukungan dari Pemerintah Pusat, yang tidak peduli pada nasib rakyatnya. Seseorang atau sekelompok orang yang dapat menjanjikan akan menyetor pajak sejumlah tertentu dari suatu daerah, akan diberikan hak untuk menarik pajak. Begitulah sistem pada masa itu.

Setelah mendapat informasi cukup dari para tukang pukulnya yang babak-belur dipukul balik berulang-ulang oleh kakek Gu dan juga informasi dari pemerintah bahwa kakek Gu itu sebenarnya adalah seorang perantau yang dikenal sebagai Zahnloserbauer, masih saudara dari seorang pengujar terkenal, akhirnya Su-Mo pun berniat untuk bertemu dengannya. Jika mungkin mengajak kakek Gu menjadi rekanan mereka. Seorang dengan kemampuan beladiri seperti kakek Gu sudah tentu banyak gunanya.

Tapi bukanlah kakek Gu jika dengan mudah dapat dibujuk. Jabatan dan pembagian hasil keuntungan yang awalnya ditawarkan oleh Su-Mo melalui utusannya ditampik mentah-mentah. Sudah tentu ini membuat darah Su-Mo mendidih.

Akhirnya diputuskan bersama bahwa mereka akan bertemu hari itu di suatu padang rumput yang luas untuk ‘menyelesaikan’ permasalah itu.

Su-Mo merasa tidak ada lagi gunanya untuk membujuk kakek Gu, mereka saling melirik satu sama lain. Kebersamaan yang telah puluhan tahun dilewati, membuat pengertian tanpa kata-kata dapat dengan mudah terjadi. Keempatnya kemudian bergerak mengurung. Mengelilingi kakek Gu dari keempat penjuru angin.

Hek-Mo tampak telah dapat bergerak normal kembali. Ceng-Mo tadi telah membubuhkan obat dan juga mengurut-urut kakinya sedikit. Rupanya kakek Gu belum menurunkan kaki kejam sehingga Hek-Mo masih dapat berjalan dan menggunakan kakinya. Hanya mengkalnya hati masih dapat terlihat pada wajah Hek-Mo. Ia yang hari-hari ditakuti orang, hari ini dapat segebrakan dipacul kakinya oleh tumit kakek Gu. Hampir saja remuk atas telapak kakinya.

“Begini lebih baik,” kata kakek Gu, “langsung bak-buk-bak-buk. Lebih jelas dan tegas!” Walaupun tampaknya masih tenang-tenang, kakek Gu sudah mulai menimbang-nimbang, siapa yang akan menjadi konsentrasi serangannya nanti. Ia pernah mendengar bahwa Su-Mo telah menciptakan semacam serangan bersama. Jika mereka menggunakan barisan serangan itu, bisa repot dirinya. Ia harus cepat memecah belah mereka, sebelum tenaganya habis terkuras.

Bagai dikomando, Su-Mo berempat mencabut golok masing-masing dan mulai menyerang. Kakek Gu dengan santainya menari-nari di tengah-tengah hujan golok yang riuh-rendah itu. Sesekali perlu juga ia menepis tangan atau kaki dari Su-Mo yang ingin mencicipi tubuhnya. Selebihnya, ia hanya perlu bergeser, depan belakang kiri kanan. Langkah-langkah ajaib, Langkah-langkah Kering di Bawah Hujan.

Sepeminum kopi dan sepenghisap rokok telah lewat, tapi tetap saja Su-Mo belum pernah mencapai seujung kulit pun kakek Gu. Akan tetapi pakaiannya sudah sering tersambar angin sabetan golok. Terlihat semakin compang-camping saja pakaian yang dikenakannya.

Tidak seperti melawan Hek-Mo tadi, kakek Gu terlihat agak kewalahan. Ia terkejut juga bahwa serangan berempat Su-Mo ini benar-benar rapat. Saling mengisi dan melindungi. Satu menyerang, yang lain menangkis. Satu kosong, yang lain mengisinya. Dengan cara itu ia hanya punya peluang terbesar untuk mengelak ketimbang menyerang balik. Su-Mo pun tidak terlalu berani menyerang dengan kekuatan penuh, mengingat kepandaian kakek Gu dalam serangan balik. Jadi sampai saat itu kedua pihak masih melihat-lihat kesempatan untuk memberikan pukulan maut.

Untung pertarungan jangka panjang faktor usia mulai menunjukkan perannya. Su-Mo yang masing-masing baru berumur tiga puluhan tahun menang stamina atas kakek Gu yang telah berusia hampir enam puluh tahun. Napasnya mulai kembang-kempis dan bajunya yang sobek sana-sini tampak telah benar-benar basah mandi keringat.

Senyum-senyum mulai mengembang di wajah keempat orang lawannya. Su-Mo telah merasa yakin bahwa tak lama lagi kemenangan akan singgah di tangan mereka. Tinggal masalah waktu saja untuk menunggu salah satu golok mereka singgah di tubuh kakek Gu. Bila terjadi sudah dipastikan cairan merah akan memuncrat. Darah.

Berputar pula dengan keras pikiran kakek Gu. Ia harus menemukan akal agar dapat lolos dari situasi ini. Tadinya dipikir bahwa menghadapi Su-Mo seorang diri tidaklah terlalu sulit. Tetapi ternyata hal ini diluar perkiraannya semula. Jika satu per satu, ia dapat dengan yakin dapat mengalahkan Su-Mo, seperti tadi ia menghadapi Hek-Mo. Akan tetapi dengan maju berbareng, Su-Mo menciptakan suatu barisan yang saling bekerja sama sehingga seakan-akan kekuatan serang mereka menjadi berlipat-lipat.

Pada saat-saat genting seperti itu tiba-tiba terdengar ucapan seseorang, “Wah-wah, betapa tak tahu malu ini, empat orang mengeroyok seorang kakek tua!”

Ucapan yang disertai pengerahan tenaga dalam ini sontak membuat kelima orang yang sedang bertarung itu meloncat mundur dan menghentikan kegiatannya. Masing-masing pihak masih menebak-nebak siapa yang barusan mengeluarkan perkataan tersebut.

Tak lama sang pengucap pun tiba. Seorang pemuda dengan wajah yang tampan dan berperawakan bagus. Pakaiannya sederhana dan berwarna cerah. Jalannya ringan seringan pembawaannya yang terlihat riang.

Mendadak kakek Gu mendapat ide yang tiba-tiba terlintas dalam kepalanya, lalu katanya, “Anak Yo, ayo bantu paman usir begal-begal ini!” Terkejut pemuda itu dan apalagi Su-Mo. Mereka belum tahu kepandaian pemuda itu, tapi dengan kakek Gu saja mereka telah seimbang, bisa runyam apabila ditambah dengan adanya pemuda itu.

Gelengan kepala dan tangan yang dilakukan pemuda itu dengan cepat dibuyarkan oleh kakek Gu yang terus menyerocos, “Bagus kamu cepat datang anak Yo, ayo kita pukul pantat keempat setan ini! Gunakan jurusmu, Menendang Pantat Setan, Usir ke Seberang Lautan!” Sebenarnya ucapan yang terakhir ini hanya untuk menakut-nakuti Su-Mo belaka. Ia sendiri juga belum tahu kemampuan pemuda itu. Hanya saja ia yakin akan sesuatu bahwa pemuda itu bukanlah dari golongan begal, paling tidak orang-orang yang tidak akan memihak golongan hitam.

Untung saja tebakan kakek Gu tidak meleset. Melihat bahwa pemuda itu adalah keponakan atau memiliki hubungan dengan kakek Gu, Pek-Mo dan Hek-Mo tidak mau buang banyak waktu, mereka langsung menyerang pemuda yang dipanggil anak Yo oleh kakek Gu dengan serangan maut mereka. Jika bisa dituntaskan dengan cepat, pertarungan akan kembali seimbang seperti semula. Sementara itu Huang-Mo dan Ceng-Mo masih menanti pergerakan kakek Gu sebelum mereka membuka serangan kembali.

“Anak Yo, hati-hati!” ucap kakek Gu yang kuatir pula melihat bahwa serangan pembuka yang dihambur oleh Pek-Mo dan Hek-Mo adalah serangan maut. Serangan satu tindak cabut nyawa, suatu jenis serangan tanpa basa-basi dan belas kasihan.

Tapi bukan pemuda itu kalau ia diam saja dan menantikan kedua golok yang datang menyilang itu membasuh keduanya dengan daging dan darahnya. Dengan tenang sang pemuda mengesek kakinya, memiringkan tubuhnya, lalu dengan menggunakan hawa dalam tubuhnya yang bisa memanipulasi gravitasi, ia melayang miring condong. Menyelinap tubuh pemuda itu dengan cantik di antara sabetan diagonal golok-golok Hek-Mo dan Pek-Mo.

Dan tidak hanya sampai di sana, setelah kedua golok itu yang hanya berjarak sejari di atas dan bawah tubuhnya lewat, ia mendaratkan kembali tubuhnya yang tadi berlevetasi dengan empuk di atas tanah. Setelah mengeramkan kakinya sehingga berakar di atas tanah ia kemudian mendorong-dorong kedua tangannya ke arah Hek-Mo dan Pek-Mo yang masih tampak terkejut karena serangan mereka dapat dengan mudahnya dihindari oleh pemuda itu.

Sebelum Hek-Mo dan Pek-Mo sadar apa yang dilakukan oleh pemuda itu, semacam kabut yang terbuat dari debu dan pasir yang ada di sekitar situ mulai terbentuk. Mengambang kecoklatan dan perlahan makin pekat warnanya.

“Jarum Terbang Debu Pasir, awas!!!” ucapan Huang-Mo, orang yang paling banyak makan asam garam di antara keempat Hek-Mo, datang terlambat. Elakan dari Hek-Mo dan Pek-Mo tidak sempat menyelamatkan seluruh tubuh mereka. Pinggang ke bawah tampak bertitik-titik merah meneteskan darah. Kabut debu dan pasir yang tadi terbentuk dihentakkan oleh pemuda itu dengan kibasan tangannya ke arah Hek-Mo dan Pek-Mo. Dalam perjalanannya debu dan pasir tersebut berurut-urut membentuk semacam garis. Mirip seperti jarum-jarum yang terbang.

Benar-benar ilmu yang menggiriskan. Sekujur tubuh Pek-Mo dan Hek-Mo bagian bawah tampak terluka parah. Bolong-bolong mirip saringan. Sempat mereka memiringkan tubuh sehingga bagian sensitif dari seorang lelaki yang mereka miliki tidak sempat terhujani jarum-jarum debu dan pasir itu. Jika tidak, maut sudah dijelang keduanya.

Tanpa banyak cakap lagi, Huang-Mo dan Ceng-Mo segera bergerak. Huang-Mo mengambil Pek-Mo dan Ceng-Mo mengambil Hek-Mo. Mereka bergegas pergi tanpa menoleh lagi. Satu serangan pemuda itu telah cukup membuktikan ketangguhannya. Belum lagi di sana masih ada kekek Gu, si Zahnloserbauer. Urusan lain bisa diselesaikan lain hari, yang penting hari ini adalah menyelamatkan kedua saudara mereka.

Untung saja keempat penjahat itu telah lama lalu dari sana, karena jika mereka tahu, mereka mungkin masih dapat meraih kesempatan.

Pemuda yang tadi dipanggil anak Yo oleh kakek Gu, setelah melepaskan serangan tampak masih berdiri dalam posisi semula. Wajahnya yang kemerahan tiba-tiba memucat dan tampak darah mengalir dari pinggiran mulut dan juga lubang mata, telinga dan hidungnya. Kakek Gu yang berada di sampingnya dapat dengan jelas melihatnya.

“Nak, engkau kenapa…?” sebelum pertanyaannya diselesaikan, pemuda itu terhuyung bagai layangan putus tanpa angin, ia melorot jatuh. Bila kakek Gu tidak bergegas menangkapnya sudah terhempas tubuh pemuda itu di atas tanah.

“Hmm, ilmu sesat. Benar-benar mengacaukan jalan darah yang merapalnya,” gumam kakek Gu sambil memeriksa denyut nadi pemuda yang dipanggilnya anak Yo itu. Menggeleng-geleng kepalanya melihat kekacauan jalan darah sang pemuda. Untung saja pemuda itu telah memiliki dasar yang kuat sehingga luka dalamnya tidak terlalu parah ketimbang seorang pemula yang merapat Jarum Terbang Debu Pasir. Bergegas kakek Gu membopong pemuda itu. Urusan para petani bisa ditunda, pun dua orang dari Su-Mo juga sama-sama terluka. Untuk beberapa saat mereka pasti tidak akan berani melakukan gerakan apa-apa.

Saat membuka matanya, pemuda itu tampak agak bingung. Hal terakhir yang diingatnya adalah saat ia sedang menyerang dua orang jahat menggunakan suatu ilmu yang baru saja dipelajarinya dari kitab-kitab yang dibawanya. Jarum Terbang Debu Pasir, adalah salah satu penggunaan Tenaga Tanah yang memanipulasi gerakan debu dan pasir sehingga dengan pengerahan hawa tenaga dalam bisa diarah sesuka pikiran. Tetapi terdapat pula kelemahan dari ilmu tersebut, yaitu perlu pencurahan tenaga dan pikiran yang cukup besar, sehingga kadang dapat membuat pengguanya kehabisan tenaga. Dan bila sampai pingsan atau tak sadarkan diri, si perapal bisa bertambah parah dengan kekacauan jalan darah yang belum sempat diselaraskan setelah merapal gerakan tersebut. Suatu ilmu yang benar-benar memerlukan penguasaan tingkat tinggi.

Ia melihat dirinya berbaring di dalam suatu pondok kayu yang sederhana. Ia rebah di atas suatu dipan kayu yang dialasi kain berwarna coklat tua agak kasar. Dengan bau-bau khas kayu dan tumbuh-tumbuhan hutan, rumah itu dipenuhi oleh pernah-pernik dari kayu. Berbotol-botol potongan-potongan daun tampak menghiasi sebuah rak yang terletak tak jauh dari tempatnya berbaring. Hanya itu yang bisa dilihatnya dari posisinya sekarang.

Dicobanya untuk bangkit, tapi tubuhnya masih melawan. Dunia menjadi berputar dan terbalik-balik saat dicobanya duduk. Akhirnya pemuda itu menyerah dan membiarkan waktu berlalu agar tubuhnya dapat sembuh dengan sendirinya, sebelum berusaha untuk bangkit kembali.

“Kreeekk!!” tiba-tiba pintu pondok itu terbuka. Pemuda itu tak dapat melihatnya karena terhalang sebuah meja besar yang di atasnya bertumpukkan buku-buku dan segala macam benda, benda-benda pengobatan agaknya.

“Kakek Gu, untung kau bawa pemuda itu cepat ke mari. Jika terlambat, bisa putus nyawanya,” ucap seorang wanita. Dari getar suaranya terlihat bahwa wanita itu sudah cukup tua, akan tetapi suaranya masih cukup nyaring dan jelas.

“Nenek Po, tolong kau sembuhkan anak itu! Ia telah menyelamatkan hidupku ini. Aku akan amat berhutang budi padamu..,” ucap lawan bicaranya.

“Tak usah ucap-ucap hutang budi, kakek Gu! Kita orang, orang-orang di akhir hidup, buat apa membawa-bawa pikiran nanti ke liang kubur. Apa yang bisa dikerjakan, kita kerjakan. Setelah itu pasrahkan kepada Sang Pencipta,” jawab suara yang pertama tadi.

Lalu terdengar seperti sebuah bungkusan besar dijatuhkan berdebam di atas lantai pondok itu. Perempuan tua itu kemudian menginstruksikan agar rekannya mengambil ini dan itu, sebanyak sekian dan sekian. Mencampurkannya dalam sebuah belanga hitam yang diletakkannya dengan kasar di atas meja.

Tak lama kemudian tercium bau harum mengembang di udara, terbawa angin dan menyebar ke mana-mana, termasuk menggelitik hidung pemuda yang masih berbaring di atas dipan kayu itu. Tak dapat dicegah, perutnya pun berkerotak, berkukuruyuk meminta diisi.

“Hehehe, kakek Gu, lihat anak sudah siuman! Bahkan perutnya sudah minta diisi..,” terkekeh-kekeh perempuan tua yang dipanggil nenek Po menghampiri pembaringan sang pemuda.

Semburat merah tampak menyebar pelan di atas wajah pucat sang pemuda. Ya, ia merasa malu sekali atas ketidaksopanan perutnya yang tanpa tedeng aling-aling meminta untuk segera diisi.

Seakan-akan tahu akan pikiran sang pemuda, kakek Gu pun berkata, “Jangan kuatir anak Yo, nenek Po ini memang suka menggoda orang. Tapi walaupun demikian sup buatannya tak ada tandingannya di daerah tiga empat sungai dari sini.”

Berseri wajah nenek Po mendengar pujian kakek Gu akan makanannya. Sudah menjadi suatu kekurangan pada manusia bahwa kadang mereka suka dipuji. Sebenarnya hal itu tidaklah salah, asalkan tidak berlebihan dan menjadi melakukan segala sesuatu karena ingin memperoleh pujian.

Bergegas nenek Po kemudian mengambil sup yang sejak tadi sudah tercium keharumannya. Diambilnya semangkok besar. Porsi dua orang. Lalu ia kemudian kembali ke dekat tempat sang pemuda berbaring dan menotok beberapa jalan darah dan juga mengambil beberapa jarum halus yang tadinya ditusukkan di beberapa titik di kepala sang pemuda.

“Bangunlan dan coba makan..,” ucapnya.

Sang pemuda tampak ragu-ragu mengingat tadi ia hampir terjatuh saat mencoba bangun.

“Tak usah takut, tadi engkau pusing saat bangun karena beberapa jalan darahmu sedang diarahkan ke tempat lain, agar mempercepat kesembuhanmu. Setelah dipindahkan kembali engkau tidak akan kehilangan keseimbangan saat bangun,” jelas nenek Po yang ternyata mengetahui bahwa sang pemuda telah mencoba bangun tadi.

Dengan malu-malu karena kembali pikirannya dapat ditebak orang, sang pemuda mencoba duduk. Pertama-tama perlahan-lahan, karena ia masih kuatir akan pusing dan kehilangan keseimbangan seperti tadi saat ia mencoba duduk. Setelah merasa yakin dengan sedikit mengangkat tubuhnya bahwa ia tidak lagi pusing, ia pun mendudukkan dirinya di atas tempat ia tadi berbaring.

Saat ia masih ragu-ragu untuk menggapai mangkuk sup yang dibuat oleh nenek Po itu, kakek Gu dengan sigap mengambilkannya dan meletakkannya di atas tangan pemuda itu. “Makanlah pelan-pelan.., jika mampu habiskan. Ini mengandung banyak obat-obatan dan ramuan untuk kesembuhanmu.”

Pemuda itu mengangguk dan mulai mencoba menyuap makanan yang disiapkan untuknya itu. Dimasukkannya perlahan sesuap sup yang masih mengepul panas itu. Harumnya yang merebak memacu gemuruh perutnya semakin kerap. Rasa hangat pun mulai menyebar dalam tubuh sesaat sesuap demi sesuap sup buatan nenek Po memasuki tubuhnya. Tak terasa sudah setengah isi dari mangkok ukuran jumbo itu pindah ke perutnya.

Saat sang pemuda menyantap makanan itu, kedua orang tua dihadapannya tak habis-habisnya memperhatikan dirinya. Mau tak mau terasa pula jengahnya, seakan-akan ada yang salah pada wajah atau dirinya. Ia sampai mencari-cari dengan jarinya apa ada sisa-sisa sayur dalam sup yang nyangkut di gigi atau nempel dekat pipinya akibat giatnya ia menyantap sup itu setelah isi mangkuknya kurang dari setengahnya.

Melihat kekikukkannya itu, kedua orang tua itu tertawa hampir berbarengan. Ketawa yang ramah dan hangat. “Kakek Gu, kita tinggalkan dulu anak Yo-mu ini. Tak tertelan nanti kalau kita pelototi terus-menerus,” seraya nenek Po beranjak dari situ untuk mengerjakan sesuatu di sudut ruang sana.

Kakek Gu pun beranjak dari sana ia mengambil tempat di seberang tempat pemuda itu duduk dan mengasolah ia. Cepat, tak lama, ia pun segera tertidur. Napasnya yang keluar masuk dengan teratur menandakan ia sudah lelap. Lelah setelah bertempur dengan Su-Mo dan juga memanggul pemuda itu serta mencari bahan-bahan untuk mengobatinya.

Setelah habis semangkut sup yang lezat dan juga berkasiat itu, pemuda yang terus saja dipanggil anak Yo oleh kakek Gu, merasa dirinya lebih enekan. Ia kemudian mencoba untuk merebahkan dirinya. Tak terasa ia pun terlelap. Menyusul Kakek Gu yang telah pergi lebih dahulu ke dunia mimpi.


“Hiaattt!! Haahh!” begitu bentakan Sarini saat ia membacok Rakrakrak, perambok bertubuh subur dan berkulit gelap itu. Walaupun cukup gemuk, Rakrakrak dapat dengan lincah meloncat sana-sini untuk menghindari tangan Sarini. Tak lupa celoteh ganjen dan centil dilontarkan Rakrakrak untuk menggoda Sarini yang makin lama makin merah bagai kepiting rebus pipinya itu.

“Duh, dada yang ranum, mari sini ke dalam dekapanku!!” ucapnya sambil kembali menyerang Sarini dengan kepalan tangannya yang besar-besar itu. Sesekali dikenakannya juga tangannya agak bersinggungan dengan tangan Sarini yang halus dan mulus. Malah sang gadis yang berusaha untuk menghindar. Ia berusaha hanya menyentuh bagian-bagian lemah dari Rakrakrak dengan tangannya. Jijik rasanya bila harus menyentuh bagian tubuh dari orang yang berkeringat dan ceriwis itu.

“Pinggang molek, kaki jenjang, pujaan hati..!” kembali Rakrakrak mengeluarkan celoteh untuk mengganggu Sarini dan juga mengeluarkan hasrat hatinya yang telah membayangkan suatu saat akan dapat mendekap dara yang memikat hatinya itu. Bagi mereka, para perampok, jarang-jarang mendapat rejeki bertarung dengan dara semanis Sarini di dekat tempat tinggal mereka. Umumnya bila ingin bertemu dengan wanita, mereka harus perg jauh merampok desa atau pelesir ke kota.

Suatu saat Sarini bergerak lambat sehingga pergelangan tangannya dapat tertangkap oleh Rakrakrak. Girang sudah wajah perampok gembul itu. Dibayangkannya dara itu dalam pelukannya setelah tangan itu ditariknya mendekat. Dan memang dengan sentakan yang kuat dara itu tertari memutar ke arah dekapannya, tetapi bukan untuk dipeluk melainkan untuk melancarkan gerakan menyerang. Ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan adalah ilmu tangan kosong yang penuh dengan tipu-tipu. Kedudukan yang lemah dapat menjadi suatu titik awal serangan yang kuat apabila tahu memanfaatkannya.

Sarini sebagai putri Arasan, jelas-jelas menguasai ilmu itu dengan amat baik. Ini yang tidak diketahui oleh Rakrakrak, bahwa ia masuk perangkap dalam gerakan itu. Saat berpusing, Sarini tidak diam pasrah di bawa masuk dalam lingkaran tangan Rakrakrak melainkan berputar searah putaran yang menariknya, tapi lebih cepat sehingga ia bisa mengambil celah kosong dari persendian Rakrakrak yang saat itu tidak menyadarinya, berbalik dan berganti memiting tangan Rakrakrak sampai batas sendinya. Dan tidak tanggung-tanggung, ia terus menggerakkan sampai melalui batas putaran sendi umumnya. Akibatnya, “krakkk!!” patahlah tangan kanan Rakrakrak yang sempat terlena sehingga tidak waspada itu.

Kejadian itu sudah tentu mengejutkan kawan-kawannya. Lima orang yang lain pun menjadi marah. Rupanya mereka tadi telah dibohongi oleh dara itu untuk bertarung tangan kosong. Suatu teknik yang dimahiri oleh sang gadis. Akan tetapi saat kelimanya ingin menyerang setelah meraup senjata masing-masing dalam genggamannya, Walinggih berseru, “tahan!!”

“Orang tua, mau apa lagi engkau? Sekarang tidak ada lagi permainan-permaian, apa yang telah muridmu lakukan itu akan dibayar dengan darahmu dan juga gadis itu,” kata seorang dari mereka.

“Apa hubungan kalian dengan Asasin?” tanya Walinggih. Sekarang ia teringat adanya kesamaan ciri-ciri orang-orang itu dengan orang-orang Asasin. Orang-orang yang telah berkali-kali berupaya membunuh dirinya.

Terkejut pula keenam orang itu atas pertanyaan yang diajukan Walinggih. Tak banyak orang yang tahu bahwa mereka ada bekas anggota Asasin. Mereka telah lama tidak lagi bekerja pada kelompok pembunuh bayaran itu karena ketidakdisiplinannya dan juga kurang dapat menjaga rahasia.

“Siapa kamu? Apa hubunganmu dengan Asasin?” balas bertanya seorang dari mereka.

“Hehehe,” tertawa Walinggih mendengar pertanyaan itu, “Siapa aku? Tak perlu engkau tahu. Asal aku sekarang sudah yakin siapa kalian sebenarnya, bisa lega aku memulangkan kalian.”

Mendengar itu keenam orang itu menjadi pucat wajahnya. Selama ini ternyata kakek dan gadis itu masih menahan diri untuk tidak menghabisi mereka. Setelah tahu bahwa mereka adalah Asasin atau tepatnya bekas anggota kelompok itu, malah mereka menjadi terdorong untuk melepaskan tangan kejam.

“Nan…, nanti dulu!” jawab seorang dari mereka dengan cepat, “Sudah lama, lebih dari satu tahun kami tidak lagi turut pada kegiatan Asasin. Kami bukan lagi Asasin.” Berusaha orang itu untuk membela dirinya.

“Satu tahun. Belum lama,” jawab Walinggih, “Biar kalian tak penasaran, aku sebutkan satu tempat. Desa Batu Barat dan Timur.”

Mendengar nama tempat itu, pucatlah keenam orang itu, mereka tentu telah mendengar nama tempat yang menjadi salah satu dan mungkin satu-satunya kegagalan pekerjaan yang diemban Asasin dari para pemesannya. Di sana mereka bertemu dengan orang yang pilih tanding. Hakim Haus Darah.

“Engkau… Hakim Haus Darah..!!” ujar seorang dari mereka pucat.

Tanpa mengangguk Walinggih pun memegang posisi pedangnya sedemikian rupa. Posisi untuk mengeluarkan gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi, suatu gerakan yang ditiru dari kadal-kadal pelangi saat mereka mencari makan di batu-batu yang diperciki buih-buih air.

Menyadari bahwa tak ada gunanya lagi untuk berdepat keenamnya langsung mengambil posisi mengurung Walinggih. Sarini pun mengambil langkah mundur dan melihat dari kejauhan. Rakrakrak yang sebelah tangannya telah dipatahkan oleh Sarini tampak memegang senjatanya dengan tangannya yang lain. Keenamnya pun bersiap untuk mempertahankan satu-satunya nyawa mereka.

Tak perlu waktu terlalu lama bagi Walinggih untuk menumbangkan mereka. Satu persatu dari mereka tersungkur di atas tanah dengan tubuh terpotong. Tidak lagi terbelah dua seperti dahulu ia menggunakan gerakan Sabetan Tunggal Menuai Dua, gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi lebih menitikberatkan pada loncatan-loncatan berbalik yang membingunkan lawan. Sabetannya tidaklah seindah gerakan Sabetan Tunggal Menuai Dua akan tetapi lebih efesien dan telak.

Termangu tampak Walinggih setelah keenam orang lawannya itu tidak lagi bernyawa, ingatan masa lalu akan keluarganya, anak dan istrinya yang terbunuh kembali datang. Ditepisnya rasa sedih yang kembali menjelang, juga amarah untuk selalu membalas dendam dan menghukum orang-orang yang berseteru. Ia telah berubah. Bukan lagi Walinggih si Hakim Haus Darah.

Tak terasa sebuah tangan menepuk bahunya. Tangan kecil dan halus milik Sarini. “Paman, sudahlah. Jangan lagi paman bersedih atas perginya bibi dan adik. Mereka-mereka ini memang patut untuk dibasmi.”

Mengangguk sedikit Walinggih mendengar hiburan Sarini. Lalu ia mengisyaratkan agar mereka menggali sebuah lubang yang cukup besar untuk menguburkan keenam orang itu. Senjata-senjata mereka pun dimakamkan bersama-sama dengan jasadnya. Setelah itu sebuah batu besar dipotong Sarini untuk diletakkan di atas makam itu. Digoreskannya di atas batu tersebut

“Makam enam perampok mantan Asasin. Salah seorang bernama Rakrakrak.”

Hanya itu saja, karena ia tidak tahu nama-nama mereka kecuali Rakrakrak tadi. Setelah itu mereka berdua kembali meneruskan perjalan mereka ke arah utara untuk menjumpai orang tua Telaga untuk memberitahukan mengenai perjodohan Telaga dan Sarini.


“Maaf, bila sedari tadi engkau kupanggil terus dengan anak Yo,” kata kakek Gu kepada pemuda yang menolongnya dari serangan Su-Mo.

“Tidak apa-apa, paman!” balasnya, “Malah saya pikir paman cerdik sekali pada saat itu, tanpa ba-bi-bu langsung menyapa saya seakan-akan kita telah kenal sehingga mereka kena dikadali.”

“Ah, tidak terlalu berarti jika engkau tidak selihai itu ilmu beladirinya. Sayang sekali akibatnya engkau jadi menderita luka seperti ini,” ucap kakek Gu sedih.

“Ini juga salahku, paman. Aku belum memahami jurus Jarum Terbang Debu Pasir dengan baik tetapi telah mencoba-coba,” jelas pemuda itu.

Mengangguk-angguk kakek Gu mendengar penjelasan pemuda itu. “Omong-omong, tenagamu itu boleh juga, benar-benar menunjukkan penguasaan Tenaga Tanah yang sudah mumpuni,” puji kakek Gu.

“Ah, paman bisa saja. Saya juga baru belajar dari para Troll,” jelas pemuda itu sambil lalu menjelaskan kisahnya di mana ia mempelajari Tenaga Tanah itu.

Nenek Po yang sedari tadi sedang membaca-baca buku-buku pengobatan di mejanya, mengguman-gumam, “Tidak baik, tidak baik! Hukum alam tidak boleh dibolak-balik..!”

Gumaman itu memecah pembicaraan antara kakek Gu dan pemuda itu. “Nenek Po, apa maksudmu?”

“Ah, aku kembali ngomong sendiri ya?” ucapnya malu. “Ini dalam buku ini tertulis bahwa hukum-hukum alam sebaiknya tidak dicoba-coba untuk dilawan. Konsekuensinya berat.”

Melihat tatapan bingung dari kedua orang di depannya itu, nenek Po pun tersenyum. Lalu lanjutnya, “Anak muda ini.. telah menggunakan Tenaga Tanah untuk memanipulasi gaya berat. Itu melawan alam. Alam ini terdiri dari materi. Ada empat unsur air, tanah, udara dan api. Semunya punya isi. Dan semuanya patuh pada gaya berat. Dengan mengubah-ubah gaya berat, keseimbangan akan terganggu. Terutama aliran hawa dalam tubuh.”

Kedua orang itu pun mengangguk-angguk, baru ngeh dengan apa yang dijelaskan oleh nenek Po.

“Nak Paras Tampan, boleh-boleh saja engkau menggunakan jurus Jarum Terbang Debu Pasir, tapi dengan perhitungan tentunya. Jangan semua tenagamu dikerahkan ke sana. Sisakan untuk mengembalikan aliran hawamu ke sirkulasinya semula.”

Lalu dijelaskannya bahwa apa yang barusan dilakukan oleh Paras Tampan adalah dengan mengubah kerapatan benda-benda disekelilingnya atau juga disekitarnya sehingga debu-debu dan pasir dapat bergerak seperti keinginannya. Lain dengan benda-benda yang berukuran cukup besar sehingga kekuatan dapat dipusatkan, benda-benda seperti pasir dan debu amatlah kecil dan banyak, sehingga tenaga yang dikeluarkan pun harus ekstra besar dan tersebar. Belum lagi upaya untuk membuat mereka terbang dan berurutan sehingga berbentuk jarum-jarum padat. Setelah hawa dikeluarkan untuk mengendalikan butiran-butiran itu, tubuh menjadi kosong. Tenaga alami alam yang terdiri dari empat unsur itu berebut masuk untuk mengisi kekosongan itu. Oleh karena itu perlu ada tenaga yang dicadangkan untuk menghalangi luapan tenaga yang ingin mengisi hawa tubuh yang kosong itu. Itulah yang terjadi sehingga tubuh Paras Tampan saat itu melupa terisikan tenaga alami dan mengalami luka dalam.

Menjadi jelas sekarang bagi Paras Tampan perihal ilmu yang baru dipelajarinya itu. Ia pun berjanji untuk lebih hati-hati dalam merapal ilmu itu. Jika tidak benar-benar diperlukan tidak akan digunakannya. Selain berbahaya bagi lawan, ilmu itu juga berbahaya bagi sang perapalnya sendiri, bila menggunakannya dengan benar.

Sudah seminggu Paras Tampan tinggal di pondok nenek Po. Kakek Gu pun tinggal di sana menemaninya. Kakek Gu sendiri sebenarnya punya rumah, tapi tak tak bisa dibilang benar-benar rumah mengingat letaknya yang di atas pohon dan dibangun sekenanya. Cukup asal nyaman untuk tidur dan tidak kepanasan saat hari cerah dan tidak kehujanan saat hari hujan, ditambah tidak kedinginan saat malam hari.

Dalam seminggu itu sudah banyak perubahan dalam kesehatannya. Tubuhnya berangsur-angsur membaik dan juga ia memperoleh banyak cerita, baik dari nenek Po maupun kakek Gu.

Kakek Gu yang bernama Gu Ming itu ternyata adalah masih saudara jauh dari seorang pengujar terkenal Gu Long. Pengujar yang banyak menghasilkan karya-karya cerita tentang kehidupan orang-orang di rimba persilatan. Diceritakan bahwa Gu Long adalah seorang yang cerdas akan tetapi agak nyeleneh. Tidak seperti kebanyakan orang yang umumnya bekerja setelah tamat belajar, ia malah berandai-andai dahulu dan berusaha menjadi seorang penulis di kotanya. Hidup sederhana seperti pengujar Tao Yuan Ming (penyair jaman dinasti Han dari Tlatah Tengah).

Gu Long adala seorang yang cerdas, ia telah dapat menulis kisah pada usia yang amat muda. Sekitar 12 tahun. Dan bisa memperoleh penghasilan pertama saat berusia 19 tahun. Kakek Gu kemudian menceritakan bahwa saudara tuanya itu, hampir selalu menceritakakan sesuatu yang berkaitan dengan cinta. Sampai suatu saat ia mendapat saran untuk menulis mengenai orang-orang rimba persilatan. Walaupun demikian, unsur cintanya tetap kental dalam kisah-kisah orang-orang rimba persilatan.

Saat itu terdapat empat pengujar besar penghasil cerita orang-orang rimba persilatan di Tlatah Tengah Sempalan (Taiwan), yaitu Chu Qing Yun, Wu Lung Sheng dan Shi Ma Ling, serta Gu Long sendiri.

Kakek Gu sendiri sampai merantau ke sana ke mari karena terinsipirasi atas karya-karya para pengujar-pengujar tersebut, yang menceritakan keanekaragaman dunia dalam kisah-kisah persilatan.

Sayangnya saudara tuanya itu mempunyai suatu sifat jelek, yaitu gemar minum dan mabuk-mabukkan. Kerap sekali sehingga jatuh sakit. Setelah sembuh ia sempat beberapa saat terbebas dari arak, akan tetapi tidak lama. Bila sedih ia minum arak. Kebiasaan ini datang kembali sehingga akhirnya membuat kesehatannya menjadi semakin parah dan akhirnya ia meninggal. Saat ia meninggal kakek Gu sedang merantau sehingga tidak dapat menjenguk saudara tua yang dikaguminya itu.

Paras Tampan dapat merasakan keharuan kakek Gu saat menceritakan kisah saudaranya itu. Ia melihat kekaguman kakek Gu pada sosok pengujar Gu Long. Ia sendiri pernah mendengar, tapi belum pernah membaca hasil karya atau pun cerita mengenai orang itu.

“Ada seorang pengujar dari Tlatah Tengah Sempalan, Gu Long namanya. Karyanya amat gemilang tentang orang-orang rimba persilatan di Tlatah Tengah. Tapi apa-apa tentang cinta yang ditulisnya tidak dapat diwujudkannya dalam dunia nyata. Ia hidup tidak bahagia. Tidak sebahagia tokoh-tokoh rekaannya,” jelas Ki Tapa suatu saat pada Paras Tampan. “Sebaiknya seimbang, apa yang kita tuangkan dalam karya, ucapan dan pelaksanaan. Itu yang terbaik.”

Paras Tampan tidak tahu mengapa Ki Tapa menceritakan perihal pengujar Gu Long padanya saat itu. Setelah lama baru disadari bahwa Ki Tapa ingin mengingatkan bahwa apa-apa yang dihadapi haruslah diresapi. Jangan terlalu berhadap atau terlena seperti dalam kisah-kisah. Sifat Paras Tampan yang cenderung romantis mungkin mengundang kekuatiran sendiri pada Ki Tapa sehingga ia menceritakan tentang kisah itu.


Lantang mengambil satu buah ubi dan sejumput rempah. Digigitnya ubi, dikunyahnya perlahan, lalu rempah-rempah. Ubi itu untuk membuat agar rempah-rempah yang mengandung obat itu dapat termakan. Tanpa ubi mungkin akan termuntahkan kembali.

Tak terasa setengah rempah-rempah obat yang harus dimakannya telah mengisi perutnya. Ubinya tinggal sebuah. Tidak cukup kiranya untuk memakan rempah-rempah yang tersisa. Lantang pun celingak-celinguk mencari-cari dengan matanya, apa-apa yang bisa menggantikan ubi untuk memakan rempah-rempah itu.

Tiba-tiba bahunya ditepuk. Xyra yang tadinya tertidur telah bangun. Rambutnya yang awut-awutan tampak manis menghias wajahnya. Khas kecantikan seorang Undinden.

Ia tampak mengangsurkan beberapa buah pisang.

“Makanlah untuk teman rempah-rempah,” katanya pelan.

Lantang pun mengangguk diambilnya dua buah pisang. Segigit pisang dan rempah-rempah. Segigit lagi dan juga rempah-rempah sampai akhirnya takaran yang harus dimakannya habis. Pindah mengisi lambungnya.

Xyra tampak senang melihat hal itu. Ia mengeluarkan nada tinggi, nada khas Undinen apabila hatinya gembira. Gembira bahwa Lantang akan kembali sehat.

“Di mana orang tua itu tadi?” tanya Lantang tiba-tiba. Ia teringat pada orang tua yang tadi memasakkannya obat.

“Wananggo, maksudmu?” tanya Xyra.

“Kakek itu bernama Wananggo?” balik bertanya Lantang.

“Ia memperkenalkan diri dengan nama itu,” jelas Xyra. “Ia tadi pergi sebentar. Akan kembali untuk menengok kesehatanmu. Ada sesuatu yang harus dicarinya. Ditunggu saja sambil beristirahat.”

Lantang pun menurut. Sambil berbaring ia minta Xyra untuk mengisahkan perjalanannya dan mengapa saat ia ingin pamit Xyra tidak bisa ditemuinya di Danau Tengah Gunung.

Dengan perlahan sambil tertunduk malu Xyra pun menceritakan bahwa ia dulu merasa marah dan sedih, bahwa Lantang akan meninggalkan tempat di mana mereka bertemu. Ia menyangka Lantang membenci dirinya dan meninggalkan dirinya. Oleh karena itu ia tidak mau menemui Lantang. Akan tetapi jauh setelah Lantang pergi Xyra pun merasa kehilangan. Dan ia menemui Ki dan Nyi Sura untuk minta penjelasan keamana perginya Lantang. Setelah tahu ia pun pergi mengikuti. Dengan kemampuannya berbicara pada binatang-binatang air, Xyra memperoleh keterangan ke arah mana Lantang berlalu. Setelah menemukan, ia pun membayangi sosok yang dirindukannya itu dengan diam-diam. Saat Lantang menderita sakit, ia pun tidak tahan dan memunculkan diri untuk membantu Wananggo merawat pemuda itu.

Terharu Lantang mendengar penjelasan sang Undinen. Tak terasa tangannya menggenggam dan mengelus lembut telapak tangan Xyra yang berhasil digapainya. Xyra hanya tertunduk semakin dalam sambil memainkan rambutnya dengan tangannya yang lain.

Keduanya pun terdiam. Perasaan dalam hati masing-masing bergolak. Menggelora jiwa muda. Jiwa yang ingin berpadu dan dekat selalu.

Tags: