nou

kisah rimba dan gunung hijau

Nein Arimasen
82 mins read ·

elemen kekosongan 1/9

url https://elemen-kekosongan.blogspot.com/2006/11/kisah-rimba-dan-gunung-hijau.html

Kisah ini dimulai pada suatu masa di suatu tempat, saat suatu pagi terlihat akan mengantar pada suatu hari yang cerah. Kabut tipis yang mengambang masih berusaha mencegah sinar sang surya untuk mencapai hamparan permadani hijau berklorofil di dataran tinggi itu. Orang menamakan gunung yang ada di sana sebagai Gunung Hijau, karena di kakinya terdapat suatu hutan belantara yang dinamakan hutan Rimba Hijau. Kata-kata Hijau tersebut selain datang dari bentuk fisik alam sekitarnya yang dipenuhi oleh jasad-jasad nabati berklorofil, juga dikarenakan pada saat-saat tertentu terdapat gas berwarna hijau yang dikeluarkan oleh rawa-rawa di sekitar hutan tersebut. Kadang pada saatnya orang hampir tidak dapat melihat apa pun yang ada di belakang kabut yang tercampur dengan gas berwarna hijau tersebut.

Rimba Hijau dan Gunung Rimba Hijau merupakan sepasang misteri yang membuat orang-orang desa yang tinggal di daerah luaran kedua tempat tersebut amat berhati-hati membicarakannya. Bukan saja karena wujudnya saja yang sudah menyeramkan bagi orang yang melihatnya, akan tetapi juga karena baru-baru ini terdapat suatu peristiwa mengiriskan yang membuat orang menjadi bertanya-tanya.

Kejadian itu bermula dari datangnya sekelompok orang yang apabila ditilik dari sandang yang dikenakannya, adalah golongan pendekar. Mereka ini terdiri dari empat orang. Keempatnya adalah saudara seperguruan, di mana hal ini terlihat dari cara mereka saling memanggil satu sama lain dengan “kakak” atau “adik” yang diikuti dengan urutannya. Orang pertama yang bertubuh tinggi besar dan berkulit gelap. Orang kedua memiliki tinggi yang hampir sama dengan orang pertama, akan tetapi dengan postur yang amat kurus, sehingga terlihat seperti galah. Orang ketiga bertubuh rata-rata orang kebanyakan dengan ciri khusus yaitu rambutnya yang dijalin-jalin seperti sumbu kompor. Dan orang keempat memiliki postur tubuh agak pendek akan tetapi dengan otot-otot kekar yang melebihi ketiga saudara seperguruannya.

Keempatnya berlari cepat seperti terbang saat memasuki hutan Rimba Hijau. Kedatangan mereka tidak sembunyi-sembuyi. Beberapa petani yang sedang mengerjakan sawahnya dilalui mereka tanpa menyapa. Dan yang menggirisi adalah mereka tidak lagi perlu menggunakan pematang untuk melewati sawah-sawah sebelum mencapai mulut hutan, akan tetapi cukup dengan menggunakan pucuk-pucuk padi yang belum dipanen sebagai pijakan. Pucuk-pucuk tersebut hanya bergoyang-goyang kecil, seakan-akan keempat orang tersebut adalah burung-burung Pipit saja.

Melihat hal ini para petani tidak ada yang berani bersuara. Mereka diam saja dengan muka penuh tanda tanya dan kekuatiran. Hal ini dikarenakan sesuatu hal pasti akan terjadi, dan mau tidak mau pasti akan mempengaruhi mereka, para penghuni desa di sekitar hutan dan gunung tersebut.

Dulu kala, menurut cerita yang disampaikan secara turun-temurun, sebelum hutan dan gunung tersebut menjadi terlarang dan berwarna hijau yang disertai dengan adanya kabut dan gas tersebut, adalah seorang tua pertapa yang datang ke desa itu. Ia menemui kepala desa dan menyatakan niatnya yang hendak menyepi ke gunung yang dikelilingi oleh hutan tersebut. Ia kemudian mewanti-wanti bahwa mulai saat itu gunung dan hutan menjadi tempat terlarang bagi siapa pun. Akan tetapi apabila penduduk desa ada yang membutuhkan pertolongan dalam pengobatan, maka ia dapat dihubungi dengan memberikan tanda-tanda di suatu tempat yang telah ditentukan.

Dikarenakan sikap orang tersebut baik dan tidak mengisyaratkan hal yang bukan-bukan, maka tentu saja kepala desa mengabulkan permintaan dan sekaligus mematuhi larangannya. Dan hal tersebut dipatuhi secara turun-temurun tanpa dipertanyakan mengapa. Begitulah orang-orang desa yang masih lugu dan bebas dari prasangka. Oleh karena itu hiduplah mereka dengan baik dan tenteram. Pernah suatu kali terjadi wabah penyakit, dan teringatlah orang akan sang pertapa yang dapat dimintai pertolongan, sesuai dengan janjinya dulu. Setelah memberikan tanda-tanda pada tempatnya beserta berita mengenai wabah penyakit yang menyerang, ditinggalkannya tempat tersebut. Dan keesokan harinya ditemuilah dua buah keranjang bambu besar berisi rempah-rempah obat yang disertai dengan petunjuk bagaimana memanfaatkannya.

Dengan menggunakan obat-obatan tersebut, sembuhlah para penduduk desa itu. Oleh sebab itu mereka menghormati hutan dan gunung tersebut sebagai tempat kediaman seorang sakti yang senantiasa menjaga mereka, apabila mereka mematuhi dan menghormati larangan-larangannya. Dan pertolongan itu bukan hanya sekali dua kali, melainkan telah berkali-kali. Dengan demikian tidaklah aneh bahwa orang-orang desa mengeramati tempat tersebut

Dan hari itu datanglah keempat pendekar dengan rupa yang aneh bagi orang kebanyakan. Tanpa “ba-bi-bu” dan tanya-tanya, langsung saja memasuki hutan Rimba Hijau dan lenyap ditelannya. Orang-orang yang tidak saja belum sempat bertanya, dan juga agak segan melihat kepandaian keempat orang tersebut, menjadi was-was. Mereka pun pulang untuk melaporkan kejadian tersebut kepada kepala desa mereka.

Tak ada yang dapat dilakukan para penghuni desa tersebut. Mereka hanya dapat menunggu dengan harap-harap cemas, kelanjutan dari masuknya keempat orang tersebut ke dalam hutan Rimba Hijau.

Dan hal yang dikuatirkan pun terjadi pada keesokan harinya. Di tempat di mana orang biasa meletakkan tanda-tanda, apabila ingin memperoleh pertolongan obat-obatan dari penghuni hutan dan gunung, tergeletak keempat orang pendekar yang kemarin memasuki hutan. Akan tetapi disayangkan bahwa keempatnya telah melepas nyawa, sehingga tidak dapat ditanyai apa yang sebenarnya terjadi. Hanya sebuah pesan singkat yang ada, yang meminta penduduk desa untuk menguburkan keempat orang tersebut di sekitar tempat itu, untuk menjadi peringatan yang lain agar tidak memasuki hutan dan gunung.

Waktu pun berlalu bagai dihempuskan angin. Dan pada suatu hari datang kembali secara berterang orang-orang yang berkeinginan untuk masuk ke dalam hutan Rimba Hijau.

Jika dulu keempat orang pendekar itu masuk ke hutan dan gunung tanpa basa-basi, maka hari ini datanglah serombongan orang yang terlebih dahulu bertegur-sapa dengan penghuni desa dan menyatakan ingin menemui kepala desa, untuk minta ijin memasuki gunung dan hutan.

Seorang muda yang merupakan ketua dari rombongan itu menyatakan niatnya kepada kepala desa untuk memasuki wilayah yang dikeramatkan oleh penduduk itu.

“Kepala desa yang terhormat, kami rombongan dari Pingiran Sungai Merah berniat untuk memasuki hutan dan gunung di pinggir desamu ini,” katanya dengan sopan, “berilah kami ijin.”

“Maaf saudara dari Pinggiran Sungai Merah,” jawab sang kepala desa dengan bimbang, “hutan dan gunung itu bukanlah milik kami, sehingga kami tidak dapat memberikan ijin. Akan tetapi telah disampaikan secara turun-temurun di antara kami penduduk desa ini, bahwa hutan dan gunung itu tidaklah boleh dimasuki, jika tidak dilarang. Penghuninya dan kami telah saling berjanji. Kami tidak mengganggu dan mereka akan membantu bila kami dalam musibah.”

“Maksudnya?” tanya pemimpin rombongan, yang kemudian diketahui bernama Asap.

“Ya, dulu sekali, sewaktu sungai-sungai masih jernih mengalir dan kadal-kadal sebesar kerbau masih berkeliaran, ada seorang pertapa yang meminta untuk tinggal menyepi di hutan dan gunung itu.” Lalu diceritakanlah oleh kepala desa itu riwayat bagaimana gunung tersebut menjadi suatu pantangan untuk dimasuki, dan bagaimana penghuninya yang tidak pernah terlihat membantu penduduk desa saat desa diserang wabah penyakit.

Dan diceritakannya pula mengenai nasib keempat pendekar yang masuk ke sana, akan tetapi pulang dalam keadaan siap berkalang tanah.

Mendengar hal tersebut, Asap menjadi tertarik dan semakin kuat niatnya untuk memasuki hutan dan gunung tersebut.

“Saudara Asap dari Pingiran Sungai Merah, urungkanlah niat kalian untuk memasuki hutan dan gunung itu,” pinta sang kepala desa, “selain untuk kebaikan kalian sendiri, juga untuk kebaikan kami. Bagaimana bila nanti penghuni hutan dan dan gunung marah kepada kami, karena kalian tidak menggubris larangan kami ini.”

Mendengar itu, Asap menjadi tidak enak. Ya, ia tahu untuk rasa takut, ia dan kawan-kawannya akan dapat menghadapi hal itu karena mereka adalah orang-orang yang pernah mempelajari ilmu kanuragan dan juga sedikit sihir. Akan tetapi untuk akibat yang akan diterima oleh penghuni desa itu, merupakan suatu tanggung jawab moral yang harus ditanggungnya. Bila saja ia bisa agak tak peduli dengan hal itu. Tapi sayangnya tidak.

Setelah berunding dengan orang-orang serombongannya, akhirnya berterus-teranglah Asap tentang maksudnya untuk memasuki hutan dan gunung tersebut. Ia dan kawan-kawannya bermaksud untuk mencari sejenis tumbuhan yang akan dipergunakan sebagai obat untuk mengobati saudaranya yang sakit, yang juga berada di dalam rombongan itu. Sakitnya itu tidak biasa, yaitu ia kehilangan ingatannya, akan tetapi dapat memberikan arah ke hutan dan gunung itu, ke suatu tempat di mana terdapat obat-obatan untuk menyembuhkannya. Suatu penyakit yang akan lebih dipandang orang sebagai suatu kesurupan atau kemasukan jiwa lain. Akan tetapi sudah banyak orang-orang yang biasa menangani hal seperti itu dipanggil dan mereka menyerah. Bukan karena orang yang sakit itu melawan, akan tetapi karena yang sakit itu menjawab semua pertanyaan dengan baik dan ramah, dan menyatakan bahwa obat satu-satunya hanyalah di dalam hutan di kaki gunung itu.

“Jika kebutuhan saudara dari Pinggiran Sungai Merah adalah untuk pengobatan, ada baiknya kita meminta petunjuk dari penghuni hutan dan gunung dengan menggunakan cara-cara yang biasa kami lakukan, ketimbang melanggar pantangan dengan memasuki hutan dan gunung itu sendiri,” kata kepala desa.

Asap dan kawan-kawannya pun setuju, karena mereka melihat itu sebagai suatu jalan tengah. Mereka tidak ingin memberikan kesusahan kepada penghuni desa yang telah ramah menerima mereka ini.

Tak lama kemudian berkumpulah para warga dusun itu untuk mengadakan urung rembug dalam niatan menolong anggota rombongan yang sakit dengan memohon bantuan dari penghuni hutan dan gunung, dengan memberikan tanda-tanda untuk berkomunikasi di tempat yang telah ditentukan. Akhirnya dari hasil urung rembug tersebut diputuskan ada dua orang warga yang cukup dituakan yang akan menemani anggota rombongan dari Pinggiran Sungai Merah untuk berdiam di sekitar tempat yang telah ditentukan untuk berkomunikasi dengan penghuni hutan dan gunung. Mereka ini membekali dirinya dengan berbagai keperluan untuk berkomunikasi dengan penghuni hutan dan gunung.

Setelah persiapan matang, berangkatlah empat orang anggota rombongan, seorang yang sakit dan dua orang wakil dari desa itu menuju tempat pertemuan yang telah ditentukan dengan membawa syarat-syarat untuk berkomunikasi dengan penghuni hutan dan gunung.

Tempat yang dituju oleh rombongan adalah semacam tanah lapang yang dengan tanpa perawatan hanya ditumbuhi oleh rumput-rumput setinggi kuku jari, di mana ditengahnya terdapat tumpukan batu-batu bekas kuil atau candi jaman dulu, jaman di mana kadal-kadal sebesar kerbau masih banyak berkeliaran dan sungai-sungai masih jernih mengalir.

Bekas candi atau kuil tersebut terlihat biasa saja, memiliki bentuk empat sisi yang sama panjang, dengan panjang sisi-sisinya antara tiga sampai empat kerbau dewasa berjajar. Tumpukan batu-batu tersebut tersusun rapi sehingga mirip sebuah panggung yang berjarak setinggi dengkul dari rerumputan di sekitarnya. Di keempat sisi yang masing-masing menghadap keempat arah mata angin utama, yaitu utara, timur, selatan dan barat itu terukur berbagai macam simbol yang asing bagi orang kebanyakan. Simbol-simbol tersebut terukir dalam batu dan terisikan oleh sejenis logam, sehingga warnanya dapat dibedakan dengan sekitarnya, oleh sebab itu dari jauh lambang-lambang tersebut sudah dapat terlihat dengan samar-samar.

Sekitar seratur langkah sebelum menghampiri pelataran batu tersebut seorang dari desa mengangkat tangannya sebagai isyarat anggota rombongan untuk berhenti. Kemudian memerintahkan agar keempat orang penandu dan orang yang sakti tersebut untuk beristirahat, sementara ia dan temannya perlahan mendekat dengan hormat ke pelataran tersebut. Sesampainya di sana kedua orang tersebut berhenti dan membuka perbekalan yang mereka bawa dan mulai memperhatikan simbol-simbol yang terpahatkan di keempat sisi yang menghadap ke masing-masing mata angin. Apabila diperhatikan lebih lanjut ternyata di atas pelataran dekat dengan masing-masing sisi terdapat lobang-lobang sejumlah delapan buah seukuran kepalan tangan pada tiap sisinya, sehingga jumlah keseluruhan lobang-lobang ada empat dikalikan delapan buah.

Setelah membaca sebuah semacan lontar yang merupakan bagian dari perbekalan, orang pertama memerintahkan temannya untuk memasang sejumlah tongkat pada lobang-lobang yang telah ditentukan. Tongkat-tongkat tersebut ternyata terbagi menjadi dua macam, yaitu yang ujungnya menggembung terbuat dari kain yang dibasahkan oleh semacam minyak dan yang terbuat dari kaca tembus pandang. Setelah beberapa saat mengamati tulisan pada lontar tersebut, akhirnya orang pertama mengangguk puas pada pemasangan tongkat-tongkat tersebut. Kemudian kembalilah mereka kepada rombongan yang sedang berdiam tidak jauh dari pelataran batu tersebut.

Melihat itu semua Asap, kepala rombongan dari Pinggiran Sungai Merah, yang juga merupakan salah seorang penandu, tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya kepada salah seorang dari desa tersebut, yang meminta dipanggil Ki Gisang.

“Maaf Ki Gisang yang saya hormati, boleh saya tahu apa arti dari pemasangan tongkat-tongkat tersebut?”

Ki Gisang tidak menjawab, melainkan hanya tersenyum. Tentu saja hal ini membuat Asap semakin penasaran jadinya, yang jelas-jelas dapat terlihat dari raut mukanya. Dan sebelum ia bertanya kembali, orang kedua dari desa, Ki Kampar, menyahut, “Saudara Asap, apa yang baru kami lakukan adalah cara berhubungan yang diajarkan oleh penghuni hutan dan gunung kepada kami.”

“Suatu cara yang belum pernah saya lihat sebelumnya,” kata Asap dengan sejujurnya.

“Untuk sementara simpanlah pertanyaan saudara itu. Jika saudara beruntung, mungkin saudara bisa memperoleh kesempatan untuk mendengar sendiri penjelasannya dari mereka, penghuni hutan dan gunung,” akhirnya Ki Gisang mengucapkan kata-kata.

Mendengar ini ini, Asap menjadi malu dan takhluk. Ia sadar bahwa keingintahuannya tidaklah pada tempatnya. Penduduk desa telah amat baik menerima ia dan rombongannya dengan ramah, dan bahkan mau membantu untuk menghubungkannya dengan penghuni hutan dan gunung. Dan ia masih bertanya-tanya lagi.

Hening dan sunyi. Angin yang berbisik-bisik tidak dapat menghalau keheningan yang mencekam itu. Tapi semua orang tahu, bahwa mereka memang harus menunggu. Keheningan itu tidak sia-sia.

Merasa bahwa apabila membunuh waktu untuk bertemu dengan Penghuni Hutan dan Gunung itu hanya dilakukan dengan menunggu saja, tak tega rasanya Ki Gisang, setelah ia melihat bahwa orang-orang dari Pinggiran Sungai Merah tersebut malah menjadi gelisah dan mulai berbisik-bisik di antara mereka sendiri. Katanya kemudian,

“Tempat ini disebut oleh Penghuni Hutan dan Gunung sebagai Portal atau Gerbang. Di sini kami dapat memberikan tanda-tanda yang akan disampaikan pada mereka atau seseorang di sana, karena saya tidak tahu berapa jumlah sebenarnya penghuni di sana, walaupun biasanya orang yang datang hanya satu dan selalu orang yang sama, melalui suatu cara tertentu. Bagi kami cara untuk menyampaikannya tidaklah penting. Bantuannyalah yang berarti bagi kami.”

Kemudian lanjutnya, “akan tetapi hal itu diketahui pula olehnya bahwa kami pernah suatu saat menjadi bertanya-tanya bagaimana cara seperti ini dapat bekerja dalam memberi dan menerima kabar.” Saat berbicara Ki Gisang tersenyum, mengingat betapa dulu ia bersikap seperti pemuda Asap ini, selalu ingin tahu dan penasaran. Pengalaman mengajarkan padanya bahwa kadang diam dan mengamati itu bisa lebih baik dari bertanya-tanya tetapi tidak berpikir.

“Keempat sisi dari alas Portal ini melambangkan keempat mata angin utama: utara, timur, selatan dan barat. Masing-masing sisi memiliki arti sendiri-sendiri,” lanjut Ki Tampar yang kemudian menceritakan perihat arti-arti dari lambang-lambang dan cara berkomunikasi dengan Penghuni Hutan dan Gunung, sebagaimana mereka berdua diajarkan dulu.

“Apakah kalian berdua telah mengerti?” orang itu bertanya kepada Tampar dan Gisang muda, dua pemuda yang baru saja diajarkannya bagaimana orang dapat mengartikan deretan lambang-lambang yang baru saja digambarkannya di atas pasir.

“Ki Tapa, maaf bila saya masih bertanya,” ucap Tampar.

“Tanyakanlah apa yang hendak kau tanyakan Tampar. Lebih baik sekarang bertanya, dari pada keliru di kemudian hari,” jawab Ki Tapa, sang pertapa tua sambil tersenyum.

“Begini Ki Tapa…, lambang-lambang ini, mengapa perlu dituliskan dalam huruf-huruf asing.. Yunani.., kenapa tidak alam aksara kita saja?”

“Kalau menerut kamu sendiri bagaimana? Atau kamu Gisang, apa pendapatmu?” kata Ki Tapa yang menjawab pertanyaan Tampar dengan pertanyaan balik sekaligus melibatkan Gisang dalam pembicaraan tersebut.

“Kalau menurut saya, Ki Tapa memiliki alasan mengapa lambang-lambang tersebut ditulis dalam huruf Yunani ketimbang dalam aksara kita.”

“Dan alasannya?” desak Ki Tapa tertarik. Ia menduga-duga apakah Gisang ini memiliki kecerdikan yang diperkirakannya.

“Salah satu alasan adalah agar cara-cara berkomunikasi ini tidak dapat dengan mudah dipelajari oleh orang-orang yang tidak diinginkan,” jawab Gisang dengan yakin.

“Benar.. benar.., kamu benar sekali Gisang,” sahut Ki Tapa dengan gembira, “memang ada alasan seperti itu yang membuatku memilih terlebih dahulu dua orang dari kalian untuk kuajari cara-cara berkomunikasi seperti ini.”

“Boleh kami tahu alasan yang mendasari semua ini, Ki Tapa?” tanya Tampar dengan hormat.

“Alasannya sudah tua sekali, bahkan lebih tua dari umurku ini,” ucap Ki Gisang sambil menerawang, mengingat-ingat cerita yang telah didengarnya turun-temurun. Dari gurunya, kakek gurunya dan guru dari kakek gurunya. Sudah sekitar empat puluh dasa warsa cerita itu diturunkan dalam perguruannya. Dan ia sebagai orang terakhir harus menjaganya. Dan Hutan dan Gunung Rimba Hijau ini dirasakan merupakan tempat yang ideal untuk menyimpan rahasia tersebut. Lanjutnya,

“Guruku, kakek guruku dan guru dari kakek guruku, adalah turun-temurun pertapa dari Perguruan Angin dan Embun. Nama perguruan itu sendiri memiliki arti yang tak terkalahkan namun lembut dan yang menyegarkan serta menyembuhkan. Kami dalam perguruan diajarkan ilmu-ilmu untuk menjaga kesehatan tubuh dan juga untuk menyembuhkan tubuh apabila sakit. Awalnya ilmu-ilmu itu dibawa oleh seorang pertapa juga, akan tetapi dari negeri seberang. Bertahun-tahun sejak itu, guru dari kakek guruku membuka perguruan untuk membantu suatu penduduk desa di daerah yang tandus. Dengan tujuan agar mereka dapat hidup dengan baik dalam alam yang keras itu. Keadaan menjadi berangsur-angsur membaik. Semua penduduk menjadi lebih sehat dan kuat, walaupun mereka tidak memiliki banyak yang dapat dimakan. Efesiensi adalah kunci dari ilmu-ilmu itu. Apa yang dapat kita makan dan kita hirup harus dimanfaatkan. Pikiran harus bersih, sehingga tidak terbuang energi sia-sia untuk menangani pikiran-pikiran ngawur dan sesat.”

Ki Tapa terdiam sejenak. Masih mengingat-ingat cerita yang diturunkan padanya, dan juga bagian-bagian yang pernah dialaminya sendiri, sampai ia tiba di desa ini.

“Akan tetapi sayangnya keadaan yang aman dan tenteram itu tidak berlangsung lama. Saat orang-orang dari desa lain melihat bahwa desa yang tadinya tandus, dan diperkirakan bahwa orang-orangnya akan mati dengan sendirinya, tiba-tiba saja bangkit seakan-akan ada keajaiban. Mereka tidak suka. Mereka menginginkan desa itu menjadi desa tidak berpenghuni, sehingga tanah di sana, dapat diolah oleh mereka. Bukan menjadi lahan pertanian, akan tetapi karena ada kandungan suatu bahan di dalam tanahnya yang dianggap berharga. Sudah pernah ada penawaran dari desa-desa di sekelilingnya, agar penghuni desa yang tandus itu pindah, sedesa-desanya ke tempat yang lebih subur, dan memberikan tanahnya kepada mereka. Akan tetapi para penghuni desa itu jelas menolak. Bukan dengan alasan ingin mengangkangi bahan berharga tersebut, melainkan karena desa tersebut merupakan tanah turun-temurun mereka.”

“Mereka telah berupaya mencari jalan tengah, dengan mengijinkan penduduk lain dari luar desa untuk menggali bahan tersebut dengan membagi hasilnya kepada mereka, akan tetapi usul tersebut ditolak. Orang-orang tersebut menginginkan keseluruhan desa, bukan hanya sebagian yang diijinkan saja. Akibatnya mereka mencoba menghalang-halangi perdagangan ke desa tersebut, sehingga lambat laun matilah perekonomian desa itu yang kemudian disusul dengan kemarau berkepanjangan.”

“Untung saat itu lewatlah sang Petapa Seberang, yang berasal dari tanah seberang. Ia melihat ketidak-adilan tersebut, akan tetapi karena pada dasarnya ia berwelas-asih, ia tidak ingin menghadapi kekerasan dengan kekerasan. Apa jadinya bila ia menghancurkan orang-orang di sekitar desa yang menghalangi perekonomian desa itu, apabila penduduk desa itu sendiri tidak berani melakukannya. Untuk itu ia mencari seorang penduduk desa yang dinilainya cocok untuk diajarkan ilmu-ilmunya. Dan terpilihlah guru dari kakek guruku, Ki Patuh.”

“Petapa Seberang tidak mengajarkan ilmu kanuragan, melainkan ilmu menjaga kesehatan dan mengobati jika sakit. Dengan ilmu tersebut penduduk desa dapat hidup dengan jumlah makanan dan minuman yang minim. Selain itu tenaga mereka menjadi berlipat ganda, sehingga mereka dapat mulai membuat sumur dan sumber air lainnya, untuk mengairi ladang-ladang mereka. Setelah Ki Patuh dianggap cukup menerima ilmunya Petapa Seberang pun melanjutkan perjalannya, sambil menitipkan sebuah kitab yang berisikan sari dari ilmu-ilmunya, untuk dipelajari oleh Ki Patuh dan diwariskan pada murid-muridnya. Saat itu Ki Patuh belum mengambil murid.”

Jeda terjadi sesaat waktu Ki Tapa menarik napas panjang. Sambil dipikir-pikirnya kembali jalinan kisah-kisah yang merentang dari waktu lampau sampai masa kini. Kemudian ia melanjutkan ceritanya. Kedua anak muda tersebut Tampar dan Gisang tidak berani memotong karena sudah benar-benar terbuai oleh cerita Ki Tapa tersebut.

“Ki Patuh kemudian mengambil empat orang murid Ki Setunggal, Ki Duo, Ki Tilu dan Ki Uu, yang berarti pertama, kedua, ketiga dan keempat. Kakek guruku adalah Ki Tilu. Keempat murid tersebut belajar dengan sungguh-sungguh ilmu-ilmu Ki Patuh yang berasal dari Petapa Seberang. Masing-masing murid mengambil kekhasan masing-masing yang dibagi oleh Ki Patuh mejadi empat mata angin, timur, selatan, utara dan barat. Masing-masing saling mengisi dan melengkapi. Jika diibaratkan dengan bahan-bahan di sekeliling kita, jurus-jurus keempat orang itu disebut sebagai Jurus Udara, Jurus Api, Jurus Tanah dan Jurus Air, keempatnya akan menghasilkan kombinasi lain apabila dipadukan berdua-berdua. Misalnya Jurus Api dan Tanah akan memberikan kekeringan, Jurus Air dan Tanah akan menghasilkan dingin, Jurus Air dan Udara akan membuat basah dan Jurus Udara dan Api akan membuat panas. Pemaknaan keempat elemen (udara, api, tanah dan air) dengan dua pasang kualitas yang berlawanan (panas & dingin dan basah & kering) dilakukan oleh Aristoteles. Karena keadaan-keadaan yang dihasilkan, kering, dingin, basah dan panas ini adalah yang dibutuhkan untuk kehidupan, maka pemahaman ini digunakan untuk membantu penduduk desa menjadi lebih sehat dan kuat.”

“Pada intinya semua penduduk desa harus mempelajari keempat jurus tersebut sampai tahapan dasar, yang dibimbing oleh masing-masing dari empat murid utama tersebut. Sedangkan bila ada yang berbakat maka dapat mendalami satu sampai dua jurus itu sampai pada tahapan berikutnya.”

Lalu tiba-tiba hampir bersamaan Tampar dan Gisang mengajukan pertanyaan, menyalurkan keingintahuannya yang sudah memuncak, “akan tetapi Ki Tapa, apa hubungannya antara ilmu menjaga kesehatan tubuh tersebut dengan bercocok tanam?”

“Dengan menggunakan ilmu-ilmu tersebut, seseorang menjadi lebih peka terhadap lingkungannya. Misalnya Jurus Udara, membuat orang mejadi awas akan adanya perubahan dalam hawa yang kita hirup. Akant terjadi hujan, adanya racun dalam udara, pergerakan angin dan hal-hal lain yang terkait dengan udara. Demikian pula dengan tanah, orang akan menjadi awas terhadap kehidupan yang dapat didudukung oleh tanah, bahan-bahan apa yang kurang, sehingga harus ditambahkan agar tanaman dapat tumbuh subur dan sebagainya.”

Lalu lanjut Ki Tapa, “contoh lain adalah misalnya dengan menggabungkan Jurus Air dan Tanah yang menciptakan dingin, orang dapat mencari-cari sumber air, bahkan di daerah yang kering sekalipun. Dengan cara ini, pembuatan sumur akan menjadi amat efesien.”

Mendengar penjelasan ini kedua orang muda tersebut kemudian mengangguk-anggukan kepalanya, mencoba mencerna dan memahami penjelasan Ki Tapa.

“Lalu mengapa Ki Tapa sampai kemari, bila keadaan di desa tersebut sudah membaik?” tanya salah seorang dari mereka tidak mengerti.

“Nah, baru beberapa dasa warsa kemudian terjadilah hal yang benar-benar menjengkelkan.”

“Maksudnya?”

“Dengan semakin baiknya kehidupan dan petanian penduduk desa, maka kehidupan mulai kembali berjalan, dan mereka mulai kembali mencoba untuk melakukan perdagangan. Jalan-jalan yang tadinya diisolasi atau jembatan-jembatan yang diputus, sekarang tidak menjadi masalah karena tubuh para penghuni desa itu menjadi lebih kuat dan terlatih.”

“Akan tetapi,” lanjut Ki Tapa, “kekuatan tubuh mereka yang di luar rata-rata kekuatan orang ini menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang di luar desa, yang menganggapnya sebagai suatu ilmu kanuragan, untuk mempelajarinya, sementara orang-orang yang ingin menguasai desa masih berusaha dengan berbagai cara untuk menguasai tanah di desa tersebut.”

“Beberapa orang desa menjadi kemaruk akan imbalan-imbalan yang diberikan oleh orang-orang luar, apabila mereka mau mengajarkan bagaimana mereka dapat memiliki kekuatan tubuh seperti itu. Kemudian mereka dengan berbagai cara memohon pada para murid utama Perguruan Embun dan Angin, agar orang-orang luar ini dapat diberikan pula pengajaran, dengan mereka di belakangnya mendapatkan imbalan. Sudah tentu keempat murid utama itu menolak, karena mereka tahu bahwa orang-orang yang diajukan itu tidak memiliki watak yang baik. Mengajarkan ilmu pada orang yang tak berwatak baik akan menyebabkan malapetaka di kemudian hari.”

“Akhirnya dengan berbekal ilmu-ilmu yang masih di bawah keempat murid utama tersebut orang-orang yang dapat diiming-imingkan imbalan bersatu untuk membuat suatu perguruan sendiri untuk menentang Perguruan Angin dan Embun. Nama perguruan tersebut adalah Perguruan Atas Angin, yang telah menyiratkan ketinggian hati anggota-anggotanya. Mereka ini memang memiliki ilmu-ilmu kanuragan selain ilmu untuk menjaga kesehatan tubuh. Dengan demikian mereka mulai dapat menekan penduduk desa lainnya untuk bergabung bersama mereka.”

“Tapi, kata Ki Tapa sebelumnya, bahwa hanya dengan ilmu menjaga kesehatan tubuh orang dapat memiliki kekuatan berlipat ganda, jadi tidak akan dengan mudah kalah oleh suatu ilmu kanuragan bukan?” tanya Gisang tidak mengerti.

“Memang benar,” sahut Ki Tapa, “akan tetapi orang-orang di luar desa itu pun cerdik, mereka kemudian melatih orang-orang yang telah memiliki ilmu menjaga kesehatan tubuh ini dengan ilmu kanuragan sehingga mereka menjadi lebih kuat.”

Terdiam sebentar Ki Patuh, sambil sesekali menghela napas, mengingat kembali kisah desa yang diseret ke arah kekacauan oleh penduduknya sendiri.

Kemudian lanjutnya, “setelah merasa kuat dan tak terkalahkan mulailah mereka menyerang langsung Perguruan Angin dan Embun untuk merebut kitab pusaka yang ditinggalkan Petapa Seberang. Keempat murid utama dan Ki Patuh gurunya bertempur bahu membahu, hanya mengandalkan kekuatan tubuh saja, tanpa pengetahuan ilmu bela diri. Dalam waktu singkat kelimanya dapat ditangkap.”

“Siksaan-siksaan dilakukan untuk mendapatkan jawaban di mana tersimpannya kitab pusaka tersebut, yang kemudian diketahui bernama Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa. Untungnya kelima orang tersebut benar-benar telah menyerap kekuatan alam melalui pembelajaran dengan sungguh-sungguh kitab pusaka tersebut, sehingga walaupun mereka tidak dapat melepaskan diri, akan tetapi siksaan-siksaan tersebut dapat teratasi.”

Tak tahan kedua pemuda tersebut menyuarakan kejengkelan hatinya, “betapa tak tahu terima kasih orang-orang penghianat itu, sudah ditolong…”

“Begitulah sifat kebanyakan manusia, silau pada sesuatu yang tidak dimilikinya. Jika saja dulu waktu orang-orang di luar desa mau menggunakan jalan seperti orang-orang yang belajar ilmu ini, maka sudah dapat dipastikan orang-orang tersebut dapat memperoleh tanah di desat tersebut. Cara halus dengan iming-iming kadang lebih manjur dari kekerasan.”

“Setelah hampir setahun kelima orang teresebut tidak juga mau membuka rahasia di mana tersimpannya Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa, akhirnya dengan kejam kelima orang tersebut di kubur hidup-hidup dalam tanah. Berbulan-bulan di dalam tanah, menunjukkan bahwa terdapat pula batasan kekuatan tubuh manusia, walaupun suatu ilmu dimilikinya. Satu per satu kelima orang itu meninggal sampai tinggal seorang yaitu Ki Tilu, karena kebetulan keahliannya adalah Jurus Tanah, sehingga ia dapat berlaku mati suri saat di dalam tanah. Gurunya sendiri Ki Patuh tidak dapat karena ia mempelajari keempat jurus tersebut secara seimbang.”

“Jika hampir semuanya meninggal, lalu bagaimana ilmu tersebut dapat diturunkan pada Ki Tapa,” bertanya Tampar kemudian.

“Pertanyaan yang baik sekali,” sahut Ki Tapa gembira. “Memang apabila dipikirkan maka itu merupakan kehendak Yang Maha Kuasa. Guruku salah seorang penduduk desa yang tidak ikut dalam Perguruan Atas Angin ataupun Perguruan Angin dan Embun, ditugaskan untuk memakamkan kelima orang tersebut yang setelah diperiksa tidak lagi menghembuskan nafas. Saat itu hanya guruku seorang yang berada di lokasi makam, karena ia kebetulan memang penunggu makam.”

“Sebenarnya timbul pula pertanyaan, jika mereka telah dikubur hidup-hidup dan kemudian ternyata telah mati, kenapa harus kembali dikuburkan di tempat lain, kenapa tidak langsung dikuburkan kembali di tempat tersebut. Salah seorang anggota Perguruan Atas Angin yang tadinya bekas anggota Perguruan Angin dan Embun menjadi tidak tega, dan ingin menghormati mendiang kelima bekas gurunya tersebut. Dengan tak terlalu tulus, orang-orang luar yang menjadi anggota utama Perguruan Atas Angin pun menyetujuinya, akan tapi tidak memperbolehkan orang-orang menghadiri dan membantu proses pemakaman, melainkan hanya guruku, sang penjaga makam, Ki Makam orang menyebutnya, yang boleh melakukannya.”

“Saat itu sudah lewat petang, dan hampir gelap. Guruku Ki Makam harus cepat-cepat menguburkan kelima orang tersebut atau ia harus menginapkan kelimanya di atas tanah dan dijaga untuk dimakamkan keesokan harinya. Dan ia tidak ingin. Lebih baik dikerjakan hari ini, biar semua selesai. Setelah memilih tempat yang cukup terhormat menurutnya, digalilah lima buah lubang yang empat di pinggir dan satu di tengah, mirip posisi pusat dan empat mata angin. Begitulah pesan bekas anggota Perguruan Angin dan Embun. Dan ia harus memakamkan Ki Patuh di tengah dan Ki Setunggal di timur, Ki Duwo di selatan, Ki Tilu di utara dan Ki Uu di barat. Karena adanya rerimbunan dan tumpukan tanah hasil penggalian lubang makam, maka Ki Tilu dimakamkan terakhir. Dan inilah yang menyebabkan guruku masih dapat menerima pesan terakhir dari Ki Tilu.”

Mendengar itu kedua anak muda tersebut tanpa dapat dicegah menjadi merinding. Bila Ki Tapa bercerita seperti dugaan mereka, berarti Ki Tilu bangkit dari kematiannya untuk memberi pesan kepada Ki Makam. Benar-benar cerita yang sukar dipercaya.

“Sebenarnya tidaklah terlalu aneh,” lanjut Ki Tapa, “keahlian Ki Tilu adalah tanah atau bumi, jadi di dalam tanah adalah tempat ia biasa berada, selama napasnya dapat diselaraskan dengan bumi, hiduplah ia. Akan tetapi sayangnya selama proses penyiksaan telah dilakukan berbagai cara, termasuk menyiramkan air pada mereka yang dikuburkan, sehingga ilmu Ki Tilu tidak dapat digunakan sepenuhnya. Dan setelah tubuhnya berkenalan kembali dengan udara bebas, mulailah sel-sel tubuhnya kembali berdenyut perlahan-lahan dan hidup kembali. Jika saja ia langsung kembali dimakamkan, mungkin akan terus dalam keadaan itu sampai benar-benar habis nafasnya.”

Ki Tapa beristirahat sejenak untuk mengambil napas dan menenggak air yang dibawanya.

“Refleks karena adanya udara bebas membuat kesadarannya sedikit terguncang sehingga ingin cepat-cepat sadar untuk bangun dan menolong saudara-saudara seperguruannya dan juga gurunya. Ini yang membahayakan, sehingga paru-parunya keracunan. Untunglah ia masih bisa menghimpun tenaga intinya sehingga dapat bangkit dan sadar, walau hanya untuk beberapa jam.”

Hening sejenak, dan angin pun bertiup perlahan dan lembut malu-malu, seakan tidak berani menggangu pelantunan cerita tersebut.

“Bangunnya Ki Tilu sudah pasti membuat Ki Makam terkejut setengah mati, hampir saja copot jantungnya, jika Ki Tilu tidak buru-buru menenangkannya. Setelah memperoleh penjelasan, terharulah Ki Makam, bahwa Ki Tilu salah seorang dari penolong desanya masih hidup. Akan tetapi saat ia ingin memberi kabar itu kepada penduduk desa yang masih setia pada Perguruan Angin dan Embun, Ki Tilu mencegahnya. Ia mengatakan bahwa tidak banyak waktu lagi baginya, dan ia ingin Ki Makam menjadi muridnya dan berjanji untuk meneruskan ilmu-ilmu mereka dan menyelamatkan Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa. Setelah memberitahu di mana letak kitab tesebut, kemudian Ki Tilu meminta Ki Makam untuk bersila di hadapannya agar dapat diberi tenaga inti terakhirnya, yang didominasi oleh Tenaga Tanah, sehingga dapat menjadi lebih mudah untuk belajar isi Kitab Jaga Kesehatan dan Jiwa lebih lanjut.”

Kedua anak muda tersebut Tampar dan Gisang mendengarkan cerita tersebut dengan penuh perhatian, tanpa terasa mulut mereka menganga. Sudah tentu hal membuat Ki Tapa tersenyum sangat.

“Setelah pemindahan tenaga tersebut berlangsung, meninggallah Ki Tilu. Dan dimakamkanlah ia oleh Ki Makam sebagaimana rencana semula. Hanya sekarang ia memiliki tugas baru, yaitu mencari Kitab Jaga Kesehatan dan Jiwa, mempelajarinya dan menyelamatkan serta mengamalkannya. Untuk itu Ki Makam tidak terburu-buru, karena ia melihat bahwa Ki Patuh dan keempat muridnya yang telah belajar lanjut ilmu itu pun tidak dapat menanggulangi ilmu kanuragan, apalagi ia yang baru diberi sedikit dasar. Tenaga inti dari Ki Tilu yang mungkin melebihi latihan tahunan, tapi belum ada apa-apanya apabila menghadapi ilmu kanuragan dari Perguruan Atas Angin. Untuk itu ia berlaku sabar dan akan menunggu saat yang tepat untuk mengambil kitab tersebut serta mempelajarinya.”

Cerita yang menarik tersebut membuat Asap dan kawan-kawannya, termasuk yang sakit sampai tidak dapat berkata apa-apa. Mereka hanya mendengarkan dan tidak ada pun komentar. Suatu cerita yang mereka belum pernah sekalipun mendengarkan atau membayangkannya. Saat itu matahari sudah mulai turun, sehingga membuat cuaca menjadi sedikit remang-remang.

Saat Ki Gisang hendak melanjutkan, terdengar suara semacam suling yang melengking tinggi dan rendah berganti-ganti. Memekakkan telinga sehingga semua yang mendengarnya harus menutup telinganya.

“Itu tandanya bahwa Penghuni Hutan dan Gunung telah melihat pesan kita,” kata Ki Tampar menjelaskan. “Mari kita pasang petunjuk berikutnya.”

Kemudian Ki Gisang dan Ki Tampar mulai menyalakan tongkat-tongkat yang berupa obor, akibatnya tongkat-tongkat yang berupa ujung kaca, memantulkan sekaligus membiaskan tongkat-tongkat yang merupakan obor, sehingga memberikan kilauan yang aneh akan tetapi indah.

“Ini adalah kode kedua yang harus dilakukan. Jika hanya salah satu kode saja dan tidak berurutan, maka komunikasi dengan Penghuni Hutan dan Gunung tidak dapat berlangsung,” jelas Ki Gisang, melihat muka-muka penuh tanda tanya dari Asap dan kawan-kawannya.

“Tongkat yang berujung kaca ini melambangkan udara dan yang bergagang obor ini melambangkan api. Karena permasalahan yang kita hadapi adalah panas dalam hal ini saudara yang sakit ini, maka kedua tongkat tersebut yang digunakan.”

“Dan urut-urutannya juga menjelaskan apakah kami yang bermasalah atau orang luar yang kami ingin bantu. Sebagai contoh bila kami yang bermasalah, maka kami akan datang waktu subuh, untuk terlebih dahulu memasang obor sebagai simbol api, baru menunggu fajar untuk kemudian memasang simbol udara,” tambah Ki Gisang.

Asap dan kawan-kawannya mengangguk-angguk mencoba memahami uraian yang bagi mereka sama sekali baru tersebut.

“Kita masih punya banyak waktu, biasanya Penghuni Hutan dan Gunung dapat merasakan apa permasalahannya dan sedang memikirkan cara memecahkannya. Biasanya ia akan datang langsung dengan obatnya dalam kasus ini,” jelas Ki Gisang.

“Ada yang ingin mendengar kelanjutan ceritanya?”

Dan semua pun mengangguk. Ki Tampar pun tertawa kecil sambil berkata, “baiknya aku saja yang cerita kakang, biar kakang masih ada nafas nanti saat Penghuni Gunung dan Hutan tiba. Jika kakang terus yang bicara, lelah nanti pasti.”

Ki Gisang pun mengangguk setuju dan mempersilakan Ki Tampar untuk melanjutkan cerita yang telah dimulainya tadi.

Setelah setahun hanya melatih tenaga inti yang diberi oleh Ki Tilu pada akhir hayat kepadanya, Ki Makam baru berani untuk memperaktekkan sedikit-sedikit gerakan yang dipesankan. Untuk Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa, ia belum berani mencarinya. Sesuai dengan pesan Ki Tilu, setidaknya tunggulah sampai sepuluh tahun. Hitungan ini bukan saja untuk melenyapkan kecurigaan juga untuk memberi waktu tubuh Ki Makam agar terbiasa dengan tenaga inti hasil operan Ki Tilu, agar selanjutnya dapat langsung mempelajari kitab tersebut.

Untuk melenyapkan kecurigaan bahwa ia mempelajari jurus-jurus asli dari Perguruan Angin dan Embun yang telah tiada itu, Ki Makam memohon pada Perguruan Atas Angin, agar diajari sedikit ilmu menjaga kesehatan tubuh dan kanuragan, agar ia menjadi sehat dalam melaksanakan tugasnya. Karena alasan yang dipikir jelas itu, Ki Makam memperoleh ijin dan dilatih oleh murid-murid tingkat bawah.

Sementara itu walaupun tidak berhasil memperoleh Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa warisan dari Petapa Seberang, akan tetapi salah seorang dari luar, yaitu Ki Jagad Hitam, yang merupakan guru dari Perguruan Atas Angin, memiliki kecerdikan yang sangat. Ia menyuruh orang-orang bekas Perguruan Angin dan Embun untuk menunjukkan cara berlatih mereka dan kemudian dipelajarinya untuk kemudian digabungkan dengan ilmu kanuragan ciptaanya, yaitu Jurus Pukulan Perusak Isi Perut. Suatu pukulan yang amat jahat. Orang yang terpukul oleh jenis pukulan ini tidak akan terlihat memar di luarannya, akan tetapi rusak isi perutnya, jantung, paru-paru, hati. Dan akan meninggal dalam hitungan jam. Jurus ini dulu tidak mempan terhadap Ki Patuh dan kelima muridnya, karena walaupun mereka tidak bisa ilmu kanuragan, akan tetapi pemahaman mereka akan Kitab Jaga Kesehatan dan Jiwa sudah tinggi sehingga pukulan jenis ini tidak lagi memiliki arti.

Dengan memperhatikan bagaimana jurus-jurus Udara, Api, Tanah dan Air dilakukan, walaupun baru tingkat dasar, Ki Jagad Hitam dapat menarik sari-sari ilmu tersebut ke dalam inti jurusnya. Apabila saat ini Ki Patuh dan kelima muridnya masih hidup, mungkin mereka dapat terluka dalam, atau minimal pingsan terkena kembangan baru tenaga inti dari Pukulan Perusak Isi Perut dari Ki Jagad Hitam ini.

Untuk menutupi latihannya Ki Makam hanya melatih jurus-jurus Udara, Api, Tanah dan Air yang telah diajarkan oleh murid-murid Perguruan Atas Angin. Jurus-jurus lain yang telah dibisikkan oleh Ki Tilu di saat sekaratnya, masih disimpannya di dalam hati.

Adalah suatu kejadian lucu di mana Ki Makam lupa untuk tidak memperlihatkan jurus-jurus asli dari Perguruan Angin dan Embun, pada suatu latihan, sehingga ia mendapat teguran dari salah seorang pelatihnya, Gajah Duduk.

“Makam, apa itu gerakan yang kamu buat? Tak kenal saya posisi itu. Ngaco kamu!”

“Maaf.. maaf.. kakak Gajah,” kata Ki Makam sambil terkejut, setelah menyadari bahwa ia bukan melakukan yang diminta. Terlebih bahwa ia tanpa sadar melakukan jurus-jurus asli yang tingkatan sebenarnya lebih tinggi dari jurus-jurus yang diajarkan oleh Gajah Duduk. Untung saja Ki Makam diajar oleh murid-murid tingkat bawah, sehingga adanya jurus-jurus tingkat tinggi tak akan disadari.

Mulai saat itu Ki Makam lebih berhati-hati untuk tidak, dengan tak sengaja, melakukan jurus-jurus asli dari Perguruan Angin dan Embun.

Sepuluh tahun telah berlangsung dan tak terasa Ki Makam telah mencapai tingkat ketiga dari murid-murid Perguruan Atas Angin. Masih ada dua tingkat lagi dan Lingkaran Dalam yang merupakan tingkatan di atasnya. Murid-murid tingkat satu adalah murid-murid dengan pemahaman baik semua jurus ajaran Ki Jagad Hitam, sedangkan lingkaran dalam, dibatasi hanya enambelas orang, yang mendapatkan latihan khusus dalam keempat unsur rampasan dari Perguruan Angin dan Embun, yaitu Penjaga Udara, Api, Tanah dan Air. Masing-masing penjaga terdiri dari satu kelompok yang beranggotakan empat orang. Keempatnya memiliki kemampuan yang seimbang. keenambelas orang ini dapat pula memainkan serangan kelompok, empat orang satu unsur, delapan orang empat unsur atau langsung berenambelas. Hanya sang guru Ki Jagad Hitam yang dapat menanggulangi keenambelas orang ini sekaligus.

Keanggotaan dari enambelas orang ini dipertahankan melalui suatu ujian tingkat. Bila murid-murid tingkat satu dapat mengalahkan salah seorang dari Lingkaran Dalam ini, maka posisi tersebut dimilikinya, sedangkan orang yang kalah harus menjadi murid tingkat satu. Tidak banyak murid tingkat satu yang ingin menjadi Lingkaran Dalam, karena resikonya adalah mati dalam perebutan posisi itu dan juga latihan-latihan keras untuk meningkatkan ilmu supaya bisa kompak dengan anggota Lingkaran Dalam yang lainnya. Pernah terjadi sampai empat orang Lingkaran Dalam terluka dalam latihan dan lumpuh, untuk itu empat posisi diperebutkan oleh hampir duapuluh orang murid tingkat satu.

Ki Makam sebagai seorang murid tingkat tiga tidak berantusias untuk menjadi murid tingkat satu atau bagian dari Lingkaran Dalam. Ia berlatih hanya untuk menutupi latihan sebenarnya, yaitu jurus-jurus asli dari Perguruan Angin dan Embun yang telah hancur. Setelah sepuluh tahun berlatih secara diam-diam Ki Makam dapat dengan jelas melihat kekurangan-kekurangan penerapan jurus-jurus asli pada ilmu-ilmu ajaran Ki Jagad Hitam. Dengan pengetahuan ini, ia dapat dengan mudah naik menjadi murid tingkat dua bahkan satu, tetapi hal itu tidak dilakukannya. Karena murid tingkat satu adalah murid-murid yang paling dipercaya dan mendapat banyak tugas. Sedangkan murid-murid tingkat empat dan lima merupakan pekerja-pekerja kasar. Oleh karena itu ia memposisikan dirinya pada murid-murid tingkat tiga, aman di tengah-tengah.

Sekarang yang sedang dipikirkannya adalah bagaimana cara mencari Kitab Jaga Kesehatan dan Jiwa seperti yang dipesankan oleh mendiang Ki Tilu kepadanya, yang juga guru pertamanya. Dengan semakin banyak murid-murid Perguruan Atas Angin, akan semakin sulit tugasnya. Walaupun dengan tingkatannya, hanya dua puluh murid tingkat satu, dan tiga puluh lima murid tingkat dua yang akan merupakan permasalahannya. Sang guru dan Lingkaran Dalam umumnya banyak berlatih dan menyepi.

Memang benar dikatakan orang, yaitu apabila kita berharap dan dengan sabar menanti sambil selalu mengucapkan syukur pada Yang Maha Kuasa, maka penantian akan membuahkan kesempatan untuk mencapai harapan. Kesempatan yang ditunggu-tunggu oleh Ki Makam pun tiba. Pada suatu hari datanglah serombongan orang yang merupakan murid-murid tingkat dua yang telah keluar dari perguruan dan kembali kepada pekerjaannya semula. Mereka ini datang dalam keadaan yang menyedihkan, luka-luka dan sakit. Mereka ini ternyata telah memperoleh serangan dari Perguruan Kapak Ganda pimpinan Naga Seni, seorang seniman dan juga ahli kanuragan terkenal dari Paparan Karang Utara. Walaupun Naga Seni sendiri tidaklah seorang yang haus akan ketenaran, akan tetapi sifatnya yang selalu membela murid-muridnya ini membawanya pada banyak ajang perkelahian.

Peristiwa itu pun bermula dari bersuanya murid-murid Perguruan Atas Angin dengan Perguruan Kapak Ganda di suatu perhelatan. Dalam acara tersebut memang terdapat acara pertandingan ketangkasan kanuragan, akan tetapi dalam suasana persahabatan. Memang pada dasarnya darah muda, salah seorang murid Perguruan Kapak Ganda dikalahkan oleh murid Perguruan Atas Angin, dan ini membuatnya tidak terima, lalu memanggil saudara-saudara seperguruannya untuk membalaskan kekalahannya, akan tetapi di luar arena.

Dari mutu ilmu kanuragannya, memang murid-murid Perguruan Atas Angin lebih unggul, karena umumnya mereka tidak diijinkan keluar dari perguruan jika tidak memiliki tingkatan setidaknya tiga atau dua. Bisa dibayangkan betapa lihainya mereka. Jadi serangan ketidakpuasan murid-murid Perguruan Kapak Ganda tidak membawa hasil, bahkan menambah rasa malu mereka. Dan tanpa malu-malu mereka melaporkannya pada Naga Seni, sang guru, bahwa mereka dihina oleh Perguruan Atas Angin, dan juga sang guru.

Mendengar ini, tanpa melakukan telaah lebih dulu, langsung saja Naga Geni dan kedelapan murid utamanya, Penjuru Angin, melabrak murid-murid Perguruan Atas Angin. Menjadikan mereka bulan-bulanan, dan menyuruh mereka pulang dan melapor pada Ki Jagad Hitam, bahwa Perguruan Atas Angin tidak ada apa-apanya dibandingkan Perguruan Kapak Ganda.

Buntut dari peristiwa itu membuat Ki Jagad Hitam bak kebakaran jenggot. Mukanya yang sudah hitam terlihat menjadi semakin hitam, menandakan amarahnya sudah membangkitkan tenaga inti dari Pukulan Perusak Perutnya. Bila dalam keadaan demikian tak ada seorang pun yang berani membantahnya.

Setelah ditetapkan bahwa semua murid tingkat satu dan dua akan ikut untuk membalaskan kekalahan itu, sedangkan Lingkaran Dalam diminta untuk berjaga-jaga di belakang, jika sewaktu-waktu dibutuhkan mereka juga dapat muncul. Rombongan yang seakan-akan akan pergi perang itu melingkupi hampir delapan puluh orang, telah siap untuk berangkat. Setelah berpesan pada murid-murid tingkat tiga dan di bawahnya untuk baik-baik menjaga perguruan, pergilah mereka dengan keyakinan akan kemenangannya.

Kesempatan ini tidaklah disia-siakan oleh Ki Makam. Tak lama setelah rombongan berangkat, berkemaslah ia juga untuk mengambil Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa yang disembunyikan di suatu air terjun Air Jatuh tak jauh dari pemakaman. Tempat itu sebenarnya bukan apa-apa, hanya saja sering dijadikan tempat menyepi dari Lingkaran Dalam dan Ki Jagad Hitam, sehingga boleh dikatakan Ki Makam tidak memiliki kesempatan.

Ki Makam sempat bingung karena di tempat yang dipesankan Ki Tilu untuk mengambil kitab Jaga Kesehatan dan Jiwa, terdapat pula tiga buah kitab lainnya. Mengingat bahwa kitab-kitab tersebut juga warisan dari guru dari kakek gurunya, yaitu Petapa Seberang. Diambilnya semua kitab-kitab tersebut.

Setelah dapat memperoleh kitab-kitab tersebut, dengan alasan masuk ke daerah tersebut untuk memeriksa dan karena kebetulan yang menjaga adalah murid tingkat empat dan lima sehingga Ki Makam tidak mengalami banyak masalah, Ki Makam bergegas kembali ke rumahnya dan mengambil perlengkapannya. Sekarang hanya tinggal saatnya menunggu malam untuk keluar dari sana.

Dan pertolongan dari Yang Maha Kuasa kembali datang. Pada malam itu hujan turun dengan derasnya ditambah kabar bahwa Ki Jagad Hitam dan Rombongannya mengalami pertempuran yang seimbang sehingga butuh bantuan seluruh murid. Dengan dalih ingin segera menolong, Ki Makam segera berangkat akan tetapi tidak ke arah utara menuju Paparan Karang Utara, melainkan ke timur, ke arah Gunung dan Rimba Hijau.

Setelah dibantu oleh hampir seluruh muridnya Ki Jagad Hitam akhirnya dapat memperoleh kemenangan. Kepergian Ki Makam sebenaranya tidak akan menerbitkan kecurigaan, karena banyak di antara murid-murid Perguruan Atas Angin yang tewas dalam pertempuran itu sebagai ganti punahnya Perguruan Kapak Ganda, jika saja seorang murid yang menjaga Air Jatuh tidak terlepas omong bahwa Ki Makam pernah mampir ke sana. Awalnya Ki Jagad Hitam tidak merasa ada kaitan antara dua peristiwa tersebut, yaitu hilangnya Ki Makam dan masuknya ia ke Air Jatuh sebelumnya. Tapi naluri kecerdikannya mengisyaratkan adanya sesuatu di antara kedua peristiwa tersebut. Maka dengan seksama ia mencari-cari di rumah Ki Makam dan di Air Jatuh, apa yang bisa disimpulkan di sana. Akhirnya terlihatlah ia bahwa posisi suatu prasasti di Air Jatuh tidak seperti keadaan semula.

Prasasti yang menggambarkan bagaimana keadaan desa itu sebelum dan sesudah ilmu-ilmu dari Petapa Seberang diamalkan di sana. Prasasti tersebut terlihat pernah digeser, dari guratan-guratan yang ditimbulkannya di atas batu. Dalam hal ini Ki Makam belum cukup kuat untuk mengangkat prasasti itu, melainkan hanya menggesernya. Sedangkan Ki Jagad dengan hanya satu tangan dapat mengangkatnya dan meletakkan di tempat sejauh tiga langkah dari tempat semula, tanpa kehilangan napas. Di bekas tempat dudukan semula prasasti yang berukuran sebesar kerbau itu terdapat lubang kecil, di mana di sisinya terdapat liang seperti tempat menyimpan sesuatu. Bagai tak percaya Ki Jagad Hitam membaca tulisan di dasar lubang tersebut.

“Di masing-masing sisi lubang ini, pada masing-masing liang terdapat empat kitab peninggalan Petapa Seberang. Yang menemukannya berjodoh untuk mempelajari dan mengamalkannya.”

Seakan ingin meletus kepala Ki Jagad Hitam membaca tulisan tersebut. Kitab Jaga Kesehatan dan Jiwa yang dicari-carinya, berada di bawah kakinya sendiri. Tempat itu sering digunakannya bersama-sama dengan Lingkaran Dalam untuk berlatih, bahkan prasasti itu sering digeser-geser, walaupun tidak sejauh hari ini, sehingga dahulu lubang tersebut tidak tampak.

“Makam si penghianat, harus kita cari dia dan juga kitab-kitabnya itu,” geramnya.

“Maaf guru, di sini tertulis empat kitab, sedangkan guru hanya mencari satu kitab bukan?” tanya seorang dari Lingkaran Dalam.

“Betul guru!” sahut lainnya.

“Hmm, betul juga,” kata Ki Jagad Hitam, “lebih baik kita cari tahu dulu apa tiga kitab lainnya agar tidak dapat nanti Makam membohongi kita bila tertangkap.”

“Di sini ada tulisan guru,” sahut beberapa orang yang telah membalik prasasti sebesar kerbau bersama-sama itu sehingga alasnya terlihat.

“Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa memperkuat tulang, melemaskan otot dan melancarkan peredaran darah. Angin-angin meringankan gerak dan menghilangkan bayangan. Batu-batu membuat lapisan kulit menebal seperti besi dan Seribu Ramuan memberi tubuh asupan yang berguna.”

“Kelihatannya kitab-kitab ini untuk mengolah tenaga inti, ilmu meringankan tubuh, semacan ilmu kebal dan buku obat-obatan,” duga seorang dari Lingkaran Dalam.

“Dia harus di cari guru, pusaka-pusaka ini adalah milik kita,” ucap yang lain.

Mulai saat itu seluruh murid Perguruan Atas Angin diperintahkan untuk mencari Ki Makam untuk merebut kembali keempat kitab pusaka tersebut. Akan tetapi sayangnya Ki Makam bagai hilang ditelah bumi, sama sekali tidak ada jejaknya.

Sampailah pada suatu saat Ki Makam bertemu dengan seorang anak kecil yatim piatu yang memiliki tulang dan watak yang bagus. Dia beri nama anak itu Tapa menggantikan nama sebelumnya, yang telah dilupakan oleh anak itu. Ia hanya ingat sering dipanggil “Gembel” oleh orang-orang di sekitarnya.

Ki Makam pun melatih Tapa dengan giat sehingga hampir seluruh kemampuannya dapat diturunkan pada anak itu. Setelah ia merasa tiba waktunya, berpesanlah ia bahwa Tapa harus menyimpan baik-baik keempat kitab pusaka tersebut. Ia boleh menggunakan kemampuannya hanya di saat-saat terdesak saja. Dan menghembuskanlah Ki Makam nafasnya yang terakhir.

Melihat dari keadaan tersebut dapatlah dikatakan bahwa keberadaan keempat kitab pusaka tersebut benar-benar boleh dikatakan tidak diketahui, lalu mengapa sekarang Ki Tapa perlu sembunyi di Gunung Hijau dan hutan Rimba Hijau di timur? Hal ini sebenarnya adalah suatu kecerdikan dari mendiang guru Perguruan Atas Angin, Ki Jagad Hitam, di mana ia setelah mengobrak-abrik Air Jatuh, memperoleh catatan-catatan lain bagaimana orang dapat mengetahui apakah orang lain memiliki Tenaga Inti Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa, melalui pengamatan auranya. Dengan kecerdikannya dan sisa umurnya Ki Jagad Hitam menciptakan Ilmu Pandang Terawang, yang khusus digunakan untuk mencari orang-orang pengamal Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa. Dan ilmu ini diturunkan pada anak-muridnya.

Adalah kesialan bagi Ki Tapa yang di masa tuanya memutuskan untuk merantau dan dalam perjalanannya secara tidak sengaja bertemu dengan murid-murid Perguruan Atas Angin. Sebenarnya tidak ada niatan dari murid-murid Perguruan Atas Angin tersebut untuk memperhatikan seorang tua renta dengan baju kasar dan sederhana itu. Akan tetapi secara tidak sengaja salah seorang murid mencoba melatihkan Ilmu Pandang Terawang yang ditujukan sebenarnya pada seorang di sebelah Ki Tapa, akan tetapi alih-alih orang tersebut yang terlihat auranya, malah aura Ki Tapa yang terlihat sebagaimana dijelaskan sebagai aura seorang pengamal Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa. Sontak saja mereka kaget, dan bergegas menangkap Ki Tapa.

Walaupun telah tua renta, tapi Ki Tapa masih bukan lawan mereka, mungkin juga bukan lawan Ki Jagad Hitam apabila masih hidup. Akan tetapi sifatnya yang tidak suka kekerasan, membuatnya lebih memilih kabur ketimbang bertempur, sehingga sampailah ia di Desa Luar Rimba Hijau ini. Seperti telah diceritakan sebelumnya, setelah mendapat restu dari kepala desa dan meminta agar hutan dan gunung tidak dimasuki, dan apabila mereka butuh bantuan dapat memanggilnya, Ki Tapa memilih dua orang yang akan diangkatnya sebagai penghubung. Dan untuk itu mereka berdua diajarinya cara-cara berkomunikasi menggunakan portal atau gerbang batu ini.

Ki Tampar pun menarik napas lega setelah selesai menceritakan kisah ini. Ia dan Ki Gisang telah berpuluh tahun menjadi penghubung, dan mungkin saja ada salah satu dari rombongan ini yang akan menjadi penerus mereka, umumnya penduduk desa tidak berminat pada pekerjaan ini, karena dibutuhkan kecerdikan dan juga kesabaran.

Asap dan kawan-kawanya mengangguk-angguk mendengar kisah yang benar-benar sama sekali baru bagi telinga mereka itu. Mereka masih terdiam berusaha meresapi kisah yang bagi mereka itu amat menakjubkan.

Tak lama kemudian terdengar lagi suara seruling, akan tetapi dengan nada yang berbeda, rendah dan cepat lambat.

“Ia datang,” kata Ki Gisang.

“Ya, berlakulah hormat,” sambut Ki Tampar.

Para anggota rombongan pun bergegas bangun, juga si sakit berusaha duduk sambil menunggu orang yang dinanti itu mendekat. Tak lama kemudian seakan-akan muncul dari asap, tampaklah seorang tua, Ki Tapa, yang sudah terlihat amat tua akan tetapi masih berjalan dengan ringannya, di hadapan mereka.

“Wah ramai sekali di sini,” katanya riang, “dan siapa orang-orang ini, Tampar, Gisang?”

“Mereka dari Pinggiran Sungai Merah, Ki Tapa,” sahut Ki Gisang, “saudara Asap pemimpin rombongan,” katanya sambil menunjuk Asap dan menggapainya supaya berbicara pada Ki Tapa.

“Saya, Ki Tapa,” sahut Asap hormat.

“Mengapa orang-orang Pinggiran Sungai Merah bisa terkena Racun Hitam Panas ini? Bukankah di wilayah kalian tidak kadal gurun yang dapat menyebabkan racun itu?” tanyanya.

“Benar Ki Tapa,” jelas Asap, “luka itu diperoleh saudara ini saat pergi ke Gurun Besar untuk mencari obat bagi saudaranya. Obat berhasil diperoleh, tapi ia tidak tahu bahwa di dalam tasnya bersembunyi seekor kadal gurun. Saat ia mengambil obat tersebut, digigitlah tangannya. Kami sudah mencoba menahannya dengan telur kelabang dan ludah cacing.”

“Pilihan yang bagus, tapi bagaimana kalian tahu aku ada di sini?”

“Di dunia persilatan sudah terdengar kalau Ki Tapa adalah pewaris dari Petapa Seberang, yang ahli obat-obatan.”

“Hmm, orang-orang Perguruan Atas Angin, bener-benar banyak ucap,” sahutnya kurang senang.

Tidak ada yang memberi jawaban atau bereaksi atas ucapan itu.

“Sudahlah, ini sudah kubuatkan obatnya. Dari jauh sudah kurasakan adanya panas, tapi belum bisa kutebak berasal dari Racun Hitam Panas atau Racun Merah Membara, untung aku membawa kedua penawar tersebut.”

“Terima kasih Ki,” sahut ketua rombongan itu dengan penuh syukur. Hal yang sama juga terlihat dari anggota rombongan yang lain. Telebih tampak pada wajah si sakit.

“Sebaiknya kalian tinggal dulu untuk sementara di desa itu,” katanya, “jika sudah sembuh benar, barulah pergi. Tak baik bila si sakit terlalu lelah dalam perjalanan.”

“Baik Ki,” sahut Asap mewakili teman-temannya.

“Tampar, Gisang, aku ingin bicara sebentar,” gapainya pada kedua orang tersebut.

Setelah berada kira-kira dua puluh langkah dari sana dalam satu kali tindakan saja, berkatalah Ki Tapa,

“Bagiamana menurut kalian Asap itu?”

“Baik Ki, saya juga setuju,” sahut Ki Tampar.

Ki Gisang menggangguk pula, tanpa berbicara. Mereka telah lama mendapat pesan dari Ki Tapa untuk mencari orang yang dapat dijadikannya ahli waris. Mereka berdua tidak mau karena menyadari kemampuan mereka yang tidak mumpuni, selain sebagai penghubung.

“Baiklah kalau kalian setuju,” kata Ki Tapa kembali, “tolong cari keterangan apa dan bagaimana jati dirinya.”

“Baik Ki,” sahut mereka hampir berbarengan.

Kemudian lenyaplah Ki Tapa dan kembalilah rombongan dari Pinggiran Sungai Merah itu kembali ke Desa Luar Rimba Hijau untuk beristirahat dan malam pun semakin larut yang diwarnai dengan suara jangkrik yang bersahut-sahutan merdu.

Dalam perjalanan pulang menuju Desa Luar Rimba Hijau, Ki Gisang bertanya kepada Asap, karena ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

“Saudara Asap,” katanya, “dulu saudara mengatakan bahwa temanmu itu terkena semacam sakit ingatan yang aneh, di mana ia seperti gila akan tetapi dapat memberikan arah di mana obat untuk penyakitnya dapat diperoleh.”

“Benar Ki Gisang,” jawab Asap dengan hormat.

“Lalu mengapa tidak kau ceritakan hal itu kepada Ki Tapa, dan engkau malah mengatakan bahwa engkau mengetahui keberadaaan Ki Tapa dari orang-orang persilatan. Bukannya dari si sakit sendiri?” tanya Ki Gisang kembali.

“Sebenarnya, pada suatu ketika, saat si sakit sedang dalam pengobatan,” jelas Asap, “ini pun menurut dia, bahwa ada suatu malam datang seorang berilmu tinggi yang menerangkan apabila ingin sembuh, harus mencari obatnya di sini, di Rimba Hijau dan Gunung Hijau.”

“Temuilah Ki Tapa di Rimba Hijau dan Gunung Hijau. Mintalah obat kepadanya. Dialah satu-satunya pewaris Petapa Seberang, yang ahli obat-obatan tiada taranya di dunia persilatan,” lanjut orang itu, sambil lalu menjelaskan bahwa racun yang mengenai orang itu disebut sebagai Racun Hitam Panas. Kemudian menjelaskan pula orang itu di mana letak Rimba Hijau dan Gunung Hijau, dan bagaimana cara mencapainya dari Desa Pinggiran Sungai Merah. Sambil tak lupa berpesan agar terlebih dahulu minta ijin pada orang-orang Desa Luar Rimba Hijau sesampainya di sana, karena merekalah yang akan menjadi penghubung dengan Ki Tapa.

Karena keadaannya yang setengah sadar akibat terkena Racun Hitam Panas, maka si sakit sering meracau mengenai Ki Tapa dan Rimba Hijau serta Gunung Hijau, seakan-akan tiada hal lain yang dipikirkannya. Pun saat ditanya, awal-awalnya ia dapat menjawab dengan baik, dan kemudian menekankan bahwa ia ingin ke Rimba dan Gunung Hijau untuk mencari obat bagi dirinya. Sampai akhirnya kepada Desa Pinggiran Sungai Merah memutuskan untuk mengikuti pesan si sakit untuk pergi ke Rimba dan Gunung Hijau. Asaplah yang ditugaskan sebagai ketua rombongan.

Mendengar cerita itu baik Ki Tampar maupun Ki Giasang mengangguk-angguk. Mereka lega karena Asap tidak berbohong, hanya saja lupa mengatakan perihal ini kepada Ki Tapa. Kejujuran merupakan salah satu prasyarat bagi orang yang akan menjadi murid Ki Tapa.

Lalu lanjut Ki Tampar, “Bila engkau bertemu kembali dengan Ki Tapa, ceritakan hal tersebut, yang baru saja kamu ceritakan kepada kami. Mungkin ada pesan tersembunyi dari orang berilmu tinggi tersebut kepada Ki Tapa. Selain pula untuk mengatakan sejujurnya apa yang menyebabkan kamu dan rombonganmu dapat ke sini.”

Asap mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbersit rasa bingung dalam hatinya, mengapa perkataan sekecil itu menjadi berarti bagi orang-orang ini. Untuk sementara disimpannya dulu kebingungannya itu. Mungkin juga bukan apa-apa, pikirnya.

Dan kemudian kesunyian pun mengisi perjalanan itu sampai ke Desa Luar Rimba Hijau. Setelah rombongan tida di rumah yang disediakan buat mereka dan si sakit menerima pengobatan seperti yang dipesankan oleh Ki Tapa, beristirahatlah seluruh rombongan dari Pinggiran Sungai Merah, sebagaimana halnya pula penghuni Desa Luar Rimba Hijau. Dan malam pun semakin larut.


Pagi yang cerah bagi penghuni Desa Luar Rimba Hijau. Seperti biasa para penghuni mulai bersiap-siap untuk melakukan rutinitasnya, bekerja untuk melangsungkan kehidupan mereka. Penduduk desa tersebut umumnya memiliki mata pencaharian bertani, akan tetapi ada juga beberapa yang bekerja sebagai pedagang dan pengrajin. Ketiga pekerjaan ini sebenarnya salinglah berkaitan satu sama lain. Para pedagang membatu menjualkan hasil-hasil pertanian, dan pengrajin, selain meningkatkah nilai tambah hasil-hasil pertanian, juga membantu para petani dalam membuatkan alat-alat yang dapat meningkatkan efesiensi dalam bercocok tanam.

Untuk mengatur agar tidak terjadi pertentangan di antara para petani, pedagang dan pengrajin, di Desa Luar Rimba Hijau itu, terdapat semacam pamong desa yang bertugas untuk mengatur tata kehidupan dari masing-masing kelompok tersebut. Di desa itu terdapat empat orang yang dikenal sebagai juru, atau ahli dalam bidangnya, yaitu Juru Tani, Juru Dagang, Juru Karya dan Juru Cipta. Masing-masing berurusan dengan kelompok para petani, pedagang, pengrajin dan adat-istiadat yang berkiatan dengan peribadatan. Jika dihubungkan, maka Ki Gisang dan Ki Tampar termasuk dalam bagian kelompok yang dipimpin oleh Juru Cipta. Di atas keempat juru atau ahli tersebut terdapat Kepada Desa yang bertugas menjaga ketentraman sosial dari warganya. Di luar dari keempat kelompok juru tersebut terdapat pula semacam kelompok yang bertugas menjaga keamanan desa dari serangan-serangan luar desa, walaupun hal tersebut jarang sekali terjadi. Ini karena Desa Luar Rimba Hijau tidak memiliki sesuatu yang membuat orang-orang dari luar desa ingin menguasainya.

Selain itu ketentraman desa itu juga terjaga dikarenakan letak desa yang terpencil dan jauh dari desa-desa lain. Oleh karena itu para pedagang biasanya hanya pergi ke luar desa sekali tiap dua kali bulan purnama muncul. Terlalu sering akan amat tidak menguntungkan, baik bagi mereka para pedagang sendiri ataupun bagi pembelinya, karena harga-harga akan menjadi mahal, untuk menutupi lelahnya perjalanan yang jauh tentunya.

Dan pagi itu, setelah orang-orang yang bekerja sebagai petani pergi ke sawah atau ladangnya, untuk memeriksa tanamannya atau sekedar mengairinya, beberapa orang yang berprofesi sebagai pedangang tampak berkumpul di dekat suatu pohon dekat dengan balai pertemuan desa. Mereka tampak sedang berbincang-bincang sesuatu. Umumnya mengenai apa yang dapat dijual ke luar desa dan apa yang dapat nanti di bawa kembali ke desa untuk dijual kepada penduduk di sini. Kejadian seperti itu sudah seperti biasanya, sebelum mereka pergi ke luar dari desa, mereka berkumpul untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut perdagangan mereka. Umumnya terdapat sekitar empat kelompok pedagang yang akan pergi keluar desa ke arah empat penjuru mata angin, karena di arah yang berbeda terdapat kota-kota atau desa-desa yang berbeda yang dapat merupakan tempat untuk menjual dan membeli barang-barang kebutuhan.

Akan tetapi hari itu, kemeriahan pembicaraan bertambah dengan adanya rombongan dari Pinggiran Sungai Merah yang sedang berdiam untuk sementara di desa itu, guna mengobati anggotanya yang sedang sakit. Para pedagang itu berdiskusi apakah ada baiknya untuk berbicara sesekali dengan anggota rombongan tersebut, dalam rangka mencari informasi apa-apa saja barang kebutuhan yang mereka perlukan. Jika para rombongan itu membutuhkan sesuatu dan mereka masih lama berdiam di desa ini, sudah tentu dapat mejadi langganan baru bagi para pedagang tersebut. Apalagi jika mereka dapat pula menceritakan apa-apa yang dapat dijual dan dibeli di Desa Pinggiran Sungai Merah. Suatu desa yang belum pernah dicapai para pedagang dari Desa Luar Rimba Hijau ini.

“Sudah, kita coba datangi saja mereka,” usul seorang pedagang yang dikenal sebagai Ki Untung.

“Benar usulnya itu, kita paranin saja. Toh mereka pasti senang jika diajak berbincang-bincag,” sambut Ki Rabat.

Kemudian terlontar usul-usul lain yang pada intinya bermakna sama, bahwa para anggota rombongan itu perlu didekati untuk mencari tahu apakah mereka dapat menjadi pelanggan dari para pedagang itu.

Tiba-tiba diskusi itu berhenti karena lewatlah sang Kepala Desa, Ki Surya, seorang yang disegani di desa itu karena kearifannya. Para pedagang umumnya merasa sungkan pada Ki Surya, karena ia sering kali mengingatkan mereka untuk tidak terlalu banyak mengambil untung dari para penduduk desa. Ia menasehati bahwa janganlah suasana perdagangan yang hanya mementingkan keuntungan di bawa ke dalam desa. Boleh berdagang akan tetapi sewajarnya, jangan sampai menimbulkan keributan. Dan para pedangang itu tunduk, karena apa yang diutarakan oleh Ki Surya itu benar adanya. Dan keluarga-keluarga mereka juga petani di desa ini, yang tidaklah mungkin mereka peras atau manfaatkan sehabis-habisnya untuk perdagangan mereka.

“Selamat pagi, Ki Surya,” sapa mereka hampir bersamaan.

“Selamat pagi, semua,” balas Ki Surya dengan ramah, sambil memperhatikan satu per satu wajah-wajah para warganya yang tergabung dalam kelompok pedagang ini. Lalu tanyanya pada Juru Dagang, yang saat ini dipegang oleh Ki Murah, “ada apa ini Ki Murah? Akankah ada lagi perayaan sebelum perjalanan ke luar desa?”

Sudah menjadi kebiasaan bahwa sebelum para pedagang keluar dari desa menuju keempat mata angin, para penduduk mengadakan perayaan, di mana pada saat itu semua penduduk berkumpul untuk saling melakukan kegiatan perekonomian. Menukar-tukarkan hasil pertanian dan kerajinannya. Dan juga pesanan-pesanan yang dicatat oleh para pedagang untuk ditukarkan di kota atau desa lain dengan hasil-hasil pertanian dan kerajinan mereka, sudah tentu dengan potongan sebagai ongkos perjalanannya.

“Ah, untuk itu belum Ki Surya,” jawab Ki Murah tersenyum, “masih satu bulan lagi, karena kami bersepakat untuk mengundurkannya, mengingat hasil panen dan kerajinan belum cukup berlebih untuk diperdagangkan.”

“Lalu apa yang sedang kalian perbincangkan? Terlihat amat menarik dari kejauhan,” tanya Ki Surya setengah menggoda, karena ia tahu tidak ada lain yang menjadi pembicaraan para pedagang kecuali barang dagangannya.

“Ada usulan yang telah disepakati oleh kami,” jawab Ki Rabat melihat bahwa Ki Murah agak sungkan menjelaskannnya kepada Ki Surya, “untuk berbincang-bincang dengan orang-orang dari Pinggiran Sungai Merah. Menjajagi apa-apa yang ada di sana dan siapa tahu ada yang bisa didagangkan dengan mereka.”

“Usul yang baik itu,” kata Ki Surya, “lakukanlah!”

“Terima kasih Ki Surya,” jawab Ki Rabat.

“Akan tetapi jangan terlalu memaksa walaupun mereka bukan orang sini. Saat ini mereka merupakan tamu-tamu kita,” mengingatkan Ki Surya lebih lanjut.

“Baik Ki Surya,” jawab mereka serempak.

Kemudian berlalulah Ki Surya, melanjutkan perjalanannya memeriksa keadaan di sekeliling desa. Dan pada saat itu bergegaslah para pedagang beranjak menuju suatu rumah yang sedang dijadikan pondokan oleh rombongan dari Pinggiran Sungai Merah.


Beberapa hari pun berlalu dengan tenang tanpa ada kejadian yang berarti di Desa Luar Rimba Hijau, persiapan rombongan pedagang yang kali ini akan dipimpin oleh Ki Murah dan Ki Rabat telah mencapai tahap akhir. Kelihatannya rombongan itu akan pergi dalam waktu kurang dari seminggu. Masih ada beberapa perjanjian dagang yang belum selesai yang masih menunggu kepastian. Salah satu perjanjian dagang tersebut sudah tentu berkaitan dengan rombongan dari Pinggiran Sungai Merah. Setelah orang-orang dari kelompok perdagangan ini bertemu dengan orang-orang dari Pinggiran Sungai Merah, terciptalah suatu pembicaraan ngalor-ngidul yang menarik, sampai akhirnya, karena memang didasari oleh otak perdagangan yang kampiun, dapat ditemui adanya suatu barang yang kelihatannya dapat didagangkan antara Desa Luar Rimba Hijau dan Desa Pinggiran Sungai Merah. Akan tetapi untuk memastikan hal itu, rombongan yang dipimpin oleh Ki Murah dan Ki Rabat perlu berkunjung terlebih dahulu ke sana. Dan sebagai tanda kepercayaan, beberapa orang dari rombongan ikut pulang ke desanya, dan juga sebagai petunjuk jalan. Selain itu anggota rombongan yang pulang juga memiliki keperluan untuk menyampaikan kabar ke kepala desa Pinggiran Sungai Merah, bahwa orang yang sakit sudah diobati dan sedang dalam tahap perawatan.

Suatu pagi yang cerah, membuat salah seorang anggota rombongan Pinggiran Sungai Merah, Asap ingin berjalan-jalan mengelilingi luaran desa. Ia mengagumi sistem tatanan desa, yang di luarnya terdapat beberapa daerah yang diperuntukkan bagi keperluan yang berbeda-beda, ada perumahan, perkebunan basah, perkebunan kering, parit-parit melingkar dan tanah lapang luas. Bagian terakhir ini digunakan sebagai padang rumput untuk memberi makan ternak seperti sapi dan kambing. Dari bincang-bincangnya dengan salah seorang penghuni desa yang kebetulan bertempat tinggal di sebelah rumah tempat ia dan rombongannya menginap, dijelaskan bahwa pembagian daerah-daerah di desa ini memiliki arti tersendiri, dan ini sudah merupakan aturan turun-temurun di desa ini.

“Jelasnya bagaimana, paman Baja?” tanya Asap ingin tahu, sambil menghirup teh yang disajikan oleh Nyi Antini, istri Ki Baja. Keakraban yang ditawarkan oleh suami istri ini, membuatnya kerasan. Apalagi mereka tidak mempunyai anak, sehingga dengan adanya rombongan yang tinggal di sebelah rumahnya, dan adanya seorang muda seperti Asap, membuat mereka bersemangat untuk bercerita. Dan untuk menunjukkan keakraban tersebut, Asap diminta untuk memanggil mereka paman dan bibi.

“Begini nak Asap,” jelas Ki Baja sambil berhenti untuk menerawang, mengingat-ingat cerita yang dulu diturunkan oleh nenek moyangnya, “dahulu kala, sebelum Gunung dan Rimba Hijau mejadi terlarang, desa kami dikenal sebagai Desa Ujung, karena letaknya yang jauh dari mana-mana. Jarang ada orang yang bertandang kemari. Oleh karena itu tidak ada gunanya tatanan atau pembagian desa yang baik, karena toh tidak akan terjadi apa-apa. Akan tetapi pernah suatu ketika terjadi wabah di desa ini, yang sebenarnya disebabkan oleh cara hidup yang kurang sehat dari penghuninya sendiri.”

Kehidupan Desa Ujung yang amat sederhana dan alami memberikan sentuhan keheningan dan kenyamanan bagi orang-orang yang mencintai alam. Akan tetapi sudah menjadi kebiasaaan bahwa cara hidup manusia kadang merusak tatanan alam yang telah alami tersebut. Salah satu kebiasaan penduduk Desa Ujung yang tidak baik adalah cara mereka membuang kotoran, entah itu hasil keluaran tubuh, atau hasil olahan dapur atau kerajinan. Mereka membuangnya langsung ke sungai sehingga mencemari sungai. Pada saat itu dengan menggunakan bahan-bahan yang masih alami, sebenarnya tidaklah terjadi pencemaran yang mengkhawatirkan sehingga bisa menimbulkan keracunan. Hal lain terjadi, yaitu karena kandungan-kandungan tertentu dari kotoran-kotoran yang mereka buat ditambah dengan kondisi lingkungan sekitar Desa Ujung yang kondusif, membuat sejenis organisma kecil semacam jamur dan ganggang dapat tumbuh dengan subur. Orang menyebutnya Hamparan Hijau, karena sering membentang terhampar baik di atas air yang tenang maupun di atas tanah yang lembab. Nenek moyang penghuni Desa Ujung telah mengetahui bahwa Hamparan Hijau tidak baik bagi ternak mereka. Dan bila tidak baik bagi ternak, sudah tentu tidak baik bagi pemilik ternaknya. Oleh karena itu ada larangan untuk memakannya.

Jika dahulu kala, sebelum aktivitas penghuni Desa Ujung sedemikian meningkat sehingga kotoran yang dihasilkan sampai membuat perkembangan Hamparan Hijau menjadi sedemikian ganas, orang tidak akan menyadari bahaya yang siap mengincar setiap saat. Bahaya yang akan muncul bila keseimbangan alam terganggu. Pernah ada orang tua-tua yang mengatakan bahwa Hamparan Hijau di sekeliling desa bertambah banyak, dan sebaiknya para penghuni mulai memperhatikannya. Akan tetapi hal ini dianggap sepele, dan mereka hanya menghalaunya dengan menggunakan alat-alat pertanian, dan membuanngnya jauh di luar desa. Pada saat yang bersamaan orang-orang penghuni Desa Ujung sedang gandrung terhadap suatu pengolahan hasil panen menjadi makanan, yang diperoleh dari luar desa. Dengan cara ini hasil panen dapat diolah menjadi bahan baku makanan yang dapat disimpan lama. Oleh karena saking gandrungnya, terjadi pengolahan secara besar-besaran yang berakibat meningkatnya kotoran yang mencemari sungai. Akan tetapi hal itu tidak diperhatikan. Orang lebih memperhatikan hasil bahan olahan yang diperoleh. Variasi apa yang dihasilkan, dan bagaiman ketahanannya dalam penyimpanan.

Sedikit demi sedikit, akan tetapi pasti, Hamparan Hijau mulai berkembang. Menutupi air dan tanah lembab di sekitar desa. Karena adanya kesibukan baru, para penghuni desa jarang jauh keluar desa, sehingga tidak lagi memantau perkembangan Hamparan Hijau, ditambah juga dengan lokasi lahan-lahan pertanian yang terpusat di tengah desa, membuat mereka kurang alasan untuk jauh keluar dari desa. Alam mungkin sedang marah atau ingin memberi peringatan kepada mereka, dengan didahuluinya oleh hujan deras dan angin, sehingga Hamparan Hijau yang berada di sungai atau kobakan jauh dari desa Ujung, dapat terbang bersama air dan angin, dan menggenangi semua lahan-lahan pertanian yang ada. Akibatnya sudah tentu fatal. Tanaman-tanaman tidak dapat dengan mudah dipanen. Harus dicuci bersih sebelum dimasak. Dan air untuk mencuci pun kebanyakan sudah tercemar. Akhirnya dengan terpaksa mereka makan makanan yang di dalamnya terkandung sari-sari dari Hamparan Hijau. Hasilnya sudah pasti bisa diduga, para penghuni Desa Ujung keracunan.

Keracunan yang menjangkiti hampir seluruh daerah tersebut membuat seakan-akan Desa Ujung telah sampai pada saat akhirnya. Tinggal menunggu waktu untuk binasa, tanpa ada orang tahu akan adanya desa itu. Terlebih desa tersebut memang jauh dari mana-mana.

Tapi memang kehendak Yang Maha Kuasa tiada yang bisa menduga, pada saat kritis seperti itu datanglah seorang petapa yang menilik dari pakaiannya bukanlah orang yang berasal dari daerah di sekiling Desa Ujung, mungkin pula bukan berasala dari pulau yang sama. Orang tersebut kebetulah adalah ahli pengobatan, dan mengenali dengan betul akibat keracunan yang ditimbulkan oleh Hamparan Hijau. Akan tetapi selama hidupnya ia belum pernah melihat begitu luasnya Hamparan Hijau menyerang, sampai hampir membinasan satu desa.

Dengan berbekal pengetahuan yang dimilikinya, orang itu mengobati penduduk desa, sembari juga ia mempelajari alasan mengapa Hamparan Hijau sampai bisa tumbuh meluas seperti itu. Akhirnya sampailah ia pada kesimpulan bahwa kondisi lingkungan dari Desa Ujung yang dekat dengan rimba dan gunung itu memang kondusif untuk perkembangan Hamparan Hijau. Sedikit saja ada tambahan nutrisi di air dan tanah lembab, Hamparan Hijau dapat berkembang dengan pesat secara gila-gilaan.

Setelah seluruh penduduk Desa Ujung sehat kembali sang penolong tersebut, yang minta dirinya dipanggil Petapa Lain Pulau, mengajak penduduk desa untuk mengubah desanya agar lebih sehat dan baik. Juga memberitahu perihal kelakuan Hamparan Hijau yang lebih ganas karena didukung oleh kondisi geografis setempat. Dengan tuntunan Petapa Lain Pulau, mulailah penduduk membagi desa dalam daerah-daerah tertentu seperti yang saat ini. Dan Hamparan Hijau yang berada di dalam desa dimusnahkan, sedangkan yang berada di luar desa dibuang ke dalam Rimba Hijau, dengan mengalihkan sedikit aliran sungai, dapat dirancang sedemikian rupa sehingga jika terdapat Hamparan Hijau, suatu pintu air dapat dibuka, sehingga akan mengalir masuk ke dalam Rimba Hijau. Dan sampah-sampah yang tadinya mencemari di sekitar desa, dialihkan ke dalam hutan. Petapa Lain Pulau telah mengamati bahwa di dalam Rimba Hijau terdapat pula komunitas Hamparan Hijau yang tak kalah padatnya dibandingkan di sekitar desa, saat terjadi peristiwa tersebut. Akan tetapi tidak tampak dari luar. Dengan demikian pembuangan kotoran dari desa ke hutan, tidak akan merusak keseimbangan alam di sana. Untuk memperingati hal tersebut nama Desa Ujung diganti menjadi Desa Luar Rimba Hijau, yang mengisyaratkan bahwa para penghuni desa hanya diperbolehkan di luar Rimba dan Gunung Hijau. Dan Petapa Lain Pulau berpesan bahwa ia akan berdiam di dalam Rimba dan Gunung Hijau. Apabila ada musibah yang terjadi di Desa Luar Rimba Hijau, ia dengan senang hati akan menolongnya. Begitu pesannya. Sejak saat itu rimba dan gunung menjadi terlarang, dan juga menjadi lebih hijau dari sebelumnya, karena ditambah dengan kabut hijau yang kadang-kadang nampak membuat daerah tersebut menjadi lebih disegani untuk dimasuki.

Ki Baja menarik napas panjang setelah bercerita. Terlihat bahwa ia meskipun menikmati dalam melantunkan kembali kisah tersebut, telah terbuang banyak tenaganya. Tenaga kasar yang umumnya bertahan saat bertani, tidak sesuai untuk digunakan saat mengungkapkan suatu cerita yang panjang.

Asap yang sedari tadi mendengarkan dengan tekun, melihat bahwa Ki Baja seperti ingin ditanya. Hal ini terlihat jelas dari wajahnya yang minta tanggapan. Dan dalam waktu ini kebetulan Asap memang memiliki pertanyaan. Sebelum telah diceritakan bahwa ia dan rombongannya telah bertemu dengan Ki Tapa, dan hal ini diceritakan pula oleh Ki Tampar dan Ki Gisang, bahwa Ki Tapa adalah penghuni Rimba dan Gunung Hijau. Akan tetapi dari kisah Ki Baja, penguni Rimba dan Gunung Hijau adalah Petapa Lain Pulau. Oleh karena itu mengajukan pertanyaanlah Asap mengenai hal tersebut.

“Untuk itu ada baiknya, nak Asap bertanya langsung kepada Ki Tapa,” jawab Ki Baja, “sejauh yang saya tahu Ki Tampar dan Ki Gisang pun pernah bertanya hal yang sama. Akan tetapi Ki Tapa mengaku tidak mengenal atau pernah bertemu dengan Petapa Lain Pulau.”

Asap pun mencatat itu dalam hatinya. Bila ia ada kesempatan untuk bertemu dengan Ki Tapa lagi, akan dicoba untuk memuaskan rasa ingin tahunya tersebut. Yang dalam mana ia tidak tahu bahwa akan ada suatu peristiwa yang akan mengubah jalan hidupnya berkaitan dengan kisah di balik hubungan antara Ki Tapa dan Petapa Lain Pulau ini.


Orang yang belum melihat dan merasakan sendiri kejam dan brutalnya perang sudah tentu tidak akan dapat menikmati kesehari-harian yang amat ‘biasa’ dan ’tenang’. Kadang berita ketidakadilan di seberang lautan memicu orang untuk ikut campur, dengan semangat menggebu-gebu berpendapat, bahwa salah satu pihak adalah salah dan yang lain adalah benar. Bila ia dapat turut serta dalam konflik tersebut, sudah dipastikan akan dilakukannya. Ia akan bertempur untuk membela kebenaran. Berperang. Membunuh demi kemanusiaan. Ironis bukan, bahwa kedamaian yang dicita-citakan haruslah diperoleh dengan pertumpahan darah, dengan melayangnya nyawa, membumbungnya jerit tangis kesedihan orang-orang. Baik keluarga yang ditinggalkan maupun para korban yang ditindas oleh para prajurit. Sudah bukan rahasia lagi bahwa selalu terdapat korban dari luar lingkup para pelaku perang. Orang-orang sipil. Orang-orang yang ‘sah’ untuk ditindas dalam keadaan darurat, dirampas haknya, diperkosa kebebasannya, ditindas kemauannya, semua untuk kepentingan penguasa. Kelompok yang memanggungkan konflik pertentangan berdarah, demi kemanusiaan dan kedamaian.

Sedangkan orang-orang yang terlibat dalam perang, yang pada awalnya memang terjun ke dalam perang karena dorongan rasa keadilannya, rasa kebangsaanya, akan tetapi tetap disertai dengan rasa kemanusiaannya dan tidak terlarut dalam kekejaman dan kenikmatan menyaksikan pembantaian sesamanya, umumnya memperoleh hikmah yang dapat membuatnya benar-benar mensyukuri makna dari kedamaian dan kehidupan yang ‘biasa-biasa’ serta tenang. Mereka-mereka ini akan berupaya dengan segala tenaga, bakat dan pikirannya untuk selalu mencegah terjadinya konflik, mencegah terjadinya perang kembali. Akan tetapi umumnya orang-orang seperti ini tidak suka menonjolkan diri. Mereka lebih suka membantu menyelesaikan permasalahan dan kemudian menghilang, tidak mengharapkan imbalan dari hasil jasanya itu. Kedamaian dan senyum yang mengembang dari orang-orang yang ditolongnya, sudah merupakan anugrah yang melimpah, cukup untuk dikenang dan disyukuri oleh orang-orang seperti ini.

Adalah Petapa Lain Pulau yang merupakan murid dari murid dari murid, entah keturunan keberapa, dari seorang ahli bela diri ternama Kang Sang Peng (Zhang Sanfeng), yang berasal dari Tanah Daratan Tengah yang awalnya merupakan seorang petapa pula, akan tetapi setelah ia meninggalkan perguruannya untuk hidup sebagai orang biasa, ia melihat banyak hal yang merupakan kontradiksi dengan yang diajarkan oleh perguruannya dalam berbagai filsafat yang menjelimet. Banyak kenyataan-kenyataan yang membuatnya terkejut, bahwa orang sedemikian mudah tergoda oleh harta dan tahta. Pembesar menindas rakyat, pejabat menindas bawahan, dan sebagainya.

Dan hal yang paling menyedihkannya adalah terlibatnya ia dalam konflik untuk melawan adik seperguruannya sendiri, yang menghambakan diri menjadi tentara untuk menindas rakyat. Telah berulang kali ia bertemu dengan adik seperguruannya dan membujuk agar ia meninggalkan kedudukannya sebagai tentara, yang saat itu telah menduduki pangkat jenderal yang mengepalai ribuan tentara, akan tetapi adik seperguruannya selalu menolak. Bahkan di kali terakhir, adiknya mengajaknya untuk bersekutu dengan tentara dengan janji-janji pangkat dan kemewahan. Kang Sang Peng habis kesabarannya dan sempat berujar bahwa mulai saat itu ia akan menentang sang adik seperguruan dengan cara kekerasan, sampai sang adik seperguruan menyadari kekeliruannya. Boro-boro menurut, karena ditegur dengan keras, sang adik seperguruan malah menantangnya dengan keras, sambil mengatakan bahwa Kang Sang Peng sebaiknya bersembunyi, karena mulai saat itu ia akan memasang harga kepala sang kakak seperguruan sebagai orang yang dicari oleh negara. Perseteruan antara dua saudara itu menjadi bumbu yang semakin memperumit peperangan. Dan Kang Sang Peng dalam rangka melawan adiknya tersebut, terpaksa bergabung dengan kaum pemberontak dan ikut bergerilya untuk menyerang pasukan pemerintah. Setelah beberapa kali bertempur Kang Sang Peng menyadari bahwa ilmunya tidaklah cukup kuat untuk melawan adik seperguruannya itu. Sang adik telah belajar banyak dari berbagai guru pandai dalam kemiliteran sehingga kemampuannya berkembang dengan pesat.

Dalam keadaan luka parah dan depresi, dengan masih ditemani oleh beberapa temannya, kaum pemberontak, yang setia kepadanya, Kang Sang Peng menemukan bahwa yang penting dalam pertempuran antara dua orang bukanlah hanya banyaknya jurus atau kekuatan luar yang penting. Kesadaran tentang apa yang dilakukan dan ketenangan dalam mengambil keputusan untuk menyerang atau mengelak itu pun penting. Selain dari pada itu, untuk pertempuran dalam jangka waktu yang lama, diperlukan siasat sedapat mungkin tidak banyak menghabiskan tenaga, jika bisa manfaatkan tenaga lawan untuk menyerang dirinya sendiri. Seperti gerak melingkar, membelokkan tenaga lawan, agar ia terpukul oleh tenaganya sendiri. Dengan dasar pengetahuannya dalam bela diri Seni Bertempur (Wu Shu), ia menciptakan ilmu yang dikenal sebagai Pukulan Tanpa Tanding (Taijiquan) yang pada dasarnya lebih melatih kekuatan internal ketimbang eksternal. Dengan ilmu baru ini Kang Sang Peng dapat mengalahkan adiknya untuk kemudian memusnahkan ilmu silatnya dan mengirimkannya kembali adiknya kembali ke perguruan untuk dihukum bertapa Menghitung Hari Menghadap Dinding selama sisa hidupnya.

Selanjutnya karena perbedaan padangan dan juga pencerahan yang diperolehnya, membuat Kang Sang Peng kembali meninggalkan perguruannya untuk membuka kelompoknya sendiri yaitu Perguruan Gu Dang (Wudang), yang dalam mengembangkan bela dirinya lebih menitikberatkan pengembangan bagian dalam tubuh ketimbang luarnya. Gerakan-gerakan yang diajarkan akan berguna untuk membangun sirkulasi hawa dalam tubuh. Pada penggunaannya dalam pertempuran, untuk murid yang telah ahli, aliran hawa itu akan dengan sendirinya mengalir menuruti pikiran. Oleh karena itu walaupun gerakan-gerakan yang dilatih tidak terlihat berguna, akan tetapi perasaan bagaimana hawa digerakkan itulah yang penting. Setelah tahu cara hawa digerakkan dalam tubuh, dari pusat di bawah pusar menuju suatu bagian tubuh, gerakan yang dimaksud sudah tidak diperlukan. Hanya pikiran yang dibutuhkan. Akan tetapi sebelum menjadi ahli gerakan-gerakan tersebut merupakan sarana untuk membantu melakukan visualisasi.

Jika Petapa Lain Pulau adalah murid dari Perguruan Gu Dang, maka lain halnya dengan Petapa Seberang, yang berasal dari Negeri Matahari Muncul. Sang Guru Tua (O Sensei) adalah seorang ahli bela diri yang mengalami pencerahan yang salah satunya juga akibat adanya perang. Morehe Uwesiba (Morihei Ueshiba) yang dulunya juga telah merupakan seorang ahli bela diri, memperoleh tiga kali pencerahan yang membawanya pada penciptaan ilmu barunya Jalan Selaras dengan Alam Semesta (Aikido). Pencerahan pertama yang diperoleh sang Guru Tua Morehe Uwesiba terjadi saat ia melawan seorang seorang jago pedang kondang yang menyerangnya dengan ganas, akan tetapi berhasil dikalahkannya dengan tangan kosong dan juga tidak melukai sang penyerang. Setelah itu Guru Tua Morehe Uwesiba pergi ke taman dan tiba-tiba tanah bergetar, uap keemasan bergelombang muncul dari dalam tanah dan menyelimuti dirinya. Sang Guru Tua merasakan dirinya berubah menjadi wujud keemasan, dan terlihat bahwa tubuhnya menjadi seringan bulu. Pada saat itu ia menyadari sifat alami dari penciptaan: Jalan Pendekar adalah untuk mewujudkan Cinta Suci, suatu jiwa yang merangkul dan menghidupi semua hal.

Pencerahan berikutnya diperoleh Guru Tua Morehe Uwesiba 180 pergantian bulan berikutnya, saat masih dini hari dan baru sebentar lewat tengah malam. sang Guru Tua sedang melakukan ritual pembersihan, secara tiba-tiba ia tidak ingat sama sekali semua jurus-jurus yang pernah dipelajarinya. Semua jurus dan kembangan yang diturunkan oleh gurunya, terlihat oleh Morehe Uwesiba sebagai sesuatu yang sama sekali baru. Mulai saat itu ia memandang bela diri sebagai sarana untuk mengembangkan kehidupan, ilmu pengetahuan, pengobatan dan kebaikan, dan bukan lagi alat untuk melempar dan menangkap orang seperti sebelumnya dipelajari.

Dua puluh empat pergantian bulan berikutnya, saat mana hampir semua kerajaan-kerajaan dari segala penjuru saling berperang, Guru Tua Morehe Uwesiba kembali mendapatkan pencerahan mengenai Roh Perdamaian Agung. Dalam pencerahannya ini, ia memahami bahwa pengertian mengenai Jalan Pendekar telah disalahartikan sebagai alat untuk membunuh dan menghancurkan pihak lain. Mereka-mereka yang mencari persaingan telah membuat kesalahan besar. Menyerang, melukai dan menghancurkan adalah kesalahan terburuk yang dilakukan oleh orang-orang. Jalan sebenarnya dari Jalan Pendekar adalah mencegah pembantaian, dinamakan - Seni Kedamaian, kekuatan dari cinta kasih.

Petapa Seberang yang saat itu masih kecil, berjodoh untuk belajar pada keturunan keberapa dari Guru Tua, dan menjadi murid dari suatu perguruan untuk mempelajari ilmu Jalan Selaras dengan Alam Semesta yang dilengkapi dengan filsafat Seni Kedamaian. Bakatnya yang baik dan sifat dasar hatinya yang penyayang membuatnya dapat belajar ilmu Jalan Selaras dengan Alam Semesta lebih cepat dari orang-orang seusianya. Dengan ‘rasa’ ketimbang dengan pikiran, Petapa Seberang menyelami gerakan-gerakan ilmu Jalan Selaras dengan Alam Semesta, yang berupa berdiam tetapi tidak kaku, mengalah tetapi tidak kalah, dan juga yang dilengkapi dengan kuncian-kuncian dari Kuncian Satu sampai Kuncian Enam, dari arah putar kanan dan putar kiri, dari gerakan berdiri dan gerakan berlutut, semuanya dicernanya dengan baik. Guru yang mengajarnya sampai geleng-geleng kepala melihat kemampuan Petapa Seberang mencerna ilmu yang diajarkannya. Akan tetapi walaupun demikian, Petapa seberang memiliki satu kelemahan, yaitu menghafal nama jurus-jurus dan filsafat dari gerakan yang diajarkan. Ia hanya bisa mempraktekkannya apabila diserang, akan tetapi tidak apabila disuruh menyebutkan. Ini merupakan suatu keunikan tersendiri dari Petapa Seberang, sampai ia dijuluki Petapa Seberang Si Pelupa Jurus.

Lain halnya kisah Petapa Lain Pulau dan Petapa Seberang, lain pula cerita dari Petapa Gunung Es yang berasal dari suatu tempat jauh di ketinggian, yang dikenal sebagai Atap Langit. Ia belajar ilmu beladiri yang awalnya dikembangkan orang di sana sudah lebih dari puluhan ribu pergantian bulan yang lalu, di mana ilmu tersebut pada awalnya diciptakan untuk bertahan hidup pada lingkungan Atap Langit yang dingin dan berudara tipis. Menurut ujar-ujar para tetua ilmu tersebut, berdasarkan pada tujuh buah unsur filosofis, yaitu: keberanian, tantangan, kepemimpinan, pengorbanan, kebersamaan, kedamaian dan ilmu pengetahuan. Sejalan dengan berlalunya waktu, ilmu tersebut pernah hilang dari Atap Langit, sampai seorang dari Negeri Matahari Terbit, yaitu Tagasi menemukan buku yang masih terbuat dari kulit yang berisikan tanda-tanda simbolis dan bukan tulisan. Untuk itu Master Tagasi memerlukan waktu sampai empat ratus bulan berganti untuk memahami kitab tersebut dan belum sepenuhnya. Sebagaimana unsur filosofis dari ilmu tersebut, terdapat pula tujuh macam elemen murni dari kekuatan alami dalam tubuh manusia. Kitab tersebut kemudian disebut sebagai Kitab Tujuh Rahasia. Menurut kitab itu ketujuh unsur rahasia tersebut mengandung tenaga yang maha dasyat dan kekuatan insting sejati dari seorang manusia.

Akan tetapi dengan mulai dikenalnya berbagai senjata mematikan yang sering digunakan dalam perang, ilmu murni yang menyatakan kedasyatan fungsi tubuh manusia, perlahan mulai hilang ditelan waktu. Master Tagasi, yang saat itu belum menjadi seorang pendekar kondang, tetap dengan tekun mencoba mencari orang-orang lama yang masih memahami ilmu tersebut, yang dikemudian hari diberi nama Takeda ini. Usahanya tidak sia-sia, perjalanannya dari Negeri Matahari Muncul, menyeberangai Pegunungan Tinggi Tiada Habis sampai ke Kaki Langit, membuahkan banyak pertemuan dengan banyak petapa berilmu tinggi yang mengasingkan diri. Dari mereka ini Tagasi menimba banyak ilmu yang merupakan penjelasan dan pecahan-pecahan dari ilmu yang diajarkan kitab tersebut. Perjalan Master Tagasi membuahkan banyak pengikut dan murid, yang salah satu di antaranya adalah Petapa Gunung Es ini.

Awalnya Petapa Gunung Es telah mempelajari ilmu Seamm-Jasani atau dikenal pula sebagai Alayavijnana, yang berarti Ilmu Muda Selamanya, yang membuat orang saat berlatihnya menjadi semakin sehat, awet muda dan tidak cepat pikun dan juga dapat digunakan untuk mencegah depresi, penyakit, serta untuk pencapaian kedamaian di dalam, kesabaran dan ketenangan. Saat ia bertemu dengan Master Tagasi, Petapa Gunung Es merasa ilmunya telah mumpuni, akan tetapi saat berdialog dan saling bertukar ilmu, ia merasa belum apa-apa. Dan Master Tagasi dengan rendah hati menjawab, bahwa ia juga sedang mencari jawaban dari ilmu yang tertulis dalam Kitab Tujuh Rahasia tersebut. Akhirnya Petapa Gunung Es pun mengangkat Master Tagasi sebagai gurunya, dan bersama-sama mereka, juga dengan pengikut lainnya, yang saat itu telah berjumlah lima orang, mencari keterangan lebih lanjut mengenai ilmu itu dari petapa-petapa yang berdiam di sekitar Kaki Langit.

Pada suatu masa yang tercatat dari sejarah Master Tagasi dan tiga puluh orang master lainnya bertandang ke Kawasan Gunung Lautan Awan di Tanah Tongkat Ditanam Jadi Tanaman, di sana ia mencapai dua tahap terakhir dari tahapan kesempurnaan dari ilmu Takeda seperti tertulis dalam kitab tersebut, yaitu Penglihatan Dalam dan Pemahaman Dalam, yang diperolehnya melalui suatu pencerahan saat melihat bagian dari kawah yang menyerupai simbol dalam kitab tersebut. Pencerahan ini membentuk dasar dari keyakinannya bahwa Tujuh Rahasia dapat dicapai melalui metoda Pertahanan Diri. Terdapat tujuh tahapan untuk mencapai kesempurnaan dari ilmu ini, yaitu Cara Bernafas, Pengendalian Otot, Gerakan Tubuh, Pemusatan Pikiran, Pergerakan Hawa, Penglihatan Dalam dan Pemahaman Dalam. Nama ilmu ini sendiri, Kateda, merupakan simbol yang diambil dari halaman terakhir dari kitab ini, Tujuh Rahasia. Pada suatu masa Master Tagasi tutup usia dan diperabukan di kawah Gunung Lautan Awan bersama dengan kitab asli dari Kitab Tujuh Rahasia tersebut, yang merupakan permintaan terkhirnya. Para penerusnya dapat mempelajari ilmu Takeda dari kitab-kitab salinan yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa.

Petapa Gunung Es sebagai salah satu orang yang hadir saat upacara perabuan Master Tagasi benar-benar merasa kehilangan. Karena selain ia benar-benar seorang guru yang selalu mengedepankan kedamaian dan kemanusiaan, ia juga merupakan seperti ayah bagi para murid-muridnya. Keakraban dalam perguruan tersebut benar-benar membuat mereka semua seperti berada dalam keluarga besar.

Terdapat banyak kesamaan antara Petapa Gunung Es, Petapa Lain Pulau dan Petapa Seberang, walaupun mereka belajar dari guru atau master yang berlainan akan tetapi masing-masing guru tersebut memperoleh pemahaman bahwa kedamaian dan ketenangan harus dijaga, dan tugas utama dari seorang pendekar bukanlah berperang, tapi menjadi kedamaian. Perang adalah pilihan terakhir yang harus diambil. Dan karena kesamaan itulah ketiga petapa tersebut secara kebetulah bertemu di Pulau Gunung Api yang terletak di Laut Antara Dua Pulau, di mana mereka pada awalnya memilih pulau tersebut karena letaknya yang aneh dan alamnya yang keras. Mereka berpikiran sama untuk memperdalam ilmunya dengan memanfaatkan kedasyatan alam di sana.

Pertemuan ini menimbulkan keakraban di antara ketiganya sehingga mereka pun saling mengangkat saudara, sehingga sampai muncul keingingan untuk membentuk suatu perguruan baru dengan menggabungkan ilmu-ilmu mereka tersebut.

“Kakang Gunung Es,” tanya Petapa Lain Pulau, mereka telah menetap urutan kakak dan adik angkat mulai dari Petapa Gunung Es, Petapa Lain Pulau dan Petapa Seberang berdasarkan urutan usia saja, “jika menurut Kitab Tujuh Rahasia dari Master Tagasi tersebut, sudah sampai tahap berapa kakang ini?”

Petapa Gunung Es tidak langsung menjawab, melainkan merenung dulu sebentar, lalu ujarnya, “aku sedang dalam Pemusatan Pikiran, dan sedikit awal Pergerakan Hawa. Akan tetapi banyak hal yang belum aku mengerti di sini.”

“Misalnya,” imbuh Petapa Seberang.

“bahwa dalam kitab tersebut dikatakan hawa dikendalikan pikiran, tapi pada bagian sebelumnya, dikatakan pusatkan pikiran untuk jangan berpikir,” jawabnya dengan serius, “ini membuatku jadi bingung dan kadang-kadang lupa dengan ujar-ujar yang tertuliskan.”

“Ini mirip seperti yang dialami Guru Tua Morehe Uwesiba, yang tiba-tiba lupa apa yang dipelajarinya,” sahut Petapa Seberang menambahkan.

“Bukan adik Seberang,” jawab Petapa Gunung Es, “sama sekali lain. Kalau Guru Tua lupa karena ia sudah mencapai Pemahaman Dalam, sedangkan aku baru sampai tahan Pergerakan Hawa dan Pemusatan Pikiran.”

“Kalau aku lupa, karena memang tidak mengerti kenapa harus ada penjelasan jurus-jurus itu,” lanjut Petapa Seberang dengan tersenyum malu.

Kedua saudaranya tersebut juga sama-sama tersenyum. Mereka menyadari akan ‘kelebihan’ dari adik angkat mereka ini, suatu ‘kelupaan’ yang dilengkapi dengan pemahaman gerakan yang mendarah daging.

Ketiga orang itu pun berdiskusi kembali saling mengemukakan pikirannya masing-masing. Sambil kadang salah seorang, berdasarkan pemahaman lainnya, mempraktekkan ilmunya kembali dengan pemahaman hasil diskusi tersebut. Kadang diperoleh penyelesaian kadang pun tidak. Sampai lama dan berminggu-minggu mereka berlatih, berdiskusi dan bertapa. Dan waktu pun berlalu tanpa terasa di Pulau Gunung Api di Laut Antara Dua Pulau tersebut.

Mereka tidak menyadari bahwa ilmu-ilmu mereka yang sama, yang mengisyaratkan adanya penegakkan kedamaian dalam implentasi ilmunya, membuat mereka saling melengkapi pemahaman masing-masing sehingga menghasilkan ilmu-ilmu baru yang kelak akan mengguncangkan dunia persilatan, baik di Negeri Tongkat Ditanam Jadi Tanaman, di Negeri Matahari Muncul maupun di Kaki Langit sendiri.

Dan sang angin pun bertiup menjauh, melihat ketiga orang yang sedang gandrung dan tekun pada pemahaman ilmu sebenarnya dari Jalan Pendekar. Sang angin pun tersenyum, sambil perlahan mendoakan agar pemahaman mereka dan ilmu-ilmu yang tercipta dari mereka dapat membawa kedamaian pada manusia dan alam sekelilingnya.


“Saudara Asap,” panggil Ki Tampar saat Asap melintas di depan rumahnya.

“Oh, maaf Ki Tampar,” jawab Asap dengan sopan, “saya tidak melihat Ki Tampar ada di rumah.”

“Tak apa-apa, saya memang sedang mengaso, tapi mendengar suara saudara dan nak Rintah, membuat saya keluar dan ingin menyapa,” jelasnya sambil tersenyaum.

“Maafkan atas kerasnya suaraku Ki,” jawab Rintah, seorang anak muda yang telah akrab dengan Asap sejak rombongan Pinggiran sungai merah bermukin di Desa Luar Rimba Hijau.

“Tidak.., tidak..,” jawab Ki Tampar sambil menggoyang-goyangkan tangannya, “aku tidak terganggu. Aku malah tertarik dengan pembicaraan kalian itu. Mengenai hubungan antara Ki Tapa dan Petapa Lain Pulau.”

Rintah dan Asap terlihat malu, karena mereka menyadari bahwa ucapan mereka mengenai seseorang yang dituakan di desa itu, tidak seharusnya sampai terdengar oleh orang lain.

Ki Tampar yang memahami keingintahaun dua orang berdarah muda itu hanya tersenyum, lalu lanjutnya, “tidak apa-apa bila kalian berdiskusi mengenai hal tersebut, tapi janganlah sampai mengarang-ngarang cerita atau menduga-duga. Sebaiknya kalian tanyakan sendiri pada Ki Tapa bila ada kesempatan.”

Kedua anak muda tersebut mengangguk-anggukan kepalanya.

“Kebetulan Ki Tapa ingin bertemu dengan engkau, Asap. Besok malam,” memberitahu Ki Tampar.

“Eh, ada keperluan apa Ki?” tanya Asap ingin tahu, “bukankah biasanya Ki Tampar berdua dengan Ki Gisang yang berhubungan dengan Ki Tapa?”

“Benar, biasanya begitu. Juga dalam hari-hari semenjak rombonganmu datang. Akan tetapi mungkin ada hal yang ingin diutarakan Ki Tapa atau ditanyakannya kepadamu,” jawab Ki Tampar penuh rahasia.

“E.., maaf Ki Tampar,” tanya Rintah malu-malu, “apakah saya boleh ikut?”

“Boleh.., boleh..,” jawab Ki Tampar, “Ki Tapa mengatakan sebaiknya beberapa anak muda ikut bersama Asap. Ada hal yang ingin disampaikan.”

“Wah, benar-benar menarik dan menegangkan ini. Jarang-jarang kami-kami bisa ikut bertemu Ki Tapa,” sahut Rintah dengan antusias.

“Kabarkan ini pada kawula muda yang tertarik, agar mereka besok malam, setelah matahari terbenam dapat bersiapa-siap,” sahut Ki Tampar, “Kita berangkat setelah bulan muncul setengah tinggi langit.”

Kedua anak muda itu mengiyakan dan kemudian mereka berlalu untuk memberi kabar yang tidak biasa itu kepada kawula muda di Desa Luar Rimba Hijau. Suatu pertemuan yang aneh dan tidak biasa. Menyebabkan banyak tanda tanya baik di benak Rintah maupun Asap, apalagi bagi anak-anak muda yang lainnya.

Di alun-alun Desa Luar Rimba Hijau berkumpulah sekitar dua puluh empat orang muda-muda. Sebagian besar terdiri dari laki-laki dan hanya ada tiga orang perempuan. Di depan mereka semua berdiri seakan menunggu suatu tanda, Ki Gisang dan Ki Tampar. Tak jauh dari sana berdiri Ki Surya dan beberapa petinggi desa yang sedang memperhatikan kegiatan yang akan dilakukan oleh para orang muda tersebut.

Sebagian penduduk yang berada di sana mulai menyalakan obornya, karena matahari telah perlahan hilang dari pandangan, sedangkan bulan belum muncul. Beberapa kawula muda yang ada ikut membantu memancangkan tongkat-tongkat obor di sekeliling alun-alun sehingga suasana menjadi lebih terang dan nyaman.

Ini merupakan hari yang telah ditunggu lama oleh para orang muda di Desa Luar Rimba Hijau. Hari ini Ki Tapa, sebagai seorang penguhi Rimba dan Gunung Hijau yang hanya diketahui penduduk desa, berkenan untuk bertemu dengan beberapa kawula muda yang ditentukannya melalui Ki Gisang dan Ki Tampar. Pertanyaan-pertanyaan dan komentar-komentar sudah tentu terucap di antara mereka, dan bahkan juga di antara para kawula tua. Apa gerangan yang dikehendaki oleh Ki Tapa dari para pemudi dan pemuda desa ini. Dan yang membuat peristiwa ini semakin menarik adalah bungkamnya baik Ki Gisang maupun Ki Tampar perihal ada apa di balik ini semua. Sudah tentu beberapa tetua desa seperti halnya Ki Surya mengetahui, akan tetapi pura-pura tidak tahu dan melemparkannya pada kedua orang tersebut.

Dulu sekali waktu Hamparan Hijau menyerang Desa Ujung, sebelum menjadi Desa Luar Rimba Hijau, pernah Petapa Lain Pulau mengatakan niatnya untuk mendidik pemudi dan pemuda pilihan dari Desa Ujung sebagai pewaris ilmunya, sehingga mereka dapat menjaga desanya dari marabahaya, baik dari manusia atau alam, dengan membaca tanda-tandanya. Akan tetapi sayangnya setelah membantu penduduk mengatasi Hamparan Hijau, Petapa Lain Pula lebih banyak berdiam di dalam Rimba dan Gunung Hijau dan tidak mengingat kembali niatannya itu. Sampai suatu saat tidak lagi terdengar perihal Petapa Lain Pulau melainkan munculnya Ki Tapa yang menolong penduduk desa apabila ada permasalahan. Hilangnya Petapa Lain Pulau yang digantikan oleh Ki Tapa ini walaupun menjadi pertanyaan bagi sebaian besar penduduk Desa Luar Rimba Hijau, akan tetapi tidak diajukan oleh siapa pun. Bahkan Ki Gisang dan Ki Tampar tidak mengerti. Mereka berdua, sebagai penghubung, percaya begitu saja karena Ki Tapa berkomunikasi melalui portal dengan tanda-tanda yang sama seperti diwariskan oleh leluhur mereka saat berhubungan dengan Petapa Lain Pulau. Oleh karena itu peristiwa ini mungkin akan menjawab pertanyaan mengenai pergantian penghuni Rimba dan Gunung Hijau yang berhubungan dengan penduduk desa, sudah tentu membuat sebagian penduduk tertarik untuk mengamatinya.

“Jaka,” panggil Ki Gisang perlahan kepada pemuda Desa Luar Rimba Hijau yang ditugaskan untuk mengatur pemudi dan pemuda yang akan ikut untuk menemui Ki Tapa malam ini, “sudah semua datang, kawula muda yang diminta Ki Tapa?”

“Belum, Ki Gisang,” jawab Jaka dengan hormat, “masih ada dua orang lagi. Rantih dan Misbaya.”

“Coba kau susul mereka ke rumahnya! Bisa-bisa mereka lupa, dan kita tidak dapat menanti sepanjang malam di sini,” usul Ki Gisang.

“Tak perlu,” tiba-tiba Ki Tampar yang berada di sampingnya menyahut, “lihat di ujung lapangan sebelah barat. Itu mereka datang!”

Dan benar, di ujung lapangan dalam arah yang ditunjukkan oleh Ki Tampar, tampak Rantih dan Misbaya berlari-lari sambil membawa segumpalan kain, yang merupakan perlengkapan mereka untuk menghadap Ki Tapa.

Setelah kedua orang itu tiba, mulailah para pemudi dan pemuda itu duduk membentuk lingkaran, dengan Ki Gisang dan Ki Tampar berada di tengah dan para tetua desa berikut Ki Surya di luar lingkaran. Para penduduk desa lainnya yang juga tertarik untuk datang berdiri setombak dua tombak agak jauh dari lingkaran tersebut.

Ki Tampar membuka pembicaraan, “kawula muda Desa Luar Rimba Hijau. Saat ini adalah saat yang kita, sebagai penghuni Desa Luar Rimba Hijau, sejak lama ditunggu-tunggu. Atas permintaan Ki Tapa, sebagai salah seorang penghuni Rimba dan Gunung Hijau, dan persetujuan para tetua desa, kalian ini akan menghadap Ki Tapa untuk menggenapi apa yang pernah dijanjikan oleh salah seorang dari mereka di masa lalu.”

Ki Tampar berhenti sebentar untuk mengabil nafas, kemudian lanjutnya, “kalian akan dilatih dan kelak dipilih sebagai pewaris dari Perguruan Rimba dan Gunung Hijau, yang bertugas salah satunya menjaga desa kita ini.”

Suasana menjadi hening di mana setiap orang berusaha mencerna apa yang sedang disampaikan oleh Ki Tampar.

“Hanya itulah yang dapat saya sampaikan, selengkapnya kelak akan diberikan penjelasan oleh Ki Tapa di dalam rimba,” kata Ki Tampar.

“Adapun,” sambung Ki Gisang, “Ki Surya mewakili para tetua Desa Luar Rimba Hijau akan menyampaikan beberapa pesan berkaitan dengan kegiatan ini. Ki Surya kami persilakan.”

Ki Surya diikuti oleh beberap tetua desa berjalan menuju ke dalam lingkaran, saat mereka masuk, menyibaklah para pemudi dan pemudi di kiri dan kanan rombongan itu, membuatkan jalan masuk bagi mereka. Setelah para tetua berada dalam lingkaran, menutuplah lagi mereka yang tadi menyibak, sehingga membentuk kembali lingkaran yang utuh.

Ki Surya tetap berdiri dan memandang berputar, sedangkan para tetua lainnya duduk di tengah-tengah lingkaran menghadap ke arah luar, sehingga punggung mereka saling bersentuhan.

Belum seucap kata pun diluncurkan oleh Ki Surya, melainkan ia malah berjalan berkeliling, dan masih saja menatap satu persatu dua puluh empat orang muda itu, dua puluh tiga orang kawula muda desanya dan satu orang anggota rombongan dari Desa Pinggiran Sungai Merah, Asap.

Setelah puas mengingat-ingat satu persatu wajah para kawula muda tersebut, Ki Surya pun berdiri kembali di tengah-tengah lingkaran.

Lalu ucapnya, “Para kawula muda desa sekalian, saya mewakili para tua-tua desa ini hanya berpesan agar kalian benar-benar belajar dengan baik saat di dalam rimba. Perihal apakah akan menjadi pewaris atau tidak bukan pokok permasalahannya, melainkan berlatih dan belajar untuk mengenal alam ini lebih dekat. Itu yang penting.”

Kemudian petuah-petuah dan nasihat-nasihat masih pula diberikan oleh Ki Surya dan juga oleh beberapa tetua lainnya, yang diharapkan dapat diingat-ingat dan dipatuhi oleh para kawula muda selama berada dalam rimba. Mereka yang mendengarkannya termasuk warga desa di luar lingkaran tersebut mencerna dan mengingat-ingatnya sambil mengangguk-angguk.

Setelah setiap tetua desa selesai memberikan nasihat dan petuahnya, mereka pun berdiri dan kembali berjalan ke luar dari lingkaran. Dan seperti tadi orang yang berada dalam jalan mereka pun memberi jalan dengan menyibakkan lingkaran untuk kemudian menutupnya kembali.

Tinggal Ki Gisang dan Ki Tampar di tengah lingkaran. Lingkaran yang terdiri dari dua puluh empat orang kawula muda. Dua puluh satu pemuda dan tiga orang perempuan. Kawula muda pilihan yang akan bertemu dengan Ki Tapa untuk dilatih agar dapat dipilih untuk mewarisi ilmu-ilmu Perguruan Rimba dan Gunung Hijau.

“Sebelum kita berangkat,” ucap Ki Tampar memecahkan keheningan, “ada yang akan ditanyakan kembali?”

“Ada Ki,” jawab Paras Tampan, seorang pemuda berbadan tegap dan gagah yang saat itu memakai pakaian dengan warna dominan abu-abu muda.

“Utarakan nak Paras Tampan,” kata Ki Tampar, “lebih baik sekarang sebelum kita masuk ke dalam rimba.”

“Berapa lama latihan ini berlangsung sampai kita dipilih untuk menjadi ahli waris? Apakah sesekali kita boleh ke luar rimba?” tanya Paras Tampan beruntun.

“Lamanya latihan dan apa kalian boleh keluar dari rimba selama latihan akan ditentukan oleh Ki Tapa, kami berdua tidak diberikan pesan perihal hal itu,” jawab Ki Tampar. “Ada pertanyaan lain?”

Paras Tampan menggeleng sambil menundukkan mukanya. Sebenarnya baginya tidak ada masalah berapa lama ia harus berlatih di dalam rimba, akan tetapi Citra Wangi lah yang menjadi persoalan. Seorang dara yang baru saja dijodohkan dengan dirinya. Ingin tentu seorang yang baru dijodohkan untuk berkenalan lebih dekat dengan calonnya. Dan ini pun dirasakan oleh Paras Tampan dengan sangat. Akan tetapi saat ia dipanggil oleh Ki Gisang untuk ikut pelatihan di dalam rimba, tak terpikirkan olehnya bahwa ia harus meninggalkan sang pujaan hati. Citra Wangi sendiri pun merasa kehilangan dan menyesalkan mengapa ia tidak terpilih untuk ikut berlatih di dalam rimba. Oleh karena itu mereka berjanji pada saat setiap bulan baru untuk bertemu di tepi Rimba Hijau untuk saling melepas rindu. Tak sampai hati Citra Wangi untuk melepas tunangannya, oleh karena itu tidak hadir dirinya saat pertemuan di alun-alun desa tersebut.

Setelah melihat bahwa tidak ada lagi pertanyaan dari kawula muda yang akan ikut pelatihan di dalam rimba, Ki Gisang dan Ki Tampar pun menyuruh mereka untuk beranjak pergi menuju portal tempat di mana penghuni Desa Luar Rimba Hijau dan Penghuni Gunung dan Rimba Hijau berkomunikasi. Di sana di pelataran berbatu tersebut, ternyata telah dipersiapkan obor-obor yang telah tertancap rapi. Delapan buah pada ketiga sisi dan kosong pada sisi yang menghadap ke utara. Sekilas dapatlah diterka bahwa ketiga sisi yang terisikan obor-obor tersebut mewakili dua puluh empat kawula muda itu.

Rombongan pun berhenti di hadapan sisi yang tidak dipasangi obor, sambil tetap berdiri, Ki Gisang menghampiri sisi tersebut dan membaca simbol-simbol yang terpahat di sisi utara tersebut. Umumnya sisi bagian utara, yang mengarah ke Gunung Hijau, jarang dipergunakan. Sisi itu berisikan petunjuk untuk memasuki Rimba Hijau secara aman. Setelah memperhatikan lambang-lambang tersebut, kemudian Ki Gisang membuka lontar yang diambilnya dari buntalan kain di punggungnya, dan mencocokkan beberapa lambang dan tulisan. Setelah mengerti apa yang dituliskan di sana, ia pun mengangsurkannya kepada Ki Tampar. Jika Ki Gisang membaca salah satu sisi lontar dan lambang pada sisi utara portal, maka Ki Tampar membaca pada sisi lain dari lontar. Dua sisi yang berlainan pada lontar dan kunci pada simbol di sisi utara portal, bersesuaian dengan petunjuk jalan masuk dan jalan keluar dari rimba. Bila orang tidak mengetahui petunjuk tersebut, dapat dipastikan ia akan tersesat dan bisa berbulan-bulan lamanya berputar-putar di dalam Rimba Hijau tersebut.

Setelah mereka berdua merasa yakin akan bahwa telah mengerti petunjuk-petunjuk yang ada, mulailah rombongan itu berjalan ke arah utara, menuju Rimba dan Gunung Hijau, melalui jalan setapak di tengah tanah lapang berumput tersebut. Bulan saat itu sudah lebih dari setengah langit tingginya. Saat yang tepat, menurut petunjuk dari portal dan lontar, untuk memasuki Rimba dan Gunung Hijau.

Rombongan itu berjalan dengan perlahan-lahan Masing-masing kawula muda terdiam dan bermain dengan pikirannya masing-masing. Rimba dan Gunung Hijau yang selama ini menjadi semacam mitos bagi mereka sejak turun-temurun akan dikunjungi hari ini. Mereka akan berlatih di sana. Di tempat yang selama ini terlarang untuk dimasuki. Siapa yang tidak bersemangat dan tegang dengan keadaan seperti itu.

Rimba pun mulai dimasuki. Pohon-pohon tinggi dan lebat menjulang sampai ke atas, sehingga langit yang berbintang banyak pun hanya tampak samar-samar di tengah-tengah rimbunan dedaunan. Pada beberapa tempat bahkan kanopi pohon-pohon tinggi saling menutupi sehingga tiada lagi sinar bulan yang dapat menerangai perjalanan mereka. Untung bagi setiap anggota rombongan tersebut telah dilengkapi dengan obor di tangan kanan dan tongkat di tangan kiri. Tongkat itu berperan untuk menunjang jalan mereka agar lebih stabil.

Perjalan yang tidak mudah. Kadang setelah tiada lagi pohon-pohon lebat dan tinggi yang hanya menyediakan kegelapan, tampaklah langit kembali di atas kepala, akan tetapi dengan sungai berbatu-batu di bawah kaki atau padang rumput dengan batu-batu berwarna aneh yang dapat berpendar di malam hari. Atau bisa juga jalan setapak yang di kiri-kanannya terdapat lumpur yang bergelembung-gelembung mengeluarkan gas yang baunya mirip kentut.

Selama dalam perjalanan itu ditemui banyak batu-batu besar yang bertuliskan simbol-simbol aneh. Ki Gisang dengan cermat memeriksa setiap jengkal permukaan batu-batu itu untuk mencari simbol yang tertera di atasnya. Kemudian setelah ketemu, diamat-amatinya dengan ingatan mengenai pemecahan yang diberikan pada portal dan halaman atas lontar. Sambil sesekali ia melihat ketinggian bulan. Setelah itu menentukan arah, dan rombongan itu pun berjalan beriringan mengikutinya.

Tidak ada seorang pun yang bersuara. Mereka tidak mau mengganggu konsentrasi Ki Gisang dalam mencerna makna lambang-lambang itu untuk menentukan arah, jika sampai ia salah menafsirkan, bisa-bisa mereka tidak sampai ke tempat Ki Tapa, melainkan tersasar di dalam Rimba Hijau.

Perjalanan itu kadang berlangsung lambat kadang cepat dari satu batu ke batu lainnya, hal itu dikarenakan petunjuk yang diberikan berkaitan dengan tinggi bulan di langit. Bila tidak kira-kira tepat saat mengartikan lambang yang ada, maka bisa makna yang salah dapat diperoleh. Dalam artian ini, berarti arah yang salah akan dipilih. Oleh karena itu walaupun tidak mengerti mengenai hal ini, para kawula muda hanya diam saja dan mengikuti Ki Gisang yang berjalan di depan. Ki Tampar berjalan paling belakang sambil memperhatikan panjangnya barisan.

Tanpa diketahui siapa pun Paras Tampan diam-diam mencatat dalam hatinya lokasi-lokasi yang dilaluinya. Ia adalah seorang yang memiliki ingatan yang baik, sesuatu yang pernah dilihatnya, sukar untuk dilupakan. Ia berusaha mengingat-ingat, karena ia berencana untuk sesekali kembali ke pinggir Rimba Hijau untuk bertemu dengan kekasihnya, Citra Wangi.

Setelah beberapa saat berjalan, di mana beberapa kawula muda, terutama yang perempuan, merasa kakinya hampir habis, sampailah mereka di suatu tanah lapang luas, di tengah-tengah rerimbunan pohon-pohon tinggi.

Di salah satu sisi lapangan luas itu menjulang tinggi ke atas sebuah gunung batu terjal dengan puncaknya tidak terlihat karena tertutup awan dan gelapnya langit. Itulah Gunung Hijau. Gunung yang baru kali ini dilihat oleh rombongan itu dari dekat. Biasanya mereka hanya bisa melihatnya dari jauh, dari luar Rimba Hijau. Saat ini mereka bisa melihatnya pada jarak sedekat ini. Benar-benar merupakan suatu gunung yang mengagumkan dan mengiriskan. Tinggi, terkesan kasar, kekar dan dingin.

Di tengah-tengah tanah lapang luar berumput setinggi mata kaki tersebut terdapat sebuah pondokan sederhana yang terbuat dari kayu dengan atap dari rerumputan. Di dalamnya terlihat cahaya api yang memberikan bayang-bayang seseorang. Ki Tapa.

Rombongan itu pun dengan didahului oleh Ki Gisang menuju ke rumah itu yang berada di sebelah kanan dari arah mereka datang tadi. Kali ini mereka tidak lagi berjalan beriring-iring seperti semut, melainkan bergerombol. Ki Gisang dan Ki Tampar pun tidak mencegahnya. Di tempat ini sudah tidak ada lagi bahaya akan tersesat, oleh karena itu dibiarkannya mereka melepas sedikit ketegangannya dengan bergerombol.

Setelah sampai di depan pintu gubuk tersebut, berhentilah mereka dan Ki Gisang mengucapkan salam.

“Masuklah,” sebagai jawaban dari orang yang berada di dalam rumah tersebut.

Mereka pun masuk satu persatu ke dalam rumah itu.

Rumah yang sederhana. Tidak banyak perabot di dalamnya. Terdapat sebuah meja panjang yang kelihatannya akan muat diisi oleh mereka semua. Orang yang mempersilahkan mereka masuk tampak sedang berdiri dekat sebuah panci besar. Ia membelakangi mereka. Tampaknya ia sedang memasak sesuatu, karena terlihat sesekali ditambahkannya sesuatu ke dalam panci, sambil melirik ke suatu catatan pada daun lontar. Bau sedap pun mengembang di udara.

“Duduklah semua pada kursi di samping meja panjang,” perintah orang itu sambil tetap mengaduk-aduk panci yang sedang dijerangkannya di atas api. “Sebentar lagi makan malam selesai,” lanjutnya.

Para kawula muda pun bertanya-tanya dalam hatinya. Makan malam, di tengah malam? Benar-benar makan malam. Mereka semua sebelum berangkat dari Desa Luar Rimba Hijau telah masing-masing mengisi perutnya. Akan tetapi setelah perjalanan yang cukup melelahkan melewati Rimba Hijau, sudah pasti tiada lagi persediaan dalam usus mereka. Pemberitahuan mengenai makan malan ini sudah tentu amat menggembirakan. Tapi mereka diam saja. Menunggu dengan hormat apa yang akan dilakukan oleh tuan rumah yang aneh tersebut, yang sampai saat itu pun belum memperlihatkan mukanya, masih membelakangi tamu-tamunya.

Suasana pun hening. Suara jangkrik di luar dan di dalam rumah pun dapat terdengar dengan jelas. Kadang dihentikan oleh ‘uhu-uhu’ burung hantu yang sedang berburu mangsanya. Tikus-tikus.

“Akhirnya selesai,” ucap orang itu. Kemudian ia berbalik. Tampak seorang yang sudah tua akan tetapi dengan raut muka gembira dan berwajah ramah, dilengkapi dengan kerut-kerut pada sudut mata dan mulutnya. Rambutnya awut-awutan pendek segenggam tangan. Mungkin dipotong dengan menggunakan pedang atau pisau sehingga terlihat tidak rata. Akan tetapi cocok dengan pakaiannya yang sederhana, kasar dan bersih. Ialah Ki Tapa, yang mengundang dua puluh empat kawula muda itu melalui Ki Gisang dan Ki Tampar.

“Mari-mari makan,” lanjutnya, sambil diambilnya piring-piring dari kayu dan gelasnya yang langsung dilempar-lempar seenaknya. Tiada yang jatuh ke lantai, melainkan jatuh tepat di depat setiap orang yang duduk di kursi pada meja panjang sersebut. Dua puluh tujuh piring kayu dan gelasnya, “terbang” dari tangannya menuju ke hadapan orang-orang tersebut. Termasuk di kepala meja, tempat ia akan duduk nanti. Benar-benar demonstrasi tenaga dalam yang mengagumkan.

Tak tahan para kawula muda itu pun berdecak kagum, dan pandangan mereka pada Ki Tapa semakin menghormat setelah melihat pertunjukkan itu. Belum habis kekaguman mereka, kembali Ki Tapa menunjukkan sesuatu yang lebih keren, ia dengan santai menyuap makanan dari dalam panci sebesar kerbau itu dan melemparkannya seakan-akan dalam arah yang asal-asalan. Bukannya jatuh atau mengenai salah seorang yang duduk, melainkan makanan tersebut masuk ke dalam masing-masing piring tersebut. Dua puluh tujuh piring kayu telah terisi oleh makanan. Makanan berupa bubur kental berbau gurih dan harum. Selanjutnya Ki Tapa masih mengambil air dari gentong besar yang ada di dekat panci dan kembali menyiduknya serta melemparkan ke dalam masing-masing gelas, tanpa ada sececerpun air yang tumpah.

“Yang barusan namanya Jurus Menunggang Angin Mengendalikan Wujud,” jelasnya sambil duduk di ujung meja. “mari makan, jangan malu-malu. Di panci masih banyak tersedia. Cukup untuk tambah setiap orang.” Lalu tanpa menunggu tamu-tamunya, ia dengan lahap menyantap makanannya. Semua pun makan tanpa bersuara, menunggu-nunggu ucapan Ki Tapa.

Setelah habis Ki Tapa masih menawarkan untuk tambah, hanya beberapa orang yang masih lapar, selebihnya merasa telah cukup. Ternyata walaupun terlihat sedikit, makanan tersebut mengenyangkan. Entah apa kandungannya, tapi yang pasti terlihat bergizi tinggi.

Setelah Ki Tapa selesai makan dan juga kawula muda yang menambah makanannya. Duduklah ia agak santai sambil memandang satu persatu tamu-tamunya itu. Yang dipandang tiada yang tahan bertatapan dengan matanya yang ramah akan tetapi menyorot dengan tajam.

“Tapa dan Gisang, terima kasih telah bersusah payah membawa mereka-mereka ini ke pondokku,” ucap Ki Tapa, “aku harap kalian tidak segan di rumah ini. Beristirahatlah selama aku dan para kawula muda ini berada di lapangan sana.”

Mereka berdua mengiyakan, tidak membantah mengapa mereka tidak boleh melihat apa yang akan dilakukan oleh Ki Tapa dengan para kawula muda itu.

Setelah menyuruh masing-masing kawula muda untuk meninggalkan barang-barang bawaannya di salah satu sudut ruangan, Ki Tapa pun mengisyaratkan mereka untuk mengikutinya keluar rumah, menuju lapangan di sekitarnya.

Katanya pelan seperti hembusan angin, walaupun demikian terdengar jelas bagi semua orang, “Bagi jumlah kalian ke dalam tiga kelompok. Masing-masing kelompok delapan orang. Setiap delapan orang tentukan pusat dan berdiri menghadap ke delapan mata angin. Gunung Hijau adalah arah Utara. Punggung bersentuhan.”

Mereka pun mematuhi perintah itu dan membagi jumlahnya menjadi tiga kelompok. Setelah itu masing-masing kelompok mengambil jarak dan menentukan titik tengah sebagai pusat mata angin mereka. Kemudian mereka berdiri saling membelakangi dan menghadap ke arah delapan mata angin, empat mata angin utama dan empat mata angin antara.

“Setiap orang maju sepuluh langkah,” perintah Ki Tapa.

Kemudian ia menyuruh masing-masing untuk duduk menyilangkan kaki dan mengheningkan cipta.

“Jangan tidur, dengarkan alam sekitar kalian. Dengarkan napas kalian, denyut jantung, aliran darah. Gatal-gatal di pantat, semilir angin di rambut, wangi uap air di udara. Pejamkan mata dan rasakan semua itu,” perintahnya selanjutnya, “sampai kusuruh berhenti.”

Kemudian Ki Tapa pun berjalan berkeliling, membetulkan postur masing-masing kawula muda tersebut. Punggung tidak tegak. Perut kurang ditarik ke dalam. Dubur tidak diangkat. Bahu tidak rileks. Kepada tidak tegak. Setelah yakin semua menjalankan apa yang diperintahkannya, duduklah Ki Tapa di atas sebuah batu, tidak jauh dari ketiga lingkaran yang masing-masing dibentuk oleh depalan kawula muda itu. Dipejamkan matanya dan ia pun ikut mengheningkan cipta, merasakan alam sekitarnya.

Begitulah kawula muda Desa Luar Rimba Hijau, pada awal malam pertamanya di dalam Rimba Hijau, telah memulai latihan-latihan untuk meningkatkan kemampuannya, agar dapat kemudian dipilih untuk menjadi ahli waris Perguruan Rimba dan Gunung Hijau. Dua puluh empat orang muda-mudi itu berlatih dengan tekun di bawah petunjuk Ki Tapa. Keesokan harinya Ki Gisang dan Ki Tampar pun pulang kembali ke Desa Luar Rimba Hijau meninggalkan kawula muda desa mereka dalam salah satu babak baru kehidupan mereka. Berlatih di dalam Rimba dan Gunung Hijau. Saat mereka pamit para kawula muda itu belum beranjak dari posisi mereka tadi malam. Mereka berdua pun tidak bertemu dengan Ki Tapa, melainkan hanya membaca sebuah pesan pada dinding dekat tempat mereka tidur, bahwa mereka sebaiknya pergi kembali ke desa sebelum matahari naik tinggi, agar dapat menemukan jalan pulang.


Sudah terlalu lama kita tidak mengikuti perkembangan dari Perguruan Atas Angin yang dahulu dipimpin oleh Ki Jagad Hitam. Telah terjadi banyak perubahan di sana. Misalnya saja, sepeninggalnya Ki Jagad Hitam, tampuk kepemimpinannya dipegang oleh Tapak Kelam, salah seorang murid yang termasuk dalam keenambelas orang Lingkaran Dalam. Lingkaran Dalam sendiri telah lama dibubarkan, dan masing-masing dari mereka ada yang keluar dan hidup sebagai orang biasa atau membuka perguruan baru. Hanya sedikit yang masih bertahan tetap dalam perguruan. Kemudian banyak aturan-aturan perguruan yang diubah, dan juga pencarian lebih lanjut mengenai kitab-kitab yang hilang, yaitu Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa, Angin-angin, Batu-batu serta Seribu Ramuan, tidak lagi menjadi tujuan perguruan itu, melainkan sebanyak-banyaknya mencari murid baru dan memperluas perguruan. Hal ini dipicu oleh berdirinya kembali Perguruan Tapak Ganda yang telah dimusnahkan oleh Perguruan Atas angin beberapa dekade yang lalu. Dengan mendatangkan banyak orang luar yang sakti, sisa-sisa murid perguruan Kapak Ganda membangun kembali perguruan mereka untuk membalaskan sakit hati mereka kepada Perguruan Atas Angin.

Tags: