nou

perubahan-perubahan

Nein Arimasen
82 mins read ·

elemen kekosongan 2/9

url https://elemen-kekosongan.blogspot.com/2006/11/perubahan-perubahan.html

Seorang anak berbaju kumuh dan lusuh tampak habis menangis di pinggir jalan yang berdebu. Debu-debu beterbangan semakin tinggi dari jalanan yang berbatu dan bertanah, saat dilalui oleh pedati atau pun kuda. Seakan tak peduli dengan panasnya matahari dan sesaknya napas menghirup udara kering berdebu itu, sang anak masih duduk di sana.

Tak jauh dari sana tampak seorang tua berjalan sambil bernyanyi-nyanyi kecil seakan-akan hidup ini penuh dengan kecerian belaka.

“Burung bersiul bersahut-sahutan,
matahari bersinar cerah,
kera-kera bermain di hutan,
bunga semerbak merekah.

Buat apa susah,
susah itu tak ada gunanya,
buat apa resah,
resah itu juga tiada gunanya.

Tralala.., trilili.., haha.., hihi..
Nanana…, ninini…, dada.., didi..”

Saat padangan matanya bertemu dengan sang bocah lusuh, orang aneh itu pun berhenti. Dengan masih tersenyum, dikelilinginya bocah itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagus, tulang bagus, postur tepat, sayang sedikit perasa.., hmm…,” gumamnya.

Anak tersebut tampak tak peduli. Pandang matanya kosong. Ia masih saja duduk termangu, sementara orang aneh itu masih berjalan berkeliling, mematut-matut dan menilai-nilai dirinya.

“Hey, cah bagus, siapa namamu?” tanya orang itu tiba-tiba.

Seakan tidak mendengar pertanyaan tersebut, sang bocah yang dipanggil ‘cah bagus’ itu masih saja termangu dalam pikirannya.

“Wah sayang, kecil-kecil sudah budeg,” lanjut orang itu seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Entah karena kata ‘budeg’ atau memang baru saja tersadar dari ketermenungannya, bocah itu baru saat itu menatap sang orang aneh. Lalu ucapnya, “Nggak ada hujan atau angin, ngatain orang budeg. Situ yang ngomongnya nggak kedengeran.”

Mendengar jawaban yang kasar dan lugas tersebut, alih-alih marah, orang aneh tersebut malah tertawa terbahak-bahak. Senang ia bertemu dengan anak yang perangainya mirip dengannya.

“Nah tuh, sekarang malah ketawa nggak ketulungan, ngeri ah! Kabur..” jawab anak itu. Sudah lupa sedihnya ia saat berhadapan dengan orang aneh itu.

“Wah, wah kamu itu lucu bener..” kata orang aneh tersebut sambil menghapus air matanya yang berlerenan karena tertawa terbahak-bahak tadi. Ia memang begitu, saat tertawa, tidak bisa menahan air matanya.

“Nama saya Lantang, paman,” jawabnya dan lanjutnya, “kalau paman, siapa?”

Tercengang juga orang itu mendengar pertanyaan balik dari bocah yang mengaku Lantang namanya itu. Tidak biasanya ada bocah yang demikian berani dan tak malu-malu seperti ini.

“Namaku Rancana, tapi orang-orang biasanya memanggilku dengan julukan Bayangan Menangis Tertawa,” jawabnya jenaka.

Mimik dan cara menjawab yang menarik itu membuat Lantang menjadi makin ceria sehingga sesaat dapat melupakan kedukaannya, dan ia pun berkomentar, “tentu saja, karena paman tertawa sambil menangis, bukan?”

“Hahaha, benar-benar,” jawab Rancana terkesan, “engkau cerdik sekali Lantang. Eh, maukah engkau menjadi muridku?” Katanya kemudian mengutarakan maksudnya yang sedari tadi telah disimpannya di dalam hati, sejak ia melihat bahwa bocah tersebut memiliki struktur tubuh yang cocok untuk menjadi seorang jago silat.

“Menjadi murid paman? Apa yang bisa dipelajari dari paman? Menyanyi?” tanyanya penuh selidik, karena tidak melihat kelebihan Rancana si Bayangan Menangis Tertawa itu.

Kembali Rancana tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan yang lucu dan jujur itu. Setelah berhenti tertawa dan juga menyapu air matanya, ia pun akhirnya berkata, “tentu saja belajar kanuragan, ilmu silat, dengan paman. Maukah?”

Lantang terdiam dan kemudian dengan lemas menggeleng, “tidak paman.” Lanjutnya kemudian, “saya benci ilmu silat, ilmu yang berguna hanya untuk mengundang kekerasan.”

Terkejut juga hati Rancana mendengar jawaban sang bocah. Tidak biasanya bocah-bocah menolak apabila diajari ilmu silat. Secara umum amat senang anak-anak belajar silat, apalagi bila tahu bahwa dirinya yang akan menjadi guru. Benar-benar bocah ini aneh dan amat menarik hatinya.

“Logika yang tidak tepat itu, cah bagus,” terangnya kemudian, “ilmu silat ataupun kanuragan itu sama halnya seperti pisau atau api. Kita dapat menggunakan pisau untuk membantu pekerjaan kita sehari-hari, misalnya memotong daging untuk dimasak, memotong sayuran sebelum direbus dan sebagainya. Akan tetapi pisau dapat pula digunakan untuk mengancam orang lain, membunuh atau perbuatan jahat lainnya. Demikian pula dengan api, api yang diatur dapat digunakan untuk memasak, melunakkan logam, mencetak emas dan lainnya. Akan tetapi api yang tidak terkendali dapat menyebabkan kebakaran rumah dan hutan.”

Mendengar uraian mengenai baik buruknya sesuatu yang relatif terhadap cara penggunaannya itu membuat Lantang menjadi sedikit bingung. Nalarnya masih meyakini bahwa ilmu silat hanyalah sumber kekerasan belaka, sehingga ucapnya, “tapi paman…, untuk apa ilmu silat jika kita tidak mau berseteru secara fisik dengan orang lain? Buat apa mempelajarinya?”

“Banyak manfaat ilmu silat selain untuk bekelahi, cah bagus. Antara lain untuk menjaga kesehatan. Mempertinggi daya tahan tubuh terhadap penyakit. Melancarkan peredaran darah, melancarkan nafas, membuat diri selalu bersemangat dan juga melatih konsentrasi dan kesabaran,” jelas Rancana.

“Wah, saya belum pernah mendengar hal seperti itu, paman!” jawab Lantang jujur.

Sesaat, keheningan pun lewat di antara mereka berdua. Walaupun bibit-bibit persahabatan telah muncul di antara dua insan tersebut akan tetapi waktu masih perlu untuk menanti agar hal tersebut tumbuh dan berbuah. Salah satu dari mereka harus bisa meyakinkan yang lain.

Rancana, si Bayangan Menangis Tertawa, merasa ada yang aneh dengan keadaan Lantang, si bocah lusuh di pinggir jalan itu, maka tanyanya lebih jauh, “coba jelaskan pikiranmu mengapa kamu terlihat tidak senang ilmu silat! Atau ada sesuatu yang pernah engkau alami yang menyebabkan engkau benci ilmu silat?”

Diingatkan akan tragedi yang barus saja dialaminya. Lantang mendadak terlihat murung, dan sejentik air mata terlihat pada sudut matanya yang mulai berkaca-kaca. Akan tetapi ia berusaha untuk tidak menangis. Ia tadi telah berjanji pada dirinya sendiri tidak akan lagi menangis. Ia tidak mau terlihat lemah, ia akan membuktikan pada orang-orang yang menyebabkannya menderita bahwa ia bukan anak cengeng dan ia bisa hidup dengan kekuatannya sendiri. Tapi walaupun demikian ingatan yang masih segar akan semua peristiwa tersebut membuatnya kembali bersedih.

“Apa yang sebenarnya terjadi, cah bagus?” tanya Rancana dengan hati-hati, perubahan wajah Lantang yang jelas terlihat itu, mengisyaratkan adanya peristiwa hebat yang mengguncangkan jiwa anak itu. “Menangislah, tidak pantang seorang lelaki menangis. Bila itu dapat menolong mengeluarkan bebanmu, menangislah!”

Tak tahan dengan anjuran dan juga suara Rancana yang bersimpati membuat bendungan air mata Lantang hancur, dan bergulirlah air matanya jatuh, walaupun tanpa suara. Selain suara angin dan debu yang beterbangan, tiada suara lain di sekitar mereka. Hening. Dan Rancana pun membiarkan Lantang menggunakan waktunya.

Setelah mengeluarkan bebannya melalui tangis, tenanglah Lantang. Sedikit lebih baik perasaannya. Dengan perlahan-lahan diceritakannya peristiwa yang terjadi pada diri dan keluarganya, dan mengapa ia sampai terdampar di tempat itu.


Bukit Utara di sebelah selatan Paparan Karang Utara yang di waktu siang hari umumnya tampak lengang, tiba-tiba saja dipenuhi banyak sekali orang-orang yang berpakaian ringkas dan memiliki gerakan mantap. Orang-orang ahli silat.

Di sisi timur berdiri sembilang orang. Naga Geni dan delapan orang Penjuru Angin. Sedangkan di sisi timur berdiri juga sembilan orang. Ki Jagad Hitam dan delapan orang sisa dari Lingkaran Dalam. Pertemuan ini merupakan kala kedua sejak pertempuran pertama di tempat yang sama. Dalam pertempuran pertama hampir hilang seluruh murid perguruan Kapak Ganda, sehingga hanya tersisa sang guru Naga Geni dan delapan orang murid utamanya. Dan itu harus dibayar mahal oleh perguruan Atas Angin dengan tewasnya separuh anggota lingkaran dalam dan hampir seluruh murid tingkat satu dan dua.

Kedudukan yang sama sembilan lawan sembilan ini tentu saja membesarkan hati orang-orang perguruan Kapak Ganda, karena mereka berada di daerahnya sendiri. Lain dengan orang-orang Perguruan Atas Angin yang tidak terbiasa pada daerah berbatu-batu seperti ini. Akan tetapi ada hal yang tidak diketahui oleh Naga Geni dan murid-muridnya, bahwa Ki Jagad Hitam telah memerintahkan untuk meminta bantuan pada sisa-sisa muridnya. Dan bantuan ini langsung menyerang mereka yang ada di Bukit Utara melainkan akan menyerang dan menguasai markas Perguruan Kapak Ganda yang saat ini sedang kosong. Apabila siasat ini berhasil sudah tentu orang-orang Perguruan Kapak Ganda akan menjadi hilang semangatnya dan mudah untuk dijatuhkan.

“He.. Jagad Hitam, menyerahlah. Hampir habis itu murid-muridmu kami bantai.” teriak Naga Geni jumawa, “bahkan separuh dari Lingkaran Dalam yang dibanggakanmu itu sudah masuk liang kubur.”

Ki Jagag Hitam yang tidak terpancing dan dengan kalem jawabnya, “Naga Geni, berkacalah, orang-orangmu juga hampir habis. Lebih baik kamu penggal sendiri kepala murid-muridmu itu, daripada aku yang melakukannya.”

Tak bisa terima dengan ejekan itu, malah Naga Geni yang termakan sendiri dengan siasatnya untuk memancing emosi Ki Jagad Hitam. Dengan tanpa ‘ba-bi-bu’ lagi, ia pun menyerah Ki Jagad Hitam dengan ilmu silatnya yang bernama Kapak Pengantar Nyawa. Gerakan-gerakan dalam ilmu tersebut didominasi oleh sabetan-sabetan melingkar menyilang, yang seakan-akan tiada memberi ruang untuk kabur atau menyerang. Dengan dua buah kapak, yang menjadi ciri Perguruan Kapak Ganda, Naga Geni merengsek maju, tidak memberi ruang gerak pada Ki Jagad Hitam.

Alih-alih melompat mundur untuk menghindar Ki Jagad Hitam malah meloncak ke atas terbalik dan menyerang belakang kepala Naga Geni dengan tangannya yang siap mencengkram ubun-ubun. Ia melihat bahwa jurus-jurus dari Kapak Pengantar Nyawa kuat pada arah depan akan tetapi kosong pada arah atas sebelah belakang.

Kaget melihat serangan yang berbahaya itu Naga Geni tak kehilangan akal, dengan segera ia menekuk tubuhnya ke depan untuk menghidar serangan pada belakang kepalanya, dan sambil berjungkir balik dilemparkannya ke belakang kedua kapaknya satu per satu. Satu kapak di satu waktu dan yang lainnya di lain waktu, dengan arah putaran yang berbeda.

“Hemm,” dengus Ki Jagad Hitam yang hampir saja menjadi makanan kapak kedua yang dilemparkan oleh Naga Geni. Ia dapat dengan mudah melihat lemparan kapak pertama, akan tetapi tidak yang kedua, karena dilemparkan dalam bayangan kapak pertama dan lebih cepat. Dengan pengaturan tenaga yang mumpuni, kapak kedua Naga Geni bisa datang lebih dulu dari yang pertama.

Akhirnya berada keduanya pada jarak aman untuk diserang. Keringat panas akibat gerakan yang banyak menguras tenaga tampak mengalir deras dari kening keduanya. Di antaranya juga terdapat keringat dingin menetes, mengingat hampir saja nyawa mereka melayang di tangan lawannya masing-masing.

Dengan isyarat tangannya Naga Geni memerintahkan semua murid-muridnya dari Penjuru Angin untuk maju. Bersamaan maju pula sisa-sisa dari Lingkaran Dalam. Setelah masing-masing memilih lawannya satu-satu, maju pula kembali Naga Geni berhadapan dengan Ki Jagad Hitam.

Bertempuran pun kembali dimulai. Setiap orang melakukan jurus demi jurus, tipu demi tipu untuk menjatuhkan lawan-lawannya. Tingkat ilmu yang seimbang dan daya tahan diperlihatkan dalam masing-masing pertempuran. Matahari pun telah meminggalkan posisi tertingginya, akan tetapi belum terlihat ada yang menang atau kalah dari kesembilan perkelahian tersebut.

Mendadak terdengar suara, “Guru, perguruan diserang…”

Mendengar berita itu, sontak hilang konsentrasi orang-orang Perguruan Kapak Ganda yang sedang bertempur. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh orang-orang Perguruan Atas angin, mereka pun meningkatkan daya serang mereka sampai semampu-mampunya. Akibatnya sudah dapat diduga, berselang tak berapa lama jatuh satu persatu kedelapan Penjuru Angin di tangan sisa-sisa Lingkaran Dalam. Sampai tinggal Naga Geni yang masih dapat berdiri, itu pun dengan penuh luka pukulan di sana-sini.

Hilang sudah semangat Naga Geni melihat tumbangnya kedelapan murid utamanya, dan juga mendengar berita bahwa perguruannya telah diserang saat ia dan murid-muridnya berada di sini. Ia kalah bukan hanya oleh ilmu silat dari Perguruan Atas Angin yang lebih baik melainkan pula oleh siasat keji mereka untuk menyerang perguruan saat penghuninya sedang bertempur di luar. Mengingat kebodohan dan kekalahannya itu Naga Geni pun memutar kapak gandanya lebih cepat dan melemparkan ke samping. Dengan berdesing kedua kapak itu berputar dalam arah yang berbeda dan kembali kepada yang melemparnya setelah terbang miring melengkung.

Dan, “capp..!” terpenggallah kepala Naga Geni rapih oleh kedua kapaknya. Ia tidak sudah dikalahkan dan dipermalukan oleh Ki Jagad Hitam. Lebih baik ia membuhuh diri dari pada dibunuh. Toh, sudah tidak ada yang tinggal dari perguruannya. Murid-muridnya, perguruannya, semua telah habis dibasmi oleh Perguruan Atas Angin.

Melihat hal tersebut bergelak tawa Ki Jaga Hitam, “hahaha…, bagus Naga Geni, lebih baik engkau bunuh diri, dari pada aku bersusah-payah membunuhmu. Mulai hari ini orang-orang akan melupakanmu dan juga Perguruan Kapak Ganda.” Tidak ada sedikitpun rasa menyesal atau kasihan dalam diri Ki Jagad Hitam. Semua yang dilakukannya dirasakan merupakan sudah sepantasnya, yang membela keunggulan nama perguruannya. Perguruan Atas Angin. Perguruan yang paling tangguh di bumi persilatan.

Setelah beristirahat sebentar kemudian, Ki Jagad Hitam pun turun dari Bukit Utara menuju Desa Paparan Karang Utara untuk melihat hasil kerja murid-muridnya yang berhasil membumihanguskan rumah-rumah Perguruan Kapak Ganda.

Tampak puing-puing bangunan yang telah habis dilalap api. Juga tumpukan batu-batu yang digunakan sebagai gapura pintu utama perguruan. Semuanya hancur, jika boleh dikatakan, hanya setinggi lutut dari atas tanah. Hampir-hampir tak tersisa kejayaan Perguruan Kapak Ganda. Beberapa sosok mayat murid-murid tingkat rendah perguruan yang pada saat terakhirnya masih membela rumah-rumah mereka, tampak di mana-mana. Ada yang mati hangus terbakar, ada pula yang tertusuk golok ataupun tombak.

Di tengah-tengah puing-puing tersebut terdapat sekumpulan anak-anak yang berwajah pucat dan muka habis menangis. Pakaian mereka kotor dinodai tanah dan percikan-percikan darah. Mereka adalah anak-anak dari murid-murid Perguruan Kapak Ganda yang masih hidup karena berlindung pada satu ruang bawah tanah di salah satu rumah. Secara kebetulah tempat tersebut ditemukan oleh seorang murid Perguruan Atas Angin.

“Hmm, cikal bakal masalah,” kata Ki Jagad Hitam, “bunuh saja semuanya!”

“Ki Jagad Hitam,” usul seorang dari Lingkaran Dalam, “terlalu enak apabila dibunuh. Mengapa tidak kita buat mereka menjadi gembel saja dan disuruh mengemis. Pada akhirnya mereka pun akan mati juga, bukan?”

“Boleh juga usulmu itu, Tapak Kelam,” ujar Ki Jagad Hitam. “Sesukamulah,” lanjutnya yang artinya telah memberi ijin untuk melaksanakan niatan itu.

Setelah mendapat persetujuan dari Ki Jagad Hitam, dengan dibantu oleh beberapa murid Perguruan Atas Angin, Tapak Kelam pun memerintahkan anak-anak yang malang itu untuk mengganti pakaiannya dengan rombengan yang disediakan. Mengotorkan mukanya dan menyuruh mereka untuk berguling-guling di atas debu dan kotoran hewan. Setelah puas menyiksa mereka, Tapak Kelam pun masih menghadiahi mereka masing-masing satu totokan di punggung. Seperti halnya Ki Jagad Hitam, Tapak Kelam pun kuatir apabila anak-anak itu besar nanti akan menuntut balas, oleh karena itu ia menutup jalan darah penting dari tubuh mereka. Dengan demikian sehebat apapun mereka belajar, tidak akan bisa mereka mencapai tingkatan ahli dalam bela diri. Benar-benar suatu siasat yang keji dan jahat. Lebih jahat ketimbang membunuh begitu saja anak-anak itu.


Tak tanah Rancana mendengar cerita yang dikisahkan oleh Lantang, tentang bagaimana orang tuanya, yang merupakan salah seorang murid rendahan Perguruan Kapak Ganda dibantai oleh orang-orang Perguruan Atas Angin. Selain itu anak-anak yang selamat masih pula disiksa, dipermalukan dan disuruh untuk mengemis. Mungkin masih lebih baik apabila mereka dibunuh saja.

“Jadi itu alasanmu, mengapa tidak ingin mempelajari ilmu silat,” tanya Rancana si Bayangan Menangis Tertawa, untuk meyakinkan.

“Benar, paman.”

“Tidak inginkah engkau membalas dendam kedua orang tuamu?”

“Keinginan ada, paman. Tapi apa dayaku. Lebih baik aku melupakan hal itu dan memulai kehidupanku sendiri.”

“Bukankah dengan demikian enkau malah membiarkan orang-orang yang jahat itu berkeliaran. Terlebih mereka telah menewaskan kedua orang tuamu dan juga kerabat-kerabatnya.”

Lantang pun terdiam. Pada masa itu memang sudah menjadi suatu kewajiban bahwa anak yang orang tuanya dibunuh, harus menuntut balas. Hal itu sebagai suatu bakti kepada mendiang orang tuanya. Lantang tahu hal itu, tapi balas dendam bukanlah hal yang disukainya. Ia sedari kecil tidak suka kekerasan. Bila teman-teman sepermainannya mengganggunya, ia hanya menjauh dan menghindar. Entah sikap ini timbul dari keminderannya akan pekerjaan ayahnya yang hanya murid rendahan dan juga pengurus kandang kuda, atau merupakan bawaan. Ayahnya pun sudah berulang kali menasehatinya untuk menghadapi orang-orang yang mengganggunya, akan tetapi ia tidak bisa. Ia memilih lebih baik menyendiri, jauh dari keramaian, dari pada harus berseteru dengan orang lain.

“Tapi paman, saya tidak suka kekerasan.”

“Begini saja, bagaimana jika kamu menjadi muridmu dan belajar silat, akan tetapi ilmu itu jangan digunakan. Anggap saja semacan cara untuk menjadi sehat. Sehat itu perlu dalam bekerja untuk menafkahi hidup, bukan?”

Akhirnya Lantang pun setuju. Ia pun mengangkat guru pada Rancana si Bayangan Menangis Tertawa, salah seorang ahli silat yang tidak banyak pada masa itu. Terutama dalam hal ilmu meringankan tubuh.


Iring-iringan kereta kuda berjalan berurut-urutan. Tujuh buah kereta yang masing-masing ditarik oleh dua buah kuda semuanya. Berjalan pelan-pelan seakan-akan waktu tak begitu penting artinya. Dua buah kereta yang di depan berisikan hanya barang-barang. Ada kotak-kotak, gulungan-gulungan kain, sayur mayur dan barang-barang lainnya. Tiga kereta yang di tengah berisikan orang-orang, hal ini dapat terlihat dari kepala-kepala yang tampak dari lobang-lobang jendela pada kain terpal yang menutupi kereta-kereta kuda tersebut. Sedangkan sisa kereta selebihnya berisikan batang-batang kayu seperti bahan dasar untuk membuat tombak.

Yang mengejutkan adalah pada tiap-tiap kereta ada simbol dua buah kapak bersilangan dalam suatu lingkaran. Lambang Perguruan Kapak Ganda. Apakah orang-orang ini juga anggota Perguruan Kapak Ganda, yang tidak tahu bahwa perguruannya telah ditumpas habis oleh Perguruan Atas Angin? Ya, mereka adalah sisa-sisa dari Perguruan Kapak Ganda, yang tidak tahu-menahu atas bencana yang telah menimpa perguruan mereka. Saat bencana itu terjadi mereka sedang pergi ke Tanah Seberang Pulau untuk mengundang beberapa tokoh sakti yang akan dijadikan pelatih di perguruan.

Sebenarnya tokoh-tokoh sakti dari Tanah Seberang Pulau itu bukanlah orang-orang lain dari sang guru, Naga Geni. Melainkah mereka itu adalah saudara-saudara angkatnya, saat ia mencari ilmu di Tanah Seberang Pulau. Adapun ketiga tokoh yang diundang itu adalah Mayat Pucat, Sabit Kematian dan Cermin Maut. Dua tokoh pertama adalah laki-laki setengah tua seperti halnya Naga Geni, sedangkan yang terakhir adalah seorang perempuan setengah baya yang masih terlihat cantik dengan dandanannya yang tebal. Mereka-mereka ini bisa saling mengangkat saudara karena kesamaan sifat yang tidak mematuhi norma-norma yang umumnya dipatuhi oleh seorang pendekar. Bisa dibilang mereka adalah anggota dari golongan sesat. Orang-orang berilmu akan tetapi memanfaatkan ilmunya semena-mena kepada sesamanya.

Jika Naga Geni memiliki Kapak Pengantar Nyawa, yang merupakan ilmu silat bersenjata kedua kapaknya yang memenuhi ruang gerak lawan – menyapu ke segala arah, maka ketiga orang ini memilki masing-masing keahlian atau ilmu yang canggih pula digunakan dalam bertempur. Mayat Pucat, sesuai dengan julukannya memiliki ilmu yang bersifat dingin. Ilmu yang diperolehnya setelah bertahun-tahun bertapa bersama mayat-mayat di kuburan. Dengan cara ini ia dapat menyerap sisa-sisa energi dari mayat-mayat saat terurai dalam tanah. Semakin segar mayat yang akan digunakan, semakin baik. Bahkan tidak jarang, ia menculik orang dan membunuhnya untuk digunakan sebagai alat latihan. Selain itu orang-orang yang matinya penasaran, ketakutan, marah dan tidak rela, memberikan tenaga yang lebih baik bagi Mayat Pucat, ketimbang orang yang meninggal dengan baik-baik. Oleh karena itu Mayat Pucat tidak suka mengganggu kuburan para pendeta atau orang-orang suci, karena percuma. Energi yang tersisa dari mayat-mayat mereka tidak dapat dimanfaatkannya. Senjata andalannya adalah kepalan tangan dan juga kuku kaki dan tangannya yang sudah kuning menghitam. Mengandung racun keji dan ganas.

Lain pula halnya dengan Sabit Kematian. Wujudnya yang selalu berjubah dan bertudung kepala itu, mirip dengan malaikat pencabut nyawa pada hikayat-hikayat di suatu tanah jauh. Senjata andalannya adalah semacam sabit besar yang dikaitkan pada tongkat setinggi kepala. Dengan sejata ini Sabit Kematian merupakan ahli tempur jarak menengah. Dengan loncatan-loncatannya ia bisa menghabisi musuh yang menyerangnya sampai jarak dua tiga tombak.

Tokoh terakhir adalah Cermin Maut. Apabila dilihat dari wujudnya, maka tiadalah orang yang akan berprasangka bahwa wanita yang terlihat halus ini merupakan salah satu dedengkot kaum sesat. Dengan ilmunya yang dikenal sebagai Tarian Penjemput Nyawa, Cermin Maut dapat mempesona musuh yang tidak kuat batinnya untuk kemudian membunuhnya. Sudah banyak jago-jago muda, terutama yang tampan, yang menjadi korban Tarian Penjemput Nyawa-nya. Biasanya mereka itu telah terjebak pada pesonanya sebelum dibunuh.

Mendengar bahwa saudara angkat mereka Naga Geni telah menjadi ketua suatu perguruan dan hidup makmur, tergiur pula ketiga orang ini untuk mengunjunginya. Terlebih setelah datang utusan yang mengundang mereka untuk menjadi guru di Perguruan Kapak Ganda tersebut. Oleh karena itu bergegaslah mereka berangkat sambil tak lupa untuk membawa barang-barang yang dapat digunakan sebagai senjata untuk membantu tugas mereka sebagai guru nanti.

Tak terlukiskan bagaimana marah dan sedihnya ketiga orang itu saat tiba di pintu Perguruan Kapak Ganda yang tiada lagi berwujud. Hanya puing dan reruntuhan yang ada. Sesekali masih ada asap dari kayu-kayu yang belum habis terbakar. Tiada sisa satu orang pun yang dapat memberi tahu apa yang terjadi. Sayangnya mereka tidak tahu bahwa ada anak-anak yang tidak dibunuh, akan tetapi sudah disebar kemana-mana. Mereka-mereka inilah yang masih dapat menceritakan apa yang terjadi.

“Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang,” tanya seorang dari mereka.

“Bagaimana kalau kita bangun lagi saja perguruan ini,” usul seorang, “toh saudara Naga Geni memang mengundang kita untuk menjadi guru di sini. Tak ada salahnya bila kita meneruskan pekerjaannya. Sambil kita menyusun kekuatan dan mencari tahu siapa dalang di belakang peristiwa ini semua.”

Kedua temannya mengangguk-angguk setuju. Pun tidak ada gunanya apabila mereka kembali ke Tanah Seberang Pulau setelah jauh-jauh ke Paparan Karang Utara. Harus ada yang dikerjakan dan membangun kembali Perguruan Tapak Ganda merupakan suatu hal yang masuk akal untuk diusahakan.

Sebagai orang yang paling supel diantara mereka bertiga Cermin Maut pun mengambil alih tampuk pimpinan dan kedua orang itu pun setuju-setuju saja. Karena bagi mereka pimpinan bukanlah sesuatu yang diimpikan, melainkan ketinggilan ilmu silat baru merupakan kebanggaan.

Dengan bantuan rombongan dari orang-orang Perguruan Kapak Ganda yang masih tersisa ketiga saudara angkat golongan sesat itu pun mulai membangun kembali Perguruan Kapak Ganda. Mereka mencari murid-murid yang dianggap baik dan dapat dididik sebagai murid yang handal. Kadang proses pencarian murid dilakukan melalui bujukan bahkan paksaan. Dengan cara itu Perguruan Kapak Ganda dalam waktu singkat kembali memiliki jumlah murid yang banyak.


“Dua ratus tiga puluh tujuh..!”

“Dua ratus tiga puluh delapan..!”

Begitulah suara-suara yang sayup-sayup terdengar dari suatu arah mata angin di dalam Rimba Hijau, di kaki Gunung Hijau. Pagi masih malas menggeliat untuk pergi dari peraduannya, walaupun foton-foton sang surya telah membombardirnya. Tak malu sang pagi pada muda-mudi yang telah bangun dan berkeringat sejak tadi.

“Tiga ratus delapan belas..!”

“Tiga ratus sembilan belas..!”

Dengan semakin dekatnya sumber suara itu, terdengar semakin jelas bahwa suara-suara tersebut tidak berasal dari satu orang, melainkan berganti-ganti. Ada belasan lebih orang-orang muda yang sedang berjalan dengan cara yang tidak biasa. Dan pada setiap langkahnya mereka meneriakkan jumlah langkah yang telah dilampaui.

Bila mula-mula mereka menghadap ke utara dan kaki kanan berada di belakang, maka kaki yang berada di belakang tersebut menghadap ke arah timur laut, sedangkan kaki yang di depan persis menghadap utara, dengan titik tengah kedua telapak kaki berada segaris menghadap ke utara.

Apabila melangkah ke depan, berat badan perlahan dipindahkan ke kaki kiri dengan memutar perlahan tumit, sehingga telapak kaki kiri menghadap ke barat laut. Dengan bersamaan kaki kanan diayunkan ke depan dan diletakkan persih menghadap utara, dengan jarak kira-kira selebar bahu. Hal yang sama pun dilakukan apabila melangkah ke belakang dengan urut-urutan yang berbalikan.

Cara melangkah ini dinamakan Melangkah Maju Mundur Kaki Membentuk Sudut oleh Ki Tapa saat ia mengajarkan bentuk gerakan ini kepada dua puluh empat murid-muridnya.

“Kuda-kuda adalah bagian penting dari ilmu silat. Tanpa kuda-kuda tidak ada ilmu silat,” jelas Ki Tapa. “Dengan adanya kuda-kuda, tenaga pinjaman dari bumi dapat dipindahkan. Bisa dibelokkan, dialirkan, ditahan atau digentak-balikkan. Tergantung apa yang hendak diperoleh.”

Lanjutnya, “bila tenaga kita kuat dan lawan kurang kuat, dan kita tahu atau menduga bahwa lawan tidak akan mengelak, bisa kita balikkan tenaga lawan secara langsung. Ini dikenal sebagai keras lawan keras. Yang kuat akan menang. Kalian bisa berikan seluruh tenaga kalian untuk satu serangan ini, jika yakin masuk dan menang. Akan tetapi hati-hati, jika lawan bisa mengelak atau membelokkan. Karena saat serangan atau tenaga kita lewat, dan kita kehilangan kendali, saat itulah serangan akan masuk. Kita merugi, tenaga sudah habis diberikan, sehingga sulit untuk menariknya untuk digunakan sebagai tenaga bertahan.”

Begitulah sekelumit keterangan yang diberikan oleh Ki Tapa pada suatu hari saat mengajari murid-muridnya mengenai teori-teori gerakan bela diri. Dengan manggut-manggut terlihat seperti mengerti para muda itu mengiyakan apa yang diminta oleh Ki Tapa, yaitu melakukan sepuluh kali latihan Melangkah Maju Mundur Kaki Membentuk Sudut, dengan setiap kalinya terdiri dari dua arah, maju dan mundur yang harus dilakukan sebanyak 1000 langkah. Untuk itu mereka dibagi dalam tiga kelompok, masing-masing delapan orang, yang melakukannya dengan beriringan. Dalam masing-masing kelompok diangkat satu pemimpin, yang dirasa Ki Tapa paling banyak mengerti gerakan yang baru diajarkan.

Bakat murid-muridnya memang berbeda-beda, dan Ki Tapa dapat melihat dari cara mereka mendengarkan dan kemudian melatihnya. Ada yang dapat dengan mudah menerima contoh dan teori yang diberikan, akan tetapi sulit untuk melakukannya, karena mereka bisa dengan mudah melihat, akan tetapi tidak melakukannya. Mereka bisa mengoreksi gerakan-gerakan teman-temannya, dibandingkan dengan ingatan mereka akan gerakan Ki Tapa. Akan tetapi saat diminta untuk melakukannya, mereka kurang lancar.

Ada pula yang sulit untuk mengingat-ingat, dan bahkan tidak mau. Mereka yang termasuk dalam golongan ini, biasanya minta langsung untuk menirukan. Ingatan mereka akan terekam dengan sendirinya dalam gerakan. Tanpa perlu mengingat-ingat dan membayangkan.

Dengan arif Ki Tapa berusaha memadukan kedua jenis perangai ini dan juga yang berada di antaranya, agar mereka saling membantu, melengkapi dan mengingatkan. Melalui cara ini murid-muridnya dapat dengan mudah mencerna apa yang ia ajarkan. Dengan bersama-sama mereka saling membantu proses pembelajaran.

“Wah Rintah, keliru itu langkahmu,” kata Misbaya, “kaki yang belakang jangan segaris dengan kaki yang depan. Harus agak serong..!”

“Betul Rintah”, sahut Rantih, adiknya.

Begitulah mereka saling mengingatkan dan membantu. Dan yang dibantu pun dengan senang hati menerima petunjuk yang diberikan. Karena mereka sama-sama baru mulai mempelajari bela diri dan juga cara Ki Tapa yang tidak membeda-bedakan mereka, tumbuhlah semacam rasa kekeluargaan diantara mereka. Sehingga latihan merupakan waktu yang menyenangkan dan ditunggu-tunggu oleh para kawula muda itu setiap hari.

“Habis sudah napasku,” ucap Paras Tampan terengah-engah. Walaupun demikian ia dan Asap termasuk sebagian kecil yang sudah menyelesaikan sepuluh kali 1000 langkah maju mundur pada pagi itu. Dan seperti petunjuk yang sebelumnya diberikan oleh Ki Tapa, mereka jangan menekuk kakinya, melainkan melonjorkannya sambil duduk dan mengetar-getarkannya untuk pelemasan.

Sambil menunggu teman-temannya menyelesaikan kurang dari lima puluh langkah lagi, Asap, Paras Tampan dan Gentong memijit-mijit kaki mereka dan memborehkan semacam daun-daunan yang telah dibusukkan dan diberi ramuan. Dengan tujuan agar otot-otot yang telah dipaksa untuk melangkah dapat terobati.

“Ramuan ini tidak akan menghilangkan rasa pegal pada kaki kalian,” begitu jelas Ki Tapa, “akan tetapi akan membantu peredaran darah untuk secepatnya mengganti bagian-bagian yang lelah dengan yang masih segar. Dengan cara ini tubuh kalian akan terlatih untuk cepat segar kembali.”

Benar, setelah beberapa saat mereka merasa telah memiliki tenaga kembali untuk melangkah, walaupun rasa lelah dan pegal masih menghinggapi kedua kaki mereka.

Tak lama kemudian, kurang lebih sepeminum teh hijau, selesailah semua kawula muda yang masih berlatih gerakan Melangkah Maju Mundur Kaki Membentuk Sudut tersebut. Dan mereka pun bergabung dengan rekan-rekannya yang telah lebih dulu selesai, untuk melemaskan otot-otot kakinya dan juga memborehkan ramuan daun-daun seperti dipesankan oleh Ki Tapa. Kawan-kawan yang telah selesai lebih dahulu dan telah segar kembali membantu kawan-kawan yang baru saja beristirahat. Sambil sesekali juga bercanda ria.

Di kejauhan Ki Tapa tersenyum melihat minggu pertama latihan para kawula muda itu. Ia senang bahwa para muda itu dapat saling bekerja sama dan membantu. Walaupun demikian ia melihat bahwa di antara mereka terdapat bibit-bibit yang kurang baik dalam perangai. Ia sendiri belum tahu mengapa ia merasakah hal itu. Tapi untuk sementara ia hanya akan menyimpan hal itu di belakang kepalanya saja. Hanya sebagai catatan.


Waktu makan siang pun datang. Kedua puluh empat orang muda itu pun makan bersama-sama dengan Ki Tapa. Di tengah padang rumput, lapangan lain yang berada di tengah Rimba Hijau. Saat ini para kawula muda baru mengetaui terdapat dua buah lapangan terbuka di tengah-tengah Rimba Hijau. Yang pertama adalah lapangan di sekitar pondok di mana mereka bermalam dan yang kedua adalah lapangan tempat mereka berlatih 1000 langkah ini. Ukurang lapangan yang pertama tidak mencukupi untuk melatih 1000 langkah, ungkap Ki Tapa, oleh karena itu mereka pun beranjak ke lapangan ini untuk mencari tempat yang cukup. Dan karena setelah makan dan sedikit waktu beristirahat mereka akan kembali melakukan latihan di tempat yang sama, makanan pun dihadirkan di sana.

Makan siang yang sederhana. Nasi dan ikan bakar. Sayur-sayuran sebagai lalap dan sambal. Makanan yang ditemani dengan udara segar dan keluarnya keringat akibat bekerja fisik akan menjadi bertambah lezat. Hal itu yang sering tidak disadari bahwa kelezatan itu bukan perkara rasa dan campuran bumbu saja, akan tetapi terkait pula dengan kebutuhan tubuh akan asupan energi dari luar. Apabila tubuh butuh tambahan tenaga, makanan sederhana pun akan menjadi lezat. Sedangkan makanan lezat pun akan menjadi hambar, apabila perut telah kenyang atau banyak hal yang dipikirkan.

Sebenarnya perihal bagaimana makanan-makanan yang disantap mereka dapat hadir, telah menjadi pertanyaan tersendiri di benak masing-masing kawula muda itu. Mereka pernah juga membicarakannya. Walaupun mereka tahu Ki Tapa memiliki ilmu, akan tetapi untuk menyiapkan makanan untuk dua puluh lima orang dan tiga kali sehari itu, bukanlah perkara mudah. Apalagi Ki Tapa masih kadang-kadang mengawasi mereka latihan.

Memang pada saat kedatangan mereka pertama kali ke pondok Ki Tapa, mereka melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa memang Ki Tapa sendirilah yang memasak. Akan tetapi saat itu hanyalah semacam sup dalam periuk besar. Sedangkan hari-hari selanjutnya, kadang terdapat sayuran, ikan, kelinci dan jenis-jenis makanan lain yang akan menyita waktu untuk mempersiapkannya.

Pernah sekali waktu Rantih dan Gentong secara tak sengaja melihat sesosok bayangan yang bergerak amat cepat di belakang rumah Ki Tapa. Sedemikian cepat sehingga mereka tidak bisa mengenali apakah itu manusia atau bukan. Dan yang aneh tercium bau wewangian bunga pada saat itu.

Saat hal tersebut diutarakan oleh Misbaya ke hadapan Ki Tapa saat mereka semua sedang bersantap malam, Ki Tapa hanya tersenyum. Lalu jawabnya, “banyak hal-hal yang belum kalian tahu mengenai kehidupan di Rimba Hijau, apalagi di Gunung Hijau ini. Untuk sementara waktu, simpanlah dulu pertanyaan itu. Pada saatnya semua akan jelas dengan sendirinya. Dengan semakin berisinya kalian, akan semakin jelas apa yang tampak.”

Perkataan itu mengisyaratkan bahwa mereka tidak boleh lebih jauh bertanya-tanya atau mencari tahu mengenai hal-hal yang bagi mereka masih merupakan tanda tanya. Dengan patuh kawula muda itu tidak bertanya-tanya lagi, melainkah dengan tekun berlatih dan berlatih. Hal ini sudah tentu melegakan dan menggembirakan hati Ki Tapa.

Dalam acara makan bersama seperti itu, seperti halnya dalam latihan, tumbuh pula rasa kebersamaan dalam membagi makanan. Bagi yang memiliki lambung yang besar dan panjang mendapat donor dari yang kurang kebutuhan makannya. Dengan cara itu tidak ada makanan yang tersisa atau dibuang. Selalu tandas dan bersih. Sudah tentu hal ini akan menggembirakan orang yang memasaknya, siapapun dia.

“Gentong, ini bagianku,” kata Kirani, salah seorang kawula muda putri, kepada Gentong sambil mengangsurkan sebagaian makanannya. Ia, Kirani, umumnya hanya makan setengah porsi, sedangkan Gentong butuh satu sampai dua porsi. Kekurangan setengahnya, biasanya diberikan dari beberapa orang kawan-kawan lainnya, satu orang sepersepuluh. Lima orang telah menggenapi setengah yang kurang dari kebutuhannya.

Ki Tapa juga melatih para kawula muda untuk tidak makan terlalu kenyang. Asal cukup untuk menghasilkan tenaga. Apabila kita berlatih teratur dan mawas diri, kita akan tahu batas lapar dan kenyang kita. Begitu pesannya. Tapi untuk Gentong hal ini tidak dapat dicegah, karena memang ia memiliki postur yang lebih besar dan juga tenaga yang dikeluarkannya saat latihan, lebih dari yang lain. Ini juga dikarenakan bobotnya yang memang lebih dari rata-rata kebanyakan kawula muda yang lain. Ki Tapa pun memaklumi hal ini, sehingga ia tidak mencegah terjadinya sumbangan saling silang di antara mereka saat makan.

“Baiklah, makan telah usai dan juga waktu istirahat,” kata Ki Tapa, “tolong bereskan sisa-sisa daun dan mangkoknya. Kembalikan ke dalam keranjang di sana. Dan kalian kembali duduk dalam posisi Tiga Buah Delapan Mata Angin. Seperti pada saat kalian pertama kali tiba ke sini. Lakukan sampai seribu tarikan nafas.”

Para kawula muda itu pun mengangguk dan mereka mengambil tempat untuk mulai melakukan mengheninkan cipta, sambil menunggu beberapa kawan yang membereskan sisa-sisa makan siang.

Setelah semua siap, mulailah mereka kembali membangun tiga lingkaran yang masing-masing bergaris tengah dua puluh langkah. Setiap orang menghadap pada masing-masing mata angin utama dan antara. Kemudian tanpa diperintah, seakan-akan telah biasa, mereka turun dan bersila hampir dalam saat yang bersamaan. Dan mulai mendengarkan alam sekitar dan juga diri mereka sendiri.

Keheningan alam pun menyelimuti ketiga lingkaran manusia itu. Angin semilir. Serbuk-serbuk bunga. Semut-semut yang berjalan. Dan juga kupu-kupu yang beterbagangan lirih dalam aliran udara yang gemulai.

“Kita tidak boleh mengintip anak-anak itu berlatih, Coreng!” sahut sesosok bayangan setinggi kambing dari sebuah semak-semak di ujung timur laut lapangan itu.

“Sekali-kali bolehlah, Moreng!” bantah bayangan lain yang berada di sebelahnya.

“Bagaiman kalau Ki Tapa tahu nanti?” tanya temannya balik.

“Kita diminta untuk tidak menampakkan diri dan mengganggu, tapi tidak untuk tidak melihat, ya ‘kan?” jawab temannya kukuh.

Lamat-lamat terdengarn suara bagai angin semilir. Kecil, halus, tapi jelas. Sontak mengagetkan kedua insan itu.

“Moreng.., Coreng.., ada perlu apa kalian di sini?” yang ternyata merupakan suara Ki Tapa. Tidak terlihat wujudnya, tapi terdengar suaranya.

Kedua makhluk yang ternyata mirip manusia, akan tetapi dengan tinggi tidak sampai sepinggang orang dewasa itu, langsung dengan ringannya melesat hilang dari tempat itu. Sebuah gerakan yang hanya dimiliki oleh ahli-ahli bela diri papan atas. Dengan hanya beberapa gerakan mereka telah sampai pada suatu pondok yang terbuat dari batu yang disusun-susun. Masing-masing satuan batu berukuran sebesar kerbau paling kecil. Dan paling besar berukuran sebesar gajah. Entah siapa yang bisa membuat rumah yang menakjubkan seperti itu.

Sesampainya di depan Pondok Batu, kedua orang kate tersebut langsung berlutut di depan Ki Tapa yang telah berdiri di depan mereka. Wajahnya masih terlihat ramah, akan tetapi tanpa senyum.

“Berikan penjelasan, Coreng.., Moreng..!” katanya tegas.

“Maaf Ki Tapa, kami hanya ingin melihat mereka berlatih,” jawab Coreng.

“Iya, Ki Tapa, maafkan kami,” sahut Moreng, tak tega melihat sahabatnya merasa bersalah.

Ki Tapa pun menghela nafas, lalu lanjutnya, “Baiklah, tak apa-apan.” Tapi tanyanya kemudian, “tapi kalian tahu ‘kan alasan mengapa aku tidak memperbolehkan mereka untuk bertemu dengan kalian?”

Kedua orang Manusia Tiga Kaki itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Tidakkah, Kakak Hitam-Putih memberitahu sesuatu pada kalian, berkaitan dengan hubungan dengan manusia?”

“Hanya bahwa kami, Manusia Tiga Kaki, sedapat mungkin tidak menampakkan diri kepada manusia,” jawab Coreng.

“Iya, Ki,” tambah Moreng.

Ki Tapa pun berpikir sejenak. Ia tidak tahu apakah ia harus menjelaskan hal ini kepada mereka atau tidak. Tapi akhirnya ia memutuskan untuk lebih baik memberitahukannya. Dengan mengetahuinya, maka orang dapat dengan bijaksana mengantisipasinya.

“Begini,” terang Ki Tapa, “bahwa kalian itu bangsa Manusia Tiga Kaki memiliki tenaga alami yang berbeda dengan manusia. Tenaga kalian yang secara alami digunakan untuk hidup itu, dapat berbahaya bagi manusia.”

“Akan tetapi Ki Tapa sendiri…?” tanya Coreng bingung.

“Benar, aku tidak apa-apa. Itu karena aku telah memiliki cukup tenaga dasar sehingga tidak terpengaruh oleh tenaga alami kalian. Apabila dikatakan tidak terpengaruh, sebenarnya juga tidak seluruhnya benar,” jelas Ki Tapa, “jika aku tidak berlatih dan selalu bersama dengan seorang Manusia Tiga Kaki, maka tenagaku akan habis dan mati. Terserap. Dalam kurang dari waktu selang satu purnama.”

“Ihh..” jawab seorang di antara mereka. Terkejut mengenai akibat yang dapat dialami oleh manusia saat bersua terlalu lama dengan seorang Manusia Tiga Kaki.

“Mengapa hal itu terjadi, aku tidak bisa menjelaskan. Mungkin sudah hukum alam,” jawab Ki Tapa. “Oleh karena itu aku tegaskan lagi, bahwa sebelum para kawula muda mencapai tahap tertentu, jangan tampakkan wujud kalian. Bila mereka telah cukup kuat, kalian akan tampak dengan sendirinya bagi mereka. Dan di saat itu, bolehlah kalian berkenalan.”

Kedua Manusia Tiga Kaki itu pun mengangguk mengiyakan. Setelah mereka mengerti apa bahaya yang akan dialami oleh manusia yang belum memiliki cukup tenaga saat bertemu mereka, dapatlah mereka menerima larangan itu dengan lapang dada. Sebelumnya, ingin sekali mereka berinteraksi dengan manusia yang katanya memiliki banyak kelebihan dari bangsa mereka.

Apakah sebenarnya Manusia Tiga Kaki itu? Dahulu kala, saat Rimba dan Gunung Hijau belum terlarang, dan belum terdapat Hamparan Hijau sebanyak sekarang, telah berdiam seorang sakti dari Negeri Kering Kerontang di salah satu daratan luas di selatan. Di mana orang-orang yang tinggal di sana umumnya berkulit gelap dan berambut pendek. Orang sakti tersebut dikenal sebagai Mawon Sanmdi (Baron Samedi), yang mengambil nama dari salah satu Lua (Loa) dari Uduu (Voodoo). Dalam Uduu dipercaya bahwa Lua yang bernama Mawon Sanmdi ini bertugas sebagai penjaga perbatasan antara dunia manusia dan dunia orang mati. Dan juga dikenal sebagai Yang Dapat Membangkitkan. Mawon Sanmdi, yang dulunya bernama Cipta Raga, bukanlah seorang penganut Uduu sebenarnya, melainkan hanya kenal dengan seorang pendeta Uduu. Lalu dengan cerdiknya ia pura-pura ingin belajar pada sang guru untuk kemudian mencuri kitab-kitab pusakanya. Dengan terinsiprasi oleh kitab-kitab kuna tersebut, Mawon Sanmdi melakukan berbagai macam percobaan menggunakan manusia sebagai sarananya.

Salah satu percobaannya adalah dengan mengawin-kawinkah manusia yang dapat ditangkapnya, dengan kesaktiannya yang tinggi, dan dipaksa untuk berkembang biak dengan pasangan yang dipilihnya. Kalimat-kalimat yang tersirat dalam kitab curian yang harusnya dipahami dengan hati yang bersih dan tenang, disalahtaksirkan secara semena-mena oleh Mawon Sanmdi sebagai sesuatu yang dapat dilakukan. Seakan-akan berperan sebagai Sang Pencipta sendiri, ia ingin menciptakan suatu jenis manusia yang belum ada sebelumnya.

Dengan melakukan variasi-variasi perubahan sifat manusia yang ditunjang oleh ramuan-ramuan, perkawinan-perkawinan dan pengamatannya, berhasilah Mawon Sanmdi menciptakan beberapa spesies baru yang lain sama sekali dengan manusia. Baik ukurannya, tenaganya, maupun sifatnya. Beberapa spesies bahkan saling kawin campur sendiri, sehingga tercipta banyak jenis makhluk yang Mawon Sanmdi sendiri tidak memperkirakan sebelumnya. Salah satunya adalah Manusia Tiga Kaki ini yang memiliki tenaga lebih besar dari manusia dan juga gerakan yang lebih cepat. Akan tetapi mereka ini berbahaya bagi manusia karena dapat menyerap energi kehidupan dari manusia. Dan hanya dari manusia.

Hitam-Putih, yang dipanggil kakak oleh Ki Tapa adalah pemimpin kelompok Manusia Tiga Kaki yang berdiam di Rimba Hijau. Sebutan kakak ini pun dikarenakan ia dan Ki Tapa pernah berhari-hari bertarung tanpa ada yang menang, hanya dengan berbekal ketahanan tubuh dan kemampuan alamiahnya saja, Hitam-Putih dapat menang, dan Ki Tapa terkuras tenaganya. Hasil dari pertaruangan mati-matian ini menumbuhkan rasa persahabatan antara keduanya. Sampai-sampai Ki Tapa pun dilayani oleh bangsa Manusia Tiga Kaki tak ubahnya sebagai keluarga dari Hitam-Putih, pemimpin mereka. Itulah sebabnya Ki Tapa dapat memperoleh bantuan Coreng dan Moreng dalam hal menyediakan makanan bagi murid-muridnya.

Dan tidak hanya itu, Coreng dan Moreng pun yang tahu bahwa Ki Tapa memiliki kepandaian tidak berselisih jauh dengan Hitam-Putih pemimpin mereka, meminta agar Ki Tapa mau mengajari mereka ilmu-ilmu yang dimilikinya. Dengan senang hati, dan sudah tentu atas persetujuan Hitam-Putih, Ki Tapa mengajarkan ilmu-ilmunya. Hanya sayangnya, berkaitan dengan struktur tubuh yang berbeda dan juga aliran darah yang sama sekali lain, tak banyak yang dapat diajarkan oleh Ki Tapa. Selain itu secara alamiah bangsa Manusia Tiga Kaki ini pun telah memiliki tenaga dasar dan kecepatan yang melebihi manusia pada umumnya. Ki Tapa akhirnya hanya dapat mengajarkan mereka cara mengendalikan tenaga mereka dan bagaimana mereka dapat memperhalus gerakan mereka, sehingga tidak terlalu memboroskan tenaga.


“Cukup, waktu mengheningkan cipta usai..” ucap Ki Tapa perlahan tapi jelas terdengar oleh kedua puluh empat kawula muda tersebut. Sebagai reaksinya, beranjaklah mereka masing-masing dari posisi duduknya. Beberapa tampak tersungkur dan meringis, karena kaki mereka yang kesemutan. Tertekuk hampir dua tiga jam lamanya. Sementara beberapa tampak tenang-tenang saja. Di antara yang tenang-tenang itu tampak Paras Tampan, Misbaya, Rintah dan Asap.

“Kalian minumlah ramuan yang kubawa ini,” angsur Ki Tapa kepada Gentong yang berada di dekatnya. Dengan sigap Gentong menerima periuk besar yang diangsurkan, dan ia hampir tidak dapat menahan berat periuk tersebut, apabila tidak cepat dibantu oleh Bayan yang kebetulan berada di dekatnya. Periuk besi yang penuh berisi ramuan, tampak ringan di tangan Ki Tapa tersebut, ternyata memiliki bobot hampir setengah kerbau bunting.

“Periuk ini tidak sembarang orang bisa menikmati isinya,” kekeh Ki Tapa saat melihat murid-muridnya mencoba untuk mengangkatnya. Banyak dari mereka yang masih menyangka kalau Gentong hanya tidak sigap untuk menerima periuk itu dan bukan karena beratnya. Setelah beberapa mencoba, yakinlah mereka bahwa periuk tersebut memang benar-benar berat adanya.

“Dengan menggunakan campuran logam-logam tertentu yang berat dan keras, periuk ini dibuat,” lanjut Ki Tapa, “akibatnya saat ramuan direbus di dalamnya, khasiat dari logam-logam istimewa tersebut akan larut dan memberikan manfaat kepada yang meminumnya. Akan tetapi hati-hati, ramuan yang tidak cocok, akan menghasilkan racun pada larutannya.”

Mendengar bahwa periuk, yang kemudian diketahui bernama Periuk Kerbau, dapat menghasilkan ramuan yang bermanfaat dan juga ramuan beracun, tak terasa bergidik hati anak-anak muda tersebut. Pikir mereka, bagaimana jika yang mereka minum saat ini adalah racun.

Seakan-akan tahu apa yang mereka pikirkan, berkatalah Ki Tapa, “Jangan kuatir, selagi aku sendiri yang membuat ramuan, yakinlah kalian bahwa ramuan tersebut cocok untuk periuk ini. Akan tetapi peringatan ini hanya bagi yang ingin coba-coba untuk menggunakannya.”

Mengangguk-angguk beberapa anak muda di hadapatn Ki Tapa. Beberapa dari mereka tampak kecut, karena ada yang memang pernah tersirat dalam pikirannya untuk meminjam periuk itu, begitu melihatnya, untuk memasak sejenis masakan. Tak jadilah setelah mendengar cerita Ki Tapa ini.

Selang tak berapa lama, setelah dirasakan ramuan sudah seharusnya bekerja, Ki Tapa pun berkata. “perhatikan gerakan berikut ini!” Sambil lalu ia memperagakan suatu gerakan tertentu dengan kaki agak ditekuk dan melangkah ke depan. Berulang-ulang diperagakannya.

“Ini disebut Langkah Ayam,” jelas Ki Tapa, “jangan pandang remeh gerakan sederhana ini. Ada kisah menarik mengenai gerakan ini yang telah melegenda.”

Terdapat beberapa macam cerita mengenai Li Jeng (Li Zheng) dari Negara Tengah (Tiongkok), yang salah satu diantaranya menceritakan bagaimana ia melatih Langkah Ayam (Ji Xing Bu) ini, saat ia mengawal barang-barang hantaran. Pertama ia mengejar kereta-keretanya, sampai menghampiri, dan kemudian ia melangkah ke arah yang berlawanan sampai suatu saat dan kembali mengejar lagi. Dengan cara ini, kaki-kakinya menjadi kuat, lentur gerakannya akan tetapi mantap. Dalam akhir hidupnya dikabarkan bahwa ilmu Li Jeng sedemikian tingginya, sehingga ia dapat mendorong orang yang menantangnya terlempar jauh dengan tetap memegang semangkuk air pada tangan yang lain. Dengan tanpa ada setetes air pun yang tumpah.

Mendengar cerita yang mengagumkan tentang Li Jeng dari Ki Tapa itu, membuat anak-anak bertambah semangat untuk berlatih, bahkan perintah untuk mengulangi Langkah Ayam sebanyak sepuluh kali seribu itu pun tidak menyurutkan semangat mereka. Mereka ingin berlatih dan berlatih. Agar seperti Li Jeng, mungkin pikir mereka.

Melihat semangatnya murid-muridnya melakukan Langkah Ayam, Ki Tapa pun tersenyum. Sesaat setelah semua murid-muridnya berada pada ujung lain lapangan dari tempat ia berada, dengan lirih ia berkata, “Coreng.., Moreng.., tolong Periuk Kerbaunya..!”

Terdengar jawaban lirih pula, “baik, Ki..!” Dan secara tiba-tiba Periuk Kerbau pun menghilang seperti ditelan udara. Dibawa pergi oleh kedua Manusia Tiga Kaki tersebut.


Pada jarak ribuan kerbau dewasa dari sana, tampak seorang kakek sedang menggaruk-garuk kepalanya bingung. Ia baru saja memeriksa badan muridnya, dan menemukan bahwa muridnya ini memiliki jalan darah yang aneh. Jalan darah yang tidak bisa dilatih untuk mengalirkan tenaga dalam. Sudah berulang kali ia mencoba, menotok sana dan sini untuk melancarkan jalan darah yang diduganya tersumbat. Akan tetapi percuma. Aliran hawa tak bisa mengalir dengan lancar. Energi memang dapat dihimpun tapi tetap berada di pusar dan berputar-putar saja di sana. Tidak bisa dialirkan. Tidak bisa digunakan. Tak dapat ditahannya rasa kecewa yang tampak pada wajah. Sedih hatinya melihat muridnya, yang dia tahu memiliki tulang dan daging cocok untuk menuruni ilmu-ilmunya. Akan tetapi entah karena apa, jalan darahnya tidak lancar.

Kedua orang guru dan murid itu adalah Rancana si Bayangan Menangis Tertawa dan Lantang. Setelah bersedia untuk berguru pada Rancana, Lantang pun dibawanya ke rumahnya yang terletak di sebuah pulau kecil di tengah danau. Kawasan yang sunyi dan sepi. Tidak banyak orang yang hidup di sana. Hanya beberapa orang nelayan dan pemburu serta petani hidup di sekitar danau itu. Di Pulau Tengah Danau itu sendiri hanya hidup sepasang suami istri tua dan anak tanggungnya. Ditambah Rancana dan Lantang, hanya lima orang yang hidup di sana.

“Guru..,” panggil Lantang perlahan. Ia dapat menyelami kesedihan hati Rancana, gurunya, saat mengetahui bahwa tubuhnya, yang dikatakan gurunya sebelumnya memiliki struktur tulang dan jalan darah seorang pesilat, tidak dapat mengalirkan hawa yang telah dipusatkan di bawah pusar. “Janganlah terlalu bersedih. Walaupun saya tidak bisa mengalirkan hawa, saya tetap akan belajar ilmu silat pada guru.”

Mendengar usaha muridnya yang hendak menghibur dirinya, menghela napas panjanglah Rancana. Lantang ini memang benar-benar anak yang baik pikirnya. Pun sudah tidak mungkin menjadi seorang ahli silat tinggi, masih mau dia belajar silat hanya sekedar untuk menyenangkan hatinya. Bila saja Lantang itu benar-benar anaknya sendiri.

“Lantang, tahukah kau apa artinya ini? Tanpa bisa mengalirkan hawa, ilmu silat yang engkau pelajari, hanyalah kembangan jurus-jurus belaka. Tidak ada tenaga dalam yang mendasari keampuhan suatu ilmu silat. Tidaklah bisa engkau mencapai tahapan yang tinggi tanpa bisa mengalirkan tenaga atau hawa ke seluruh tubuh,” ucap Rancana pada muridnya, masih dengan nada yang sedih.

“Saya tahu, guru!” dan kemudian jelasnya, “bahwa jalan darah saya tersumbat atau tidak dapat mengalirkan hawa itu mungkin sudah suratan bagi saya. Dan seperti guru ingat dulu, saya tidak suka kekerasan sehingga pernah menolak untuk berguru pada guru. Bukankah hal ini malah sesuai? Saya belajar silat tapi bukan untuk kekerasan. Toh, saya tidak akan menggunakannya.”

Geleng-geleng kepala Rancana mendengarkan uraian muridnya yang panjang-lebar tersebut. Dalam hatinya masih dirasakan penasaran mengenai keanehan tubuh Lantang. Ia berjanji untuk terus mencari tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Berdasarkan pengalamannya tidak ada yang salah pada tubuh anak ini. Bila ketidaklancaran atau ketidakmampuan mengalirkan hawa ini adalah buatan orang, sudah tentu ia bisa mengetahuinya. Akan tetapi hal ini tidak dilihatnya. Apa mungkin ada orang yang selihai itu, yang mempu mencelakakan jalan darah anak ini, tanpa anak ini menyadari dan juga dirinya yang memeriksanya. Untuk sementara Rancana menyimpan dulu pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam hatinya. Tak mau ia mengingatkan Lantang pada bencana yang dialaminya dan juga keluarganya.

“Baiklah kalau begitu, Lantang,” kata Rancana pada akhirnya. “Mulai hari ini kita latihan gerakan-gerakan dan mengheningkan cipta saja. Dengan itu walaupun engkau tidak dapat mengalirkan hawa, setidaknya akan tetap terkumpul hawa di bawah pusar. Aku harap suatu saat jalan darahmu dapat terbuka sehingga engkau dapat memanfaatkan hawa yang sudah kau himpun sampai saat itu tiba.”

“Baik, guru,” sahut Lantang patuh.

Terlihat Rancana berpikir sejenak. Lalu katanya, “ada satu seni bela diri yang kelihatannya cocok dengan keadaanmu, yang dikenal sebagai Jalan Selaras dengan Alam Semesta. Ilmu ini berasal dari Negeri Matahari Muncul jauh di sana, di balik lautan.”

“Wah, terdengar sangat menarik, guru!” tanggap Lantang.

“Pencipta ilmu ini, Guru Tua Morehe Uwesiba, dapat mengalahkan seorang lawan berpedang dan bahkan dengan menggunakan tangan kosong serta tidak melukai lawannya. Jadi dengan ilmu ini, bila engkau berlatih dengan baik, engkau akan dapat membela dirimu sendiri,” jelas Rancana. “Benar-benar merupakan ilmu pertahanan yang baik dan halus. Tidak akan mendatangkan banyak lawan.”

“Suka saya mendengarkannya, guru,” ucap Lantang, “tidak mengisyaratkan adanya kekerasan di dalamnya.”

Tersenyum Rancana mendengar ucapan muridnya. Lantang ternyata masih tidak bisa membuang pikiran bahwa ia belajar bela diri bukan untuk menimbulkan kekerasan. Melainkan hanya untuk membela diri. Benar-benar pribadi yang baik pikir Rancana.

“Cobalah engkau serang aku, Lantang!” perintah Rancana.

“Tapi.., guru..?” bantah Lantang.

“Ini hanya pura-pura.., bagaimana kamu nanti dapat membela diri kalau tidak tahu bagaimana orang menyerang,” jelas gurunya.

“Baik, guru!” jawabnya mengiyakan.

Lantang pun menyerang gurunya dengan pukulan lurus ke depan, kaki kanan di majukan serentak dengan tangan kanan dikepalkan dan diarahkan ke dada gurunya, Rancana. Hanya sayang posisi tersebut dilakukannya terlalu maju, sehingga berat badannya tidak lagi berada di antara kedua kakinya. Dan hal ini pun disadari oleh gurunya. Dengan cantik dan lemas, Rancana hanya menggeser salah satu kakinya, sambil memutar tubuhnya, membiarkan tangan itu lewat sekian jari di depan dadanya. Kemudian alih-alih menangkis serangan Lantang, ia malah menarik tangan lantang pada arah pukulannya. Dengan demikian semakin bertambah lajulah Lantang, maju tersuruk dan kehilangan keseimbangan. Pada saat yang tepat, ditangkapnya tangan kirinya yang masih berayun di belakang, sehingga Lantang batal terjatuh.

“Kamu mengerti salahmu?” tanya Rancana.

“Tidak, guru?” jawab Lantang muridnya jujur.

“Kamu menghabiskan semua tenagamu pada serangan itu,” jelas gurunya. “Serangan lurus ke depan, memang serangan paling sederhana dan rumit. Sederhana karena geraknya mudah, secara alami bisa setiap orang melakukannya, tanpa tipu-tipu. Rumit karena harus pada saat yang tepat. Bila tidak pada saat yang tepat, jenis serangan ini akan dapat dengan mudah ditebak, dielakkan dan dimusnahkan. Bahkan dipukul balik. Seperti yang barusan aku lakukan kepadamu.”

Lantang mengangguk-angguk, mencoba mengerti penjelasan yang diberikan oleh gurunya. Ia baru dapat menerima beberapa bagian, mengapa serangannya itu tidak berhasil. Bagian lain masih gelap baginya.

Melihat kebingungan muridnya, Rancana hanya tersenyum. Lalu diajaknya Lantang untuk melakukan gerakan yang sama, akan tetapi dengan lebih lambat. Dengan gerakan lambat tersebut dapat Lantang melihat bahwa ia tidak seharunya menyerang sehingga kedudukan kakinya tidak lagi stabil. Dengan hanya toelan kecil dari gurunya dari belakang, ia dapat tersungkur, apalagi ditarik seperti tadi.

Setelah mengerti, Lantang kemudian mencoba menyerang akan tetapi dengan masih menempatkan berat badannya sebelum lewat kaki depan, tidak melebihi. Dengan cara ini apabila gurunya membalas serangannya ia, masih memiliki kesempatan untuk menghindar dan mengubah kedudukan kakinya. Dan ia tidak lagi tersungkur. Akan tetapi dengan pemahaman yang baru ini, jangkauan serangannya tidak lagi sepanjang yang pertama.

“Guru, memang dengan cara ini, saya tidak lagi terguling, tapi bukankah pukulan saya pun tidak mengenai?” tanyanya bingung.

“Benar, Lantang,” jawab gurunya, “Kamu benar. Dengan demikian, engkau harus punya rasa, apakah pukulanmu sampai apa tidak. Bila tidak sampai. Jangan lepaskan. Mendekatlah, sampai kamu merasa bahwa tanganmu, dengan kedudukan yang stabil, dapat mengenaiku. Cobalah!”

Lantang pun mencoba. Memajukan kakinya, baru memukul. Belum sampai. Maju lagi. Belum sampai. Setelah tiga-empat telapak kaki, barulah pukulannya persis mengenai kulit dada gurunya.

“Bagus,” ucap Rancana, “pada jarak segini, baru pukulan lurus itu boleh dilepaskan.”

Lantang pun mengangguk-angguk.

“Cobalah!” ucap gurunya.

Lantang menarik kepalannya dan dalam posisi yang tidak berubah, dilepaskannya kepalannya ke arah dada gurunya. Gurunya tidak bereaksi. Akan tetapi pada saat hampir mengenai kulit dadanya, gurunya hanya beringsut sedikit mundur. Dan pukulan itu tidak lagi mengenai. Penasaran pada hal tersebut, alih-alih menarik kembali pukulannya dan terlebih dahulu memajukan kakinya, Lantang langsung mengejar gurunya dengan pukulannya. Kesalahan yang sama terjadi lagi. Ia kehilangan keseimbangan dan gurunya memanfaatkan hal itu dengan menariknya. Lantang pun kembali terjatuh. Kali ini Rancana membiarkannya. Ingin melihat apakah muridnya mengeluh saat terjatuh.

“Maaf, guru! Saya lupa lagi,” ucap Lantang sambil bangkit dari jatuhnya.

“Tidak apa-apa. Ada baiknya kita latihan dulu serangan lurus ke depan. Tirukan aku!” perintah gurunya.

Rancana pun menunjukkan gerakan serangan ke muka lurus dan bertenaga, akan tetapi dengan kedudukan yang masih stabil. Saat bergerak, kaki belakang melurus dan pinggang berputar. Ia ambil tenaga bumi untuk diteruskan. Bumi, telapak kaki, paha, pinggang, lengan dan meledak sampai ke kepalan. Pukulan Meriam.

Lantang mencoba menirukan. Akan tetapi gerakannya tidak saling menunjang, pinggang keburu diputar tapi telapak kaki belum menolak. Sebelum tenaganya sampai ke dada, tangan sudah dikembangkan. Alhasil, hanya gerakannya mirip, tanpa tenaga.

Dengan sabar Rancana menunjukkan kembali bagaimana seharusnya gerakan itu dilakukan. Berulang-ulang kali. Sampai akhirnya Lantang bisa sedikit menyalurkan tenaga bumi ke ujung kepalannya. Dan sebagai hasilnya otot-ototnya kaku dan lelah tubuhnya. Tapi ia tidak mengeluh, bahkan saat gurunya memerintahkannya untuk melakukan gerakan itu kembali, akan tetapi untuk tangan kiri dan kaki kanan.

Guru dan murid itu pun berlatih sampai matahari hilang dari pandangan mata untuk sembunyi di balik bumi sebelah barat. Rancana menghentikan latihan itu. Dia melihat bahwa Lantang sudah terlihat lelah, akan tetapi tidak minta berhenti. Kagum ia pada semangat muridnya.

“Kita istirahat dulu. Sudah waktunya beristirahat. Mengisi perut,” kata Rancana. “kamu mandilah dulu dan bersih-bersih. Temui aku nanti di Rumah Kayu.”

“Baik, guru!” jawab Lantang yang pun beranjak pergi untuk memenuhi peraintah gurunya.

Rancana masih melihatnya punggung muridnya yang berjalan untuk kemudian menghilang di balik rerimbunan. Menuju ceruk kecil, di mana terdapat air yang mengalir keluar dari batu-batu. Hasil rembesan sungai di atasnya.

Kemudian melangkahlah ia perlahan menuju Rumah Kayu. Suatu bangunan sederhana di dekat tanah lapang di depan pintu desa. Sebenarnya tidak dapat dikatakan bahwa tempat itu merupakan desa karena hanya lima orang yang tinggal di sana. Rancana dan Lantang muridnya, serta satu keluarga lagi, yang hanya terdiri dari lima orang. Dulu sekali tinggal banyak keluarga di desa itu. Akan tetapi suatu saat pernah terjadi badai besar yang menyapu orang-orang yang tinggal di sana. Setela kejadian itu, tak ada lagi orang yang berani tinggal di pulau itu kecuali keluarga itu ditambah Racana. Keanehan ini sudah pasti mengisyaratkan bahwa keluarga itu juga bukan orang biasa-biasa.

Pulau Tengah Danau dan Danau Tengah Gunung itu terletak di selatan agak jauh dari mana-mana. Di selatannya terdapat padang batu-batu yang terus membentang sepanjang mata memandang dengan dijemput lautan pada horisonnya. Tidak ada kehidupan yang dapat berlangsung kiranya di Padang Batu-batu itu. Di timur dan baratnya membentang kaki-kaki gunung, Gunung Berdanau Bepulau dinamakan orang. Gunung tersebut yang membentang memanjang ribuan kambing dewasa. Bila dilihat dari atas, Gunung Berdanau Berpulau seakan-akan menjadi pipih, karena panjangnya pada arah timur-barat, akan tetapi pendek pada arah utara-selatan.

Waktu Rancana tiba di Rumah Kayu, tampak ketiga orang lain itu, orang selain Rancana dan muridnya yang tinggal di pulau itu. Mereka telah menunggu. Hidangan makan malam telah tersedia. Memang untuk urusan masakah keluarga itulah yang menanganinya. Sebagai imbalannya Rancana diminta untuk membeli atau menukar barang-barang kebutuhan mereka di kota. Atau juga mencari kabar sesuatu yang ingin mereka tahu. Kadang bertanya-tanya juga Rancana mengenai siapakah sebenarnya ketiga orang ini, yang dapat hidup terasing di Pulau Tengah Danau ini. Akan tetapi karena mereka juga tidak bertanya-tanya tentang dirinya dan menyediakan kebutuhannya dengan baik, akhirnya Rancana pun menahan mulutnya. Lebih baik membiarkan mereka menceritakannya sendiri kelak. Itu lebih baik, sehingga tidak merusak persahabatan yang telah tumbuh.

“Selamat malam, Ki Sura, Nyi Sura, dan Telaga,” katanya kepada ketiga orang itu.

“Malam Ki Rancana,” jawab Telaga, anak dari Ki dan Nyi Sura. Sedangkan Nyi dan Ki Sura hanya mengangguk tersenyum ramah. Tidak banyak bicara mereka. Memang pendiam orangnya. Hanya Telaga yang banyak bicara. Dulu sebelum Rancana datang, tidak ada teman bicara dia. Saat ini dengan adanya Rancana dan juga Lantang, senanglah Telaga, karena ada orang yang dapat diajar bicara. Tidak hanya mendengarkan dan memberikan komentar-komentar pendek seperti kedua orang tuanya.

“Wah, makan besar hari ini ya?” komentar Rancana saat melihat makanan yang dihidangkan. Ada ikan mas bakar, pecel belut, kerang sambal, lalapan, sayur bening, terong dan sudah tentu nasi. Biasanya hanya ikan bakar dan sambal serta nasi. Mungkin makan ini karena ia baru saja datang dan membawa seorang murid, sehingga perlu disambut seperti itu.

Seperti telah diduganya, komentar tidak datang baik dari Ki Sura ataupun Nyi Sura, melainkan dari Telaga. “Betul, Ki Rancana,” jelasnya, “ini untuk menyambut Ki Rancana dan terutama anak itu. Eh, siapa namanya, Ki?”

“Lantang.., Lantang nama anak itu Telaga. Saat ini ia sedang bersih-bersih dulu di ceruk sana,” jelas Rancana.

“Ceruk mana, Ki Rancana?” tanya Telaga tiba-tiba. Tersirat rasa kuatir dalam wajahnya.

“Ceruk sebelah bawah Sungai Batu Hitam..” jawab Rancana agak bingung, melihat perubahan wajah ketiga orang tersebut.

Sebelum ada seorang pun yang berkata, melesat Ki Sura diikuti oleh istrinya, ke arah ceruk di bawah Sungai Batu Hitam. Telaga pun bangun sambil menggapainya untuk ikut serta. Baru saat ini Rancana dapat melihat kegesitan keluarga itu. Ia yang disebut Bayangan Menangis Tertawa dan terkenal karena ilmu meringankan dirinya, merasa agak malu melihat bahwa kepandaian tiga orang itu setidaknya sama atau lebih darinya. Apalagi Ki Sura. Ia dapat melaju seakan-akan tanpa mengeluarkan tenaga dengan kecepatan yang mengagumkan.

“Ada apa sebenarnya..” tanya Rancana agak kuatir melihat orang-orang beranjak menuju tempat muridnya yang sedang bersih-bersih.

Telaga pun meletakkan jari telunjuknya pada bibirnya secara vertikal, meminta Rancana untuk tidak bertanya-tanya. Lalu bisiknya lirih, “perhatikan saja. Ayah pasti bisa menolong muridmu, Ki.”

Beberapa hembusan napas sampailah mereka berempat di ceruk yang terletak di bawah Sungai Batu Hitam. Sungai tersebut disebut demikian karena mengalir di atas batu-batu yang merapat dan berwarna hitam. Seakan-akan suatu parit dari batu. Di bawahnya terdapat banyak ceruk-ceruk setinggi dua kali orang dewasa yang mengalirkan air rembesannya. Dalam suatu ceruk yang paling besar, di mana air-air berkumpul membentuk suatu genangan air yang luas, tampak Lantang sedang berdiri terpaku. Ia tampak telah bersih-bersih, akan tetapi tidak langsung berpakaian, melainkan melihat pada suatu arah tertentu. Ada sesuatu di balik batu besar di sisi ceruk itu.

Terdengar suara lirih Ki Sura, “cah bagus, jangan bergerak. Biar aku yang menangani Undinen itu.” Yang dimaksud dengan Undinen adalah sosok terlihat seperti wanita yang badannya berkilauan biru hijau bersisik. Rambutnya panjang sebahu, berparas cantik dan memiliki tinggi seperti umumnya anak-anak remaja wanita.

Ki Sura dengan perlahan mengambil sesuatu dari kantongnya. Sebatang kecil obor dan batu pemantik api. Dengan suatu cara tertentu, dinyalakannya obor kecil dan ditunjukkannya pada Undinen itu. Sang Undinen pun berteriak kecil dan memandang marah pada Ki Sura. Bukan lagi padangan ramah dan memikat seperti ditunjukkannya pada Lantang tadi. Ia pun mulai mendesis-desis perlahan. Ki Sura tetap menggerak-gerakkan obornya sambil perlahan mendekati Lantang. Undinen itu pun bergerak mundur. Tampaknya ia tidak suka api. Setelah kira-kira berjajar dengan Lantang, ditariknya tangan anak muda yang masih terpaku itu dan diajaknya perlahan-lahan mundur ke arah ketiga orang lainnya. Undine itu maju setapak dua akan tetapi tidak lebih karena masih takut dengan obor yang di bawah oleh Ki Sura.

Saat-saat yang menegangkan. Rancana sendiri tidak tahu makhluk apa itu yang ada di depan mereka. Tapi sebagai seorang ahli silat ia dapat merasakan aura yang tinggi, menghimpit dan amat dingin muncul dari makhluk itu. Makhluk yang disebut Undinen oleh Ki Sura. Dengan ukuran aura seperti itu, sudah bisa dipastikan kuat juga tenaga atau hawa makhluk itu. Dan belum diketahui apa yang akan terjadi apabila makhluk tersebut menyerang muridnya.

Akhinya sampailah Ki Sura dan Lantang di tepian air, selangkah demi selangkah, keluar dari ceruk itu. Nun jauh di tengah-tengah genangan air dalam ceruk, masih tampak sosok Undinen itu memandangi mereka. Saat kemudian membaliklah ia dan menghilang ke dalam aliran air yang mengalir ke bawah di ujung genangan air di samping ceruk itu.

Udara perlahan-lahan mulai terasa hangat setelah ketidakhadiran sosok Undinen di dekat mereka. Muka lantang yang tadinya pucat mulai terlihat memerah. Dengan segera Nyi Sura menyampirkan kain yang dibawanya ke pundak Lantang, agar anak itu tidak lebih jauh kedinginan.

Belum ada sepatah kata pun terucap di antara mereka. Lantang masih dalam ketegangannya. Rancana masih bingung mengenai apa yang terjadi dan apa sebenarnya makhluk itu. Ketiga orang lain yang lebih mengerti keadaan saat itu, tidak banyak berucap. Mereka membiarkan lebih dulu Rancana, dan terutama Lantang untuk kembali memulihkan perasaannya yang terguncang.


Makan malam yang tadinya digelar di hadapan kelima orang itu pun telah ludes. Pindah tempat ke dalam lambung mereka. Begitulah orang-orang yang bersyukur. Apa yang dihidangkan dilahap tanpa sisa-sisa. Akan tetapi bila tidak ada, tidak mengeluh. Orang-orang yang sederhana.

Sunyi sesaat. Hanya terdengar gemerisik angin membelai daun-daun nyiur yang digunakan sebagai atap dari Rumah Kayu itu. Ditemani dengan suara jangkrik yang memainkan orkestra mereka. Malam itu sebenarnya sangatlah indah, bila saja tidak ada peristiwa sebelumnya.

Atas tekanan rasa ingin tahunya yang sudah membuncah, bertanyalah Lantang pada Ki Sura, “maaf Ki Sura, apakah tadi itu? Yang membuatku seakan-akan membeku. Tidak punya semangat lagi untuk beranjak.”

Ki Sura tersenyum. Juga istrinya. Malah lebih lebar senyum anaknya Telaga. Hanya Rancana yang tidak. Ia masih merasakan ketegangan tadi. Rasa dingin yang lembab dan menakutkan saat terdapat Undinen, sang Roh Air.

“Itu adalah Roh air, Undinen,” jelas Ki Sura lambat-lambat, “yang merupakan bagian dari roh empat elemen, yaitu api, air, udara dan tanah. Undinen adalah salah satu contoh Roh Air, selain Duyung dan Nixen. Sedangkan contoh Roh Api misalnya Salamander dan Naga, Roh Udara misalnya Sylphen dan Roh Tanah misalnya Gnomen, Troll, Irrwische dan Orang Gunung Kerdil (Bergmänchen).”

Sunyi kembali menyeruak di antara mereka. Rancana dan Lantang merasa seakan-akan keempat macam makhluk yang baru disebutkan oleh Ki Sura itu ada di belakang mereka dan ikut mendengarkan pembicaraan itu.

“Roh-roh Empat Elemen itu, merupakan makhluk-makhluk purba yang dulu dipercaya ada oleh orang-orang dan tertulis dalam buku-buku kuno. Dan entah kenapa sebagian dari mereka itu muncul setelah badai besar yang menyapu seluruh penduduk dari pulau ini. Dengan adanya makhluk-makhluk itu di sini, maka tidak ada orang-orang yang berani tinggal di sini,” jelas Ki Sura lebih lanjut.

“Jika demikian, mengapa Ki Sura, Nyi Sura dan Kakang Telaga masih tinggal di sini?” tanya Lantang penasaran. Masih terasa dinginnya udara saat ia ditatap oleh Undinen. Dan hal yang masih tidak dimengertinya, adalah dengan adanya makhluk-makhluk lain yang dari ceritanya lebih mengerikan, akan tetapi mengapa keluarga itu masih saja berdiam di pulau ini.

“Sebenarnya, mereka tidaklah terlalu berbahaya, apabila kita tahu bagaimana menyikapinya,” jelas Nyi Sura arif. Baru kali ini Rancana melihat Nyi Sura berbicara. Dengan adanya kejadian ini banyak ucapan yang dikeluarkan oleh kedua orang itu. Telaga yang biasanya berbicara banyak malah kebalikan. Ia banyak mendengarkan saat orang tuanya berbicara.

Kemudian Nyi Sura menjelaskan bahwa sifat-sifat Roh-roh Empat Elemen yang saling membantu dan meniadakan. Misalnya elemen api dan air yang akan saling meniadakan, akan tetapi elemen api dan udara atau api dan tanah dapat saling membantu. Demikian pula dengan elemen udara dan tanah yang dapat saling meniadakan. Keempatnya dapat diletakkan pada sudut-sudut suatu bujur sangkar. Dengan api dan air pada dua sudut berseberangan dan udara dan tanah pada kedua sudut lainnya. Elemen pada sudut-sudut yang berseberangan akan saling meniadakan sedangkan elemen-elemen yang bersebelahan dapat saling membantu.

Itulah sebabnya mengapa Ki Sura saat itu menggunakan obor untuk menakut-takuti Undine. Undine adalah Roh Air dan elemen air merupakan musuh dari elemen api, yang dalam hal ini adalah obor yang dibawa Ki Sura.

“Akan tetapi ada yang membuatkan bertanya-tanya,” tiba-tiba menyeletuk Telaga, “mengapa Undinen tertarik dengan Lantang?”

Semua terdiam. Baik Ki Sura, Nyi Sura maupun Telaga tahu bahwa manusia, sebagai makhluk berdarah panas memiliki sifat yang tidak terlalu cocok dengan Roh Air. Manusia lebih ke arah sifat Roh Tanah dengan paduan kecil dari ketiga eleman lainnya. Perihal Lantang yang diminanti oleh Undinen merupakan suatu teka-teki bagi mereka.

“Waktu dari menariknya, aku juga merasakan hawa dingin yang aneh dari anak ini,” ujar Ki Sura seakan-akan pada dirinya sendiri.

“Anak Lantang,” lalu tanya Nyi Sura, “adakah engkau penyakit atau kelainan sehingga tubuhmu bersifat dingin?”

Tiba-tiba saja hal itu menjadi jelas bagi Rancana. Ya, pasti itu penyebabnya. Ketidaklancaran jalan darah dari Lantang yang menyebabkannya tidak bisa melancarkan hawa ke seluruh tubuhnya yang menyebabkan. Ditambah dengan kondisi air yang dingin, akan membuat tubuhnya semakin dingin. Tidak ada hawa dari pusar yang menghalau dingin itul. Sebab itu Undinen mengira bahwa Lantang adalah salah seorang dari jenisnya. Lalu diceritakannya hal tersebut oleh Rancana kepada Nyi dan Ki Sura serta Telaga. Lantang sendiri hanya ikut mendengarkan karena tidak begitu mengerti.

“Hmm, begitu.. ya!” menghela napas Ki Sura, “malang sekali nasibmu, nak Lantang. Dapat menghimpun tenaga, akan tetapi tidak bisa menggunakannya. Tapi itu merupakan kelebihanmu di daerah ini.”

“Maksud Ki Sura?” tanya Rancana tak mengerti. Tentu saja ia gembira apa bila ‘kekurangan’ Lantang merupakan suatu ‘kelebihan’.

“Dengan adanya Roh-roh Air di sini, Lantang bisa memanfaatkan aura mereka untuk menumbuhkan hawanya sendiri. Bukan hawa yang biasanya diperoleh dari latihan-latihan. Melainkan hawa para Roh-roh Air,” jelas Ki Sura. Dia pun terdiam sambil melirik istri dan anaknya. Terlihat bahwa ada suatu rahasia di antara mereka yang berat dikatakan pada Rancana dan Lantang.

“Bila itu suatu rahasia, dan tidak untuk kami,” kata Rancana, “tak usahlah kami diceritakan dan diberi harapan. Lantang sendiri pun telah pasrah hanya akan mempelajari ilmu Jalan Selaras dengan Alam Semesta yang tidak memanfaatkan hawa yang dihimpunnya di bawah pusar.”

“Kami,” papar Ki Sura, “adalah orang-orang terakhir yang menjaga suatu rahasia. Suatu cara pengolahan tenaga untuk dimanfaatkan dalam gerakan bela diri. Akan tetapi kami tidak memiliki ilmu bela diri, melainkan hanya cara mengolah tenaga belaka. Rahasia ini telah lama disimpan. Dan memang ada pada saatnya untuk dibuka dan diwariskan. Kebetulan anak Lantang ini memenuhi persyaratan seperti tertuliskan dalam salah satu cerita-cerita tua itu.”

Nyi Sura dan Telaga pun mengangguk membenarkan. Itu juga sebagai isyrat bahwa mereka setuju bahwa cerita atau rahasia itu untuk diperdengarkan kepada Lantang dan gurunya, Racana si Bayangan Menangis Tertawa. Lalu diceritakanlah oleh Ki Sura mengenai sejarah keluarga itu dan ilmu-ilmu yang harus dirahasiakan dan dijaganya.


“Misbaya, kemari!” perintah Ki Tapa sambil tangannya menggapai Misbaya agar mendekat. “Akan kutunjukkan mengenai satu jenis cara melepaskan diri dari cengkeraman belakang.”

Lalu dengan perlahan Ki Tapa berdiri membelakangi Misbaya, yang kemudian dimintanya untuk memegang dengan erat kedua tangannya dari belakang pada pergelangan tangan.

“Pegang yang kuat, jangan sampai lepas!” begitu perintah Ki Tapa.

Kemudian ia meminta murid-muridnya untuk memperhatikan apa yang akan ditunjukkannya. Dengan perlahan, ditekuknya lututnya sehingga kedudukannya lebih rendah dari Misbaya. Sebagai akibatnya pegangan Misbaya tidak lagi bisa seerat semula karena pergelangan tangannya telah habis tertekuk ke atas. Dengan cepat Ki Tapa mengangkat tangan sebelah kanannya, yang masih digenggam oleh Misbaya ke atas melewati kepala sehingg berada kira-kira di sebelah kiri kepala. Misbaya mendongak ke belakang menyangka akan diserang dengan tangan itu oleh Ki Tapa. Pada saat itulah Ki Tapa kembali merendahkan dirinya sehingga bahunya berada lebih rendah dari dada Misbaya, untuk kemudian mengungkitnya dengan bahu, sembil menjatuhkan tangan kanannya ke depan, seperti memotong. Akibatnya Misbaya tercongkel dan terungkit ke atas dan terbalik. Terlempar dan terkapar telentang di atas rumput yang hijau.

Rekan-rekannya terkesiap. Demikian mudah Misbaya terlempar dengan gerakan sederhana tadi. Sedemikian halus. Tak teduga dan cantik. Gerakan yang memanfaatkan batas-batas sendi manusia, sehingga mau tak mau sang lawan harus ikut, atau sendinya akan terkilir atau lepas. Salah satu jurus bantingan dalam ilmu Jalan Selaras dengan Alam Semesta. Ilmu yang dibawah oleh Petapa Seberang ke Tanah Tongkat Ditanam Jadi Tanaman. Ki Tapa sebagai salah satu penerus dan pewaris ilmu-ilmu dari Petapa Seberang sudah tentu mengerti betul gerakan tersebut, yang hari ini diajarkannya pada murid-muridnya.

Melihat murid-murinya masih terkesima dan takjub pada gerakan itu. Ki Tapa pun menggapai muridnya yang lain. Kali ini Gentong. Pemuda yang tinggi besar dan berbobot. Dari pandangan matanya, Ki Tapa melihat ketidakyakinan murid-muridnya, bahwa Gentong pun dapat dilemparkan dengan gerakan atau jurus yang sama.

Akan tetapi hal yang sama pun terjadi. Dan untuk itu, dikarenakan postur tubuh yang lebih tinggi, lebih mudah bagi Ki Tapa untuk mencapai batas-batas perputaran sendi dari Gentong. Dan Gentong pun terlempat sejajar dengan posisi tempat Misbaya tadi terkapar, dengan debum yang lebih kentara tentunya.

Setelah beberapa kali memberi contoh menggunakan murid-murid yang berbeda-beda, juga di antara murid-muridnya sendiri, Ki Tapa pun memerintahakan mereka untuk melatihnya sendiri ratusan kali. Sampai gerakan-gerakan tersebut menjadi mendarah daging. Murid-muridnya pun mengiyakan dan mulai melakukannya.

Lucu tampaknya, misalnya saja bahwa Paras Tampan berusaha untuk menjatuhkan Rintah yang masih saja berdiri dengan stabil. Berbagai upaya telah dilakukannya. Akan tetapi tetap saja Rintah masih berdiri dan menggenggam kedua tangannya di belakang dengan erat. Melihat ini menghampiri datang Ki Tapa sambil menunjukkan arah yang harus diambil oleh Paras Tampan agar pegangan Rintah menjadi lunak, untuk kemudian membebaskan tangannya ke atas kepala, siap mencongkelnya dengan bahu. Setelah diberi pentunjuk dapatlah Paras Tampan melemparkan Rintah. Menyadari bahwa murid-muridnya terlihat belum paham, akhirnya Ki Tapa memutuskan lebih baik untuk memberi petunjuk satu persatu berpasang-pasangan. Cara ini lebih baik. Setiap murid akan melihat dan merasakan bagaimana jurus itu diterapakan. Berganti-ganti mereka berperan sebagai yang membanting dan yang dibanting. Begitulah cara latihan dari ilmu Jalan Selaras dengan Alam Semesta.

Hari pun semakin sore dan para kawula muda itu terus giat berlatih di bawah petunjuk-petunjuk Ki Tapa, yang mengawasinya dengan sabar dan telaten.


Persiapan perginya rombongan pedagang-pedagang tampak mendominasi kesibukan orang-orang Desa Luar Rimba Hijau pagi ini. Bersamaan dengan itu pula, rombongan dari Pinggiran Sungai Merah ingin berpamit untuk pulang karena orang yang sakit, yang menjadi alasan mereka untuk menetap selama ini di Desa Luar Rimba Hijau, sudah berangsur-angsur sembuh. Lebih cepat dari dugaan mereka semula. Para pedagang yang tadinya hanya akan ditemani oleh beberapa orang wakil dari rombongan, menjadi ditemani oleh seluruh rombongan. Kecuali Asap tentunya.

Ki Tapa pun telah berpesan bahwa si sakit dapat pulang setiap saat. Untuk Asap, mereka tidak akan menunggunya, karena selain telah dewasa untuk memutuskan jalan hidupnya sendiri, pun Kepala Desa Luar Rimba Hijau, Ki Surya, telah menjamin bahwa Asap bersama-sama dengan kawula muda desanya akan baik-baik saja selama dalam pelatihan di dalam Rimba Hijau.

Rencana yang akan dilaksanakan adalah rombongan pedagang itu akan bersama-sama dengan rombongan dari Pinggiran Sungai Merah menempuh arah yang sama, ke arah barat. Ke arah di mana matahari terbenam. Pinggiran Sungai Merah terletak jauh di barat, untuk mencapainya hanya terdapat dua cara, lewat Gurun Besar yang luas dan gersang atau menyusuri Sungai Menggelegar (Düssel) di mana terdapat suatu desa yang bernama Desa Pinggir Sungai Menggelegar (Düsseldorf).

Sungai menggelegar merupakan kelanjutan dari sungai yang mengalir keluar dari Rimba Hijau, Sungai Hijau orang menamakannya. Sungai ini kemudian mengalir menuju ke arah barat daya untuk kemudian bercabang, satu tetap ke arah barat daya dan lainnya langsung ke selatan, menuju Lautan selatan. Pada percabangan inilah terdapat Desa Pinggir Sungai Menggelegar. Salah satu alasan orang mengapa sungai ini dinamakan Sungai Menggelagar adalah terdapatnya saat-saat tertentu di mana air sungai bisa bertambah dengan pesat, bisa akibat pasangnya air laut ataupun hujan di daerah hulunya, sehingga sungai ini meluber sampai ke Padang Batu-batu yang berada di bagian baratnya. Akibat luberan ini, Padang Batu-batu akan tergenang. Dan entah bagaimana, aliran genangan-genangan ini di antara tonggakan-tonggakan karang dapat memberikan suara yang satu sama lain saling menguatkan (beresonansi) sehingga menghasilkan suara menggelegar, menggemuruh. Dari sanalah diyakini nama itu datang.

Setelah berbicang-bincang antara kelompok pedagang Desa Luar Rimba Hijau yang diwakili oleh Ki Murah, Ki Rabat dan Ki Untung. Nama-nama mereka sendiri telah mengisyaratkan bahwa mereka itu adalah pedagang yang berupaya untuk menjual barang dengan murah, jika bisa dengan potongan (Rabat) dan masih memperoleh keuntungan. Sedangkan dari pihak Rombongan dari Pinggiran Sungai Merah diwakilkan oleh Rota Mera dan Reda, keduanya diangkat sebagai ketua rombongan setelah Asap mulai ikut latihan di dalam Rimba Hijau.

“Jadi menurut nak Rota Mera sebaiknya kita mengambil Jalur Panjang dari pada Jalur Pendek…” tegas Ki Rabat agak masih belum setuju. Menurutnya baiknya bila mereka memilih jalur yang sebaliknya, agar perjalanan cepat selesai dan transaksi perdagangan bisa dilakukan.

“Benar, Ki Rabat,” ucap Reda mengiyakan pendapat rekannya, “hal ini didasari oleh pengalaman rekan kami Bujang yang sakit itu. Ia terkena gigitan Kadal Gurun saat sedang mencari obat-obatan di Gurun Besar. Dengan alasan ini kami pun datang ke sini melalui jalur selatan.”

“Tapi bukankah dengan menggunakan Jalur Panjang yang lewat selatan ini, seperti kata kalian, akan memakan waktu dua kali lebih lama?” tanya Ki Murah kemudian.

“Benar, Ki,” kali ini Rota Mera sendiri yang menjawab. “walaupun dua kali lebih lama, akan tetapi lebih sedikit bahayanya. Di Gurun Besar, selain ada banyak binatang-binatang beracun, juga terdapat badai pasir dan penyamun-penyamun ganas. Mereka itu sering mencegat rombongan orang yang lewat dan merampoknya.”

“Bila benar begitu, ya…, sudah sepantasnya bila kita memang memilih Jalur Panjang.” komentar Ki Untung. “Keterlambatan proses perdaganan dapat diterima, bila dikompensasi dengan terjadi atau tidaknya proses tersebut.”

Kedua rekannya mengangguk-angguk setuju. Setelah membicarakan beberapa hal lain, akhirnya memang diputuskan untuk memilih Jalur Panjang. Jalur ini akan mengambil arah ke barat daya dari Desa Luar Rimba Hijau, untuk kemudian menyusuri Sungai Menggelegar sampai ke Pantai Selatan. Dari sana akan diambil arah ke barat sambil menyusuri pantai. Setelah beberapa hari perjalanan, dan Padang Batu-batu tidak lagi terlihat di utara pantai, arah akan diubah menjadi menuju barat laut sampai bertemu dengan suatu sungai. Sungai itu sudah Sungai Merah. Selebihnya tinggal menyusuri Sungai Merah menuju ke utara, sampai ke Desa Pinggiran Sungai Merah.

Rombongan dari Pinggiran sungai merah mengatakan bahwa di sepanjang Sungai Merah, walaupun tidak terdapat banyak desa, akan tetapi sering berdiam orang-orang yang hendak melanjutkan perjalanan baik ke arah pantai atau utara. Dan orang-orang ini kadang memang membutuhkan sesuatu untuk bekal perjalanannya. Hal inilah yang menarik para pedagang dari Desa Luar Rimba Hijau. Melakukan kontak dengan sebanyak-banyaknya orang untuk mengadakan kegiatan perdagangan.

Di samping rombongan pedangan dan juga rombongan dari Pinggiran Sungai Merah, terdapat lagi tambahan orang yang akan mengadakan perjalanan, yaitu Citra Wangi dan kedua orang tuanya. Citra Wangi adalalah tunangan Paras Tampan, seorang pemuda yang saat ini sedang berlatih di dalam Rimba Hijau bersama kawan-kawannya. Keluarga itu mendengar betapa Desa Pinggiran Sungai Merah merupakan desa yang lebih besar dan maju dari pada Desa Luar Rimba Hijau ini, tertarik untuk melancong ke sana. Terlebih berkaitan dengan ikatan antara Citra Wangi dan Paras Tampan. Akanlah sangat bangga apabila pernikahan mereka nanti dilengkapi dengan baju-baju yang dibeli dari tempat yang jauh. Berbeda dengan baju-baju yang ada di sini. Berbekal niat itu ikutlah keluarga itu pada rombongan yang akan pergi ke barat. Sambil tidak lupa mereka juga mendapat titipan-titipan dari kerabat-kerabatnya yang tidak ikut pergi.

Sudah lajim bahwa orang yang belum pernah melihat tempat lain akan merasa bahwa tempat itu pasti lebih indah dari tempat-tempat yang pernah dikunjunginya. Walaupun pada kenyataannya, kadang terjadi sebaliknya. Tempat yang diduga lebih indah itu, setelah dilihat malah menimbulkan kekecewaan karena tidak sebaik atau seindah yang dikhayalkan.

Setelah siap berangkatlah rombongan itu. Hari telah menjelang sore saat rombongan itu berangkat. Titipan sana-sini para penghuni desa masih menghiasi keberangkatan itu, sehingga kadang-kadang enggan melepasnya. Semakin banyak “titipan” semakin banyak pula keuntungan yang dapat diraih oleh para pedagang.

Tidak banyak orang yang ikut sebenarnya, hanya enam kereta yang ditarik masing-masing oleh dua ekor kuda. Dua kereta berisikan orang-orang dari Desa Pinggiran Sungai Merah dan satu kereta digunakan oleh Citra Wangi dan kedua orangtuanya serta sisanya adalah rombongan pedagang dan barang-barang bawaannya. Kira-kira hanya tiga puluhan orang berada dalam rombongan yang akan berjalan ke barat itu.

Perjalanan ke barat itu diperkirakan akan memakan waktu sebulan setengah lebih karena mengambil jalan memutar. Bila langsung menempuh Gurun Besar, cukup diperlukan waktu dua sampai tiga minggu saja. Perjalanan ini merupakan perjalanan terjauh yang pernah dilakukan oleh kelompok pedagang dari Desa Luar Rimba Hijau. Sebelumnya mereka hanya berdagang di sekitar daerah mereka saja. Paling jauh ke Desa Pinggir Sungai Menggelegar di selatan. Atau desa-desa di sebelah utara dari Rimba Hijau. Dan ke barat paling jauh sampai pinggiran dari Gurun Besar. Jadi ini merupakan pengalaman yang ditunggu-tunggu pula oleh kelompok pedangang itu. Bila kegiatan ini membuahkan hasil, akan tercipta jalur perdagangan baru antara bagian timur dan barat.

Sungai Hijau selepas dari Rimba Hijau dan Desa Luar Rimba Hijau mengalir perlahan dengan lebar yang kurang lebih sama. Mengalun melintasi hamparan spasial geografis secara hampir tanpa lonjakan atau kejutan. Benar-benar membosankan. Membuat siapa pun yang duduk di atas kereta dan berjalan perlahan-lahan sambil memperhatikan sungai tersebut, akan menjadi terkantuk-kantuk. Demikian pula dengan rombongan ini. Hampir sebagian besar dari mereka terkantuk-kantuk melihat kiri-kanan hanya dilengkapi pemandangan yang biasa-biasa saja.

Dua hari perjalanan dilalui dengan lancar oleh rombongan itu. Lancar dan sedikit membosankan. Diperkirakan dalam tiga atau empat hari ke depan akan sampai mereka ke awalan Sungai Menggelegar.

Malam ketiga. Rombongan itu bermalan di pinggiran sungai, entah sungai apa namanya, apakah masih termasuk Sungai Hijau atau tidak, tiada yang tahu. Nama atau batasan geografis saat itu tidaklah terlalu penting. Akan tetapi bila menilik dari airnya yang tidak lagi didominasi oleh warna hijau pada dasar sungai yang jernih, mungkin lebih baik dinamakan Sungai Jernih.

Untuk melepaskan kebosanan, seorang anggota rombongan dari Pinggiran Sungai Merah memiliki gagasan untuk menceritakan suatu hikayat atau dongeng yang terjadi di daerah Sungai Menggelegar. Daerah yang akan mereka masuki dalam dua atau tiga hari lagi. Yang bercerita adalah Rosata seorang tua setengah baya yang pernah mendengar cerita itu dari salah seorang penduduk Desa Pinggir Sungai Menggelegar saat rombongannya menunju Rimba Hijau untuk mengobati Bujang, yang terkena gigitan Kadal Gurun.

Entah kapan dan bagaimana mulainya, Desa Pinggir Sungai Menggelegar memiliki tingkat keteraturan pembangunan desa yang amat baik. Pekerjaan-pekerjaan dibagi sedemikian rupa, sehingga masing-masing insan bekerja untuk kebaikan desanya sesuai dengan peran dan kemampuannya. Hal ini sudah tentu mendukung majunya perekonomian dan juga pertanian desa. Adalah berbahaya apabila hal-hal yang penting bagi kehidupan dibiarkan ditangani oleh orang yang tidak ahli dalam bidangnya. Akan hancur suatu daerah, desa atau pun negeri bila hal tersebut dibiarkan terjadi. Dan dalam Desa Pinggiran Sungai Menggelegar hal ini ditangani dengan baik. Orang-orang yang mengurusi kepentingan umum dipilih dari yang ahlinya. Orang-orang yang memiliki kemampuan berkomunikasi lebih baik dijadikan pemimpin, sedangkan yang hanya mampu bekerja dengan keras dijadikan bawahan.

Setelah bertahun-tahun kegiatan kehidupan berlangsung dengan baik, muncullah ide untuk membuat suatu peringatan bagi jenis-jenis pekerjaan yang telah dianggap berjasa untuk membangun desa itu. Untuk itu dirancang dua belas jenis pekerjaan yang merupakan modal dan kekuatan pembangunan desa. Kedua belas figur itu kemudian dinamakan 12 Yang Berdiri (Ständichen) dan ditempatkan dalam suatu taman di bagian utara kota, Taman Utara (Nordpark). Kedua belas figur yang dimaksud itu adalah Kelompok Wanita Pemungut Biji-bijian Tertinggal (Ährenlesergruppe), Laki-laki Penyebar Biji-bijian (Sämann), Laki-laki Pelatih Burung Pemburu (Falkner), Laki-laki Penduga Penyakit Hewan (Spatenmann), Wanita Pengembala Domba (Schäferin), Laki-laki Pengembala Ternak (Hirte), Laki-laki Pemain Musik (Musikanten), Laki-laki Petani (Bauer), Wanita Petani (Bäuerin), Wanita Pemetik Anggur (Winzerin), Laki-laki Nelayan (Fischer) dan Awak Perahu (Matrose).

Dibangunnya patung-patung itu tidaklah menjadikan cerita mengenai mereka menjadi heboh apabila tidak ada peristiwa yang berkaitan dengannya. Pada suatu malam yang sunyi dan agak dingin dibandingkan dengan malam-malam sebelumnya. Akibat cuaca yang tidak nyaman ini, orang-orang lebih banyak memilih untuk tinggal di rumahnya atau tidak berlama-lama di luar rumah bila tidak ada keperluan.

Adalah Jingkit seorang nelayan sungai yang pulang terlalu larut malam itu, ia baru saja menambatkan perahunya di dermaga Sungai Menggelegar, untuk kemudian mengangkat muatan-muatan hasil tangkapannya hari itu. Dengan agak terburu-buru ia berjalan menuju rumahnya yang terletak agak di utara. Biasanya ia mengambil jalan pinggiran sungai untuk kemudian menyusurinya ke utara dan berbelok ke timur untuk mecapai rumahnya. Tapi entah kenapa malam itu ia lebih memilih untuk melewati jalan dalam desa baru kemudian mengambil arah ke utara. Dengan demikian mau tidak mau ia harus melewati Taman Utara di mana terdapat keduabelas Yang Berdiri. Tidak ada masalah bagi Jingkit untuk melihat keduabelas Yang Berdiri malam-malam. Ia malah kadang sering mengagumi patung-patung itu. Dan merasa bangga bahwa profesinya sebagai nelayan juga diabadikan dalam salah satu patung-patung itu.

Akan tetapi hal yang tidak biasa adalah rasa dingin yang dirasakannya itu. Dingin yang bukan lagi dingin udara atau angin. Dingin ini lain, sempat meresap ke dalam kulit dan menembus tulang. Membuat tubuh benar-benar terasa lelah. Dan rasa dingin yang aneh ini benar-benar membuatnya shok karena ditambah dengan kenyataan bahwa di dalam Taman Utara, di mana seharusnya keduabelas Yang Berdiri itu berada, terasa amat lengang. Tidak ada satu pun Yang Berdiri tersisa di sana. Semuanya hilang, membuat suasana yang telah dingin dan sepi, menjadi semakin sepi dan mengiriskan. Tak tahan dengan keadaan itu Jingkit pun lari lintang pukang. Tidak dipedulikannya lagi ikan-ikan hasil tangkapannya dan juga rempat-rempat serta kain-kain hasil pesanan istrinya yang terjatuh di tengah taman. Di mana seharusnya keduabelas Yang Berdiri berada.

Malam yang menghebohkan. Setelah Jingkit memberitahu istrinya akan hilangnya keduabelas Yang Berdiri, dan atas usul istrinya, ia pun bergegas ke rumah Ki Tanah, kepal desa dari Desa Pinggir Sungai Menggelegar. Kentongan bambu pun kemudian bertalu-talu, menyebarkan kabar ke seluruh penjuru desa, bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Penduduk dengan rasa-rasa cemas bergegas ke luar dari rumah dan berkumpul di alun-alun desa untuk mencari tahu apa yang sedang berlangsung. Hanya para laki-laki muda dan yang masih kuat yang muncul. Sisanya bertahan di dalam rumah untuk menanti kabar ada apa gerangan.

Setelah Ki Tanah menenangkan warganya, kemudian dengan cepat ia mempersilakan Jingkit, sebagai saksi satu-satunya yang ada, untuk mempersilakan menceritakan peristiwa yang dilihatnya. Ucapan-ucapan yang menyatakan keterkejutan terlontar selama penyampaian itu. Dan pada akhirnya atas usul seorang warga, mereka bersama-sama menuju ke Taman Utara untuk melihat lokasi keduabelas Yang Berdiri.

Setelah berjalan bersama-sama, dalam langkah yang tergesa-gesa, tidak sampai air teh yang baru diseduh dingin, sampailah mereka di satu bagian dalam Taman Utara di mana seharusnya keduabelas Yang Berdiri itu berada. Alih-alih patung-patung tersebut yang terlihat, hanyalah kegelapan dan dua belas lobang sebesar kerbau yang tertinggal menganga. Seakan-akan mengejek orang yang mencari-cari apa yang pernah ada ditanamkan di dalam dan di atasnya.

Tiada suara di antara seluruh penduduk desa. Sunyinya saat itu seakan-akan suara aliran sungai yang semilir dari jauh dapat terdengar dengan jelas. Bertanya-tanya hati semua orang, bagaimana peristiwa itu dapat terjadi. Memindahkan patung-patung yang beratnya hampir tiga kali kerbau bunting dengan tinggi dua kali orang dewasa. Dan dua belas buah lagi. Benar-benar menyeramkan. Seakan-akan itu bukanlah perbuatan seorang atau sekelompok manusia saja.

Sampai akhirnya berkatalah Ki Tanah, selaku pimpinan di sana, “baiknya kita menenangkan diri dulu. Besok pagi-pagi kita rundingkan lagi. Siapa pun atau apapun yang mengambilnya, sudah di luar kemampuan kita. Sekarang atau besok mengetahuinya akan sama saja.”

Semua mengangguk-angguk setuju. Beberapa masih bergidik saat Ki Tanah tadi menegaskan “apapun” sebagai alternatif yang melakukan hal itu.

Lalu orang-orang pun bubarlah.

Mendengar cerita yang dilantunkan Rosata itu tidak ada orang-orang yang bersuara, bahkan sekecil apa pun suara. Pembawaan suasana yang disajikan benar-benar membuat yang mendengarkannya terkesima dan seakan-akan terbawa ke sana saat peristiwa itu benar-benar terjadi dihadapan mereka. Sebagian besar anggota rombongan dari Pinggiran Sungai Merah telah mendengar cerita itu dari Rosata sebelumnya. Akan tetapi tetap saja mereka masih bergidik dan merinding mendengar cerita yang penuh misteri itu, lebih-lebih karena lokasi tempat di mana kejadian itu pernah berlangsung tidak jauh dari tempat mereka bermalam saat ini. Tidak bisa dibayangkan ketegangan keluarga Citra Wangi dan kelompok para pedagang dari Desa Luar Rimba Hijau, yang baru pertama kali mendengar cerita menyeramkan itu.

Sunyi. Sesekali terdengar hanya suara jengkerik dan burung hantu.


Lima hari kemudian sampailah mereka di daerah Desa Pinggir Sungai Menggelegar, perlu dua hari dari awalan Sungai Menggelegar untuk mencari desa tersebut. Selama lima hari tersebut tidak ada apa-apa yang patut diperhatikan terjadi dalam perjalanan rombongan itu.

Sungai Menggelegar terlihat biasa seperti sungai-sungai biasa lainnya, dengan lebar sampai sepuluh kerbau dewasa berjajar dan air di tengahnya yang tenang, menandakan bahwa sungai itu cukup dalam. Akan tetapi anehnya, pada sisi seberang, yaitu sisi barat, terdapat banyak sekali batu-batu menjulang setinggi orang sampai setinggi pohon kelapa di pinggir sungai dan di daratnya. Akibatnya ada aliran air dan udara yang lewat di antaranya menghasilkan suara yang menderu. Bila banjir, kata seorang anggota rombongan yang pernah mendengar suatu cerita, akan semakin keras suaranya. Bisa-bisa sampai menggelegar. Dengan cara itu orang juga jadi tahu apabila banjir bandang akan datang dari hulu.

Desa yang sepi, yang memiliki suasana hampir sama dengan Desa Luar Rimba Hijau. Itulah Desa Pinggir Sungai Menggelegar. Desa di mana penduduknya banyak memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan pencari batu-batuan ketimbang petani seperti di Desa Luar Rimba Hijau. Batu-batuan yang dipilih umumnya bermotif cemerlang dan campur-campur, kadang pula telah berpermukaan halus. Dengan suatu cara tertentu batu-batu ini dapat dipotong dan dibentuk untuk dijadikan hiasan. Kelebihan inilah yang pertama kali terlihat oleh orang-orang anggota perdagangan Desa Luar Rimba Hijau. Jiwa bisnis mereka memang telah melekat ke sanubari. Sedikit ada kelebihan suatu daerah yang dapat dimanfaatkan untuk perdagangan, pastilah langsung tercetus ide untuk mengembangkannya.

Bagi Citra Wangi, ibu dan ayahnya sendiri, Desa Pinggir Sungai Menggelegar memberikan wawasan baru mengenai suatu desa, yang tidak semestinya bertatanan melulu seperti Desa Luar Rimba Hijau. Di sini mereka melihat banyaknya sampan-sampan dan perahu yang ditambatkan di sepanjang sungai. Terdapat pula semacam Pasar Terapung, di mana kegiatan perekonomian dan perdagangan terjadi bukan di darat melainkan di atas perahu. Suatu suasana yang mereka belum pernah lihat sebelumnya. Itulah salah satu kelebihan desa atau tempat yang kehidupannya bisa dikembangkan sampai ke atas air.

Terdapat ikan-ikan aneh yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Ada yang panjang dan pipih ada juga yang bersisik keperakan dengan jenggotnya. Terlihat ikan tersebut menjadi agak berwibawa berenang ke sana kemari dalam sebuah gentong besar yang dipertontonkan di pasar pinggir sungai itu. Orang menyebutnya Arowana. Disebut pula oleh orang yang mempertontonkan ikan itu, bahwa umur ikan ini bisa tahunan dan dapat berukuran sampai sebesar orang dewasa. Bergidik Citra Wangi membayangkan ikan berjenggot itu sebesar dirinya, dan kemudian berenang-renang di sekitarnya, misalnya saat ia mandi di sungai bersama teman-temannya.

Setelah puas melihat-lihat pasar dan juga hal-hal baru yang ada di sekitar Desa Pinggir Sungai Menggelegar itu, ketiganya, Citra Wangi dan kedua orang tuanya, kembali ke lokasi di mana rombongan itu menyimpan kereta-kereta dan kuda-kudanya. Di sana tampak sedang menunggu beberapa orang anggota rombongan dari Pinggiran Sungai Merah yang tidak ikut berjalan-jalan, karena mereka telah pernah mampir di desa ini.

Setelah menunggu beberapa lama, tampaklah anggota rombongan pedagang dari Desa Luar Rimba Hijau, di antaranya terlihat Ki Murah, Ki Untung dan Ki Rabat, yang ditemani beberapa orang dari Desa Pinggir Sungai Menggelegar. Bisa diduga kawan-kawan mereka itu adalah para pedagang-pedagang dari desa ini. Orang-orang yang sejenis akan dengan mudah berkawan dan bersahabat, begitu kata ujar-ujar kuno.

“Nak Citra Wangi,” gapai Ki Rabat dari jauh, “ini ada sesuatu yang pasti menarik bagimu.”

Mendengar panggilan itu, Citra Wangi pun menoleh kepada ayah dan ibunya, minta persetujuan untuk menghampiri Ki Rabat. Keduanya mengangguk tanda setuju. Bahkan ibunya pun turut berdiri untuk ikut serta menghampiri Ki Rabat.

Bersemi senyum di wajah Ki Rabat melihat kedatangan mereka berdua. Pikirnya, paling tidak kedua orang ini akan membawakan kabar bagi kawan-kawanya di Desa Luar Rimba Hijau. Bila ia bisa meyakinkan mereka betapa baiknya barang-barang di sini, sudah tentu akan muncul produk baru yang bisa dijual di sana nanti.

“Ada apa, Ki?” tanya Citra Wangi sopan.

“Lihatlah, batu-batu hiasan ini.., indah, bukan?” katanya sambil menunjuk batu-batu gemerlap susu yang dibawa oleh rekan dagang yang baru dikenalnya itu.

Terdiam Citra Wangi dan ibunya melihat-lihat batu-batu berwarna-warni itu yang baru kali ini mereka lihat. Pernah mereka mendengar adanya batu-batu mirip telur bentuknya, kecil sebesar kuku jari dan berwarna-warna mirip susu diberi pewarna. Suatu hiasanya yang mereka hanya pernah dengar. Dan saat ini mereka menyaksikannya sendiri. Betapa ingin mereka memilikinya. Mengenakannya.

Ki Rabat sebagai seorang pedagang ulung berdasarkan pengalamannya melihat bahwa kedua wanita tersebut telah terpesona oleh produk barunya itu. Untuk menambahkan rasa ingin memiliki, ditambahkannya kata-kata, “untuk Citra Wangi dan Nyi Apik, ini harga khusus. Tapi jangan bilang-bilang sama orang desa ya?”

Berseri kedunya mendengar kata “harga khusus” itu. Siapa pembeli tak senang diberi “harga khusus”, walaupun kadang mereka pun tahu bahwa harga itu sebenarnya adalah harga yang telah dinaikkan dulu untuk mendapatkan keuntungan berlipat, kemudian diturunkan, agar seakan-akan terlihat bahwa barang tersebut menjadi murah harganya. Cara seperti ini masih digunakan orang sampai saat ini.

Nyi Apik memilih dua buah yang berwarna merah dan ungu untuk dirinya dan Citra Wangi memilih yang berwarna hijau muda dan kuning bercampur biru. Selain itu mereka masih memilihkan beberapa untuk oleh-oleh. Di kejauhan Ki Rapih, suami Nyi Apik hanya geleng-geleng kepala melihat istri dan putrinya begitu bersemangat mengaduk-aduk batu-batu tersebut dalam wadahnya. Ia yang biasanya membatasi, saat itu membiarkannya saja. Peristiwa perjalanan ini pun bukan peristiwa biasa, jadi harus dirayakan dengan cara yang tidak biasa. Begitu pikirnya.

Setelah berunding sejenak, para anggota rombongan pun bersepakat untuk bermalam di Desa Pinggir Sungai Menggelegar. Selain suasananya yang nyaman, juga adanya pertemuan adat yang menarik mereka. Pertemuan membicarakan hilangnya keduabelas Yang Berdiri tersebut. Hati siapa yang tidak tertarik mendengar pembahasan mengenai hal itu. Para pedagang Desa Pinggir Sungai Menggelegar pun mengatakan bahwa para tamu boleh mendengarkan pertemuan itu, karena diharapkan dapat menjadi mata dan telinga untuk mencari tahu di mana terdapat patung-patung itu sekarang.


Setelah lima minggu dalam perjalanan menuju Desa Pinggiran Sungai Merah, melaului Pantai Selatan, di mana di utaranya terbentang Padang Batu-batu. Sampailah rombongan itu di padang rumput yang luas. Padang rumput yang memisahkan sedikit jarak sampai mereka tiba di Sungai Merah. Tinggal empat sampai lima hari lagi perjalanan, sehingga sampailah mereka ke Desa Pinggiran Sungai Merah. Sebenarnya di sepanjang Sungai Merah terdapat juga beberapa rumah atau kumpulan rumah-rumah penduduk, akan tetapi karena tidak memiliki struktur pemerintahan, agak sulit dikatakan atau dinamai apa tempat itu. Bukan desa.

Walaupun demikian wajah sumringah kelompok pedagang tak dapat disembunyikan. Tak jadi soal bagi mereka apakah itu desa atau hanya sekelompok orang, sejauh subyek perdagangan mereka ada. Senanglah hati mereka.

Lain halnya dengan para anggota Rombongan dari Pinggiran Sungai Merah, berbulan-bulan jauh dari kampung halaman telah menumbuhkan rindu di dalam hati mereka. Bersua kembali sanak saudara merupakan satu-satunya obat bagi keadaan tersebut. Dengan demikian sudah sepantasnyalah mereke juga berbunga-bunga hatinya, saat langkah-langkah mereka sudah bisa dipastikan akan sampai ke kampung halamannya kembali, Desa Pinggiran Sungai Merah.

Pada jaman itu perdagangan memiliki cara yang unik untuk menyatakan alat penukar barang atau uangnya. Suatu lempengan logam berbentuk segitiga sama sisi digunakan. Sisi-sisinya berukuran satu dua kuku ibu jari panjangnya. Entah siapa yang mulai membuatkan patokan, hampir semua di daerah sekitar Pinggiran Sungai Merah memakai cara penukar barang yang sama. Dan uniknya pada barang-barang yang dijual, terdapat gambaran “mata uang” itu yang disebut Tigaan. Untuk orang-orang utara dari Sungai Merah mereka memberi cetakan gambaran Tigaan sejumlah harga barangnya, semacam stempel. Jadi orang yang tidak bisa berhitung pun dapat melakukan transaksi. Cukup mencocokkan jumlah Tigaan yang dimilikinya dengan gambar Tigaan yang ada pada barang yang akan dibelinya. Bila cocok, barang dan Tigaan berpindah tangan.

Akan teatpi orang-orang yang tinggal di selatan Sungai Merah lebih kreatif. Mereka membuat lambang-lambang Tigaan yang menarik dan lebih nyeni. Sebagai contoh untuk barang yang berharga enam Tigaan, mereka gambarkan lambang segienam atau heksagonal, yang di dalamnya terlukis enam buah Tigaan. Atau Belah ketupat dan jajaran genjang untuk benda berharga dua Tigaan. Segitiga besar juga dapat digunakan untuk barang-barang berharga empat Tigaan. Selain itu ada pula corak-corak lain yang menambah nilai estetis dari barang yang akan dijual.

Melihat cara perdagangan yang menarik ini, pada kelompok pedagang dari Desa Luar Rimba Hijau memikirkan untuk menerapkannya sekembalinya ke desa mereka. Mereka berpikir dengan cara ini, akan lebih mudah berdagang. Tidak lagi membawa produk-produk langsung yang kadang bisa rusak, cukup Tigaan sebagai hasil penjualan. Yang di kemudian hari dapat digunakan kembali untuk berdagang. Dan atas keterangan seorang yang ditemuinya selama mereka berdagang di Pinggiran Sungai Merah, mereka ingin menemui semacam kelompok yang membuat Tigaan tersebut. Tidak sembarang orang dapat membuat Tigaan. Hal in dikarenakan sifat logamnya yang keras dan aneh, juga keseragaman dari cap yang ada di atasnya. Pernah terdapat Tigaan palsu. Untuk mencegahnya, maka dibuat suatu cap di atasnya sehingga orang dapat membedakan mana Tigaan yang asli dan mana yang palsu. Hanya terdengar bahwa bahan dasar Tigaan itu dapat diperoleh di daerah Gurun Besar. Dalam suatu lembah yang terdapat di sana.


“Ini adalah lingkaran Empat Elemen,” terang Ki Sura perlahan pada Lantang dan Rancana, “masing-masing elemen diyakini dalam ujar-ujar kuno sebagai pembentuk kehidupan ini.”

“Segitiga dengan puncak ke atas melambangkan api. Ingatlah bahwa itu bentuk api pada obor atau suluh. Segitiga dengan puncak ke bahwa melambangkan air. Untuk itu ingatlah arah air yang selalu menuju ke tempat yang rendah dalam mengalir. Lambang tanah, adalah lambang air yang diberi garis mendatar di tengahnya. Bayangkan sebagai air yang merembes ke dalam tanah.”

“Dan satu lambang tersisa adalah udara. Api yang meresap dalam sesuatu. Dan sesuatu itu adalah udara. Jadi lambang api diberi garis mendatar di tengahnya…” begitu jelas Ki Sura pada kedua orang itu perihal pemahamannya mengenai Empat Elemen. Suatu cara pandang kuno mengenai kekuatan atau unsur-unsur yang membentuk alam ini. Dengan memahami dulu inti dari cara pandang kuno itu baru dapat dipelajari ilmu-ilmu yang didasarkan pada cara pandang itu. Ilmu yang akan diturunkan oleh Ki Sura kepada Lantang dan dititipkan juga melalui Rancana. Berkaitan dengan kondisi tubuh Lantang yang aneh. Yang tidak dapat mengalirkan hawa, sebagaimana orang seharusnya bisa saat belajar ilmu kanuragan.


Lima tahun waktu pun berlalu. Bukan waktu yang sebentar apabila dalam berlalunya tersebut terjadi banyak perubahan-perubahan dalam empat penjuru. Jalur perdagangan yang dibuka oleh pedagang-pedagang dari Desa Luar Rimba Hijau, yang menghubungkan antara bagian timur dan barat, dan juga utara dan selatan, membuat makin banyaknya tumbuh desa-desa dan kota di sekitar jalur tersebut. Tempat-tempat yang dulunya hanya merupakan kumpulan rumah dan tidak memiliki pemerintahan berangsur-angsur menjadi desa. Sedangkan desa-desa yang dulunya sudah teratur seperti Desa Luar Rimba Hijau, Desa Pinggir Sungai Menggelegar, Desa Pinggiran Sungai Merah, Desa Air Jatuh dan Desa Paparan Karang Utara, tumbuh menjadi kota-kota yang ramai dikunjungi orang. Di kota-kota tersebut hampir ada semua keperluan. Terjadi pula perpindahan penduduk dari desa-desa ke kota, dikarenakan banyak kemudahan untuk hidup di kota-kota, sejalan dengan diterapkannya Tigaan sebagai mata uang. Benar-benar perubahan yang cepat dalam kurun lima tahun ini.

Apabila lingkungan berubah, bagaimana dengan individu-individu yang hidup di dalamnya? Dapatlah dikatakan secara naif bahwa mereka sudah sepantasnya pun turut berubah. Entah sebagai agen perubahan atau pun sebagai obyek modernisasi. Sisanya adalah orang-orang yang dapat digolongkan sebagai ketinggalan jaman, yang belum tentu jelek dalam artian luas.

Setelah bepergian bersama rombongan pedangan dari Kota Luar Rimba Hijau, saat itu masih Desa Luar Rimba Hijau, lima tahun yang lalu, akhirnya pindahlah keluarga Citra Wangi ke Kota Pinggiran Sungai Merah. Ini pun atas desakan dari Citra Wangi dan ibunga, Nyi Apik. Mereka begitu terpesona akan keadaan Desa Pinggiran Sungai Merah saat itu. Berangsung-angsur dengan berkembangnya desa itu menjadi kota, semakin kuat niat mereka untuk hijrah ke sana. Perubahan Desa Luar Rimba Hijau yang menjadi Kota Luar Rimba Hijau pun tak dapat menghalangi niat mereka untuk pindah. Kemoderenan Kota Pinggiran Sungai Merah sebagai pusat informasi, membuat mereka merasa kerasan. Dan bahwa orang harusnya tinggal di suatu kota yang seperti itu. Bukan lagi di kota seperti Kota Luar Rimba Hijau yang jauh dari mana-mana. Janji akan pertunangan dengan Paras Tampan tidaklah terlalu dipersoalkan. Citra Wangi sendiri yang mengatakan hal itu. Orang tua Paras Tampan hanya dapat mengelus dada melihat hal itu. Tak tahu mereka bagaimana anak mereka nanti menghadapi hal ini.

Rombongan pedagang Kota Luar Rimba Hijau, bersama-sama dengan Kota Pingir Sungai Menggelegar berkerja sama membangun suatu jasa pengiriman barang, yang mereka namakan Antaran Pasti, yang memiliki semboyan “Antar barang sampai depan pintu dengan mengarungi hutan, sungai dan gunung. Barang sampai pasti. Dijamin.” Dengan berbekal jaringan yang kuat dan juga didukung oleh pengawal-pengawal yang kuat, berani mereka memberikan jaminan seperti itu. Akan tetapi tentu saja dalam batas-batas yang diperhitungkan. Jarang-jarang mereka berani melewatkan barang mereka melalui Gurun Besar. Hanya untuk barang-barang tertentu yang tidak terlalu berharga berani mereka melalui tempat itu. Akibat adanya jasa pengantaran barang Antaran Pasti ini, semakin tidak ada bedanya antara barang-barang yang dapat dibeli di kota besar dan kota-kota di pedalaman. Apa-apa pun dapat dipesan. Asalkan ada Tigaan. Tigaan telah memainkan peran dalam kehidupan.

Hilangnya patung-patung keduabelas Yang Berdiri di Kota Pinggiran Sungai Menggelegar beberapa tahun yang silam masih menyimpang banyak tanda tanya. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengusutnya. Akan tetapi hanya jalan buntu yang ditemui. Akhirnya para penduduk bersepakat untuk melupakan saja peristiwa itu. Beberapa patung dibangun kembali. Tidak utuh semuanya. Hanya enam buah tiruan yang dibuat dan diletakkan di tempat di mana patung aslinya seharusnya berada. Di tempat-tempat dudukan patung yang tidak dibuat tiruannya diletakkan bunga-bunga di atasnya.

Jika itu adalah gambaran sekilas perubahan-perubahan pada penduduk dan kota-kota, dunia persilatan sendiri masih tampak adem-ayem saja. Perguruan Kapak Ganda semakin memapankan dirinya. Dengan hampir dua ratusan murid-murid tingkat menengah, sehingga dengan murid-murid tingkat bawah dan yang baru belajar mencapai seribuan orang. Jumlah yang cukup mengiriskan bagi perguruan yang bermusuhan dengannya. Adapun hal ini dapat dicapai dengan dibukanya cabang-cabang perguruan ini di berbagai kota. Perguruan pusatnya tetap terdapat di Kota Paparan Karang Utara, akan tetapi terdapat dua cabang besarnya yaitu di Kota Lembah Batu Langit dan Kota Pinggiran Sungai Merah. Ketiga lokasi cabang-cabang perguruan ini entah mengapa melingkupi perguruan silat saingannya atau lawannya, yaitu Perguruan Atas Angin yang berlokasi di Kota Air Jatuh.

Lain halnya dengan Perguruan Kapak Ganda, lain pula halnya dengan Perguruan Atas Angin. Perguruan silat ini walaupun terlihat juga berambisi untuk menambah jumlah murid, akan tetapi tidak seagresif Perguruan Kapak Ganda dalam melakukan proses perekrutan anggota. Mereka masih memilih dan memililah murid-murid yang dianggap berbobot. Baik dari segi bakat ataupun finansial. Setelah tiadanya Lingkaran Dalam, puncak pimpinan perguruan dipegang tunggal oleh Tapak Kelam. Saudara-saudaranya yang tinggal lima orang bersama dirinya, ditempatkan sebagai Empat Pilar. Sisanya adalah murid-murid tingkat rendahan. Tidak seperti dulu, bahwa tradisi Lingkaran Dalam dapat digonta-ganti oleh murid-murid tingkat satu yang pandai, posisi ketua perguruan dan Empat Pilar mutlak adanya. Dan memang tiada seorang pun dari murid-muridnya dapat menandingi Empat Pilar atau pun sang guru. Sebenarnya di luar kelima orang ini masih terdapat sedikitnya tiga orang lingkaran dalam yang cukup mumpuni. Dua orang dari mareka masih berkecimpung dalam bidang kanuragan dengan membuka perguruan di kota lain. Tidak menggunakan nama sebagai cabang Perguruan Atas Angin, akan tetapi tidak pula menyembunyikan diri bahwa mereka mengajarkan ilmu yang sama dengan perguruan tersebut. Seorang Lingkaran Dalam yang lain tidak diketahui rimbanya. Bayangan Hitam Berbisik julukannya. Sejak meninggalnya Ki Jagad Hitam ia pun menghilang. Saat terakhir hanya tampak ia berada di makam gurunya. Tiada pesan yang ditinggalkan. Saudara-saudaranya dari Lingkaran Dalam pun tidak begitu mempedulikannya, mengingat sifatnya yang agak tertutup dan suka menyendiri.


Jalan setapak yang menuju lereng-lerang Gunung Hijau tampak membentang di depan matanya. Seorang pemuda tampak berdiri memandangi jalan setepak tersebut yang melingkar-lingkar seperti ular, menanjak dan akhirnya hilang ditelan awan di atasnya. Benar-benar menggirisi. Bila saja belum memiliki ilmu seperti yang telah dilatihnya selama ini, bisa jadi pemuda itu akan mengurungkan niatnya untuk mendaki gunung itu. Pemuda itu Paras Tampan sedang menunggu waktu. Menunggu isyarat alam, saat yang tepat untuk mulai mendaki. Kegiatan ini merupakan ujian penghabisan bagi ia dan kawan-kawannya. Ujian bahwa ia dan kawan-kawannya telah tamat belajar di dalam Rimba Hijau. Bukan perguruan silat, kata Ki Tapa, melainkan hanya tempat menempa diri. Cukup Rimba Hijau, tanpa embel-embel perguruan, jangan seperti yang disebutkan penduduk desa imbuhnya. Dari dua puluh empat kawula muda yang berlatih saat itu, telah gugur tujuh belas orang. Tinggal tujuh orang yang masih bertahan. Kawula muda yang gagal telah pulang kembali ke Kota Luar Rimba Hijau untuk melanjutkan hidupnya. Walaupun gagal, sedikitnya mereka memiliki kebisaan dalam Ilmu Jalan Selaras dengan Alam Semesta untuk menjaga diri. Mereka pun diperbolehkan untuk melatih orang-orang di kotanya. Beberapa dari mereka bahkan bekerja sama membentuk suatu padepokan dan mengajarkan ilmu tersebut. Kegagalan mereka semata-mata hanyalah karena bakat yang kurang cocok dengan ilmu-ilmu yang lebih tinggi. Untuk itu Ki Tapa telah mengajarkan ilmu-ilmu lain yang lebih cocok untuk mereka. Jadi untuk ukuran orang biasa, mereka tidak boleh dipandang sebelah mata. Dan menjadi suatu kebanggaan bahwa mereka pernah berlatih di dalam Rimba Hijau.

Ketujuh orang yang tinggal adalah Gentong, Asap, Misbaya, Rintah, Rantih, Kirani dan pemuda itu, Paras Tampan. Kedua kawula putri terlihat amat berbakat dalam pengobatan, oleh karena itu mereka tidak mengikuti ujian ini. Lima orang saya yang harus menggenapi latihannya dengan memanjat ke atas gunung dan melampaui tempat-tempat yang ditugaskan oleh Ki Tapa. Pesannya, bahwa di tempat-tempat tersebut bila berjodoh dapat bertemu peninggalan-peninggalan ahli-ahli silat jaman kuno, yang bertapa menuliskan hasil-hasil karyanya di atas batu dan meninggal di sana. Akan tetapi mengingat betapa banyaknya lorong-lorong batu, gua-gua dan juga sisa-sisa pondok di atas pohon di gunung itu, tidak dapat dipastikan apakah seseorang yang mampu untuk naik ke atas gunung dapat menemukan paling tidak satu catatan tersebut. Bahkan kadang terdapat catatan-catatan palsu yang dibuat oleh orang-orang yang dulu pernah mencoba tetapi gagal, dan untuk turut menggagalkan orang lain, dibuatnya catatan-catatan palsu tersebut. Untuk itu Ki Tapa pun tidak dapat memberi petunjuk. Seorang seperti Ki Tapa pun belum tentu memperoleh keberuntungan untuk memperoleh catatan-catatan itu. Benar-benar nasib yang menuntun atau catatan-catatan itulah yang mencari penerusnya.

Untuk berguru sendiri di gunung itu masing-masing kelima orang itu diberi waktu dua tahun. Apa pun yang terjadi, dapat atau tidak, mereka harus kembali turun. Ki Tapa akan memilih dari kelima orang itu nanti, dua orang yang akan menggantikannya. Menjaga Rimba Hijau seperti dirinya. Sisanya dapat mengembara ke empat penjuru angin untuk menambah pengalaman.

Keempat temannya telah lebih dulu berangkat. Dari urutan yang ditarik, Paras Tampan mendapat bagian terakhir. Setelah matahari tiada lagi di puncak titik kulminasinya, ia dapat berangkat. Misbaya mendapat giliran saat ayam belum berkokok. Menyusul kemudian Gentong. Rintah berangkat setelah matahari agak tinggi. Asap mendapat giliran sehabis itu, saat matahari sedang tinggi-tingginya. Dan sekarang gilirannya, Paras Tampan. Ia tidak tahu kemana ia harus mengambil arah. Menurut Ki Tapa, ke arah mana saja tidak jadi soal. Biarkan kitab-kitab itu yang menemuimu. Jadilah dirimu sendiri. Jangan berpura-pura. Kitab atau catatan yang sesuai akan mencari orang yang sesuai pula.

Sejenak Paras Tampan memejamkan matanya. Menenangkan dirinya. Mengucap puja dan puji pada Sang Pencipta. Mohon bimbingan atas ujian ini. Seraya pula tidak lupa mengucap syukur atas karunia yang diterimanya selama ini. Bisa sampai di titik ini. Berdoa pula ia untuk teman-teman seperjuangannya yang telah berangkat. Teman-temannya yang telah pulang ke luar Rimba Hijau. Juga untuk Rantih dan Kirani yang tidak turut serta, serta Ki Tapa gurunya. Setelah merasa tenang, mulai beranjaklah Paras Tampan. Melangkahkan kaki menempuh jalan setapak yang akan membawa perubahan besar bagi hidupnya.


Undinen itu bernama Xyra, seorang Undinen yang rupawan. Pertemuannya pertama kali dengan Lantang seorang anak manusia tidak dapat menghilang dari benaknya. Masih terbayang bagaimana ia terpesona pada sosok anak kecil itu. Sosok yang membayangkan hawa yang lain. Bukan hawa manusia bukan pula hawa bangsa Undinen. Hawa yang menarik hatinya. Apalagi sejak anak itu Lantang mempelajari Ilmu Hawa Air atas bimbingan Ki Sura dan Nyi Sura, semakin kental hawa anak itu menarik hatinya. Ada rasa nyaman dalam hawa itu.

Baik Lantang, maupun kedua guru barunya Ki dan Nyi Sura, mengetahui keberadaan Undinen yang selalu mengamat-amati Lantang. Mereka membiarkannya saja, karena tidak mengganggu. Bahkan keberadaannya kadang dapat membantu Lantang dalam mengendalikan hawa dingin, mengingat sifat alami dari Undinen yang membuat hawa di tempat ia berada menjadi amat dingin. Hal ini terutama baik apabila Lantang harus melatih ilmunya pada saat musim panas datang, di mana tidak ada lagi tempat yang cukup dingin di Pulau Tengah Danau itu. Saat itu biasanya Xyra sang Undinen telah mengerti tanpa diminta, sering berada dekat dengan Lantang, walaupun tidak menampakkan diri. Entah bagaimana telah tumbuh semacam persahabatan di antara mereka.

Rancana sudah satu tahun pergi meninggalkan Pulau Tengah Danau itu. Ada urusan yang harus diselesaikannya. Ia hanya berpesan pada Lantang, apabila telah selesai belajar, untuk mencarinya ke timur. Di Rimba Hijau. Bila tidak dapat menemui dirinya, carilah Ki Tapa. Pada awalnya sedih hati Lantang melihat kepergian guru pertamanya, Rancana yang dikenal sebagai Bayangan Menangis Tertawa, akan tetapi lama kelamaan hilang kesedihan itu setelah tenggelam ia dalam kesibukan mempelajari ilmu-ilmu pengolahan tenaga air yang diajari oleh Ki dan Nyi Sura.

Telaga, anak dari Ki dan Nyi Sura, juga telah pergi merantau satu tahun sebelum perginya Rancana. Ia mengambil arah ke selatan, menembus Padang Batu-batu terus ke Pantai Selatan. Ingin ia meluaskan pengalamannya dan menambah ilmu. Bujukan orang tuanya agar ia menunda perjalanannya tidak diindahkannya. Katanya dengan arif bahwa dengan adanya Lantang, ayah dan ibunya telah mendapat ganti dirinya. Ia juga telah menganggap Lantang sebagai adiknya sendiri. Kedua orang itu saling memanggil kakak dan adik.


Cermin Maut tampak mematut-matut dirinya. Wajahnya yang tidak lagi bisa dikatakan muda, masih terlihat cantik. Hal dikarenakan ilmu awet muda yang diterapkannya. Di hadapannya tampak Sabit Kematian duduk, tanpa tudung kepalanya. Terlihat lucu karena tampak sosok wajah bulat yang hampir tiada ditumbuhi rambut di atas kepalanya. Sosoknya menjadi tidak lagi terlihat menakutkan tanpa tudung kepala yang biasanya menyembunyikan wajahnya dalam kegelapan dan juga tanpa sabitnya. Di sisi lain dari meja di hadapan keduanya duduk Mayat Pucat yang tampak sedang memikirkan sesuatu. Ketiganya terdiam seakan-akan asik dengan pikirannya masing-masing.

“Kakak Mayat Pucat..,” ucap Cermin Maut perlahan memecah keheningan. “Apakah menurutmu wasiat dari adik Naga Geni itu benar adanya?”

“Hmm, maksudmu apa yang tertera di alas prasasti itu?” tanya Mayat Pucat sambil menunjuk sehelai catatan peninggalan Naga Geni.

Tertulis di atas secarik kertas tulisan Naga Geni, yang berbunyi “Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa memperkuat tulang, melemaskan otot dan melancarkan peredaran darah. Angin-angin meringankan gerak dan menghilangkan bayangan. Batu-batu membuat lapisan kulit menebal seperti besi dan Seribu Ramuan memberi tubuh asupan yang berguna.”

“Menarik.., menarik..,” gumam Sabit Kematian sambil mengangguk-angguk. Alih-alih membaca catatan peninggalan Naga Geni, ia malah membolak-balik prasasti yang dimaksud dengan sabitnya. Bisa dibayangkan berapa besar tenaga Sabit Kematian, yang dapat membolak-balik prasasti seukuran kerbau itu. Ia rupanya telah beranjak pergi di saat Cermin Maut dan Mayat Pucat sedang berbicara.

“Di sini, di bawah syair yang dituliskan Naga Geni, masih ada lambang-lambang aneh..!” katanya seakan-akan pada dirinya sendiri. Lambang itu ditemukannya setelah mencongkel-congkel bagian yang tertutup tanah liat kering. Di dalamnya ternyata terdapat guratan-guratan yang membentuk sesuatu. Mungkin karena bentuknya yang agak menjorok sejauh ibu jari, tidak ada orang yang mengira bahwa warna coklat kehitaman itu bukanlah batu asli, melainkan hanya tanah liat yang sengaja direkatkan dan dilapisi sedemikian rupa sehingga terlihat seperti batu biasa.

Mendengar itu kedua saudara angkatnya langsung bagaikan terbang melayang dari meja tempat mereka duduk menuju tempat di mana prasasti itu tergeletak setelah diletakkan oleh Sabit Kematian.

“Apa maksudnya ini?” tanya Cermin Maut tak mengerti. Di bawah tulisan tersebut terdapat panah dan gambar sebuah segitiga yang ujung lancipnya menghadap ke atas dan di setengah tingginya terdapat garis mendatar. Panah tersebut mengarah ke lambang tersebut. Seakan-akan ingin mengatakan bahwa jawaban terdapat pada lambang segitiga itu.

“Tentu ada maknanya,” ucap Sabit Kematian dengan ragu-ragu. Entah di mana, pernah rasanya ia melihat lambang seperti itu. Lupa. Sudah lama sekali rasanya.

“Sudahlah, biarkan saja!” usul Mayat Pucat. “Paling-paling itu hanya lambang yang tidak berarti. Lebih baik kita menafsirkan dulu, apa maksud tulisan Naga Geni ini.”

“Maksud Kakak Pucat,” tanya Sabit Kematian, “apakah itu sebuah kitab atau hanya sebuah jurus saja atau ilmu? Menurutku itu masing-masing sebuah kitab. Jadi ada empat buah kitab.”

“Tapi lebih terdengar sebagai sebuah kiasan saja,” usul Cermin Maut.

Ketiganya pun kembali termenung. Melayang dalam pikiran masing-masing. Memang Naga Geni tidak meninggalkan pesan apa-apa terhadap pesan itu. Bagaimana ia dapat memperoleh prasasti dan catatan itu. Prasasti itu sebenarnya bukan berada pada tempatnya di sini, melainkan jauh ke arah barat laut di kota lain. Prasasti itu berhasil dicuri oleh salah seorang muridnya dekat saat Perguruan Kapak Ganda dan Perguruan Atas Angin sedang berseteru di Bukit Utara beberapa tahun yang silam. Suatu pertempuran habis-habisan bagi Perguruan Kapak Ganda. Murid yang dipesankannya untuk mencuri itu adalah seorang murid pilihannya yang tidak dikenal oleh murid-murid lainnya, bahkan oleh Penjuru Angin, yang merupakan murid-murid tingkat tinggi perguruan itu. Murid ini dirancangnya untuk menjadi penerusnya kelak karena bakatnya yang melebihi kedelapan orang Penjuru Angin. Akan tetapi tidak diperkenalkannya sosok itu kepada khalayak ramai karena ia punya misi tertentu dengan orang itu. Dan salah satunya adalah urusan mencuri prasasti di air terjun Air Jatuh, yang merupakan daerah kekuasaan Perguruan Atas Angin.

Tags: